Вы находитесь на странице: 1из 22

A.

Definisi dan Etiologi


Gonnorhea atau kencing nanah merupakan penyakit menular seksual yang paling
sering terjadi pada orang dewasa muda baik pria maupun
wanita. Gonnorhea ini disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae yang dapat menginfeksi saluran genital,
mulut atau anus.Bakteri ini merupakan bakteri gramnegatif dan berbentuk diplococcus yang dapat tumbuh
pada daerah yang hangat dan lembab di tubuh, seperti
uretra dan konjungtiva mata. Pada wanita bakteri dapat
ditemukan pada saluran reproduksi yang meliputi tuba
falopi, uterus dan serviks.[1][2]
Gonnorhea merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Selama beberapa
abad, bermacam nama telah digunakan untuk mendeskripsikan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Neisseria gonorrhoeae (Gonococci). Hippocrates menulis secara luas mengenai
Gonnorhea pada abad keempat dan kelima SM, dia menyebut Gonnorhea akut sebagai
"strangury". Penamaan Gonnorhea sendiri diberikan oleh Galen pada tahun 130 SM, hal ini
untuk menggambarkan eksudat uretra yang seperti benih yang mengalir (flow of seed).
Bakteri Neisseria gonorrhoeae (Gonococci) dikenalkan oleh Albert Neisser, ia menemukan
bakteri tersebut pada tahun 1879 dari pewarnaan apusan yang diambil dari vagina, uretra, dan
eksudat konjungtiva.[1]
Penularan Gonnorhea dapat berlangsung dengan cepat dan mudah. Seseorang bisa
mendapatkanGonnorhea dengan melakukan hubungan seks secara genito-genital, oro-genital
dan ano-genitaldengan orang yang terinfeksi Gonnorhea. Selain itu, Gonnorhea juga dapat
ditularkan dari wanita hamil yang terinfeksi Gonnorhea kepada bayinya pada saat
melahirkan. Jika Gonnorhea ini ditularkan ke bayi yang baru lahir, dapat menyebabkan
perforasi kornea dan kebutaan.[3]

B. Epidemiologi
1

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) mengenaiGlobal


incidence and prevalence of selected curable sexually transmitted infections pada tahun 2008
menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus infeksi Gonnorhea di dunia dari tahun 2005
ke tahun 2008 sebanyak 21%. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan
infeksi seksual lainnya seperti Chlamydia trachomatis, Syphilis,dan Trichomonas vaginalis.
Hal ini dapat terjadi karena terjadinya peningkatan jumlah populasi manusia yang berusia 1549 tahun dari 3,42 -3,55 milyar (4,1%) pada tahun 2005 - 2008. [4]

Wilayah Afrika ini mencakup 46 negara dengan jumlah populasi sebanyak 384,4
juta orang yang berusia 15-49 tahun. Insidensi kasus Gonnorhea per 1000 untuk wanita
sebesar 49,7 dan pria 60,3. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 2,3 dan pria 2,0.
[4]

Wilayah Amerika ini mencakup 35 negara dengan jumlah populasi sebanyak 476,9
juta orang yang berusia 15-49 tahun. Insidensi kasus Gonnorhea per 1000 untuk wanita
sebesar 18,5 dan pria 27,6. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 0,8 dan 0,7.[4]

Wilayah South-East Asia ini mencakup 11 negara dengan jumlah populasi sebanyak
945,2 juta orang yang berusia 15-49 tahun.Insidensi kasus Gonnorhea per 1000 untuk wanita
sebesar 16,2 dan pria 37,0. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 0,8 dan pria 1,2.[4]

Wilayah Eropa ini mencakup 53 negara dengan jumlah populasi sebanyak 450,8
juta orang yang berusia 15-49 tahun. Insidensi kasus Gonnorhea per 1000 untuk wanita
sebesar 8,3 dan pria 7,0. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 0,3 dan pria 0,2. [4]

Wilayah eastern Mediterranean ini mencakup 23 negara dengan jumlah populasi


sebanyak 309,6 juta orang yang berusia 15-49 tahun. Insidensi kasus Gonnorhea per 1000
untuk wanita sebesar 8,1 dan pria 11,6. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 0,3
dan pria 0,3).[4]

