Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Keywords: waste, textile industry, the nutritional value of the coefficient of bioindicator
INTISARI
Industri tekstil menghasilkan limbah cair berwarna yang dapat menyebabkan pencemaran
air dan bersifat toksis bagi bioindikator (ganggang dan ikan). Penelitian ini menggunakan ikan
sebagai bioindikator untuk menentukan tingkat pencemaran limbah industri yang dibuang ke
sungai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pencemaran air di Sungai Blader di
Cilacap setelah menerima limbah industri tekstil, berdasarkan koefisien nilai nutrisi (NVC: Nutrition
Value Coeficient) ikan yang hidup di sungai ini, serta mengetahui kualitas air sungai tersebut
berdasarkan parameter fisik dan kimia.
Lokasi Penelitian adalah di Sungai Blader Cilacap yang merupakan tempat pembuangan
limbah cair industri tekstil. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap selama tiga bulan. Tahap
pertama adalah penentuan koefisien nutrisi bioindikator (ikan uji) dan pemeriksaan kualitas air
Sungai Blader yang dilakukan di lokasi penelitian. Tahap kedua adalah analisis limbah industri
tekstil di Laboratorium Teknik Lingkungan IST AKPRIND Yogyakarta. Tahap terakhir adalah
analisis data dan pembuatan laporan penelitian.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa limbah cair industri tekstil yang dibuang di Sungai
Blader Cilacap, dapat menurunkan koefisien nilai nutrisi ikan uji (ikan betik / Anabas testudineus,
BL) menjadi 1,53- 1,63 yang berarti tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi manusia. Dilihat dari
parameter temperatur, pH, CO2, kekeruhan dan O2 terlarut kualitas air Sungai Blader di lokasi
pembuangan limbah industri tekstil, mengalami pencemaran lebih berat dibandingkan lokasi
pengamatan lain. Limbah industri tekstil yang dibuang di Sungai Blader Cilacap, sebagian
parameternya masih memenuhi syarat baku mutu air limbah yang berlaku di Jawa Tengah, hanya
ada tiga parameter yang melebihi standar baku yaitu COD, pH air, dan ammonia bebas.
Kata kunci:, limbah industri tekstil, koefisien nilai nutrisi bioindikator
129
PENDAHULUAN
Pencemaran
lingkungan
akibat
industri tekstil adalah berupa pencemaran
debu yang dihasilkan dari penggunaan mesin
berkecepatan tinggi dan limbah cair yang
berasal dari tumpahan dan air cucian tempat
pencelupan larutan kanji dan proses
pewarnaan. Zat warna tekstil merupakan
gabungan dari senyawa organik tidak jenuh,
kromofor dan auksokrom sebagai pengaktif
kerja kromofor dan pengikat antara warna
dengan serat. Kapas mentah mengandung
kotoran seperti lilin kapas, zat-zat lemak,
senyawa pektin, protein, debu dan tanah.
Oleh karena itu akan lebih baik jika dipasang
alat pengumpul debu kering agar lingkungan
kerja menjadi bersih dari debu. Kandungan
limbah yang dihasilkan dari proses
pewarnaan tergantung pada pewarna yang
digunakan misalnya zat warna indigo
(C12H10N12O12) dan sulfur. Limbah-limbah
yang dihasilkan suatu industri, akan dialirkan
ke kolam-kolam penampungan
dan
selanjutnya dibuang ke sungai.
Beberapa kelompok organisme yang
dapat
dijadikan
sebagai
bioindikator
pencemaran air adalah algae, bakteri,
protozoa, makroavertebrata dan ikan (Sjoo
dan Mrk, 2009). Selama ini pengaruh
limbah toksis terhadap ikan serta jenis-jenis
organisme akuatik yang lain merupakan
bahan penelitian yang menarik. Hal ini
disebabkan organisme akuatik terutama ikan
adalah bioindikator pencemaran air yang
paling baik (Alkassasbeh et al., 2009). Atas
dasar pemikiran ini, maka penelitian ini
menggunakan ikan sebagai bioindikator
untuk menentukan tingkat pencemaran
limbah industri tekstil yang dibuang ke
perairan atau sungai.
