Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Bakteri clostridium tetani adalah bakteri yang menyebabkan penyakit tetanus, bermanisfestasi
dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus
otot massater dan otot-otot rangka, Penyakit tetanus ini merupakan salah satu infeksi yang
berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot.
Kata tetanus diambil dari bahasaYunaniyaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang
Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan
trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal,
kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.Sebenarnya bukan bakteri tersebut yang
menyebabkan infeksi, melainkan racun dari bakteri yang membuat penderita terinfeksi.
A. Morfologi clostridium tetani
clostridium tetani berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron, lebar 0,4-0,5
mikron, dapat bergerak, gram positif anaerob,bersporabentuk sporanya lebih besar dari pada
selnya, dan letaknya terminal (diujung) menyerupai sendok, Spora dari Clostridium tetani
resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan
pada autoclavepada suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol
dan agen kimia yang lainnya, membentuk exotoxin yang disebut tetanospasmin (tetanus
spasmin), dan ketika bakteri ini mengeluarkan eksotoxin maka akan menghasilkan 2 eksotoxin
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasminlah yang dapat menyebabakan penyakit
tetanus karena bersifat neurotoxin.Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun
lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Timbulnya tetanus ini
terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan
yang aseptis.
B. Patogenesis dan Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Clostridium tetani, periode
inkubasinya 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi spora ke dalamaliran darah hewan yang
mengalami cedera.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan Di alam, tanah, kotoran manusia dan hewan
terutama kuda peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa
berupa luka yang dalam dan berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda
asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah.
C. Cara Penularan
Tetanus biasanya ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik
dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi
berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia
dan hewan, memilikimasa inkubasi 3 sampai 14 hari di dalam luka yang dalam dan sempit
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan
semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus).
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak,
termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara
berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langitlangit mulut menjadi terbatas.
Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.
Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi
spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya
cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung
singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit
buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat
adanya kejang otot hebat. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan fungsi pernafasan, yang
umumnya 50%. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran
nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Adanya ransang dari luar dapat memacu timbulnya kekejangan. Kesadaran penderita tetap baik
dan penyakit terus berlanjut.
Secara klinis tetanus dibedakan menjadi :
Tetanus Lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
Tetanus Umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Trismus yang me-netap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa
risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan
kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani
bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama
periode ini penderita berada dalarn kesadaran penuh .
Tetanus Sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk.
E. Diagnosa
Bahan Pemeriksaan Untuk Laboratorium
Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman
sulit.
Bahan pemerisaan diambil dari luka, nanah, dan jaringan. Pada titanus diagnosa penyakit
didasarkan atas gejala klinik dan anamnesis adanya luka. Pengobatan dengan anti tetanus toxin
dan antibiotika segera dilakukan, tanpa menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sample
diperiksa setelah pewarnaan Gram dan dilakukan perbenihan.
F. Pencegahan
Hasil pengobatan terhadap penyakit tetanus seringkali tidak memuaskan, angka kematiannya
tinggi atau sembuh dengan gejala sisa. Karena itu upaya pencegahan merupakan hal yang sangat
penting.
Pencegahan yang dilakukan meliputi :
Perawatan luka yang baik, terhadap luka yang terkontaminasi tanah, terutama luka tusuk
yng dalam.
Pemberian anti tetanus serum (antitoxin) pada penderita luka yang diduga terjadi
kontaminasi oleh clostridium tetani.
Imunisasi aktif, baik bersama dengan Diphtheria dan Pertussis (DPT vaccine) atau secara
tersendiri (tetanus toxoid)
Vaksinasi tetanus toxoid pada ibu-ibu, baik yang sedang hamil, untuk mencegah tetanus
neonatorum.
G. Pengobatan
Bila sudah ada gejala ringan tetanus, maka sumber luka (infeksi) harus segera
diketahui.Kemudian, kadang dokter membuka luka baru dengan tujuan ada udara masuk,
sehingga kuman mati karena mendapat oksigen. Setelah itu luka dibersihkan dengan antiseptik
atau H2O2 dan antibiotik (penisilin).
Untuk membunuh toksin tetanus, biasanya pasien diberi suntikan ATS (antitetanus serum).
Sedangkan untuk mengatasi kejangnya diberi obat penenang (barbiturat atau valium). Jika
keadaan pasien cukup gawat, misalnya otot-otot yang berhubungan dengan pernafasan (otot
dada) kaku, maka pasien perlu diberi alat respirator.