Wilayah western pacific ini mencakup 37 negara dengan jumlah populasi sebanyak
986,7 juta orang yang berusia 15-49 tahun. Insidensi kasus Gonnorhea per 1000 untuk wanita
sebesar 34,9 dan pria 49,9. Sedangkan prevalensi (dalam %) untuk wanita 1,5 dan 1,3. [4

C. Patofisiologi
D.

Gonorrhea pada orang dewasa hampir selalu ditularkan melalui hubungan

seksual. Pada orang dewasa, membran mukosa superfisialis yang berlapis epitel columnar
dan cubodial merupakan bagian yang rentan terhadap infeksi gonorrhea. Bakteri melekat
pada sel epitel columnar, melakukan penetrasi dan berkembang biak di membran basal
(basement membrane). Perlekatan ini diperantarai melalui pili dan Opa (PII). Bakteri melekat
hanya pada microvili dari sel epitel columnar. Setelah itu bakteri dikelilingi oleh microvili
yang akan menariknya ke permukaan sel mukosa. Bakteri masuk ke sel epitel melalui proses
parasite-directed endocytosis. Selama endosistosis, membran sel mukosa menarik dan
mengambil sebuah vakuola yang berisi bakteri. Vakuola ini ditransportasikan ke dasar sel
dimana bakteri akan dilepaskan melalui eksositosis ke dalam jaringan sub-epitelial. [1][5]
E.
F.Protein porin utama dari membran luar gonococci yakni PI (protein 1) merupakan
media invasi (suatu substansi yang memperantarai penetrasi pada sel host). Penetrasi dari PI
6

kedalam netrofil menghambat proses degranulasi. Masing-masing strain dari Neisseria


gonorrhoeae hanya dapat mengekspresikan satu tipe PI, dimana PI dari strain yang berbeda
mungkin mengekspresikan antigen yang berbeda. [1][5]
G.

Selama infeksi, gonococci sangat mudah mengalami autolysis dan

menghasilkan berbagai produk ekstraseluler seperti fosfolipase, peptidase, dan fragmen


peptidoglikan yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Fragmen ini terlepas oleh enzim
peptidoglikan hidrolase yang dilepaskan oleh sel bakteri. Fragmen ini bersifat toksik untuk
mukosa pada tuba fallopi dan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi yang mencirikan
penyakit gonorrhea. Adapun peptidoglikan dan lipooligosakarida (LOS) bakteri menstimulasi
produksi tumor necrosis factor (TNF) yang menyebabkan kerusakan sel. Neutrofil akan
segera datang ke tempat tersebut dan mencerna bakteri. Bakteri Neisseria gonorrhoeae
mampu bertahan hidup dalam fagositosis, sampai neutrofil mati dan melepaskan bakteri yang
dicerna. Setelah itu infiltrasi sejumlah leukosit dan respon neutrofil menyebabkannya
terbentuknya pus dan munculnya gejala subjektif. [5]
H.

Gonococci tidak dapat tumbuh pada kondisi anaerob kecuali apabila

terdapat nitrit sebagai aseptor elektron dalam konsentrasi yang rendah. Pada kondisi ini
gonococci akan memproduksi protein baru. Protein-protein ini akan diproduksi selama proses
infeksi karena adanya antibodi yang hadir untuk melawan gonococci pada pasien yang
terjakit penyakit gonorrhea tanpa komplikasi, Disseminated Gonococcal Infection (DGI),
atau Pelvic Inflammatory Disease (PID). [5]
I. Strain dari N. gonorrhoeae memproduksi dua protein ekstraseluler IgA1 protease,
yang akan memotong rantai panjang dari human immunoglobulin A1 (IgA1) pada posisi
yang berbeda di dalam daerah pemotongan. Protease tipe 1 memotong ikatan peptida antara
prolyl dan seryl, sedangkan protease tipe 2 memotong ikatan peptida antara prolyl dan
threonyl. Daerah pemotongan ini tidak terdapat pada human IgA2 sehingga protease yang
dihasilkan N. gonorrhoeae tidak dapat memotong isotype pada IgA2. Hasil terpisah dari
pemotongan IgA1 ini ditemukan pada sekresi genital wanita yang terjangkit penyakit
gonorrhea dan dapat menandakan bahwa sedang terjadi proses infeksi pada organ genital. [5]
J. Pemeriksaan Laboratorium
K. Kultur
7

L.