Limbah tekstil merupakan limbah yang
dihasilkan dalam proses pengkanjian,
penghilangan
kanji,
penggelantangan,
pemasakan,
merserisasi,
pewarnaan,
pencetakan dan proses penyempurnaan.
Proses penyempurnaan kapas menghasilkan
limbah yang lebih banyak daripada limbah
dari proses penyempurnaan bahan sintesis.
Pemasakan dan merserisasi kapas serta
pemucatan semua kain adalah sumber
limbah
cair
yang
penting,
karena
menghasilkan asam, basa, COD, BOD,
padatan tersuspensi dan zat-zat kimia.
Gabungan air limbah pabrik tekstil di
Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/L
padatan tersuspensi dan 500 mg/L BOD.
Perbandingan
130
Pratiwi, Penentuan Tingkat Pencemaran Limbah Industri Tekstil Berdasarkan Nutrition Value
Coeficient Bioindikator
ikan seperti macrocrustacea, microcrustacea,
zooplankton dan algae dapat mati akibat
senyawa beracun yang dikandung air limbah
(Alkassasbeh et al., 2009).
Di
perairan
yang
mengalami
pencemaran, aktivitas ikan akan menurun
antara lain berupa gangguan pada pola
berenang dan respirasi. Terganggunya
proses-proses perkembangan ikan akan
mengakibatkan hubungan antara panjang
tubuh dan berat badan ikan tidak lagi
mempunyai rasio yang terletak pada kisaran
yang menunjukkan kondisi ikan yang sehat.
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
penurunan nilai nutrisi ikan-ikan tersebut.
Dengan demikian koefisien nilai nutrisi ikan
dapat
memberikan
gambaran
kasar
mengenai: kualitas air dengan tingkat
ketersediaan nutrien bagi ikan atau tingkat
daya dukung lingkungan perairan terhadap
kehidupan
ikan
ditinjau
dari
sudut
ketersediaan nutrien atau tingkat daya
dukung lingkungan perairan terhadap fungsi
normal organ sensorik ikan yang berfungsi
deteksi.
Lucky (1977) mengemukakan suatu
formula Fulton untuk menghitung koefisien
nilai nutrisi (NVC) ikan. Untuk menghitung
NVC ikan, diukur berat tubuh ikan (dalam
gram) dan panjang tubuh ikan (dalam cm)
yang diukur dari ujung kepala (moncong)
sampai ujung sirip ekor (pinna caudalis) yang
terentang normal. Dalam pengukuran ini,
ikan harus dalam keadaan hidup.
NVC:
berat x 100
(panjang)3
131
mengurangi kesalahan dalam penelitian. Ikan
betik ini dipilih sebagai bioindikator karena
hamper di sepanjang aliran Sungai Blader ini
didapatkan spesies ini.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan parameter fisika
Para
meter
Temperatur (0C)
Rata-rata
Kekeruhan (ppm)
Rata-rata
K
29,1
30,6
30,2
28,9
29,7a
259
266
270
263
264,50a
Lokasi Pengamatan
I
II
III
33,3
32,7
29,7
35,0
31,7
30,4
34,2
32,1
30,4
36,1
30,9
31,3
c
b
34,65
31,85
30,45b
IV
30,0
29,5
30,1
30,6
30,05a
285
307
275
290
289,25b
284
275
291
269
279,75a
326
331
325
320
325,50c
288
251
280
271
272,50a
Keterangan:
Angka-angka dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata
K: kontrol
Tabel 2. Hasil pemeriksaan parameter kimia
Para
mete
r
CO2
terlarut
(ppm)
Ratarata
Oksigen
terlarut
(ppm)
Ratarata
pH
Lokasi Pengamatan
I
II
III
Nikel
Perak
Raksa
Seng
Tembaga
Timbal
Ammonium bebas
Flourida
Nitrit
Phosphat
Sulfida
Kebutuhan kimia
akan O2
Uji metilen biru
Zat yg teroksidasi
dengan KMnO4
Zat tersuspensi
KIMIA ORGANIK
Kebutuhan Biologi
akan O2 dalam
waktu 5 hari pada
suhu 200C
Hidrokarbon
Minyak dan lemak
Phenol
Sianida
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
0,1
0,1
1,0
1,0
1,0
0,1
2,0
1,0
2,0
0,1
80,0
0,0
0,0
0,0275
0,0
0,0
0,278
0,210
0,011
0,35
0,0
249,2
mg/L
mg/L
90,0
20,0
Negative
18,06
4,7
mg/L
30,0
20,0
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
10,0
10,0
0,1
0,1
0,322
0,0
IV
kadar ammonia be
ebas telah melebihi
m
baku
u
ebas yang tin
nggi menurutt
mutu. ammonia be
Eckenffelder (2003)) umumnya
a terkandung
g
dalam air limbah yang sudah lam
ma.
