Вы находитесь на странице: 1из 10

Peningkatan Kesiapsiagaan Bystander CPR sebagai Salah Satu Langkah

Penanganan Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)


Latar Belakang
Salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa jika tidak
menadapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan adalah cardiac
arrest atau henti jantung. Cardiac arrest atau henti jantung merupakan suatu
kondisi di mana sirkulasi darah normal tiba-tiba berhenti sebagai akibat dari
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Definisi lain dari cardiac
arrest menurut (Cummins et al, 1991) adalah "... penghentian secara tiba-tiba
aktivitas mekanis jantung, yang ditandai oleh tidak terdeteksinya nadi (pulse),
unresponsiveness dan apnea (agonal, pernafasan gasping)." Korban kolaps
ketika jantung menjadi sangat terbatas untuk memberikan aliran darah dan
oksigen yang memadai ke otak dan otot. Korban dianggap tidak bernyawa jika
tidak ada tanda-tanda vital (responsiveness, nadi atau respirasi) yang terdeteksi.
Aktivitas listrik jantung (ventricular fibrillation, ventricular tachycardia atau
pulseless electrical activity) yang dapat dilihat pada monitor jantung mungkin
satu-satunya tanda aktivitas terpenting. Dengan tidak adanya resusitasi
cardiopulmonary (CPR) dan / atau defibrilasi listrik, seperti tidak adanya aktivitas
kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan kematian dalam hitungan
menit (Vaillancourt & Stiell, 2004).
Kasus henti jantung sebagian besar terjadi di luar rumah sakit sehingga
membutuhkan bantuan yang cepat dan tepat dalam menanganinya agar tidak
terjadi kematian. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) yang melakukan survey terhadap kejadian cardiac arrest di
United States selama periode 1 Oktober 200531 December 2010 didapatkan
sekitar 31,689 kasus cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit. Dari kejadian
tersebut, sejumlah 33, 3% dari kasus cardiac arrest yang memperoleh bantuan
CPR dari bystander dan hanya 3,7% yang mendapatkan bantuan automated
external defibrillator (AED) sebelum personel EMS datang. Tingkat kelangsungan
hidup pasien dengan kejadian cardiac arrest di luar rumah sakit yang berhasil
masuk rumah sakit (MRS) sebesar 26, 3%. Dari keseluruhan jumlah pasien
cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit, kelompok yang paling mungkin
untuk bertahan hidup adalah orang-orang yang dijumpai mengalami serangan
cardiac arrest oleh penolong dan ditemukan dalam irama shockable (misalnya,

ventrikel fibrilasi atau pulseless takikardi ventrikel) di mana kelangsungan hidup


berkisar 30,1% (Bryan et al, 2011).
Ada sekitar 360.000 korban Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di
Amerika Serikat setiap tahunnya, di mana OHCA merupakan 15% dari penyebab
seluruh kematian (Sasson, 2011). Untuk jumlah prevalensi penderita henti
jantung di Indonesia tiap tahunnya belum diadapatkan data yang jelas, namun
diperkirakan sekitar 10 ribu warga, yang berarti 30 orang per hari. Kejadian
terbanyak dialami oleh penderita jantung koroner (Depkes, 2006). Menurut data
di ruang perawatan koroner intensif RSCM (2006), menunjukkan, terdapat 6,7 %
pasien mengalami atrial fibrilasi, yang merupakan kelainan irama jantung yang
bisa menyebabkan henti jantung (Rahman, 2009). Dari korban OHCA didapatkan
variasi keselamatan yang berbeda, hal ini sebagian disebabkan oleh tingkat yang
berbeda dari bystander cardiopulmonary resuscitation (CPR), yang merupakan
link penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup bagi korban OHCA. Untuk
setiap 30 orang yang menerima CPR dari bystander, kemungkinan tambahan
kehidupan dapat bertambah. Saat ini, setelah lima dekade kemajuan medis,
bystander CPR menjadi komponen yang paling penting dalam menyelamatkan
korban henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit atau out-of-hospital cardiac
arrest (OHCA) (Leong, 2011).
Komunitas yang mengalami peningkatan laju bystander CPR telah
mengalami perbaikan dalam kelangsungan hidup OHCA. Namun, sebagian
besar pasien yang mengalami Out-of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) tidak
mendapatkan pertolongan CPR atau intervensi lain yang tepat (misalnya,
defibrilasi) untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Hampir setengah
kejadian cardiac arrest di Amerika Serikat dapat disaksikan sehingga upaya
untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari pasien berfokus pada pemberian
penanganan oleh bystander dan personel EMS secara tepat dan efektif (Bryan et
al, 2011). Namun penyediaan bystander CPR bervariasi di setiap daerah, dengan
kisaran antara 10% sampai 65% di Amerika Serikat. Dan dari jumlah tersebut,
rata-rata hanya sekitar seperempat dari semua peristiwa OHCA di Amerika yang
ditolong dengan bystander CPR. Secara internasional, jumlah bystander CPR
juga bervariasi, dengan tingkat terendah 1% dan tertinggi sekitar 44%
(Wissenberg, 2012). Oleh karena itu, penting untuk memahami mengapa
masyarakat tertentu memiliki tingkat yang rendah untuk jumlah bystander CPR

