Вы находитесь на странице: 1из 11

KEPERAWATAN HIV/AIDS

3.1 REGULER
OLEH :
1. (P071200120
2. NI KETUT AYU SUWIANDANI
3. NI LIH YULIANTINI

( P07120012026)
(P0712001203

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2014
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi kronik masih menjadi masalah besar pada banyak negara di dunia ini,
termasuk juga di Indonesia. Berbagai macam penyakit infeksi kronik seperti infeksi
HIV/AIDS, hepatitis kronik, bronkitis kronik, tuberkulosis, dan luka kronik dapat
menimbulkan keluhan atau gejala psikis maupun somatis. Infeksi kronik ini
merupakan merupakan stresor untuk terjadinya gangguan psikosomatik. Stresor
sebagai penyebab timbulnya gangguan psikosomatik, pada mulanya menimbulkan
perubahan-perubahan pada tubuh, seperti perubahan emosi, reaksi fisiologis,
biokimia, reaksi seuroendokrinologi, dan reaksi imunologi. Perubahan ini saling
terkaitsatu sama lain yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan gangguan
psikosomatik. Respon peradangan akut pada reaksi perlindungan host terhadap
kondisi stresseluler atau invasi patogen, dan terbentuklah reactive oxygen species
berlebihan. Berbeda dengan manfaat respon akut dan time limited-inflammatory,
kondisi peradangan kronis dianggap perupakan faktor penting terhadap percepatan
penyakit. Stres psikologis dianggap kontribusi terhadap perjalanan kronis proses
penyakit serta ekstraserbasi dari penyakit kronis.
Gangguan jiwa/ mental sebagai sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang
terjadi pada individu dan sindroma itu dihubungkan dengan adanya distress,
disability, peningkatan risiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan,
atau kehilangan kebebasan.(UMM Press, 2007) Penanganan gangguan jiwa dilakukan
dengan Terapi Psikofarmakologi dan Terapi Psikososial. Beberapa jenis terapi
modalitas merupakan bentuk terapi psikososial. Salah satunya adalah Terapi Aktivitas
Kelompok yang telah lama diterapkan di rumah sakit jiwa, akan tetapi perlu
dievaluasi.(Giyanto, 2006) Perawat berperan sebagai penyusun rencana kegiatan dan
mempersiapkan program Terapi Aktivitas Kelompok, perawat juga berperan sebagai
leader, co

leader, fasilitator, dan observer.(Keliat, 2004) Hal ini merupakan hal yang tidak
mudah.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
D. Manfaat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Psikososial HIV/AIDS


Kasus AIDS pertama kali di laporkan pada tahun 1981 di California, sedangkan
penyebab IDS baru ditemukan pada akhir 1894 oleh Robert Gallo dan Luc
Montagner. Laporan kasus AIDS pada tahun 1981menunjukan tingginya angka
kematian pada pasien yang berusia masih muda. Akibat timbulnya ketrakutan pada
masyarakat terhadappenyakit ini. sampai sekarang di masyarakatmasih terdapat mitos
bahwa penyakit AIDS merupakan penyakit fatal yang tidak dapat disembuhkan.
Selain itu AIDS juga dihubungkan dengan perilaku tertentu seperti seks bebas,
hubungan seks sesama jenis dan sebagainya. Dengan demikian orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dianggap orang yang melakuakan perilaku menyimpang dari
norma yang dianut. Akibatnya ODHA sering dikucilkan dan tidak mendapatkan
pertolongan yang sewajarnya.
Ketika seseorang diberi tahu bahwa dia terinfeksi HIV maka responnya beragam.
Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang digambarkan oleh Kubler Ros
yaitu masa penolakan, marah, tawar menawar, depresi dan penerimaan. Nurhidayat
melaporkan dari 100 orang yang diketahui HIV positif di Jakarta, 42 % berdiam diri,
35 % marah, bercerita pada orang lain, menangis, mengamuk dan banyak beribadah.
Respon permulaan ini biasanya dilanjutkan dengan respon lain sampai pada akhirnya
menerima.penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang terinfeksi HIV belum
tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya. Berbagai bentuk beban
psikososial yang dialami ODHA antara lain di kucilkan keluarga, diberhentikan dari
pekerjaan, tidak mendapatkan layanan medis yang dibutuhkan, tidak mendapat ganti
rugi asuransi sampai menjadi bahan pemberitaan di media masa. Beban yang di derita