Metode pemeriksaan laboratorium yang sering digunakan untuk

mendiagnosis infeksi gonorrhea adalah kultur. Kultur ini dilakukan dengan mengidentifikasi
mengisolasi isolat dan mengidentifikasi agen infeksi. Kultur isolat ini dilakukan penting
untuk mengetahui agen infeksi, antimikroba yang digunakan untuk terapi, uji kerentanan,
mendeteksi kegagalan dari terapi yang diberikan, dan karakteristik wabah. [6]
M.

N.

Beberapa metode tersedia untuk mengkonfirmasi identitas dari bakteri

Neisseria gonorrhoeae, yaitu diantaranya terdapat uji biokimia, uji serologic, dan uji asam
nukleat. Pada uji biokimia, Neisseria gonorrhoeae dapat dibedakan dari spesies Neisseria,
spesies Moraxella, spesies Kingella lainnya. Hal ini didasari kemampuan Neisseria

gonorrhoeae yang dapat tumbuh pada media yang selektif maupun tidak selektif,
memproduksi asam dari glukosa, mengurangi nitrit, dan mengekspresikan DNase. [6]
O.
Pada uji serologic terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
antibodi fluoresensi. Pemeriksaan antibodi fluorensesi dilakukan dengan mengikat antibodi
yang spesifik terhadap bakteri Neisseria gonorrhoeae pada protein IA dan IB (Por atau

protein yang berada di membran luar bakteri). Ketika diamati dibawah mikroskop
fluoresensi, kultur positif terhadap Neisseria gonorrhoeae akan berfluoresensi hijau apel dan
bentuk bakteri seperti diplococci.[6]
P.
Q.
Metode deteksi molekular diperbolehkan untuk diagnosis yang lebih cepat
dan spesifik terhadap patogen yang tidak dapat dikultur. Metode pengujian asam nukleat
dikembangkan untuk mendeteksi patogen yang menyebabkan infeksi penyakit menular
seksual secara cepat , sensutivitas yang tinggi, dan spesifik dalam pemeriksaan spesimen
klinis. [6]

R.
S. Manifestasi klinis

10

T.
U.

Masa inkubasi gonorrhea sangat singkat, pada pria berkisar antara 2-5

hari, pada wanita masa inkubasi sulit ditentukan karena umumnya asimptomatis. Infeksi
Neisseria gonorrhoeae pada pria bersifat akut yang didahului rasa panas di bagian distal
uretra di sekitar orifisium uretra eksternum (OUE), diikuti disuria dan polakisuria. Pada
pemeriksaan tampak OUE kemerahan dan edem. Terdapat duh tubuh yang bersifat purulen
atau seropurulen. Pada beberapa keadaan duh tubuh keluar bila dilakukan pemijatan atau
pengurutan korpus penis ke arah distal, tetapi pada keadaan penyakit yang lebih berat nanah
tersebut menetes keluar dengan sendirinya dan sering diikuti timbulnya pembesaran kelenjar
getah bening inguinal medial unilateral atau bilateral. Komplikasi akan timbul jika uretritis
tidak cepat diobati atau mendapat pengobatan yang kurang akurat. Komplikasi uretritis
gonorrhea pada umumnya bersifat lokal, yang terjadi dapat berupa: tysonitis, para uretritis,
11

litritis, cowperitis, prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis, cysititis, dan prokitis.


Sedangkan komplikasi ekstra genital merupakan perluasan infeksi secara hematogen ke
seluruh tubuh sehingga dapat menimbulkan meningtis, arthritis, miokarditis, konjunctivis.
Komplikasi lanjut infeksi gonorrhea pada pria dapat menimbulkan kemandulan jika terjadi
bilateral epididimitis. [5][7]
V.
Pada wanita gejala klinis subjektif dan objektif jarang didapatkan. Infeksi
pada wanita dapat mengenai serviks dengan gejala utama meliputi duh tubuh vagina yang
berasal dari endoservistis yang bersifat purulen dan agak berbau namun pada beberapa pasien
kadang-kadang mempunyai gejala yang minimal. Kemudian timbul disuria dan dispareunia.
Jika ini asimptomatis maka dapat berkembang menjadi Pelvic Inflammatory Disease (PID).
Nyeri ini bisa merupakan akibat dari menjalarnya infeksi ke endometrium, tuba fallopi,
ovarium, dan peritoneum. [5][7]
W.