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
Lokkasipengamataan
mbar 1. Grafik temperatur air
a rata-rata
Gam
matan
pada setiap lokasi pengam
ar 1 dapat dilihat
d
bahwa
a
Dari Gamba
temperratur air di lo
okasi pengam
matan kontrol,,
dengan
n analisis RCBD
R
dan uji Duncan,,
menun
njukkan hasil yang tidak be
erbeda nyata
a
dengan
n temperatur di lokasi pengamatan IV
V
yaitu
9,70-30,050C.
berkisar
antara
29
Demikiian juga anta
ara lokasi pe
engamatan III
dan III mempunya
ai temperaturr yang tidakk
da nyata yaitu sekitar 30,45 -31,850C..
berbed
lokasi
pen
Semen
ntara
di
ngamatan
I
mempu
unyai temperratur yang te
ertinggi yaitu
u
34,650C.
C Hal ini diiduga diseba
abkan karena
a
lokasi ini merupak
kan tempat pembuangan
n
limbah tekstil yang prosesnya membutuhkan
m
n
temperratur tinggi.
s
ini kemungkinan
k
n
Keadaan seperti
akan mempengaruh
m
hi distribusi tu
umbuhan dan
n
hewan, dalam hal derajat meta
abolisme dan
n
p
te
ertentu yang
g
reproduksi. Ada pencemar
ahan sistem
m
hanya menyebabkkan peruba
u dalam tub
buh ikan se
eperti sistem
m
tertentu
syaraf, pernafasan, enzimatik da
an lainnya.
350
0
300
0
250
0
200
0
150
0
100
0
50
0
0
Lo
okasipengamaatan
Ga
ambar 2.Grafik kekeruhan air rata-rata
gamatan
pada setiap lokasi peng
Dari Gam
mbar 2 dapat dilihat bahw
wa
keke
eruhan di loka
asi pengamattan kontrol da
an
IV, berkisar
b
antara 264,50-325
5,50 ppm. Hasil
analiisis statistik dengan RCBD
R
dan uji
Dunccan, menunju
ukkan bahwa
a kekeruhan di
lokassi pengamata
an III dan IV tidak berbed
da
nyata
a dengan lokkasi lainnya. Perbedaan
P
da
an
kesa
amaan nilai kkekeruhan airr pada masin
ngmasiing
lokasi
pengama
atan
didug
ga
dipen
ngaruhi oleh beberapa fak
ktor antara la
ain
teksttur material yyang ada di dasar sunga
ai,
kece
epatan arus, limbah ind
dustri, musim
m,
volum
me air, ada tid
daknya air terrjun.
Kematian
n ikan dapat terjadi karen
na
tingkkat kekeruha
an tinggi sebagai akib
bat
rongga operculum
m dan lembarran insang ika
an
elubung
ole
eh
partikel--partikel
da
ari
terse
pada
atan terlarutt. Kekeruha
an di loka
asi
peng
gamatan I-IV dan kontrol, kemungkina
an
berpengaru
tidakk
begitu
uh
terhada
ap
kese
ehatan ikan yang
y
tertangkap di Sung
gai
Blader.
