Вы находитесь на странице: 1из 5

Buruk Seleksi, Kewenangan Dikoreksi

Pasca-berembusnya isu lobi toilet dalam proses seleksi calon hakim agung, wacana
memangkas kewenangan DPR dalam menyeleksi pejabat publik, menguat. Beda
penafsiran antara kewenangan yang diberikan dalam UUD 45 dan undang-undang di
bawahnya. Tidak mudah memangkas kewenangan DPR karena merupakan representasi
kedaulatan rakyat. ------------------Ingatan Imam Anshori Saleh melayang ke peristiwa setahun silam. Sekitar bulan
November 2012, anggota Komisi Yudisial (KY) ini, bersama rekan komisioner lainnya,
tengah sibuk melaksanakan proses seleksi tahap akhir calon hakim agung. Di tengah
kesibukan memeriksa keseluruhan tahap seleksi, mulai urusan administrasi hingga
memeriksa laporan integritas para calon, Imam ditelepon salah seorang kawan lamanya.
Kebetulan, sang kawan adalah anggota Komisi III DPR-RI. "Dia mengajak makan
siang," kata Imam kepada GATRA, yang menemuinya di lantai IV Gedung Komisi
Yudisial RI, Jalan Kramat Raya Nomor 57, Jakarta Pusat, Selasa siang kemarin.
Mulanya, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 8 Juni 1955, ini menganggap ajakan itu
sebagai sebuah kewajaran. "Sudah lama tidak ketemu," katanya. Imam pun memenuhi
ajakan makan siang itu, di salah satu restoran di Plaza Senayan, Jakarta Selatan.
Pertemuan antar-kawan lama itu berlangsung akrab. Mereka ngobrol ngalor-ngidul, dari
kisah-kisah masa lalu hingga urusan pekerjaan saat ini. Akhirnya, tibalah usainya waktu
makan siang. Namun, justru di saat-saat itulah sang kawan yang anggota dewan itu tibatiba menyinggung soal seleksi calon hakim agung.
Imam Anshori pun mulai curiga dengan gelagat sang kawan lama ini. Benar saja, tanpa
malu-malu, sang anggota dewan itu bercerita pada Imam, bahwa dia mendapat amanat
dari seseorang agar KY meloloskan seorang calon hakim agung. "Itu ada imbalannya,"
ujar sang kawan seperti diceritakan Imam. Ia mengaku dijanjikan sang anggota dewan
uang sebesar Rp 200 juta. Imam membantah bahwa yang uang yang ditawarkan
mencapai Rp 1,4 milyar. "Mungkin media yang menambah sendiri menghitung secara
logika tujuh (komisioner KY --Red.) dikalikan Rp 200 juta," ujarnya.
Seketika, Imam pun terkaget-kaget bak disambar petir mendengar tawaran yang
menyinggung integritas dirinya itu. Apalagi, yang menawarkan adalah orang yang sudah
lama dia kenal. "Akhirnya saya tolak secara halus. Itu bertentangan dengan sumpah
kami di KY," kata Imam. Ia pun bilang kepada sang kawan bahwa jika calon yang coba
diloloskan dengan cara tak patut itu, memang berkualitas baik, tentu akan lolos dengan
sendirinya. "Tapi kalau jelek, kalau pakai uang dan sebagainya, di KY itu nggak bakal
lolos," kata Imam.
Singkat cerita, waktupun berlalu setelah pertemuan itu. Imam juga hampir tak lagi
mengingat peristiwa itu. Namun, saat melaksanakan rapat penentuan calon hakim agung
(CHA), mendadak Imam teringat lagi kisah "tawaran maut" itu. Pasalnya, nama calon
yang namanya disebutkan oleh kawan yang anggota DPR itu, hampir saja diloloskan
oleh para komisioner. Imam pun segera menggunakan "hak veto"-nya untuk
menghadang calon "titipan" anggota DPR itu. "Saya minta tolong untuk digugurkan,"
kata Imam tegas.