Perawatan tetanus perlu sedikit spesial karena pasien bersifat hipersensitif terhadap rangsang.
Ini disebabkan karena toksin yang menempel di otot memblok sistem neoromoskular sehingga
otot mudah terangsang. Kena rangsang sedikit saja, mereka bisa kejang-kejang yang sifatnya
amat melelahkan. Karena itu kebanyakan pasien tetanus dirawat di ruang ICU dan jika perlu
dibius umum.
Biasanya kamar perawatan pasien tetanus diletakkan di ujung atau di tempat yang relatif sepi.
Bahkan apabila memungkinkan pasien dirawat di tempat yang gelap, agar lebih tenang dan
menghindari rangsang. Seringkali pasien tetanus membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
penyembuhannya (2-3 bulan)
A.
Pengertian
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan
kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan
sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf
autonom. (Smarmo 2002)
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi dengan
kejang otot secara paroksisimal dan diikuti oleh kekakuan otot seluruh badan, khususnya otototot massester dan otot rangka.
Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu: (Sudoyo Aru, 2009)
Tetanus local: Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada
bagian proksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
Tetanus sefalik: Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah
otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX,
dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme otot, kaku kuduk, nyeri
tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang
menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
Tetanus neonatorum: biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila tidak ditanggani, terjadi
pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas, spasme.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudoyo Aru, 2009):
1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spasitas
general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR 30x/ menit, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek berkepanjangan, RR
40x/ menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia 120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
B.
Penyebab
Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini mengeluarkan toxin yang bersifat
neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat. Termasuk bakteri gram positif. Bentuk: batang. Terdapat: di tanah, kotoran manusia
dan binatang (khususnya kuda) sebagai spora, debu, instrument lain. Spora bersifat dorman
dapat bertahan bertahun-tahun (> 40 tahun)
C.
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan
rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)
bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama: regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik
biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi kekakuan
tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu. (Sudoyo, Aru 2009)
Pemeriksaan fisis (Sumarmo, 2002)
E.
Diagnosis
1. Riwayat dan temuan secara fisik
Kenaikan tonus otot skelet: trismus, kontraksi otot-otot kepala/wajah dan mulut, perut papan
2. Pemeriksaan laboratorium
Kultur luka (mungkin negative)
Test tetanus anti bodi
3. Tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti meningitis, rabies, epilepsy dll
F.
Pemeriksaan penunjang
Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan subkutan atau
basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.
G.
Penatalaksanaan
1.
a.
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan terdapat clostridium: luka paku
berkarat), luka yang besar, luka yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat diregio
leher dan muka, dan luka-luka tusuk atau gigitan yang dalam) yaitu sebanyak 1500 IU 4500 IU
ATS terapi sebanyak > 1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh kuman tetanus tetapi untuk
menetralisir eksotoksin yang dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian
menyebar melalui sirkulasi menuju otak.
Untuk terapi, pemberian ATS melelui 3 cara yaitu:
-
2.
Perawatan luka
a.
Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing, biarkan terbuka (jaringan
nekrosis atau pus membuat kondisis baik C. Tetani untuk berkembang biak)
b.
Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg BB/24 jam IV) selama 10 hari
c.
Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis
Metronidazol yang merupakan agent anti mikribial.
Kuman penyebab tetanus terus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat dihentikan dengan
membasmi kuman tersebut.
3.
Berantas kejang
a.
b.
c.
Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam untuk optimum level,
yaitu pasien tenag setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang
-
Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg BB/24 jam: mungkin 26 minggu
4.
Terapi suportif
a.
b.
c.
d.
Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi parenteral, hindari dehidrasi. Selama
pasase usus baik, nutrisi interal merupakan pilihan selain berfungsi untuk mencegah atropi
saluran cerna.
e.
H.
Komplikasi
1.
Hipertensi
2.
Kelelahan
3.
Asfiksia
4.
Aspirasi pneumonia
5.
I.
Pencegahan
1.
Imunisasi tetanus
b.
3.
J.
Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan tetanus antara lain:
1.
2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
3.
4.
5.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan reflek
menelan, intake kurang
6.
Defisit perawatan diri, makan, toileting, berpakaian berhubungan dengan kelemahan umum
7.
Defisit pengetahuan (tentang penyakit, penyebab) berhubungan dengan tidak mengenal
sumber informasi.
8.
K.
Intervensi Keperawatan
1.