14
12
10
8
6
4
2
0
Kontrol
II Lokkasipengamata
III
IV an
13
33
Dari Gambar 3 dapat dilih
hat bahwa
h dianalisis statistik
CO2 terlarut setelah
dengan RCBD
R
dan Uji Duncan, ternyata
antara CO
O2 terlarut di lokasi pengamatan II
dan IV tid
dak berbeda nyata, seda
angkan di
lokasi pengamatan I, III dan kon
ntrol satu
n berbeda ny
yata. Kandun
ngan CO2
sama lain
terlarut di lokasi penga
amatan kontrrol sampai
IV berkisa
ar antara 7,93-12,98 ppm. Kadar
CO2 terlarrut yang ama
an bagi kehidupan ikan
menurut Alkassasbeh
A
e al. (2009) adalah
et
a
12
ppm, sehingga diangg
gap bahwa ka
andungan
CO2 terlarrut dilokasi pengamatan
p
kontrol,
k
II,
III dan IV masih cukup
p baik bagi kehidupan
k
ikan. Sem
mentara itu di lokasi peng
gamatan I
yang me
engandung CO
C 2 terlarut sebesar
12,98 pp
pm diduga kurang ba
aik untuk
kehidupan
n ikan tetapi belum
b
dapat dikatakan
tercemar, sebab menu
urut Alkassasbeh et al.
(2009) perairan
p
sud
dah dapat dikatakan
tercemar apabila kan
ndungan CO
O2 terlarut
mencapai 20 ppm.
M
Meningkatnya
kadar CO2 terlarut
t
di
dalam air diduga karena
k
men
ningkatnya
proses
dilakukan
biooksidasi
yang
mikroorga
anisme yan
ng meliputi proses
organik yan
oksidasi bahan-bahan
b
ng dibawa
oleh limba
ah tersebut. Makin
M
tinggi ka
andungan
bahan organik
o
dalam limbah, berarti
kemungkinan kandung
gan CO2 terla
arut akan
semakin tinggi.
t
Selain itu proses siintesis sel
dan prosses oksidasi sel yang dilakukan
secara
mikroorga
anisme
perairan,
keseluruhan dapat me
eningkatkan kadar
k
CO2
terlarut. Secara sed
derhana rea
aksi-reaksi
yang menghasilkan CO
C 2 terlarut menurut
M
(2009) adalah
a
sepertti ditulis di
Sjoo dan Mork
bawah ini..
1) Oksida
asi bahan organik:
(CH2O)n +nO2 Enz
zime nCO2 + nH2O +
panas
2) Oksida
asi seluler:
Sel + O2 Enzime
panas
3) Sintesiis seluler
(CH2O)n + NH3 + O2
CO2 + H2O + panass
Enzime
Sel +
Selama berlangsungn
nya proses oksidasi
b
aka
an terbentuk hasil-hasil
tersebut biasanya
sampingan yang bersifat sementara seperti
ammonia (NH3), H2S dan alkohol yang
a menimbulkkan bau bu
usuk dan
umumnya
bersifat to
oksis sehing
gga dapat mematikan
m
organisme
e yang ada di perairan ters
sebut.
134
6
5
4
3
2
1
0
Lokasip
pengamatan
n
Gamba
ar 4. Grafik O2 terlarut rata
a-rata pada
setiap lokasi pengamata
an
Dari Gambar 4 dapat diilihat bahwa
hasil re
erata pengu
ukuran oksig
gen terlarut
setelah dianalisis sta
atistik dengan
n RCBD dan
Uji Dun
ncan, menun
njukkan tidak
k ada beda
nyata an
ntara kelima lokasi pengamatan. Nilai
oksigen terlarut berva
ariasi dari yan
ng terendah
yaitu di lokasi peng
gamatan I se
ebesar 3,92
ppm, dan yang tertinggi di lokasi
matan IV sebesar 4,81
4
ppm.