ODHA, baik karena gejala penyakit yang bersifat organic maupun beban psikososial
dapan menimbulkan rasa cemas, depresi, berat bahkan keinginan bunuh diri.
Banyak isu psikososial yang mempengaruhi perjalanan penyakit HIV. Setiap
pemeriksaan tes darah, setiap temuan fisik dan psikis akan mempengaruhi kehidupan
pasien.
Beberapa isu psikososial penting yang dihadapi HIV:
1. Tahap awal diagnosis HIV
a. Penyesuaian terhadap diagnosis HIV : ketakutan akan kematian, rasa
bersalah, eksaserbasi kelainan psikis.
b. Keterbukaan informasi kepada pasangan, istri dan anak.
c. Beradaptasi dengan aktivitas seksual yang aman
d. Mencari akses pelayanan medis ( pemeriksaan laboratorium dan
pengobatan)
2. Tahap menengah
a. Mengakomodasikan pekerjaan dan kebutuhsan keluarga
b. Beradaptasi dengan perjalanan penyakit dan potensi pengobatan
c. Keputusan kembali kerja, perasaan produktif
d. Menjaga hubungan sosial agar tetap normal
e. Berhadapan dengan penyakit dan pengobatan HIV, efek samping obat,
fatik serta depresi
3. Tahap lanjutan
a. Advance directives
b. Isu ekstensi: arti kehidupan, spiritual, ketakutan terhadap kematian
c. Keputusan menghentikan pengobatan
d. Persiapan un tuk kematian.

B. Masalah Psikososial Pasien HIV/AIDS dengan HIV/AIDS yang Terinfeksi


Infeksi Oportunistik
Beberapa penelitian menunjukan bahwa depresi yang terjadi pada awal pemberian
ARV berhubungan dengan terjadinya progresifitas klinis ke arah AIDS, rendahnya

penekanan virus dan penekanan survival. Kumulatif kejadian depresi (dengan atau
tanpa gejala somatik) berhubungan dengan progresivitas AIDS selama 6,5 tahun.
1. Depresi
Prevalensi depresi pada pasien HIV/AIDS meningkat dua kali lipat
dibandingkan dengan populasi biasa. Pada pasien yang di rawat, angka ini
lebih tinggi lagi (sekitar 40 %). Faktor yang dapat menyebabkan depresi
antara lain: faktor psikososial ( tidak memiliki pekerjaan, duka yang belum
terselesaikan, riwayat gangguan mood, dan gangguan berhubungan dengan
zat psikoaktif), efek penyakit HIV sistemik terhadap SSP, termasuk
pengobatannya ( seperti vibnlastin, vinkristin, AZT, dan sebagainya) dan
perjalanan penyakit. Beberapa gangguan endokrinologi dan metabolik juga
dapat dianggap memberikan kontribusi munculnya depresi seperti insufisiensi
adrenokortikal,

euthyroid

sick

sindrome,

defisiensi

vitamin

B12,

hypogonadism, dan hypotestoterone, serta keadaan malnutrisi.


Karena gejala gejala somatik ( perasaan lelah, penurunan berat badan dll)
dan gejala gejala neurologik ( gangguan daya ingat, tidak mampu
berkonsentrasi) dapat juga merupakan komplikasi dari HIV secara langsung,
maka untuk menegakkan diagnosa depresi harus selalu berpegang pada gejala
lainnya. Seperti, suasana hati yang sedih, hilang minat dan kegembiraan, rasa
tidak berguna,

gagasan bunuh diri karena perasaan gagal dan berdosa.