dan memberikan rekomendasi untuk bagaimana meningkatkan penyediaan


bystander CPR dalam masyarakat.
Manfaat
Di Indonesia penyebaran informasi mengenai pemberian CPR sebagai
salah satu penaganan pasien henti jantung juga masih belum maksimal. Padahal
kasus henti jantung dapat terjadi di mana pun dan kapanpun di sekitar kita. Oleh
karena itulah kampanye pendidikan publik mengenai penatalaksanaan CPR
terhadap pasien henti jantung harus mulai digalakkan di masyarakat. Selain itu,
tidak hanya penyebaran informasi saja tetapi juga perlu ditunjang dengan
peningkatan ketrampilan CPR kepada masyarakat untuk dapat melakukan CPR
yang efektif. Sasaran masyarakat untuk pendidikan publik dan ketrampilan CPR
dapat ditujukan untuk masyarakat di tempat-tempat umum (bandara, stasiun,
terminal, pasar), anak sekolah maupun di tempat kerja. Harapannya, dengan
penyebarluasan pendidikan publik dan peningkatan ketrampilan masyarakat
tentang CPR bisa meningkatkan jumlah bystander CPR di kalangan masyarakat,.
Sehingga ketika menjumpai pasien dengan henti jantung, masyarakat dapat
segera siap siaga untuk mengenali tanda dan gejala pasien dan segera
memberikan penanganan CPR sambil menunggu pertolongan dari rumah sakit
datang. Dengan begitu dapat berpengaruh pada peningkatan survival rate dari
pasien henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit (OHCA).
Analisis Literatur
Bystander CPR merupakan CPR yang dilakukan oleh seorang teman,
anggota keluarga, atau siapa saja yang dapat membantu jika seseorang dalam
keadaan kollaps dan tidak responsif (Pennsylvania Department of Health.,
American Heart Association., Heart Rescue Project Pennsylvania, 2013). CPR
merupakan salah satu pengetahuan mengenai tindakan penyelamatan hidup
berupa pemberian kompresi dada, di mana setiap orang perlu tahu dan siapapun
bisa melakukannya. Hampir 80% dari serangan jantung mendadak terjadi di
rumah dan disaksikan oleh keluarga terdekat. Ketika kita menjumpai seseorang
dengan serangan jantung mendadak dan orang tersebut tidak responsif, maka
segera mulai lakukan CPR. Hal ini merupakan salah satu faktor yang paling
penting dalam menentukan keselamatan seseorang. Untuk setiap menit yang
berlalu tanpa CPR, kelangsungan hidup pasien henti jantung menurun sebesar