pengam
Menurunnya kandun
ngan oksigen
n terlarut di
dalam suatu peraiiran dapat disebabkan
mar. Disampiing itu, zat
adanya zat pencem
mar yang ada terutama di permukaan
pencem
air, dap
pat mengahallangi difusi oksigen
o
dari
udara dan dapa
at menaikka
an jumlah
mikroorg
Kandungan
ganisme
perairan.
oksigen terlarut ya
ang terendah
h di lokasi
matan I kem
mungkinan disebabkan
pengam
karena pada lokasi ini merupakan tempat
angan limbah
h tekstil sehin
ngga masih
pembua
banyak mengandung
g zat pencema
ar.
Ditinjau darri kandunga
an oksigen
terlarut, keadaan p
perairan Sun
ngai Blader
ap masih cukkup baik bagi kehidupan,
diangga
terutama
a ikan. Ikan umumnya memerlukan
m
minimal 3 ppm okssigen terlaru
ut, dan jika
d
itu dapatt menaikkan
konsenttrasi kurang dari
tingkat
toksisitas
unsur-un
nsur
lain
Alkassa
asbeh et al. (2009). Jika kebutuhan
oksigen ini tidakk seimbang
g dengan
masuknya oksigen dari udarra maupun
air
s
fotosinte
esis
tumbuhan
aktivitas
(fitoplan
nkton), maka akan terjadi penurunan
kandung
gan oksigen terlarut den
ngan cepat,
dan
akan
me
enyebabkan
sebaliknya
meningkkatnya BOD perairan dengan cepat
pula (Sjo
oo dan Mork, 2009).
Ta
abel 4. Hasil p
penghitungan NVC ikan uji
10
Para
ameter
NVC
C
ikan
n uji
8
6
4
2
0
Rata
a-rata
Lokasip
pengamatan
n
Gambar 5. Grafik pH rata-rata pada
p
setiap
lokasi pengamatan
Dari Gamba
ar 5 dapat dilihat
d
bahwa
a
n
derajatt keasaman di lokasi pengamatan
kontrol mendekati netral, seda
angkan pada
a
I, II, III da
an IV di atass
lokasi pengamatan
etral (basa) yang nilain
nya berkisarr
pH ne
antara 8,25 8,96. Hal ini diduga akibatt
a buangan limbah yang bersifat
b
basa
a
adanya
yang berasal
b
dari in
ndustri tekstill yang berdirii
disekita
ar Sungai Blader, yang dalam
d
prosess
produk
ksinya sebag
gian besar menggunakan
m
n
zat kim
mia yang berssifat alkalis seperti
s
NaOH
H
dan gllauber salt. Pernyataan ini diperkuatt
oleh pendapat
p
Co
onnell, dan Miller
M
(1995))
yang menyatakan
n bahwa penggunaan
n
bahan--bahan kimia
a dalam pro
oses industrii
akan mempengaru
m
hi sifat kimia
a air limbah
h
yang dihasilkan, terutama pH.
pH air sun
ngai kemung
gkinan amatt
berpera
anan
dalam
m
mengub
bah
sistem
m
kehidupan
maupun
metabo
olisme
tiap
p
individu
u, walaupun
n belum menyebabkan
m
n
lethalita
as bagi org
ganisme akuatik. Batass
toleran
nsi perairan terhadap pH adalah
h
bervariiasi dan dipe
engaruhi oleh faktor suhu,
alkaliniitas, oksigen
n terlarut dan
d
adanya
a
berbag
gai kation, anion serta
a jenis dan
n
stadium
m
organissme.
Sementara
itu
u
Eckenffelder (2003
3) berpenda
apat bahwa
a
tinggi rendahnya pH
p perairan dipengaruhii
oleh
konsentrassi
karbona
at
terlarut,,
bikarbo
onat, serta CO2 bebas yang pada
a
dasarn
nya menjadi buffer alami dalam
m
peraira
an. Sejauh ini perub
bahan atau
u
kenaika
an pH yang terjadi
t
masih berada pada
a
kisaran
n nilai yang masih dapa
at ditoleransii
oleh ika
an antara 6,5
5 8,2.
