Dunia hantu, magi, dan dukun merupakan fenomena esensial dan universal dalam komunitas Jawa yang sangat berkaitan dan berhubungan erat. Bab ini mengungkap dan mendeskripsikan paradoks tentang hantu, magi, dan dukun di dalam sebuah komunitas di Jawa, yang mengonstruksikan gagasan dan pandangan orang Jawa mengenai fenomena tersebut dalam kehidupan sehari hari. Banyak orang Jawa yang percaya dengan kekuatan magis yang sering disebut takhayul atau kepercayaan rakyat ,yang bersumber dari hal gaib yang mereka anggap maha dahsyat dan keramat. Dalam kehidupan nyata, setiap orang akan menggunakan akal untuk menghadapi perrmasalahan hidupnya. Namun seiring akal dan pengetahuan yang terbatas, persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal kemudian dipecahkan dengan magis atau ilmu gaib yang ada di dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Kekuatan magis tersebut direfleksikan dengan keberadaan dan kepercayaan terhadap dukun yang dianggap mampu berinteraksi langsung dengan hantu. Sulit dipungkiri bahwa praktik perdukunan melalui jasa hantu telah termanifestasi meluas ke berbagai hal. Dalam konstelasi budaya Jawa, figur dukun yang kharismatik dianggap mampu membantu menciptakan kekuatan dan metafor yang kemudian dapat menunjukkan langkah hidup yang dirasa tepat. Dalam kaitannya dengan ilmu gaib, dukun sedikitnya dibedakan menjadi beberapa macam yang diantaranya dukun produktif, dukun protektif, dukun destruktif, dan dukun ramal, yang masing masing memiliki keahlian tersendiri yang terefleksikan dan terkonstruksikan melalui berbagai ritual ritual Jawa. Ada pula dukun klenik, sihir, jengges, dan santet, dengan metodenya yang mengandalkan kekuatan yang terartikulasi sebagai sebuah mantra melalui pemusatan batin, tapa, dan nglakoni tirakat yang lain. Para dukun itu dapat menggunakan ilmunya sesuai hal yang dikehendaki pengguna jasanya. Dalam realisasinya banyak diantara mereka yang tergelincir menyalagunakan kemampuannya untuk sesuatu yang sesat yang kemudian menciptakan refleksi sosial yang tidak pernah diharapkan oleh orang lain. Refleksi pengalaman perdukunan dalam komunitas Jawa juga tidak jarang terjadi, yang selalu terekspresikan melalui reaksi sosial yang timbul dari proses sosial budaya yang berlangsung dalam kehidupan di komunitasnya. Segala ritual perdukunan memperlihatkan konfigurasi sistem sosial yang menyangkut interaksi sosial dan proses sosial keluarga dan juga komunitasnya.
B. Identifikasi Buku Dunia Hantu Orang Jawa Menggunakan Konsep
Budaya Menurut saya, buku Dunia Hantu Orang Jawa ini menggunakan pandangan konsep budaya kaum kognitif untuk mengungkap dan mendeskripsikan paradoks hantu, magi, dan dukun di dalam sebuah komunitas di Jawa. Fenomena dunia hantu, magi, dan dukun dikonstruksikan melalui gagasan dan pandangan orang dalam interaksi sosial di kehidupan sehari hari. Pandangan demikian dipengaruhi oleh aliran pemikiran fenomenologis yang memandang suatu fenomena merupakan sesuatu yang sudah ada dalam presepsi dan kesadaran seseorang yang kemudian mampu mempedomani orang tersebut dalam bertindak dan mengendalikan perilakunya dalam sistem sosial sehari hari. Banyak sekali gagasan gagasan yang memaknai kebudayaan dengan menafsirkan peristiwa yang terjadi pada orang orang Jawa. Penggunaan konsep budaya menurut kaum kognitif sangat terlihat dengan banyaknya gagasan gagasan yang terkonstruksikan secara sosial yang bisa