Вы находитесь на странице: 1из 3

Alasan Masuk FK dan Apa yang Akan Aku Lakukan Setelah Menjadi Dokter

Menjadi Dokter Bukanlah Sebuah Impian, Tapi Sebuah Tanggung Jawab

Apakah kalimat pembuka ini perlu ku suguhkan dengan biografi singkatku yang
mungkin akan mengawali perkenalan kita? Mungkin tidak. Kalian hanya perlu tau aku adalah
benih dari sebuah profesi mulia.
Sebuah kata Dokter telah terajut dalam kosakataku sejak aku mulai mengenal abjad.
Papaku telah mengenalkan abjad kepadaku sejak aku berumur 2,5 tahun. Jadi jangan heran
ketika umurku 3,5 tahun, aku telah lancar mengeja. Hanya saja aku masih belum bisa
menyebutkan huruf R saat itu. Dan jangan heran pula kalau aku termasuk lulusan termuda
di SMA ku tanpa mengikuti program akselerasi.
Masih terekat kuat dalam ingatanku, ketika SD aku ingin sekali menjadi seorang
dokter. Akupun tak tahu alasannya karena memang aku masih anak ingusan* yang tidak tahu
sebenarnya apa arti cita-cita itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya edukasi yang telah kuterima,
bertandanglah segerombolan cita-cita yang mulai membingungkanku. Namun, satu hal yang
membuatku pasti. Aku tidak ingin menjadi seorang dokter. Dan keputusan itu telah kubuat
saat aku menginjak awal tahun terakhirku di SMA.
Sejak memasuki awal SMA, aku mulai membenci pelajaran Biologi. Aku tak suka
menambah kosakata baru dengan kata-kata yang bahkan sulit diucapkan. Bukannya aku
penghapal yang buruk, hanya saja sifat malasku yang membuatku malas menghapal karena
pasti ada saja kata-kata aneh yang membuatku banyak menghabiskan waktu dan pikiran
untuk menghapalnya. Kalau pelajaran yang kusuka banyak sekali, cuman yang paling
kusukai adalah Kesenian, Penjaskes, TIK, dan Fisika. Selain aku tak suka pelajaran Biologi,
aku juga orang yang penakut. Jujur ku ceritakan kepada kalian bahwa aku takut sama hal-hal
yang berbau mayat, hantu, darah berceceran, dll. Dan hal itu yang memantapkan hatiku untuk
tidak memilih dokter sebagai cita-citaku.
Mungkin kalian bertanya, kenapa sekarang aku melanjutkan pendidikan ke jurusan
yang memang tidak kuinginkan? Atau mungkin kalian marah karena aku telah mengambil

bangku dijurusan yang sangat diimpikan oleh sebagian orang. Aku yakin banyak sekali
pertanyaan dan perasaan kesal, bingung, penasaran, dibenak kalian.
Melepas cita-cita ternyata tidaklah segampang itu. Mama, dialah satu-satunya orang
yang tak pernah bosan memintaku untuk menjadi seorang dokter. Akupun juga tak pernah
bosan menolak permintaan mama kepadaku. Sampai akhirnya, suatu hari mamaku
menjelaskan kepadaku kenapa beliau sangat ingin aku menjadi seorang dokter.
Mama berkata, Sejak kecil, anak mama selalu bilang mau menjadi dokter. Banyak
yang mengira itu hanyalah impian anak kecil dan impian bagi mama sendiri karena mereka
yakin mama dan papa tidak akan sanggup membiayai kuliah di jurusan itu. Dulu, mama juga
ingin sekali menjadi seorang dokter setelah tamat SMA. Tapi cita-cita mama nggak
kesampaian karena nggak ada biaya dan mama masih harus memikirkan adik-adik mama.
Makanya sejak anak mama kecil, mama menabung dan kerja banting tulang sama papa
sampai jarang ada waktu buat anak mama. Tapi itu semua buat anak mama. Mama nggak mau
anak mama nggak bisa meraih cita-citanya. Apalagi anak satu-satunya dan karena anak mama
pintar makanya mama yakin. Mama mau anak mama berguna buat banyak orang, jadi nanti
bisa bantu keluarga yang sakit.
Kata-kata itu, membuatku menitikkan air mata. Aku baru menyadari segitu besarnya
pengorbanan orangtuaku. Kata-kata itu terus terpikirkan olehku, dan aku memiliki tekad, aku
ingin dan akan menjadi seorang dokter. Mungkin kalian masih mengira bahwa aku tak pantas
dan tak akan berhasil karena ini keinginan orangtuaku. Tapi sepenuh hati akan kujalani
karena aku punya tanggung jawab.
Masuk ke jurusan yang banyak diidam-idamkan sebagian besar calon mahasiswa
tidaklah gampang. Bahkan aku perlu waktu 1 tahun belajar lebih lama lagi setelah lulus SMA
untuk masuk ke jurusan ini. Jadi jangan kalian pikir aku tidak berjuang. Dulu ketika di SMA,
aku termasuk siswa yang beruntung karena terpilih menjadi salah satu siswa yang
berkesempatan meraih bangku kuliah lewat jalur undangan. Soalnya pada masaku tidak
semua siswa berhak mengikuti jalur undangan itu. Namun sayang, aku belum berhasil.
Pilihanku saat itu ialah PD di universitas terbaik yang ada di Surabaya dan Medan.
Selanjutnya, aku mengikuti bimbel yang ada di Bandung. Memang aku salah dan bodoh dari
awal, karena saat teman-temanku sudah mulai menggerogoli buku-buku SNMPTN di awal
semester baru, aku bahkan baru mengerjakannya saat aku bimbel di Bandung. Saat bimbel
aku sempat optimis karena nilaiku termasuk cukup walau belum bisa dikatakan baik. Saat

SNMPTN pun dengan optimis aku memilih PD di universitas terbaik yang ada di Malang dan
Medan. Namun, sayang aku juga masih belum berhasil. Selanjutnya, jalur mandiripun ku
tempuh. Dan kalian tahu? Aku tetap belum berhasil. Memang saat itu aku tidak memilih PTS.
Dan akupun tidak memilih bahkan memikirkan PTN yang menjadi bangkuku saat ini.
Kedua orangtuaku sedih melihatku. Tapi aku merasa lebih sedih lagi. Kesedihanku
yang amat dalam bukanlah karena aku belum berhasil, tetapi karena aku merasa telah
mengecewakan kedua orangtuaku yang sudah banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan
uang. Mamaku menyuruhku untuk kuliah di satu-satunya Universitas di Batam yang memiliki
jurusan PD. Aku kemudian menolak dengan tegas. Ku katakan pada mereka bahwa lebih baik
aku belajar lagi selama setahun daripada setelah semua pengorbananku menjadi sia-sia jika
aku harus berkuliah di sana dengan akreditasi C yang sebenarnya aku bisa masuk tanpa tes
lagi karena dulu SMA ku pernah diikutkan tes untuk masuk ke sana dan aku lulus di pilihan
asal-asalanku, yaitu Pendidikan Dokter.

Вам также может понравиться