K
1,83
Lokasi Pe
engamatan
I
II
III
1,53
1,,55
1,51
IV
1,65
1,84
1,56
1,,53
1,52
1,67
1,82
1,55
1,,52
1,56
1,65
1,84
1,49
1,,61
1,69
1,63
1,65
1,83
1,53
1,5
55
1,57
1.9
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
Lokkasipengamaatan
Gambar
G
6. Gra
afik NVC ikan
n uji rata-rata
padasetiap
p lokasi pengamatan
13
35
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa
hasil penghitungan NVC ikan uji di lokasi
pengamatan I, II, III, IV didapatkan rerata
sebesar 1,53; 1,55; 1,57 dan 1,65, kondisi
ini dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat
kesehatan,
berarti
dapat
dianggap
mempunyai nilai gizi yang rendah karena
bagian tubuh ikan yang dapat dimakan
kurang berkembang atau mengalami reduksi
yang diduga akibat adanya zat pencemar
yang ada. Bagian yang dapat dimakan
diantaranya adalah jaringan otot dan lemak,
sudah
berkurang
sehingga
dapat
mengurangi kandungan gisi ikan. Apabila
ditinjau daya dukung lingkungannya, pada
lokasi pengamatan ini dapat dikatakan
kurang mendukung bagi kehidupan ikan
terutama ikan betik. Setelah dilakukan uji
korelasi antara masing-masing tolok ukur
pencemaran air dengan NVC ikan betik
sebagai ikan uji, ternyata didapatkan korelasi
negatif
terhadap temperatur, pH, CO2
terlarut, dan kekeruhan air. Sementara itu
antara oksigen terlarut dengan NVC ikan uji
menunjukkan adanya korelasi positif.
Pratiwi, Penentuan Tingkat Pencemaran Limbah Industri Tekstil Berdasarkan Nutrition Value
Coeficient Bioindikator
pencemaran
lebih
berat
dibandingkan lokasi pengamatan 2,
3. 3, 4 dan control. Limbah industri
tekstil yang dibuang di Sungai Blader
Cilacap, sebagian parameternya
masih memenuhi syarat baku mutu
air limbah yang berlaku di Jawa
Tengah, hanya ada tiga parameter
yang melebihi standar baku yaitu
COD, pH air, dan ammonia bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Alkassasbeh, J.Y.M., Heng, L.Y., and Surif,
S., 2009, Toxicity Testing and the
Effect of Landfill Leachate in Malaysia
on Behavior of Common Carp
(Cyprinus
carpio
L.,
Pisces,
Cyprinidae), American Journal of
Environmental Sciences, volume 5,
Issue: 3, pp.: 209-217.
Connell, W. D. dan Miller, J. G.,1995, Kimia
dan
Ekotoksikologi
Pencemaran,
Penerjemah
Yanti
Koestoer,
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Eckenfelder Jr, W.W., 2003, Industrial Water
Pollution Control, McGraw-Hill Book
Co: Singapore.
Risnandar, H. dan Kurniawan, K., 1998,
Penyerapan Zat Warna Tekstil dengan
Menggunakan Jerami Padi, Laporan
Penelitian, FT Undip, Semarang.
Lucky Z., 1977, Methods for the Diagnosis of
Fish Disea,. United State Department
of the Interior and the National Science
Foundation, Washington DC by
America Publishing Co Pvt., pp.:40-41,
46-47, New Delhi.
Sjoo, G.L. and Mrk E., Tissue Nutrient
Content in Ulva spp. (Chlorophyceae)
as Bioindicator for Nutrient Loading
Along the Coast of East Africa. The
Open Environmental & Biological
Monitoring Journal, Volume 2, 2009.
pp.:11-17.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No.
10 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu
Air Limbah.
137