Depresi memiliki hubungan penting dengan penyakit HIV/AIDS, karena pada


pasien depresi daya tahan tubuh menurunb dan memiliki persepsi akan rasa
sakit yang dialami tubuh lebih besar dari pasien yang tidak depresi.
Berdasarkan

teori

psikoneuroimunologi,

depresi

akan

menyebabkan

perkembangan penyakit HIV kearah yang lebih negatif. Pada suatu studi
longitudinal ditemukan hasil dimana jumlah CD4+ limfosit menurut 38 %
lebih besar pada pasien HIV dengan depresi dibandingkan kelompok pasien
HIV yang tidak mengalami depresi. Pada suatu studi longitudinal dilaporkan
prevalensi depresi meningkat dari 15 27 % pada 36 bulan sebelum diagnosis

AIDS hingga 34 % pada saat 6 bulan sebelum diagnosis AIDS dan 43 % pada
saat 6 bulan sesudah diagnosis.
Diagnosis Banding Perubahan status mental pasien HIV
a. Efek langsung infeksi ke otak ( primary HIV neuropsichiatric syndromes)
b. Sebagai konsekuensi defisiensi imun di SSP : opportunistic infections,
c.
d.
e.
f.

neoplasm, vasculitis.
Sebagai dampak sistemik ke otak
Gangguan metabolik dan endokrin yang mempengaruhi ke otak
Efek ARV dan terapi lain ke SSP
Adanya gangguan neurologis dan psikosomatik sebelumnya

2. Gangguan Cemas
Pasien HIV/AIDS dapat menampilkan suatu variasi yang luas dari sindrom
kecemasan mulai episod singkat dari mood yang cemas disertai gangguan
penyesuaian sampai pada keadaan cemas yang lebih berat seperti gangguan
panik, serta gangguan stres akut sampai gangguan obsesif kompulsif.
Kecemasan biasanya timbul pada saat pemeriksaan serologis HIV, permulaan
terapi antiretroviral, onset gejala AIDS yang pertama, dan saat pertama
dirawat di rumah sakit. Banyak pasien melaporkan bahwa perkembangan
penyakit yang tidak dapat diramalkan, berkurangnya CD4+ limfosit, serta rasa
takut akan terisolasi dan ditinggalkan memprovokasi timbulnya perasaan
cemas. Preokupasi obsesif terhadap gejala disertai pemeriksaan tubuh yang
kompulsif dapat muncul rasa cemas. Gejala gejala otonom yang dapat
berkaitan dengan cemas seperti, sesak nafas, diare, ruam kulit, pusing,
berkeringat dan tremor dapat tumpang tinding dengan gejala sistemik
HIV/AIDS. Selain itu harus selalu dipikirkan diagnosis banding berupa efek
samping obat dan gangguan metabolik.
3. Gangguan Kognitif Manifestasi keterlibatan Serebral pada Penderita
HIV/AIDS
Gangguan kognitif merupakan salah satu komplikasi HIV/AIDS yang cukup
sering ditemukan. Angka kekerapan gangguan kognitif pada HIV mencapai 15
% selama masa hidup seorang pengidap HIV. Gangguan kognitif pada HIV
mencakup adanya gangguan memori, gangguan psikomotor, dan gangguan

afek. Gangguan kognitif terkait HIV disebabkan oleh berbagai kondisi.