12

X. Penatalaksanaan Terapi Farmakologi dan Non-Farmakologi


Y. Terapi Farmakologi
Z. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk mengobati gonorrhea

A. Recommended Regimens

Uncomplicated

AA.

GonococcalInfections

B. Ceftriaxone250mgIMinasingledose
C. OR,IFNOTANOPTION
D. Cefixime400mgorallyinasingledose
E. OR
F. Singledoseinjectiblecephalosporinregimens
G. PLUS
H. Azithromycin1gorallyinasingledose
I.

AB.
AC.

Pada terapi gonorrhea pemilihan

OR

13
J.

Doxycycline100mgorallytwiceadayfor7days

antibiotik ditentukan dari kerentanan antibiotik atauresistensi galur Neisseria gonorrhoeae


terhadap antibiotik, dan tempat infeksinya.[11]
AD.
Terapi dual antibiotik
AE.
Pasien yang terinfeksi N. gonorrhoeae sering disertai dengan infeksi C.
trachomatis. Dari temuan tersebut pasien yang dirawat karena infeksi gonococci juga di
rawat secara rutin dengan rejimen yang efektif terhadap uncomplicated genital C. trachomatis
infection. [8]
AF.Antibiotik yang digunakan dalam terapi dual antibiotik :
AG. Ceftriaxonedari pengalaman klinis yang
ekstensif menunjukkan bahwa ceftriaxone aman
dan efektif untuk pengobatan gonorhea tanpa
komplikasi,

menyembuhkan

99,2

dari

urogenital rumit dan anorektal dan 98,9 % dari


AH.

infeksi faring dalam uji klinis. [10]


Azitromisin direkomendasikan sebagai co-treatment terlepas dari pengujian klamidia,

untuk menunda timbulnya cephalosporin resistance. Ada beberapa bukti in vitro sinergi
antara azitromisin dan sefalosporin , dan peningkatan pemberantasan faring gonore telah
dilaporkan ketika azitromisin dikombinasikan dengan cephalosporin.[10]
AI.
AJ.
AK.
AL.
tunggal.
AN.

Terapi alternatif
AM.
Antibiotik yang digunakan harus disertai dengan azitromisin 1 g oral dosis
Pasien dengan gejala yang bertahan setelah pengobatan harus dievaluasi dengan

culture untuk N. gonorrhoeae, dan setiap gonokokus terisolasi harus diuji untuk kerentanan
antimikroba . [8]

14

AO.

Terapi antibiotik pada penderita yang alergi terhadap cephalosporin


AP.

Pada pasien alergi cephalosporin pemilihan antibiotik azithromycin

menjadi pilhan yang tepat dengan dosis 2,0 g. Dosis tinggi azitromisin (2,0 g sebagai dosis
tunggal) telah menunjukkan efikasi diterima dalam uji klinis , namun dikaitkan dengan high
gastrointestinal intolerance. Dosis azithromycin dinaikkan agar keefektifan pengobatan
menjadi lebih optimal. Kemanjuran klinis azitromisin tidak selalu berkorelasi dengan uji
sensitivitas secara in vitrodan tingkat resistensi azitromisin telah diamati di UK tinggi. Dosis
tunggal azitromisin 1,0 g saja tidak dianjurkan sebagai pengobatan untuk gonore. [10]

AQ.

[9]

AR.

Terapi antibiotik pada penderita pharyngenal gonorrhea

AS.

Pemilihan antibiotik sefalosporindipercaya bisa menyembuhkan > 90 %

infeksi faring gonokokal. [9]

15

AT. Terapi antibiotik pada penderita PID[9]

16

AU.

Terapi antibiotik pada Ibu hamil


AV.

Seperti dengan pasien lain , ibu hamil yang terinfeksi N. gonorrhoeae

harus diberikan pengobatan dengan sefalosporin yang direkomendasikan ataupun


alternatif . Pemilihan antibiotik Azitromisin 2 g secara oral dapat dipertimbangkan untuk
wanita yang tidak bisa mentolerir cephalosporin.[8]

AW.

Terapi antibiotik pada penderita Gonococcal Conjunctivitis


AX.

