Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu produk makanan seperti mie basah memiiki kadar air yang tergolong tinggi
sehingga daya awetnya rendah. Penyimpanan mie basah pada suhu kamar selama 40 jam
menyebabkan tumbuhnya kapang. Untuk itu, dalam pembuatan mie basah diperlukan bahan
pengawet agar mie bisa bertahan lebih lama.
Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan formalin sebagai
pengawet. Selain memberikan daya awet, bahan tersebut juga murah harganya dan dapat
memperbaiki kualitas produk makanan. Menurut beberapa produsen, penggunaan formalin pada
produk makanan akan menghasilkan produk yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat
menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbul antara lain sukar
menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan
saraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat
mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah
darah) yang berakhir dengan kematian injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat
mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam. Oleh karena itu perlu diakukan praktikum tentang
uji formalin pada beberapa produk makanan.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui cara mengidentifikasi formalin dalam bahan pangan dan makanan.
2. Mengetahui ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.
banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde,
Paraforin,
Morbicid,
Oxomethane,
Polyoxymethylene
glycols,
Methanal,
Formoform,
Formaldehid,metanal,
metil
aldehid,
metilen oksida
Struktur
Rumus kimia
Berat molekul
Titik leleh
Titik didih
Triple point
Densitas
Tekanan Uap
Kelarutan
H2CO
30.03
-118 to -92 C
-21 to -19 C
155.1 K (-118.0 C)
1.13 x 103 kg/m3
(Pa, 25C) 516000
(mg/liter, 25C) 400000
550000
Faktor konversi
Menimbang 10 gram sampel dan dipotong potong kemudian dimasukkan kedalam labu
destilat, ditambahkan 50 ml air, kemudian diasamkan dengan 1 ml H 3PO4. Labu destilat
dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung labu ukur 50 ml.
Diambil 1 ml hasil destilat dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml H 2SO4 1:1 (H2SO4 pekat)
lewat dinding, kemudian ditambahkan 1 ml larutan schiff, jika terbentuk warna ungu maka
positif formalin.
4.2.2 Uji Kuantitatif
a. Dengan metode Asidialkalimetri
Dipipet 10,0 ml hasil destilat dipindahkan ke erlenmeyer, kemudian ditambah dengan
campuran 25 ml hidrogen peroksida encer P dan 50 ml natrium hidroksida 0,1 N. Kemudian
dipanaskan di atas penangas air hingga pembuihan berhenti, dan dititrasi dengan asam klorida
0,1 N menggunakan indikator larutan fenolftalein P. Dilakukan penetapan blanko, dipipet 50,0
ml NaOH 0,1 N, ditambah 2-3 tetes indikator fenolftalein, dititrasi dengan HCl 0,1 N. Dimana 1
ml natrium hidroksida 0,1 N ~ 3,003 mg HCHO (Ditjen POM, 1979).
b. Dengan metode Spektrofotometri
1. Asam Kromatofat
Dibuat larutan baku induk dari konsentrasi 1000 ppm dari formalin 37 %, kemudian
diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan aquadest sampai tanda batas, kemudian larutan
tersebut dibuat larutan baku standar. Larutan pereaksi asam kromatofat 5 ml dimasukkan
kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml larutan standar formalin sambil diaduk
tabung reaksi ditangas selam 15 menit dalam penangas air yang mendidih, angkat dan
didinginkan. Penetapan kadar formalin sampel, mencampurkan 10 g sampel dengan 50 ml
aquadest dengan cara menggerusnya didalam lumpang. Kemudian didestilat dan diasamkan
dengan H3PO4, ditampung dengan labu ukur 50 ml. Ditambahkan 5 ml asam kromatofat.
Kemudian diukur absorbansi sampel dan standar dengan panjang gelombang 560 nm dan
dihitung kadar formalinnya (Cahyadi, 2008).
2. Larutan Schiff
Diambil 5,0 ml hasil destilat kemudian ditambahkan ditambahkan 1 ml H 2SO4 1:1 (H2SO4
pekat) lewat dinding, kemudian ditambahkan 1,0 ml larutan schift. Dibaca dengan
spektrofotometri. Dibuat juga blanko serta baku seri. Dengan dicari panjang gelombang
optimum, lama waktu kestabilan pada spektrofotometer, dan kurva baku standar formalin.
Satuan
Kal
g
g
g
g
mg
mg
Jumlah
68
84.8
7.8
4.6
1.6
124.0
63.0
Besi
mg
0.8
Vitamin B1
mg
0.06
Komposisi kimia dalam 100 g tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981)
2.5.2 Lontong
Lontong adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dibungkus dalam daun
pisang dan direbus dalam air selama beberapa jam dan jika air habis dituangkan air lagi demikian
berulang samapi beberapa kali. Cara pembuatan lontong lebih mudah dari ketupat. Karena
direbus dalam daun pisang, lontong dapat berwarna hijau di luarnya, sedangkan berwarna putih
didalamnya. Lontong banyak ditemui diperbagai daerah di Indonesia sebagai makanan
alternative pengganti nasi putih. Walau juga dibuat dari beras, lontong memiliki aroma yang
khas.