direfleksikan dari kehidupan orang Jawa. Seperti halnya yang paling sederhana kata Jawa yang diasosiasikan sebagai orang orang yang mewarisi, menjaga, dan meneruskan tradisi leluhurnya. Banyak orang Jawa yang percaya dengan kekuatan magis yang dianggap dahsyat dan keramat yang mampu membantu menyelesaikan berbagai permasalahan hidup. Hal itu diwujudkan dengan adanya kepercayaan terhadap dukun yang biasanya memelihara tumbuhan dan benda benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Pada halaman 50 dan 51 terdapat pandangan dan gagasan masyarakat Jawa yang mempunyai anggapan bahwa dukun memiliki kesaktian, kemampuan atau kehebatan karena diperkuat oleh wahyu atau pusaka yang diperoleh melalui serangkaian laku asketisme-suatu usaha yang bersekutu dengan hantu. Hal itu juga didukung dengan masih laku kerasnya dukun dalam sentral masyarakat Jawa. Orang orang Jawa sering datang ke dukun untuk meminta bantuan membawa gula, kopi, ataupun sekedar beberapa bungkus rokok sebagai imbalan simbolik. Biasanya mereka yang datang ke dukun mentaati dan menjalankan perintah atau anjuran dari dukun. Pada halaman 53, dalam praktiknya figur dukun juga dianggap sebagai orang yang serba bisa, baik dalam membantu kearah kebaikan maupun mencelakai orang seperti santet dan jengges. Presepsi orang Jawa itu muncul setelah memandang fenomena fenomena yang pernah terjadi tentang perdukunan. Selain itu ada pula sasmita gaib yang mengontruksikan gagasan orang Jawa tentang impen yang pemaknaannya berbeda beda. Orang Jawa memiliki gagasan jika seseorang akan menemui kebahagiaan, tiga hari / tiga jam sebelumnya di telinga kiri bersuara nginggg...(panjang), sebaliknya bila akan sengsara, mendapat rintangan, malu, kesedihan, telinga kanan akan bersuara nginggg...(panjang).
Pemaknaan pemaknaan tersebut dipengaruhi aliran pemikiran fenomenologis dari
penafsiran fenomena yang terjadi yang berhasil mempedomani kehudupan orang Jawa. Hal ini dijelaskan pada halaman 55. Ketika membahas perdukunan dan dunia gaib, saya teringat juga dengan peristiwa yang terjadi pada ayah saya dua bulan yang lalu. Tanpa munculnya tanda tanda tertentu, ayah saya mendadak terserang penyakit stroke. Menurut diagnosa dokter setelah melakukan citi scan, ayah saya mengalami pendarahan di otak kiri dan darah tinggi. Namun pandangan yang berbeda diungkapkan oleh pemuka agama, dukun, dan orang orang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan hantu atau jin, yang kebetulan dalam kehidupan sehari hari kenal baik dengan ayah saya. Menurut mereka ayah saya mengalami serangan gaib yang berupa jin yang dikirim oleh seseorang yang tidak suka dengan ayah saya. Hingga salah seorang dari mereka melakukan sebuah ritual unik. Penyakite tak jupuk e pak Ucap seorang dukun dengan logatnya sebelum melakukan ritual. Ritual dimulai dengan membakar batu yang dilapisi sebuah kain yang kemudian dibakar dan ditempelkan ke punggung kemudian dada dari ayah saya. Sesaat kemudian ditutup dengan sebuah gelas dan dilakukan berkali kali. Setelah gelasnya dibuka secara tidak masuk akal pasir halus bermunculan pada kulit ayah saya. Dukun tersebut juga melakukan ritual lain yang mungkin bermaksud mengeluarkan jin yang singgah dalam tubuh ayah saya hasil mediumisasi dari dukun lain. Dia meletakkan telur ayam kampung yang dibungkus dengan sepotong baju ayah saya di bawah tempat tidur selama tiga hari tiga malam. Setelah telur