Recommended

Regimen
AY.

Ceftriaxone 1gIMina

singledose

AZ.

Dalam penelitian yang diterbitkan, pengobatan konjungtivitis gonokokal

di kalangan orang dewasa AS menggunakan ceftriaxone 1,0 g IM dalam dosis tunggal.[8]


BA.

17

BB.

Terapi antibiotik pada penderita Disseminated Gonococcal Infection (DGI)


BC.

Semua rejimen sebelumnya harus dilanjutkan selama 24-48 jam setelah

perbaikan dimulai, pada saat terapi dapat beralih ke cefixime 400 mg oral dua kali sehari
untuk menyelesaikan minimal 1 minggu terapi antimikroba . Tidak ada kegagalan
treatment dilaporkan dengan regimen yang direkomendasikan .[8]
BD.
BE.

RecommendedRegimen
Ceftriaxone1gIMinasingle
dose

BF.
BG.

K. AlternativeRegimens

BH.

L. Cefotaxime1gIVevery8hours

BI.
BJ.

M. OR
N. Ceftizoxime1gIVevery8hours

BK.
BL.

Terapi antibiotik pada penderita Gonococcal Meningitis and Endocarditis


BM. Terapi untuk meningitis harus dilanjutkan selama 10-14 hari. Terapi untuk

endokarditis harus dilanjutkan selama minimal 4 minggu.Treatment untuk complicated


DGI harus dikonsultasikan dengan spesialis penyakit menular .[8]
BN.

RecommendedRegimen

BO.

Ceftriaxone 12 g IV every 12

hours

BP.
BQ.
18

BR.
BS.

Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki gonore tidak diobati berisiko tinggi

terinfeksi.[8]
BT.

O. Recommended Regimen in the Absence of Signs of

GonococcalInfection

BU.
BV.

P. Ceftriaxone 2550mg/kgIVorIM,nottoexceed125mg,ina
singledose

BW.
Q.

BX.
BY.Terapi antibiotik penderita infeksi Gonococcal pada anak-anak[8]

BZ.
CA.

TerapiNonFarmakologi

Menjauhkan diri dari hubungan seksual sampai terapi selesai dan sampai pasien dan
pasangan seks pasien tidak lagi memiliki gejala.
19

Menjaga kebersihan kelamin.[8]

CB.
CC.

CE.

Outcome

Menghilangkan gejala yang menggangu pasien


Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut [8]
CD.
Contoh Kasus dan Pembahasan
CF.
Seorang pria berusia 20 tahun datang ke klinik kulit dan kelamin, memiliki

keluhan purulent discharge dari penis yang menyebabkan bercak pada celana dalamnya,
terutama pada pagi hari. Pria tersebut merasakannya sejak 5 hari yang lalu. Pasien merasakan
sakit ketika buang air kecil, dan terasa sensasi terbakar di sepanjang penis ketika buang air
kecil, nyeri pada skrotum dan muncul benjolan di sela-sela paha kiri. Aktivitas seksual
terakhir pasien adalah 10 hari yang lalu dengan pasangan homoseksual barunya. Sebelumnya
pasien biasa melakukan aktivitas seksual dengan pasangan homoseksualnya yang permanen,
dengan frekuensi 2 kali dalam sebulan dan sudah berlangsung selama 1 tahun, tetapi tidak
ada keluhan dari pasangan. Pasien biasanya melakukan hubungan seksual secara anal dan
kadang-kadang secara oral. Kondisi pasien secara umum baik, sadar, dan semua tanda vital
dalam batas normal. Pemeriksaan kelamin menunjukkan adanya erythematous external
urethral orifice, edema, tanpa sekresi, tetapi setelah dilakukan milking pada corpus penis
outwards, tampak adanya sekresi purulenta dari external urethral orifice (Fig.1a).Scrotum kiri
terlihat membengkak dan terjadi inflamasi dengan inguinal lymphadenitis (Fig.1b).
CG. Dilakukan pewarnaan gram dan menunjukkan bakteri gram negative diplococcus
pada intraseluler dan ekstraseluler bakteri yang menandakan terdapat bakteri Neisseria

gonorrhoeae (Fig.2), diikuti dengan pengujian kultur gonnorhea, kultur dan sensitivitas
bakteri aerob dan anaerob, VDRL, TPHA, pemeriksaan urin lengkap, dan pemeriksaan darah
20