10%. Dengan pemberian bystander CPR oleh penolong dapat meningkatkan


kemungkinan bertahan hidup pasien henti jantung dua atau tiga kali lipat..
Pada tahun 1960, the American Heart Association (AHA) menjadi cikal
bakal pelatihan CPR untuk umum/publik. Selama bertahun-tahun, CPR telah
berkembang dari teknik yang dilakukan hampir secara eksklusif oleh dokter dan
profesional kesehatan. Saat ini tindakan penyelamatan hidup seseorang itu telah
menjadi keterampilan yang cukup sederhana bagi siapa saja yang mau belajar
(AHA CPR & First Aid, 2013). Rekomendasi yang diuraikan dalam the 2010 AHA
Guidelines for CPR & ECC (Emergency Cardiovascular Care) terus berusaha
menyederhanakan CPR untuk penolong, sehingga lebih banyak orang yang
dapat melakukan dan akan bertindak dalam keadaan darurat. Melalui penelitian
ilmiah, AHA tidak hanya telah mampu untuk menciptakan pelatihan khusus bagi
para profesional, tetapi juga menjadi pelopor dalam perkembangan Hands-Only
CPR untuk bystander, sehingga lebih banyak korban memiliki kesempatan
untuk bertahan hidup. Di tahun 2008 AHA pertama kali memperkenalkan HandsOnly CPR , yang terdiri dari dua-langkah teknik yaitu menelepon sistem EMS 91-1 dan kemudian menekan dengan keras dan cepat di tengah dada sampai
bantuan tiba (AHA CPR & First Aid, 2013).
Semua korban yang mengalami henti jantung minimal harus menerima
tindakan kompresi dada yang berkualitas tinggi (yaitu, kompresi dada dengan
jumlah yang memadai dan mendalam serta dengan gangguan minimal). Untuk
mendukung tujuan itu, AHA ECC Committee merekomendasikan sebagai berikut
(Sayre et al, 2008) :
Ketika tiba-tiba melihat seorang korban dewasa kolaps, terlatih atau tidak
terlatih bystander minimal harus mengaktifkan sistem emergency medical
response komunitas (misalnya, panggilan 911) dan memberikan kompresi
dada yang berkualitas tinggi dengan cara mendorong keras dan cepat di
tengah dada, serta meminimalkan gangguan (Kelas I).
Jika bystander tidak terlatih CPR, dan bystander tersebut harus
memberikan hands-only CPR (Kelas IIa), maka bystander harus tetap
melakukan hands-only CPR sampai peralatan automated external
defibrillator (AED) tiba dan siap untuk digunakan atau penyedia EMS
telah mengambil alih perawatan korban.
Jika bystander sebelumnya telah dilatih CPR dan percaya diri dalam
kemampuannya untuk memberikan napas bantuan dengan gangguan

minimal di kompresi dada, maka bystander harus memberikan CPR


konvensional dengan menggunakan rasio 30:2 untuk kompresi dan
ventilasi (Kelas IIa) atau hands only CPR (Kelas IIa). Bystander harus
terus melakukan CPR sampai peralatan automated external defibrillator
tiba dan siap untuk digunakan atau penyedia EMS mengambil alih
perawatan korban.
Jika bystander sebelumnya telah dilatih CPR tetapi tidak percaya diri
dalam kemampuannya untuk memberikan CPR konvensional termasuk
pemberian kompresi dada yang berkualitas tinggi dan napas bantuan,
maka bystander harus memberikan hands-only CPR (Kelas IIa).
bystander harus terus melakukan hands-only CPR sampai sampai
peralatan automated external defibrillator tiba dan siap untuk digunakan
atau penyedia EMS mengambil alih perawatan korban.
Menurut Sasson (2013) ada empat langkah penting yang terlibat dalam
memberikan bystander CPR sebagai bagian dari respon tanggap darurat
masyarakat (Gambar 1). Pertama, penolong harus menyadari bahwa korban
membutuhkan bantuan. Early recognition yang dilakukan oleh penolong atau
bystander adalah menyadari bahwa korban telah mengalami serangan henti
jantung, atau secara sederhananya mengenali bahwa korban membutuhkan
bantuan dari Emergency Medical Services (EMS). Kedua, penolong dengan
segera harus memanggil 9-1-1 (atau nomor akses EMS setempat). ketiga,
panggilan tersebut akan dialihkan ke dispatcher, yang harus mengidentifikasi
bahwa serangan henti jantung memamg telah terjadi pada korban dan akan
memproses respon EMS yang sesuai. Operator atau dispatcher akan
menyediakan instruksi CPR yang memandu penolong untuk melakukan CPR.
Untuk selanjutnya, penolong akan memulai dan terus melakukan CPR pada
korban OHCA sampai bantuan datang.