tersebut dibuka dengan terlebih dahulu dibacakan mantra, terdapat potongan tali tampar dan sejumput rambut kaku yang biasa disebut duk. Menurut dukun tersebut hal itu cukup memberikan bukti yang meyakinkan bahwa ayah saya dihinggapi oleh jin kiriman. Demi memulihkan suara ayah saya yang mengalami kesulitan berbicara, dukun itu juga berpesan kepada Ibu saya untuk membeli daun sirih sebanyak telung denceng di pasar dengan mengucapkan tuku suarane wong sak pasar kepada penjualnya. Daun sirih tersebut kemudian dikibaskan ke seluruh tubuh ayah saya yang kata dukun dapat memulihkan suara ayah saya yang juga cedal. Walaupun ayah saya tidak percaya dengan dunia perdukunan, kondisi ayah saya saat ini semakin membaik. Kondisi ayah saya berangsur pulih seiring berjalannya waktu dengan kontrol dan meminum obat rutin dari dokter. Berbagai ritual tersebut merupakan salah satu refleksi jelas orang Jawa yang memiliki gagasan tentang perdukunan. Berangkat dari gagasan tersebut biasanya berhasil mempedomani tindakan, perilaku, dan langkah hidup yang harus diputuskan dalam kehidupan komunitas Jawa.
Semua bentuk gagasan tersebut sangat menunjukkan bahwa konsep budaya
kognitif digunakan untuk mengungkap dan menguraikan berbagai fenomena dari hasil budaya yang terjadi pada orang di Jawa. Tabir gelap yang menyelimuti dunia hantu, magi, dan perdukunan tidak akan pernah berhasil diungkapkan kecuali dengan kepercayaan. Refleksi ide, pikiran, dan gagasan terekonstruksi di setiap sebelum, saat terjadinya, dan setelah terjadinya suatu peristiwa. Proses proses sosial yang terjadi ketika adanya peristiwa yang menyangkut dunia gaib selalu dirumuskan di dalam gagasan tentang arah dan cara mereka yang berada di tengah komunitas yang membimbing sikap, perilaku, dan tradisi maupun ritual yang mengiringinya.
3.Cara Suwardi Endraswara dalam Mengoperasionalkan Teori Yang Ia
Miliki Seperti yang telah di jelaskan pada nomor 2, Suwardi Endraswara menggunakan konsep budaya kognitif (menurut saya) yang memandang fenomena hantu, magi, dan dukun bukanlah kesatuan yang sesungguhnya, tetapi sesuatu yang sudah ada dalam presepsi dan kesadaran orang Jawa yang berhubungan dengan sistem kepercayaannya. Suwardi Endraswara mengoperasionalkan teorinya (yang menurut saya adalah teori kognitif) dengan menggali gagasan gagasan dalam tingkat konseptual dan praktek seperti dengan cara mencatat segala aktivitas, sikap dan perilaku, perangkat dan peralatan perdukunan yang memainkan peran di tengah ritual yang terjadi. Suwardi Endraswara menafsirkan dan menguraikan bagaimana gagasan gagasan tersebut dikonstruksikan dan direproduksi secara sosial oleh wacana dalam proses interaksi sosial manusia sepanjang sejarah orang Jawa. Dalam hal ini, ke-Jawa-an diletakkan sebagai subyek yang hidup yang menafsirkan serta memaknai peristiwa dan fenomena yang terjadi di sekitarnya, memodifikasi tradisi yang dipelajarinya, dan bukan subyek yang serta merta patuh mengikuti aturan normatif dalam struktur yang membelenggunya. Dalam mengoperasionalkan teorinya, Suwardi Endraswara juga memperhatikan analisis normatif dari nilai nilai eksplisit atau implisit yang mengendalikan dan mendorong sikap dan perilaku orang dalam konteks sosial budayanya, hingga dapat menafsirkan dan memaparkan gagasan gagasan sebagai refleksi dan hasil budaya yang dimiliki orang Jawa ketika peristiwa yang berkaitan dengan Dunia Hantu Orang Jawa terjadi.