Komisioner lain pun tersentak kaget dan bertanya. "Apa alasannya?" kata salah seorang
komisioner. Maka mengalirlah cerita pertemuan makan siang yang berujung upaya
menyuap KY dari mulut Imam. "Dari situ terlepas, apakah ada hubungan antara calon
hakim agung dan yang mensponsori atau tidak, jelas masalah integritas sudah
diragukan," Imam mencoba meyakinkan komisioner lainnya.
Singkat cerita, para komisioner lain pun percaya pada cerita Imam. Rupanya, upaya lobi
makan siang itu bukan yang pertama. Imam bercerita, sebelumnya ada juga oknum
anggota DPR lain dari fraksi berbeda yang meminta agar si calon yang sama diloloskan.
"Tetapi saat dia menelepon, tak mengiming-imingi hadiah. Hanya minta tolong untuk
diloloskan. Jelas saya langsung tolak!" ujar Imam.
Maka, pada saat itu pula sang calon titipan yang hampir lolos tadi tadi digugurkan.
Padahal saat itu, Mahkamah Agung membutuhkan lima hakim agung. Namun KY
akhirnya terpaksa hanya menyodorkan 12 nama saja untuk menjalani fit and proper
test di DPR-RI. Padahal, kata Imam, kalau melihat kebutuhan, dengan rasio 1:3,
seharusnya KY menyiapkan 15 nama.
***
Kisah upaya penyuapan Komisioner KY nyaris setahun lalu itu, bisa jadi, sekadar cerita
biasa jika momennya tidak pas. Ceritanya jadi lain, karena kisah itu diungkap Imam saat
DPR tengah dilanda isu tak sedap dalam proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim
agung. Adalah Sudrajad Dimyati, seorang hakim tinggi yang pada Rabu tanggal 18
September lalu kedapatan berbincang-bincang dengan anggota DPR dari Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa, Baharuddin Nashori, di toilet Gedung DPR-RI.
Perbincangan itu terjadi sekitar pukul 11.30 ketika Sudrajad usai menjalani tes kepatutan
dan kelayakan calon hakim agung, di mana Nashori sebagai anggota Komisi III, adalah
salah satu pengujinya. Menurut versi Sudrajad saat dia tengah berada di kamar kecil,
datanglah seorang tua memakai batik lengan panjang dan mengenakan peci. Pria yang
menurut Sudrajad belakangan dia ketahui sebagai Baharuddin Nashori, anggota Komisi
III DPR ini, menurut dia, juga ikut buang air kecil sembari membawa selembar kertas
berisi jadwal tes CHA.
Pada saat itulah Baharuddin bertanya kepada Sudrajad soal lajur masuk para CHA dan
menanyakan calon wanita dari jalur karier dan non-karier. Dari peristiwa inilah
kemudian merebak tudingan adanya lobi toilet untuk memuluskan langkah para
calon.Belakangan dari hasil pemeriksaan tim pengawas MA memang dinyatakan
Sudradjad Dimyati tidak bersalah. Namun isu lobi toilet telanjur menyebar. Lantas
ingatan orang pun melayang pada kasus-kasus serupa manakala para DPR tengah
melakukan seleksi terhadap para calon pejabat publik.
Tahun 2008 silam, DPR dibuat geger oleh pengakuan Agus Condro Prayitno, anggota
DPR dari Fraksi PDIP yang membeberkan adanya suap terhadap beberapa anggota
dewan dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom. Para anggota dewan itu
kedapatan menerima uang sebesar masing-masing Rp 500 juta, yang menurut Agus
adalah imbalan mengegolkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior
Gubernur BI.