Gambar 1. Empat Langkah Penting dalam Melakukan CPR oleh Bystander

Namun, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ada beberapa


faktor yang menghalangi bystander atau penolong untuk mengambil tindakan,
termasuk mereka takut akan melakukan CPR yang salah, takut tanggung jawab
hukum, dan takut infeksi yang didapat saat melakukan bantuan nafas dari mulut
ke mulut (Sayre et al, 2008). Hambatan lain yang dirasakan bystander adalah
kesulitan dalam mengenali serangan henti jantung, mengharapkan orang lain
dalam kelompok untuk melakukan tindakan yang pertama, ketidakpastian
tentang bagaimana melakukan CPR, kekhawatiran terhadap kualitas CPR yang
diberikan, dan adanya kebutuhan yang dirasakan untuk bernapas ke dalam
mulut seseorang (Bradley et al, 2011). Lokasi kejadian juga menjadi penghalang
untuk kinerja bystander CPR. Orang-orang yang mengalami serangan jantung di
lokasi umum (misalnya, bandara atau kasino) lebih mungkin untuk mendapatkan
CPR dibandingkan dengan rumah pribadi (Swor et al, 2003). Hambatan bahasa
atau cacat fisik juga dapat menyebabkan penundaan yang disebabkan oleh
komunikasi yang tidak efektif antara pemanggil dan Operator (Meischke, H.,
Chavez, D., Bradley, S., Rea, T., Eisenberg, M, 2010).
Strategi Penerapan/Pembahasan
Komite ECC AHA telah mengakui bahwa semua korban serangan henti
jantung akan mendapatkan keuntungan dari pemberian kompresi dada yang
berkualitas tinggi, tetapi beberapa korban serangan henti jantung (misalnya,
henti jantung pada anak dan korban tenggelam, trauma, obstruksi jalan napas,
infeksi saluran pernapasan akut, dan apnea [seperti yang terkait dengan
overdosis obat]) akan mendapatkan manfaat dari intervensi tambahan dari
konvensional CPR (Sayre et al, 2008). Oleh karena itu, masyarakat harus terus
didorong untuk mendapatkan pelatihan CPR sehingga mampu mempelajari
keterampilan psikomotorik yang diperlukan dalam merawat berbagai kasus
kegawatdaruratan yang terkait jantung dan pernafasan.
Sesuai rekomendasi AHA upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
tingkat bystander CPR dalam penggunaan hands-only CPR antara lain
mengubah paradigma kampanye pendidikan (misalnya, video pendidikan
singkat, program kesadaran masyarakat), pelaksanaan pelatihan berbasis
sekolah, dan meningkatkan dispatcher-assisted CPR yang efektif (Sasson,
2013). Sehingga harapannya, dengan peningkatan pemberian pelatihan dan
penyebarluasan informasi mengenai CPR dan tanda-gejala pasien henti jantung

melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat


kerja, maupun sekolah dapat meningkatkan kesiapsiagaan bystander dalam
menangani korban OHCA.
Seiring dengan perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan,
pelatihan

terhadap

CPR

tidak

hanya

bisa

dilakukan

dengan

metode

konvensional, akan tetapi juga bisa menggunakan metode computer-based CPR.