Tujuan: Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan status
termoregulasi efektif
Keseimbsngan antara produksi panas, panas yang diterima dan kehilangan panas
Temperature stabil
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC: Temperature regulation
Intervensi:
-
Monitor S, N, RR, TD
2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
Tujuan: Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama proses diharapkan bersihan jalan nafas
efektif
NOC: Respiratori status: Airways patency
Kriteria Hasil :
-
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC: Airways management
Intervensi:
-
Bantu dan ajarkan kepada pasien dalam menggunakan teknik napas dalam
3.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan nyeri
berkurang
NOC: Control nyeri, pain level, comfort pain
Kriteria Hasil:
-
Keterangan skala:
1.Kuat
2.Berat
3.Sedang
4.Ringan
5.Tidak ada
NIC: Pain management
Intervensi:
-
Ajarkan teknik non farmakologik (relaksasi, fantasi, dll) untuk menurunkan nyeri.
4.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan resiko
invfeksi tidak muncul.
NOC: Control resiko
Kriteria Hasil:
-
mendemonstrasikan perilaku seperti cuci tangan, oral care dan perineal care.
Keterangan skala:
1 : Tidak pernah menunjukkan.
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC:Infection control
Intervensi
Observasi&melaporkan tanda&gejala infeksi, spt kemerahan, hangat, dan peningkatan
suhu badan
-
Kaji suhu klien, netropeni setiap 4 jam, laporkan jika temperature lebih dari 38 C
kaji warna kulit, kelembaban kulit, tekstur dan turgor lakukan dokumentasi yang tepat
pada setiap perubahan
Dukung untuk konsumsi diet seimbang, penekanan pada protein untuk pembentukan
system imun
5.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan reflek
menelan, intake kurang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NOC : Nutritional Status
Kriteria Hasil :
-
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC : Nutrition Management
Intervensi :
-
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan personal hygiene pasien dapat terpenuhi.
NOC : Self care ; activity of daily living
Kriteria Hasil :
-
Berpakaian terpenuhi
Mandi terpenuhi
Kebersihan terjaga
Keterangan Skala :
1 : Ketergantungan
2 : Membutuhkan bantuan orang lain dan alat
3 : Membutuhkan bantuan orang lain
Defisit pengetahuan (tentang penyakit, penyebab) berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tingkat
pengetahuan meningkat
NOC: Kowlwdge : disease process
Kriteria hasil:
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan
-
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC: Teaching : disease Process
Intervensi:
Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang
spesifik
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
-
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang
tepat
Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi
di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
-
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
-
Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama proses keperawatan intoleransi aktifitas
tidak muncul.
NOC: Activity tolarence
Kriteria hasil:
-
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC : Activity therapy
Intervensi:
-
-Ajarkan tentang pengaturan aktifitas dan tehnik manajemen waktu untuk mencegah kelelahan.
-Bantu dengan aktifitas fisik teratur
-Rencanakan aktifitas pada periode pasien mempunyai energi paling banyak
-Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
Pengertian
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani (Kapita Selekta
Kedokteran)
2)
Etiologi
Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora, tersebar di tanah, terdapat di tempat
yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas, mengeluarkan eksotoksin.
3)
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari tetapi dapat juga sampai beberapa minggu pada infeksi yang ringan.
Penyakit ini biasanya timbul mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama
pada rahang dan keher. Dalam waktu 48 jam penyakit menjadi nyata dengan terlihat :
Trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar-lebar), karena spasme otot-otot mastikatoris
(otot pengunyah)
Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trungki)
Ketegangan otot dinding perut (perut kaku seperti papan)
Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornu anterior
Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan, sering
merupakan gejala dini
Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermiten
diselingi periode relaksasi. Kemudian serangan lebi sering disertai rasa nyeri
Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin dapat
terjadi karena spasme otot uretal. Dapat juga terjadi fraktur kolumna vertebralis karena kontraksi
otot yang sangat kuat (pada waktu sedang kejang)
Panas biasanya tidak tinggi, jika timbul demam tinggi yang biasanya terjadi pada stadium akhir
merupakan prognosis yang buruk
Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan dalam 3 stadium :
Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang
Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang
3.
Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan
1.
2.
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia
menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus),
spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
2.2 ETIOLOGI
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora,
golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang
dalam dengan perawatan yang salah.