2.5.3 Ikan Asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam
amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90 persen,
dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah dicerna (Adawyah, Rabiatul, 2007). Ikan
merupakan komoditi ekspor yang mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging,
buah dan sayuran. Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu
tubuh ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral, sehingga
memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung asam lemak tak jenuh
berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga seringkali
menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi
lunak dan mikroorganisme cepat berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan penghambatan
kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan
mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu
dengan proses penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut dengan
ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah basah yang ditambahkan
garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan masih tinggi 30-35 persen, namun ikan
asin dapat disimpan agak lama karena penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk
mendapatkan ikan asin berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang
digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung kadar natrium
chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang biasa tercampur dalam garam
murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2 (calsium chlorida), MgSO4 (magnesium
sulfat), CaSO4 ( calsium sulfat), lumpur, dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan
Ca (calsium) akan menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. Jika garam yang digunakan mengandung Fe
(besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan asin berwarna coklat kotor atau kuning
(Djarijah, 1995).
2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan yang menyerupai pentol dan terbuat dari tepung kanji,
berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa Barat, namun sekarang
sudah mulai merambah kedaerah lain. Cilok termasuk makanan jajanan. Makanan jajanan
menurut FAO didefisinikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh
pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat tempat keramaian umum lain yang langsung
dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
Perlu diwaspadai akan kemananpangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya pentol
cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalamwaktu yang lama, sehingga
memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh mikroba pada pentol cilok juga
dipengaruhi oleh sanitasi selama proses pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain
cemaran
oleh
mikroba,
keamanan
pangan
pentol
bahan yang digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makanan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5 Mie Basah
Menurut Astawan (1999), mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan
setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mencapai 52 % sehingga daya
tahan simpannya relatif singkat yaitu 40 jam dalam suhu kamar.
Zat Gizi
Energy (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Mie Basah
86
0,6
3,3
Zat Gizi
Besi
Vitamin A
Vitamin B1 (mg)
Mie Basah
0,8
-
Karbohidrat (g) 14
Vitamin C (mg)
Kalsium (mg)
13
Air (mg)
Komposisi Gizi Mie Basah per 100 g Bahan
80
Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi
mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen
Perindustrian melalui SII 2046-90.
2.5.6 Bakso
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan maupun
udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama garam dapur (NaCl),
tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gr per butir.
Setelah Bakso memiliki tekstur kenyal seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi
karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung
dan proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
3.1.1 Alat
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Tahu
Lontong
Ikan Asin
Cilok
Mie Basah
Bakso
HCl
Cairan Reagent
Air Mendidih
Tissue
Label
Boraks
Hasil Uji
-
Warna
-
Maksimal hingga 4+
3.2 Hasil Perhitungan
Dalam praktikum tidak dilakukan perhitungan.
BAB 5. PEMBAHASAN
Sedangkan pada perlakuan perendaman dengan air panas menunjukkan bahwa sampel yang
positif mengandung formalin adalah ikan asin dan bakso. Setelah dilakukan pengujian sampel
ikan asin memiliki warna yang paling ungu dan pada sampel bakso agak ungu. Hal ini
menunjukkan bahwa sampel ikan asin memiliki kandungan formalin yang paling banyak, karena
semakin berwarna ungu maka kandungan formalin dalam sampel tersebut semakin banyak. Pada
perlakuan perendaman dengan air panas, sampel mie basah tidak terdeteksi kandungan
formalinnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan air panas dapat
mempengaruhi kandungan formalin, yaitu dapat menurunkan kandungan formalinnya.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a.
Sampel yang positif mengandung formalin akan berwarna ungu setelah di uji.
b. Pada perlakuan tanpa perendaman, sampel yang hasil ujinya terbukti mengandung formalin
adalah ikan asin, mie basah dan bakso.
c.
Sampel ikan asin memiliki warna yang paling ungu pada kedua perlakuan yakni tanpa
perendaman dan dengan perendaman.
d. Pada perlakuan perendaman dengan air panas diketahui bahwa sampel yang positif mengandung
formalin adalah ikan asin dan bakso.
e.
Pada perlakuan perendaman dengan air panas sampel mie basah tidak terdetksi kandungan
formalinnya.
f.
Proses perendaman menggunakan air panas dapat mempengaruhi kandungan formalin, yaitu
dapat menurunkan kandungan formalinnya.
6.2 Saran
Sebaiknya praktikan tidak gaduh pada saat melakukan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan ,M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : Penerbit Bumi
Aksara.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan: Jakarta
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta : Depertemen Kesehatan RI.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius
Harmita,APT. 2006. Analisis Fisikokimia. Jakarta :UI Press.
Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Jakarta : Erlangga.
International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials Chemicals and
Drystuffs. IARC Monograph.
Kastyanto, F.W.1999. Membuat Tahu. Jakarta : Penebaran Swadaya.
Sarwono,S dan Saragih Y.P.2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta : Penebar Swadaya.
Shurtleff W, Aoyagi A. 2001. Tofu and Soymilk Producton, The Book of Tofu Vol II. Lafayete: Soyinfo
Center.
Widyaningsih, D.T., Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk pangan.
Surabaya : Trubus Agriarana.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
World Health Organization (WHO). 2002. Formaldehyde. Concise International Chemical
Assessment Document 40. Geneva.