Pelatihan dengan metode konvensional Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
umumnya dikenal dengan istilah Basic Life Support (BLS). Pelatihan ini
umumnya dilaksanakan secara konvensional yaitu proses pembelajaran di kelas.
Perkins et al (2012) menjelaskan bahwa pelatihan konvensional BLS dilakukan
selama 2 hari (20 jam). Pelatihan ini mengajarkan tentang pengetahuan dan
ketrampilan dalam menangani pasien dengan henti jantung dan bagaimana
melakukan CPR. Proses pembelajaran dilakukan di dalam ruangan. Ketrampilan
CPR menggunakan mannequins. Pelatihan secara konvensional ini dapat
dilakukan di tempat kerja, komunitas maupun di tempat-tempat umum (bandara,
stasiun atau tempat keramaian).
Alternatif lain yang bisa dilakukan untuk menjangkau masyarakat yang
lebih

luas

adalah

melalui

program

computer-based

cardiopulmonary

resuscitation (CPR). Program ini diluncurkan pertama kali oleh National Safety
Council (NSC) pada Januari 2000. Program ini berbeda dengan program
pelatihan konvensional baik dari metode pelatihan dan pemberian sertifikat.
Dengan

program

computer-based CPR

setiap peserta pelatihan

dapat

mendaftarkan diri dan mengikuti pelatihan di area manapun yang mempunyai


koneksi internet, tanpa harus datang ke tempat tertentu. Program pelatihan
computer-based ini terbukti menjadi pilihan efektif untuk melatih masyarakat
awam tentang CPR (Perkins et al, 2012).
Computer-based CPR yang sering disebut juga dengan istilah program
CPR online atau e-learning CPR mempunyai banyak keunggulan dibanding
dengan metode konvensional. Menurut Rehberg et al (2009) pelatihan e-learning
CPR dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun di area yang dapat mengakses
jaringan internet, lebih fleksibel dari segi waktu dan biaya, tanpa harus dilakukan
pada waktu maupun lokasi tertentu. E-learning CPR juga mampu menjangkau
banyak orang atau masyarakat awam untuk mengikuti pelatihan. Selain itu,
peserta dengan metode e-learning CPR juga mempunyai respon time yang lebih
cepat dibandingkan peserta dengan metode konvensional (Moule, 2008). Akan

tetapi program ini juga mempunyai kelemahan dilihat dari aspek psikomotor yaitu
kualitas kompresi dan hand placement kurang bila dibandingkan dengan metode
konvensional.
Strategi lain yang dapat untuk diterapkan adalah melalui program pelatihan
berbasis sekolah. Program tersebut dilakukan dengan menyusun kurikulum
pembelajaran CPR di sekolah menengah (SMA). Untuk menyelenggarakan
pelatihan tersebut dibutuhkan pengajar/guru yang telah mendapatkan pelatihan
penyelamatan dasar CPR pada anak, bayi, dan orang dewasa. Dengan adanya
perubahan

terbaru

dalam

kurikulum

CPR,

yang

cenderung

untuk

menyederhanakan prosedur (misalnya, kurang menekankan pada pernapasan


mulut ke mulut), bisa meningkatkan keinginan untuk melakukan CPR
keterampilan, khususnya di kalangan peserta yang melaporkan takut melakukan
prosedur salah atau takut penularan penyakit menular. Selain itu, melalui
pelatihan berbasis sekolah dapat juga memberikan paparan mengenai
ketrampilan CPR sedini mungkin sehingga bisa mengurangi rasa tidak percaya
diri bystander saat memberikan pertolongan (Winkelman., Fischbach., Spinello,
2009).
Kesimpulan
Henti

jantung

saat

ini

masik

tetap

menjadi

salah

satu kasus

kegawatdaruratan yang mengancam nyawa bila tidak segera diberikan


pertolongan. Sebagian besar kasus henti jantung terjadi di luar setting rumah
sakit dan dapat disaksikan oleh orang lain. Pemberian bantuan dasar berupa
CPR yang dilakukan oleh bystander atau penolong saat menemui adanya
serangan henti jantung sangat membantu kemungkinan bertahan hidup korban 2
3 kali lipat. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan sekali peningkatan jumlah
dan kesiapsiagaan bystander CPR untuk memberikan pertolongan pada korban
OHCA. Beberapa program yang bisa dilakukan antara lain penyebaran informasi
melalui media cetak ataupun penyuluhan di komunitas, tempat umum, tempat
kerja,

maupun

sekolah.