reguler. Hasilnya terjadi leucocyturia dan proteinuria, mengindikasikan urinary tract infection
(UTI) (detail: proteins +++ 300 mg/dl, blood +10 RBC/ul, leucocytes +++500 WBC/ul,
sediment filled leucocytes/large field view, 2-3/large field view erythrocyte sediment,
sediment 1-2/ large field view epithelial cells). Diagnosa pasien yaitu urethritis gonnorhea.
CH.
Azithromycin 2g dosis tunggal diberikan untuk pasien, yang merupakan treatment
untuk Gonnorhea dan diberikaan bersamaan secara simultan dengan rejimen yang tepat untuk
Chlamydia trachomatis, karena infeksi ini sering terjadi bersamaan dengan Gonnorhea. Nyeri
yang dirasakan pasien diobati dengan asam mefenamat 500mg, 3 kali sehari. [5]
CI.
Berdasarkan California Gonnorhea Treatment Guidelines, first-line terapi

untuk Gonnorhea adalah Ceftriaxone. Pada kasus ini pasien diberikan Azithromycin yang
merupakan second-line untuk terapi Gonnorhea dan pemberian obat ini tepat apabila pasien
mengalami resistensi ataupun alergi terhadap antibiotik golongan cephalosporin. Karena pada
kasus ini tidak dijelaskan bahwa pasien mengalami alergi dan resistensi cephalosporin, maka
kami menyarankan untuk menggunakan ceftriaxone karena dibandingkan dengan
azithromycin tingkat keberhasilan terapi menggunakan ceftriaxone lebih tinggi. Ketepatan
pemberian dosis azithromycin ini sudah tepat, karena berdasarkan guideline yaitu sebanyak
2g.
CJ.
CK.
CL.
CM.
CN.

21

CO. Daftar pustaka


1. Sparling, P.F., Biology of Neiserria gonnorhoeaea. Dalam; Holmes, K.K., Sparling, P.F.,
CP.
Stamm, W.E., Piot, P., editor, 2008, Sexually Transmitted Disease, Edisi 4,
McGraw-Hill, New York, pp. 608, 631-640.
CQ.
2. CDC,
2014,
Centers
for
Disease
Control
and
Prevention,
CDC,
http://www.cdc.gov/std/gonorrhea/STDFact-gonorrhea.htm,diakses tanggal 17 Febuari
2015.
CR.
3. MedlinePlus, 2015, U.S. National Library of Medicine, MedlinePlus,
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/gonorrhea.html, diakses tanggal 17 Febuari 2015.
CS.
4. WHO, 2008, Global Incidence and prevalence of Selected Curable Sexually Transmitted
Infections, Department of Reproductive Health and Research, Switzerland, pp.3-15.
CT.
5. Baron,
S.,
1996,
Medical
Microbiology,
4th
Edition,
PubMed,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7650/, diakses tanggal 18 Febuari 2015.
CU.
6. L-K Ng, and IE Martin, 2005, The laboratory diagnosis of Neisseria gonorrhoeae, Can J
Infect Dis Med Microbiol 16(1):15-25.
CV.
7. Wong
et
al,
2014,
Gonorrhea Clinical
Presentation,
Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/218059-clinical, diakses tanggal 17 Febuari 2015.
CW.
8. CDC, 2010, Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, Centers for Disease
Control and Prevention, Atlanta, pp. 50-51, 53-55.
CX.
9. CDPH, 2013, California Gonorrhea Treatment Guidelines, California department of
public health, California, pp. 5-7.
CY.
10. Bignell, C., and M. FitzGerald, 2011, UK national guideline for the management of
gonorrhoea in adults, Nottingham University Hospitals NHS Trust, Nottingham ,
pp.544-555.

CZ.
11. Manitoba Health and Healthy Living, 2014, Gonorrhea, Public Health and Primary
Health Care Division Communicable Disease Control , Winnipeg, Canada, pp.7-8.
DA.
12. Hatta, T.H., Amiruddin, M.d., dan Adam, M.A., 2012, Urethritis Gonnorrhea in
Homoseksual, IJDV, 1 (1), 73-77.
DB.
DC.

22

Вам также может понравиться