Faktor predisposisi
a) Umur tua atau anak-anak
b) Luka yang dalam dan kotor
c) Belum terimunisasi
2.3 PATOFISIOLOGI
Adanya Luka
Kontaminasi dengan kuman clostridium tetani
Eksotoksin
Pengangkutan toksin melewati saraf motorik
Ganglion sumsum Otak Saraf otonom
Tulang belakang
Menempel pada mengenai saraf
cerebral gangliosides simpatis
tonus otot
cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung
singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit
buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat
adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran
nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Secara klinis, tetanus dibedakan atas :
a) Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
b) Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa
risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan
kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani
bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama
periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
c) Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk.
2.5 Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
1). Badan kaku dengan epistotonus
2). Tungkai dalam ekstensi
3). Lengan kaku dan tangan mengepal
4). Biasanya keasadaran tetap baik
5). Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
a) Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b) Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis
(pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4
derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.
2.6 Pemeriksaan diagnostik pada Tetanus
1) Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2) Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
3) Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler
Definisi
Tetanus adalah penyakit akut, paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanospasmin,
neurotoksin yang dihasilkan oleh clostridium tetani. ( Ilmu Kesehatan Anak )
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin yang protein yang kuat yang
dihasilkan oleh clostridium tetani. ( Ilmu Penyakit Dalam )
Tetanus adalah penyakit yang diakibatkan oleh toksin kuman yang Clostridium tetani,
dimanisfestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini nampak pada otot maseter dan otot-otot rangka.
2.
Klasifikasi
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi terbatas hanya pada otot-otot
disekitar luka. Kelemahan dapat otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungannya
neuromuscular. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan.
Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun secara umum prognosinya baik
Tetanus general merupakan bentuk paling sering dan umum, ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme generalisasi biasanya timbul mendadak dengan kaku kuduk, trismus,
gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatik meluas
timbul kejang tetanik merupakan bermacam group otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa
menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila
tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
dimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak
steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan saat mengikat dan
memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara
neonatus yang terinfeksi, 90 % meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal yang terjadi setelah trauma
kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari dijumpai trimus dan disfungsi satu atau
lebih saraf cranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular
dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
Etiologi
C.tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram positif, bergerak, yang tempat tinggal
( habitat ) alamiahnya diseluruh dunia yaitu di tanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai
binatang. Pada ujungnya ia membentuk spora, sehingga secar mikrokopis tampak seperti pukulan
gendering atau raket tennis. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tapi tidak
didalam autoklap, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Tidak
seperti banyak klostridia, C. tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan
menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal, tetanospasminyang sering disebut sebagai toksin
tetanus.
5.
Manifestasi Klinis
Nyeri kepala
Gelisah
Sukar mengunyah
Disfagia
Kejang
Demam
Derajat keparahan
Derajat I ( ringan ) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II ( Sedang ) : trimus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia
ringan.
Derajat III ( berat ) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia
lebih dari 120.
Derajat IV ( sangat berat ) : derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
6.
Patofisiologi
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C. tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa ada inflamasi, kecuali apabila ada infeksi
oleh mikroorganisme yang lain.
Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus
mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampi secara lokal
merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin menetap lebih dari
lima 5 % dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat ( 100.00 Da ) dan rantai ringan ( 50.000 )
dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung
karboksil dari rantyai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya tiksin kedalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar
pada jaringan dibawahnya dan dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran
ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang
kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf diseluruh tubuh. Toksin kemudian akan
menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred kedalam badan sel yang
dibatang otak dan saraf spinal.
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika
toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke
neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan
muncul. Transpor intraneuron retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin kebatang
otak dan otak tengah. Penyebarannya ini meliputi transpor melewati celah sinaptik dengan suatu
mekanisme yang tidak jelas.
Setelah internalisasi kedalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai
ringan dan rantai akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui
pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang
diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada
suatu titik tunggal, sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin meyebrangi
sinapsis untuk mencapai neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik
( GABA ). Interneuron yang menghambat neuron motorik alpa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisnya. Lalu ( karena jalur yang lebih panjang
) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatis juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin kedalam
celh neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang
mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus efek disinhibitoro neuron
motorik lebih terpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek kovulsan
kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan spasme intermiten dan serangan
autonomik, masih belum jelas. Efek prenjungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat
kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai
pada pada gtetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain
tetanus menghasilkan gejala karekteristik berupa paralisis flaksid.
Aliran eferen yang terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabakan
kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari
kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara
simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot
rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang
terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik
dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan.
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung
saraf yang baru menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan terlibat.
Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan didalam luka dan memasuki aliran
limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal : sawar darah otak
memblokade masuknya toksin secara langsung kedalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan
bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut
saraf dikepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
7.
Tes Diagnostik
a.
Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot tubuh.
b.
c.
d.
e.
f.
SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh
g.
8.
Penatalaksanaan Umum :
Penatalaksanaan Umum
v Pasien hendaknya ditempatkan diruangan yang tengang di ICU, dimana observasi dapat
dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi.
v Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati
v Memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka untuk menetralisir dari toksin yang bebas.
v Memberikan terapi obat-obatan seperti :
- Baklofen sebagai relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental untuk
melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infuse diazepam.
- Dantrolen untuk menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi otot pada daerah
setelah hubungan myoneural dan dengan aksi langsungnya pada otot.
- Penisilin berperan dengan menganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bekterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.
-
- Doksisiklin menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan sub
unit 30s atau 50s ribosomal dan bakteri yang rentan.
- Vekuronium merupakan agen pemblokade neuromuskular prototipik yang menyebabkan
terjadinya paralisis muskuler.
v Menyingkirkan sumber infeksi, luka yang nampak jelas akan didebridemen secara bedah.
Penatalaksaan Respirasi
v Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada
hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau disfagia.
Kebutuhan akan prosedur ini harus diantipasi dan diterapkan secara elektif dan secar dini.
v Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut manjadi penyebab
mencakup ketidakmampuan menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia dan
aktivitas muskular dan bisa kritis yang berkepanjangan.
Penatalaksanaan lain
v Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak nampak
dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan; kecukupan kebutuhan gizi yang
meningkat dengan pemberian enteral maupun parateral; fisioterapi untuk mencegah kontraktur:
dan pemberian heparindan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal,
kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Pendarahan gastrointestinal dan ulkus
dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.
TETANUS
Pengertian
Tetanus adalah penyakit yang diakibatkan toksin kuman Clostrydium tetanii, bermanifestasi
sebagai kejang otot proksimal, diikuti kekakuan otot seluruh badan (Hudak and Gallo,
1994 :79). Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot maseter.
1.1.2
Etiologi
Clostrydium tetanii adalah kuman berbentuk batang, ramping berukuran 2.5 X 0.4 sampai 0.5
milimikron.
Kuman ini berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya diujung, penabuh
genderang (drum stick).
Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksin.
Toksin ini (tetanospasmin) mula mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat, toksin ini labil pada pemanasan. Pada suhu 650 C akan hancur dalam 5 menit.
Toksin bersifat antigen, sangat mudah diikat jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak
dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah
dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
1.1.3
Patofisiologi
Berbagai keadaan di bawah ini dapat menyebabkan keadaan anaerob yang disukai kuman
sebagai tempat pertumbuhan kuman tetanus yaitu :
a.
Luka dalam misalnya luka tusuk, karena paku, kuku, pecahan kaca, atau tabrakan,
kecelakaan kerja atau pun karena perang.
b.
Luka luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata , telinga atau tonsil, gigitan serangga
juga merupakan tempat masuknya kuman penyebab tetanus.
Ada 2 hipotesis tentang cara bekerjanya toksin yaitu :
1.
Toksin diabsorbsi ujung saraf motorik dan melalui sumbu slindrik dibawa ke kornu
anterior susunan saraf pusat.
2.
Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik. Masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk susunan saraf pusat.
Manifestasi Klinis
Masa tunas biasanya 5 14 hari, tetapi kadang kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama
pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1.
2.
3.
Kejang otot dinding perut (harus dibedakan dari kolik abdomen akut)
4.
Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornu anterior.
5.
Rhesus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas) sudut mulut tertarik
keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6.
Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang kejang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini.
7.
Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat, spasme mula mula intermitten
diselingi periode relaksasi, kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi
yang kuat.
8.
Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin
dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi yang sangat kuat.
9.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian cairan otak.
2.
Trismus 3 cm atau lebih kecil : dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3.
1.1.5
Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang sangat membantu penegakan diagnosis.
1.1.6
Komplikasi
1)
Pada saluran pernapasan . Oleh karena spasme otot otot pernapasan dan otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya aspfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukarnya menelan air liur dan makanan/minuman sehingga terjadi aspirasi pneumonia.
Atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumothoraks dan mediastinal empisema biasanya
terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2)
Pada kardiovaskuler. Komplikasi berupa aktivitas simpatis ynag meningkat antara lain
berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3)
Pada tulang dan otot. Pada otot karena spasme yang berkepanjangan dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan dalam otot.
Komplikasi lainnya :
1)
Laserasi lidah akibat kejang. Dekubitus karena penderita berbaring lama dalam satu posisi
saja. Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu
pusat pengatur suhu tubuh.
2)
Penyebab kematian penderita tetanus adalah akibat komplikasi Bronkopneumonia; cardiac
arrest; septisemia dan pneumothoraks.
1.1.7
Penatalaksanaan
1. Umum
a)
b)
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan.
c)
Bila ada trismus makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral
d)
Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
e)
f)
g)
Obat-obatan :
1)
Antitoksin : Tetanus Imunoglobin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya. Dibandingkan
dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 unit
Intramuskular yang dilanjutkan dengan dosis harian 500 6000 unit. Bila pemberian TIG tidak
memungkinkan, ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 unit Intravena. Pemberian baru
dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2)
Anti kejang
3)
Antibiotik Intravena.
2. Prognosis
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
Pengobatan
6)
7)
3. Pencegahan :
Pencegahan tetanus meliputi :
1)
2)
3)
Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan
kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi.
Umumnya diberikan dalam dosis 1500 unit IM setelah dilakukan tes kulit.
Pengkajian
1.
Anamnesa
a)
b)
c)
Nyeri kepala
d)
2.
Pengkajian
1)
Pernafasan ( Breathing = B1 )
a)
b)
c)
2)
Kardiovaskular ( Blood = B2 )
a)
b)
Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3)
Persyarafan ( Brain = B3 )
a)
b)
c)
d)
Kejang tonik
e)
f)
Gelisah
g)
h)
4)
Perkemihan ( Bladder = B4 )
a)
Incontinencia episodik
b)
c)
5)
Pencernaan ( Bowel = B5 )
a)
Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
b)
6)
a)
b)
Keterbatasan dalam beraktivitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang
terdekat
c)
d)
1.2.2
Diagnosa Keperawatan
1.2.2.1 Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi atau produksi
mukus ditandai dengan :
a)
b)
c)
Kaku kuduk
Tujuan keperawatan :
Klien bernapas dengan bersihan jalan nafas efektif
Kriteria Hasil :
a)
b)
c)
d)
Intervensi :
1.
Kaji status pernapasan meliputi : frekuensi, keteraturan, kedalaman, rasio inspirasi dan
ekspirasi.
R : Memantau keefektifan jalan nafas dan pemenuhan oksigen secara optimal.
2.
R : Membersihkan jalan nafas dari penumpukan secret dan secara hati hati untuk mengurangi
rangsangan yang menyebabkan kejang.
4.
8.
1.2.2.2 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan toksin dalam sel saraf dan aktivitas
kejang ditandai dengan :
a)
b)
c)
d)
Rhisus sardonikus
Tujuan keperawatan :
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil :
a)
b)
c)
Intervensi :
1.
Observasi frekuensi kejang, lama kejang dan penyebab kejang (rangsangan kejang)
Berikan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman bebas dari suara atau cahaya
1.2.2.3 Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kerusakan menelan ditandai dengan :
a)
b)
Trismus
c)
Kelemahan fisik
Tujuan keperawatan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Intervensi :
1.
R : Memantau terjadinya kerusakan menelan pada pasien dan menetukan intervensi yang akan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
2.
Kaji status nutrisi secara kontinyu dengan mengkaji turgor kulit/BB dan kekuatan tonus
otot
R : Memantau pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien.
3.
4.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi tinggi kalori dan protein.
1.2.2.4 Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan adanya infeksi sekunder
ditandai dengan :
a)
Takikardia
b)
c)
Leukositosis ringan
d)
e)
Tujuan keperawatan :
Suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil :
a)
b)
c)
Intervensi :
1.
2.
R : Mengurangi hipertermi
5.
2)
3)
4)
Kesadaran composmentis
5)
6)
7)
pH : 7.35-7.45
Intervensi :
1.
R : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien dan mendeteksi secara
dini
2.
R : Suplai O2 yang cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan O2 dalam jaringan sehingga
mencegah terjadinya gagal nafas
3.
R : mengevaluasi keadaan pasien secara detail, mencegah terjadinya gagal nafas dan mendeteksi
dini adanya kelainan
4.
R : terapi yang sesuai akan mampu meminimalkan / mencegah terjadinya gagal nafas