Penyebab tersering adalah infeksi langsung HIV pada otak, yang dapat
menyebabkan demensia terkait HIV (HAD). Gangguan ini menunjukan defisit
kognitif , perubahan perilaku dan keterlibatan motorik. Pasien yang menderita
HAD dapat mengalami semua gejala dalam derajat yang berbeda. Beberapa
penderita awalnya mengalami perubahan kognitif seperti perlambatan proses
pengolahan informasi yang ditemukan melalui pemeriksaan neuropsikologi.
Beberapa penderita mengalami gangguan perilaku, lainnya mengalami
gangguan motorik aeperti tidak stabil, tremor, ataupun kelelahan anggota
gerak. Pada tahap awal. Demensia terkait HIV sering tidak disadari baik oleh
penderita maupun lingkungannya, kadangkala dapat terjadi diagnosis depresi.
Pada stadium awal, kehilangan memori, perlambatan mental, kesulitan
membaca dan memahami isi bacaan, dan apatis sering dikeluhkan. Demensia
terkait HIV seringkali baru terdiagnosa di akhir stadium dari infeksi
oportunistik yang lain. Penyebab lain adalah infeksi oportunistik seperti
toksoplasmosis, dan limfoma. Sekitar 50 % penderita demensia HIV
terdiagnosis menjelang kematiannya. Dengan pemberian ARV ternyata
insiden gangguan kognitif dan infeksi oportunistik pada ODHA cenderung
menurun. Beberapa gangguan kognitif dapat diobati jika ditangani dengan
cepat, sedangkan lainnya tidak dapat diobati dan menjadi progresif sehingga
mengakibatkan kendala dalam aktivitas dan kualitas hidup, ODHA sebagian
besar berada dalam kelompok usia produktif.
C. Peran Untuk Menangani Masalah Psikososial Pada Pasien HIV/AIDS
Untuk mengurangi beban psikososial ODHA maka pemahaman yang
benar mengenai AIDS perlu disebarluaskan. Konsep bahwa dalam era obat
antiretroviral AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan
juga perlu dimasyarakatkan. Konsep tersebut memberi harapan kepada
masyarakat dan ODHA bahwa ODHA tetap dapat menikmati kualitas hidup
yang baik dan berfungsi di masyarakat.

Upaya untuk mengurangi stigma di masyarakat dapat dilakukan dengan


advokasi dan pendampingan. Contoh nyata tokoh masyarakat yang menerima
ODHA dengan wajar seperti bersalaman, duduk bersama, dan sebagainya
dapat menjadi panutan bagi masyarakat.
Untuk mengurangi beban psikis orang yang terinfeksi HIV maka
dilakukan konseling sebelum tes. Tes HIV dilakukan secara sukarela setelah
mendapatkan konseling. Pada konseling HIV dibahas mengenai risiko
penularan HIV, cara tes, interpertasi tesd, perjalanan penyakit HIV serta
dukungan yang dapat diperoleh ODHA. Penyampaian hasil tes baik hasilnya
negatif maupun positif juga disampaikan dalam sesi konseling. Dengan
demikian orang yang menjalani tes telah dipersiapkan untuk

menerima

apakah hasil tersebut positif atau negatif., konseling pasca tes ada hasil positif
maupun negatif tetap penting. Pada hasil positif konseling dapat digunakan
sebagai sesi untuk menerima ungkapan perasaan orang yang baru menerima
hasil, rencana yang akan dilakukannya serts dukungan yang dapat
diperolehnya. Sebaiknya penyampaian hasil negatif tetap dilakukan dalam sesi
konseling agar perilaku beresiko dapat dihindari sehingga hasil negatif dapat
dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Prevalensi depresi pada pasien HIV/AIDS meningkat duakali lipat
dibandingkan dengan populasi biasa. Pasien HIV/AIDS menampilkan
variasi sindrom kecemasan, mulai episod singkat dari mood yang cemas
disertai gangguan penyesuaian sampai pada keadaan cemas yang lebih
berat seperti gangguan panik, serta gangguan stres akut sampai gangguan
obsesif kompulsif.. penilaian dan pengelolaan dini pasien dengan masalah
psikosomatik pada pasien HIV/AIDS akan membantu mengurangi
morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Gangguan kognitif
pada HIV/AIDS

dapat mengakibatkan kendala dalam aktivitas dan

kualitas hidup ODHA yang sebagian besar berada pada kelompok


produktif.
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Djauzi S, Putranto R, Mudjaddid E. Aspek Psikososial AIDS. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat Perbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
2009 ; P: 2182-3
Djoerban Z. Membidik AIDS: Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA, Edisi 1. 1999.
Yogyakarta: Penerbit Galang
Nurhidayat AW. Aspek Psikososial dan Gangguan Psikiatri

pada ODHA. Buku

Abstrak Perhimpunan Dokter Perduli AIDS Indonesia. 2005: Jakarta


Nursalam dan Kurniawati, Ninuk Dian. Asuhan keperawatan pada pasien
terinfeksi HIV/AIDS. 2005. Jakarta: Salemba Medika.

Вам также может понравиться