Berkaca dari kasus-kasus inilah banyak pihak yang kemudian mempertanyakan


kewenangan DPR dalam menyeleksi para calon pejabat publik. Hasil uji kelayakan dan
kepatutan yang dilakukan DPR, dinilai tidak efektif, bahkan menjadi ajang transaksi
jual-beli jabatan. Tak mengherankan jika ada pejabat publik yang bermasalah bisa lolos
dari seleksi DPR atau sebaiknya lolos, dan kemudian bermasalah.
Misalnya, Komisioner KY Irawadi Joenoes, yang belakangan berurusan dengan KPK
karena menerima suap dalam proyek pengadaan tanah untuk gedung KY. Juga
terpilihnya, Syamsul Bahri sebagai anggota KPU, meski yang bersangkut sudah
ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Hasil-hasil "ajaib" semacam ini semakin
menguatkan dugaan adanya transaksi jual-beli jabatan melalui para anggota dewan ini.
Tak kurang, Ketua DPR-RI Marzuki Alie berpendapat bahwa kewenangan DPR ini
harus dievaluasi. "Manakala ada kekuasaan untuk memilih maka bisa dimanfaatkan
untuk melakukan usaha-usaha itu tadi. Bisa melakukan deal yang bentuknya tidak saja
bicara uang, tetapi bentuk-bentuk komitmen lainnya," kata Marzuki Alie
kepada GATRA. Kata dia ini berbahaya, karena setiap calon yang terpilih akhirnya
dipertanyakan kelayakan dan kemampuannya.
Marzuki juga mempertanyakan kemampuan para politisi Senayan, untuk menguasai
materi uji kelayakan dan kepatutan orang yang akan mengisi jabatan publik. Misalnya,
dalam memilih deputi Gubernur BI. "Kira-kira kapasitas orang DPR itu
mumpuni nggak semuanya melakukan uji kepatutan dan kelayakan?" tanya Marzuki.
Padahal, yang mau dipilih adalah orang-orang yang berpengalaman dalam dunia makro
dan mikro-ekonomi. "Sementara anggota DPR-nya ada yang baru. Kemudian latar
pendidikannya juga tidak relevan, sehingga yang lahir itu adalah keputusan politik,"
ujarnya lagi
Atau dalam pemilihan pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selama ini
sepanjang dipilih oleh DPR, kata Marzuki, yang terpilih selalu orang politik. "Padahal
sebagai lembaga negara, dia adalah bagian dari penegak hukum," ujarnya. Apalagi dari
sisi ketatanegaraan. Jika untuk memilih pimpinan lembaga yudikatif harus melalui DPR
--padahal dalam trias politika posisi eksekutif, legislatif, yudikatif sejajar-- maka yang
terjadi adalah lembaga yudikatif menjadi tidak independen.
Juga dalam seleksi hakim Mahkamah Konstitusi. Dengan proses seleksi lewat DPR, kata
Marzuki, yang muncul adanya calon jatah DPR, jatah pemerintah, atau jatah Mahkamah
Agung alias bagi-bagi kekuasaan saja. Karena itu, Marzuki mengusulkan, agar tak ada
lagi praktek sedemikian, pemilihan pejabat MK dan lembaga yudikatif lainnya
dikembalikan kepada KY.
***
Erwin Natosmal Oemar, Peneliti Indonesian Legal Roundtable, mengatakan bahwa saat
ini memang ada kekisruhan dalam perundang-undangan terkait kewenangan DPR.
Khususnya dalam proses seleksi hakim agung. Di satu sisi ia berpendapat, UUD 45
menjamin hak DPR memberikan pertimbangan, pemilihan dan persetujuan. Namun
dalam konteks seleksi hakim agung, konstitusi memberikan pembatasan wewenang pada
Pasal 24A ayat 3, di mana dinyatakan DPR hanya berwenang memberikan persetujuan.

