Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Pendahuluan
Kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam duktus koledoktus, atau pada kedua-keduanya. Sebagian
besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu
ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder 7.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20
juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu
kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria, wanita pada usia 18 65 tahun.
Penderita wanita lebih banyak dengan perbandingan 3 : 1 pada usia < 40 tahun, yang menjadi
seimbang pada manula1.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia
diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun
1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. Di negara
Barat, 80% batu empedu adalah kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen, meningkat
akhir akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu
kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesteol sejak 1965 makin meningkat 7.
Sementara ini dipadat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih
umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang terdapat di
negara Barat, dan sesuai dengan angka di Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia,

Muangtai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram
negatif E.Coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen4.
Di Indonesia batu empedu banyak ditemukan mulai pada usia di bawah 30 tahun,
meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia di atas 60 tahun, insidens batu
saluran empedu meningkat. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah
penderita laki-laki. Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu,
tetapi sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus koledokus1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin

terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus


(choledocholithiasis) 7.
Kolelitiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam
kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita
dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik3.
Di kenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin
dan batu campuran. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun
intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai berikut : ada
masa asimtomatik setelah kolesistektomi morfologik cocok dengan batu empedu primer,
tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang 4.

Sumber : Davey, 2003


Gambar 2.1 Batu Empedu
2.2

Anatomi Vesica Fellea


Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang

terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm. Kapasitasnya sekitar
30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea
dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus
cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica
fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati7.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu 7.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum

sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju
kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus7.

Sumber : Knapp, 2003


Gambar 2.2 Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.
2.3

Fisiologi Vesica Fellea


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica

fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.
Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga
mempunyai banyak mikrovilli 2.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini
kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat
cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum 2.

Sumber : Knapp, 2003


Gambar 2.3 Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya.
2.3.1

Pengosongan Kandung Empedu


Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian
masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak 2. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua
hal yaitu:
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini
yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi
dari kandung empedu.

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan


mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Komposisi Cairan Empedu
Komponen

Dari Hati

Dari Kandung Empedu

Air

97,5

gm %

95

gm %

Garam Empedu

1,1

gm %

gm %

Bilirubin

0,04

gm %

0,3

gm %

Kolesterol

0,1

gm %

0,3 0,9

gm %

Asam Lemak

0,12

gm %

0,3 1,2

gm %

Lecithin

0,04

gm %

0,3

gm %

Elektrolit

a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o

Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam


makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikelpartikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang


larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman

usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam

empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan
pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu 2.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma
terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan
misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak 2.

2.3.2

Jenis Batu Empedu (Kolelitiasis)


1. Batu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol, dan sisanya
adalah kalsiumkarbonat, kalsiumpalmitat, dan kalsium bilirubinat.

Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu soliter
atau multipel

Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan


empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.

Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan
obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung
estrogen atau kholifibrat.

Sekresi kandung empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorpsi
di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.

Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali bila
ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal
dari pigmen empedu, mukoprotein lendir, protein lain, bakteria atau benda asing
lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu.
Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal koesterol di atas matriks
inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan
pengendapan.

2. Batu Bilirubin

Berisi kalsium bilirubinat dan disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak
banyak bervariasi.

Berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25 %.
Batu pigmen terbentuk dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan
keseimbangan metabolik seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa didahului
infeksi.

2.4

Etiologi kolelitiasis
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,

semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis1. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar
esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu 1.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda 1.
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu 1.

4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu 1.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga 1.
6. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi 1.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik 1.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.5

Patogenesis Kolelitiasis

2.5.1

Patogenesis Pembentukan Batu


1. Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang
tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio
seperti ini kolesterol akan mengendap 6.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).

Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar


chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel
yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu 6.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang
sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang
lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut
kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar 6.
2. Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).


Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim
b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase 6.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang 6.
2.5.2

Patogenesis Kolelitiasis secara umum


Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu yang
terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan
kiri meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu
tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak, bentuknya
seperti lumpur dan rapuh 4.
Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis
oriental yang sering sulit penanganannya. Batu kandung empedu dapat berpindah ke
dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Dalam perjalanan melalui duktus

sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang
melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan
sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus karena diameternya
terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu
duktus sistikus 5.
2.6

Diagnosis

2.6.1

Manifestasi Klinis Kolelitiasis


Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok : pasien
dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis) 8 :
1. Asimtomatik : 50% pasien tetap asimptomatik, batu empedu bisa ditemukan
secara kebetulan.
2. Kolik bilier : Nyeri kuadran kanan atas yang rekurens, seringkali dipicu oleh
makanan berlemak. Nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang
dari 12 jam. Nyeri terdapat pada daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau
prekordium. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah.
3. Kolesistitis : Biasanya timbul dengan keluhan utama nyeri akut hipokondria kanan
disertai demam. Jika leher kandung empedu tersumbat, bisa terjadi empiema pada
kandung empedu.
4. Ikterus Kolestatik : Ikterus disertai tinja pucat dan urin gelap menunjukkan adanya
obstruksi bilier sebagai akibat masuknya batu ke dalam duktus biliaris komunis
(koledokolitiasis). Dengan tanda klinis adanya infeksi sekunder (demam,
menggigil), timbul keadaan yang disebut kolangitis.

5. Pankreatitis : Batu empedu merupakan penyebab utama pankreatitis di negara


berkembang, biasanya akibat bergesernya batu ke duktus biliaris komunis dan
melalui ampula Vateri.

Sumber : Yarris, 2007

Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Kolelitiasis


2.6.2

Pemeriksaan fisik 5 :
1. Nyeri tekan dengan punctum maksimum di daerah letak anatomi kandung
empedu.
2. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
3. Batu Saluran Empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang.
Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis.
4. Bila muncul kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan Trias Charcot yaitu demam dan
menggigil, nyeri daerah hati dan ikterus.

5. Bila muncul kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan


timbul lima gejala Pentade Reynold berupa tiga gejala Trias Charcot, ditambah
syok dan kekacuan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
2.6.3

Pemeriksaan Penunjang 8 :
1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu asimptomatik umumnya tidak menimbulkan kelainan


laboratorik.

Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.

Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledokus.

Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali ada serangan akut.

2. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos Abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica 1.

Sumber : Davey, 2003


Gambar 2.5: Foto rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa 8.

Sumber : Scwartz, 2000


Gambar 2.6: Hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi
pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu 7.

Sumber : Lesmana, 2006


Gambar 2.7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis
2.7

Penatalaksanaan Kolelitiasis

2.7.1

Penanganan Kandung Empedu

Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik tidak akan mengalami


keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya
keluhan selama pemantauan 6.
Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di
dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem endokamera
dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung
kandung empedunya.

Sumber : Lesmana, 2006


Gambar 2.8 : Kolesistektomi
2.7.2

Penanganan Batu Saluran Empedu


ERCP terapeutik dengan melakukan sfingteretomi endoskopik untuk
mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi. Selanjutnya batu di dalam saluran
empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon-ekstraksi melalui muara yang
besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau
dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya 4.

2.7.3

Batu Saluran Empedu Sulit


Batu saluran empedu sulit adalah batu besar, batu yang terjepit di saluran
empedu, atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit. Diperlukan
beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi laser, electro-hydraulic shockwave litotripsy,
dan extracorporeal shock wave litotripsi 4.

2.8

Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan
perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif kolangitis, kolangiolitis
piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan
5

DAFTAR PUSTAKA

1. Davey, Patrick, 2003.At a Glance Medicine, Dalam : Penyakit Bilier. Penerbit


Erlangga, Jakarta. Hal 216-217.
2. Husadha, Yast, 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Pemeriksaan
Biokimiawi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Ed.3
3. Knapp, B Albert, 2003. Gastroenterologi, Dalam : Penyakit Vesica Biliaris dan
Saluran Empedu. PT Widya Medika, Jakarta. Hal 37 42.
4. Lesmana, A Laurentius, 2006. Penyakit Batu Empedu, Dalam : Ilmu Penyakit Dalam.
Ed.4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit FKUI, Jakarta. Hal 479 482.
5. Mansjoer, A, 2003. Kapita Selecta Kedokteran. Jilid 1, Ed.3, Penerbit Media
Aaesculapius, Jakarta.
6.

Schwartz S, 2000. Prinsip Prinsip Ilmu Bedah ( Principle Of Surgery ). Ed.6. EGC.
Jakarta.

7. Sjamsuhidajat, R, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Dalam : Kolelitiasis. EGC, Jakarta.
Hal 570 576
8. Yarris, Lalena, 2007. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, Dalam: Kolelitiasis.
EGC, Jakarta. Hal 298-299.

Вам также может понравиться