Program

lainnya

adalah

dengan

peningkatan

keterampilan bystander CPR melalui metode pelatihan konvensional, pelatihan


e-learning, dan pelatihan berbasis sekolah.
By: Ria Ramadhani

Daftar Pustaka
American Heart Association CPR and First Aid. (2013). About cardiopulmonary
resuscitation (CPR).
Bradley., Fahrenbruch., Meischke, H., Allen, J., Bloomingdale., & Rea. (2011).
Bystander CPR in out-of-hospital cardiac arrest: the role of limited English
proficiency. Resuscitation. 82:680684.
Bryan., et al. (2011). Out-of-hospital cardiac arrest surveillance cardiac arrest
registry to enhance survival (CARES), united states. Morbidity and Mortality
Weekly Report Surveillance Summaries / Vol. 60 / No. 8.
Cummins, et al. (1991). Recommended guidelines for uniform reporting of data
from out-of-hospital cardiac arrest: the utstein style. task force of the
american heart association, the european resuscitation council, the heart
and stroke foundation of canada, and the australian resuscitation council.
Ann Emerg Med. 20:861-74.
Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien penyakit
jantung koroner : Fokus sindrom koroner akut.
Leong. (2011). Bystander CPR and survival. Singapore Med J. 52(8): 573-575.
Meischke, H., Chavez, D., Bradley, S., Rea, T., & Eisenberg, M. (2010).
Emergency communications with limited-English-proficiency populations.
Prehosp Emerg Care. 14:265271.
Moule, P. (2008). A non-randomized comparison of e-learning and classroom
delivery of basic life support with automated external defibrillator use: A
pilot study. International Journal of Nursing Practice. 14. p: 427-434.
Pennsylvania Department of Health., American Heart Association., Heart Rescue
Project Pennsylvania. (2013). Lend a hand, save a life CPR challenge.
Pennsylvania.
Perkins et al. (2012). Improving the Efficiency of Advanced Life Support Training.
Ann Intern Med. 157. p: 19-28.
Rahman, Arif Budi. (2009). Prevalensi penderita aritmia di rumah sakit
binawaluya tahun 2008-2009. Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Sasson, Comilla et al. (2013). Increasing cardiopulmonary resuscitation provision
in communities with low bystander cardiopulmonary resuscitation rates.
Circulation.127:1-9. DOI: 10.1161/CIR.0b013e318288b4dd.

Sayre, Michael R et al. (2008). Hands-only (compression-only) cardiopulmonary


resuscitation : a call to action for bystander response to adults who
experience out-of-hospital sudden cardiac arrest. Circulation. 117:2162
2167. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.107.189380.
Swor, RA et al. (2003). Cardiac arrest in private locations: different strategies are
needed to improve outcome. Resuscitation. 58:171176.
Vaillancourt, Christian., & Stiell, Ian G. (2004). Cardiac arrest care and
emergency medical services in Canada. The Canadian Journal of
Cardiology. 20(11):181-197.
Winkelman., Fischbach., Spinello. (2009). Assessing cpr training: the willingness
of teaching credential candidates to provide cpr in a school setting.
Education for Health, Volume 22, issue 3.
Wissenberg, M. (2012). An increase in bystander CPR in Denmark led to marked
improvements in survival rates after cardiac arrest. Paper presented at:
61st Annual Scientific Session of the American College of Cardiology;
March 28, 2012; Chicago, IL.

Вам также может понравиться