"Bukan memilih di antara pilihan," ujarnya kepada Andi Anggana dari GATRA.
Demikian pula dengan pemilihan komisioner KY. Pasal 24B ayat 3 UUD 45 membatasi
kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan. Masalahnya, kewenangan yang
besar dan bertentangan dengan konstitusi justru diberikan dalam UU Nomor 18 Tahun
2011 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Pasal 8 ayat 2
UU MA, misalnya, memberikan kewenangan untuk memilih calon hakim agung.
Akibatnya, DPR berhak mengadakan seleksi calon hakim agung. "Ini adalah
kewenangan DPR. Karena bisa kacau nantinya penegakan hukum di Indonesia,"
ujarnya.
Erwin mengatakan, masyarakat sipil perlu ikut mengawasi kewenangan DPR mana yang
bertentangan dengan konstitusi. Salah satunya adalah dengan mengajukan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi. Ia sendiri bersama beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat untuk Peradilan Profesional, saat ini, tengah mengajukan uji materi terhadap
Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 18 ayat 4
UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.
Uji materi serupa bukan tak mungkin bisa dilakukan terhadap kewenangan DPR lain
yang diberikan oleh undang-undang. Saat ini, kewenangan DPR dalam menyeleksi
pejabat publik memang cukup luas mulai dari seleksi terhadap calon duta besar,
komisioner KPK, Komnas HAM, Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Gubernur BI,
Lembaga Penjamin Simpanan, hingga anggota BPK.
Hal senada juga disampaikan Kepala Bagian Humas Mahkamah Agung, Ridwan
Mansyur. Menurutnya, posisi hakim sebagai jabatan yudikatif berbeda dari jabatan di
pemerintahan. Sebelum namanya masuk DPR, calon hakim agung sudah melewati
proses seleksi ketat di KY. Karena itu Ridwan sepakat, kewenangan DPR dalam proses
seleksi hakim agung hanya sebatas memberikan persetujuan. "Apalagi dengan kasus lobi
toilet, takutnya nanti seolah-olah hakim agung itu titipan partai-partai tertentu," ujarnya
kepada Adistya Prabawati dari GATRA.
Meski begitu, tak semua setuju jika kewenangan DPR yang besar itu dipereteli.
Pengamat hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin mengatakan, penghapusan
wewenang DPR bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, keberadaan DPR sebagai
perwakilan rakyat sangat esensial. DPR dalam sejarahnya lahir dari proses panjang,
melawan penguasa otoriter. Dalam konteks politik di Indonesia, DPR pasca-Orde Baru
adalah representasi kedaulatan rakyat. "Makanya, DPR dilibatkan dalam proses
penentuan pejabat negara," ujarnya kepada GATRA.
Jikapun dalam pelaksanaannya terdapat distorsi, kata Irman, tidak serta merta otoritas
kedaulatan rakyat yang diemban DPR dilucuti. "Hal itu justru mematikan lagi
demokrasi," kata dia. Yang lebih penting, menurutnya, adalah memperbaiki mekanisme
yang sudah ada. Sebab, jika kewenangannya dilucuti, itu akan memperlemah
kelembagaan DPR.
Hal utama yang harus dilakukan, kata Irman, adalah memperbaiki mekanisme
pelaksanaan kewenangan DPR. "Proses seleksi pemilihan pejabat negara misalnya, tidak
perlu ditentukan oleh komisi, tidak perlu ada fit and proper test," ujarnya. Misalnya,

dalam konteks seleksi calon hakim agung, cukup dengan penyampaian visi dan misi
para calon lewat orasi di hadapan sidang paripurna DPR. Setelah itu, DPR melakukan
pemilihan dengan preferensi politik masing-masing.
Hal ini, menurut Irman, akan membuat DPR ataupun calon pejabat negara berwibawa.
"Tidak ditanya-tanya seperti orang cari kerja," katanya. Model pemilihan TNI/Polri,
menurut Irman, justru dirasa lebih baik ketimbang yang lain. Proses ini secara
sederhana: hanya pengajuan nama dari presiden, jika tidak ada jawaban berarti diterima,
tetapi jika keberatan juga bisa. "Begitu saja. Itu jauh lebih berwibawa," ujarnya lagi.
Anggota Komisi III DPR-RI, Ahmad Yani, juga membela kewenangan DPR melakukan
uji kepatutan dan kelayakan. Ia bilang, kewenangan itu adalah dalam rangka
perwujudan check and balance system. Karena, menurut Yani, pada era Orde Baru,
semua pejabat negara langsung ditentukan oleh presiden. "Termasuk Kapolri dan lain
sebagainya," tuturnya kepada Aditya Kirana dari GATRA.
Proses seleksi pejabat publik melalui DPR, menurut dia, adalah pelaksanaan prinsipprinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat itu sendiri. Misalnya dalam memilih pejabat
yudikatif seperti hakim konstitusi. "Mengapa hakim konstitusi harus mendapat
persetujuan dari DPR? Karena hakim konstitusi diberi mandat oleh konstitusi, dan dalam
menjalankan mandat tersebut, hakim konstitusi diberi anggaran," ujarnya.
M. Agung Riyadi, Gandhi Achmad, dan Joni Aswira Putra

Вам также может понравиться