Вы находитесь на странице: 1из 13

TUGAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

ULASAN UU NO 7 TAHUN 2004

Oleh :

NAMA

: CUT INDAH LESTARI APRILIA

JURUSAN

: TEKNIK SIPIL (UMUM) REGULER KHUSUS

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PANCASILA
2015-2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Air merupakan komponen pokok dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup di bumi
ini, khususnya bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu berlimpah ruah, namun
yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit.
Sumber menyebutkan, dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang
tersedia sebagai air minum. Semakin meningkatnya polpulasi di suatu daerah semakin
maka semakin besar pula kebutuhan akan air bersih. Kian hari kian waktu pertumbuhan
jumlah populasi manusia tidak terelakkan lagi, ditambah dengan segala kerusakan yang
ada di bumi ini yang seperti hutan-hutan yang ditebang serta banyaknya limbah, hal
tersebut menyebabkan air secara cepat menjadi sumber daya yang makin langka dan tidak
ada sumber penggantinya,.
Air yang keberadaannya merupakan amanat dan karunia sang Pencipta untuk
dimanfaatkan juga seharusnya dijaga kelestariannya demi kelangsungan hidup manusia
itu sendiri. Maka pengelolaan dan penguasaan dan pemilikan atas sumber-sumber air
seharusnya juga diusahakan bersama. Melihat pentingnya fungsi air bagi kehidupan dan
keberlangsungan manusia dan kesadaran bahwa selamanya air akan menjadi barang
publik karena harus dikuasai bersama tidaklah salah bila para pendiri Negara menyusun
Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang mengenai penggunaan air di Negara
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 merupakan undang-undang tentang pengairan
yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya pengelolaan sumber daya air. Seiring dengan
berkembangnya zaman, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah
tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan
masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru yaitu undangundang nomor 7 tahun 2004.
Selama penggunaanya, ternyata UU No 7 Tahun 2004 tidak sesuai dengan UUD 1945.
Febuari tahun 2015, UU No 7 Tahun 2004 resmi dibatalkan penggunaanya oleh MK dan
undang-undang nomor 11 tahun 1974 digunakan kembali sebagai undang-undang yang
mengatur tentang pengairan di Indonesia.

1.2.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, dapat dibuat perumusan masalah
sebagai berikut :
a. Mengapa UU No 7 Tahun 2004 dibatalkan penggunaannya?
b. Apa saja pasal pada UU No 7 Tahun 2004 yang tidak sesuai dengan UUD 1945?

1.3.

TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Alasan UU No 7 Tahun 2004 dibatalkan penggunaannya.
b. Mengetahui pasal apa saja yang terdapat pada UU no 7 Tahun 2004 yangg dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN

3.1.

PENGESAHAN UU NO 7 TAHUN 2004


Sejak dahulu pengaturan kebijakan mengenai air di Indonesia telah dilakukan.
Diawali pada masa penjajahan Belanda yang menetapkan Algemeen Waterreglament
(AMR) di tahun 1936 tentang peraturan perairan umum.. Pada masa itu pemerintah
Belanda tidak membebani masyarakat pengguna air untuk membayar iuran namun
hanya ditekankan pada masalah pemeliharaan bersama. Walaupun pelaksanaan
peraturan tersebut lebih diuntukkan untuk kepentingan penjajah, namun pada masa itu
air belum menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Pada masa orde lama
keluarlah Undang-undang Pokok Agraria (yang selanjutnya populer dengan sebutan
UUPA) di tahun 1960. Pengaturan air dalam UUPA dapat dilihat dalam pasal 1 ayat 2
dan 3. Ayat 2 : " Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah RI, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
merupakan kekayaan nasional." Ayat 3 : " Hubungan antar bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 adalah hubungan yang bersifat
abadi" Pada era pemerintahan Sokearno tersebut pemerintah tetap mengakui
keberadaan swasta yang dikelola oleh putra bangsa atau swasta nasional dan dilarang
keras untuk melakukan monopoli. UUPA sendiri secara konsepsi mampu memberikan
pencerahan kepada kehidupan petani karena menjanjikan penataan sumber-sumber
agraria umumnya dan pengelolaan air secara khusus untuk memenuhi kebutuhan di
bidang pertanian. Beberapa kenyataan diatas mengindikasikan bahwa pemanfaatan air
masih seputar untuk mendukung kebijakan pertanian.
Konsep Pembangunan merupakan agenda penting kebijakan ekonomi pada masa
orde baru pemerintahan Soeharto. Konsep bahwa politik adalah panglima di masa orde
lama digantikan menjadi ekonomi adalah panglima. Konsep tersebut dijalankan secara
ketat agar berlajan mulus karena pembangunan dilakukan bertumpu pada bantuan
hutang luar negeri. Masuknya hutang luar negeri di sektor air dimulai pada periode
1970-an saat Soeharto mencanangkan program revolusi hijau atau swasembada pangan.
Kebijakan tersebut memang berhasil membawa Indonesia kepada keberhasilan
swasembada beras di tahun 1984, tetapi keberhasilan tersebut harus dibayar mahal
dengan "keharusan" masuknya bisnis swasta ke sektor air karena program swasembada

pangan tersebut dibiayai oleh hutang luar negeri. Hal itu juga yang mendorong
pemerintah mengeluarkan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan.
Penguasaan negara pemerintah untuk mengelola sendiri persoalan pengelolaan
sumberdaya air ternyata menimbulkan persoalan tersendiri, karena terbukti bahwa
Negara tidak mempunyai sumberdaya yang memadai untuk pengelolaan tersebut. Maka
pemerintah-pun beralih ke paham selanjutnya yaitu meningkatkan peran serta
masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut dengan mengganti
UU No. 11 tahun 1974 dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa President Republik Indonesia menimbang :
a. Bahwa sumber day air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala
bidang;
b. Bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung
menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola
dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;
c. Bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. Bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi
peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. Bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai
dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e
perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;

3.2.

PEMBATALAN PENGGUNAAN NO 7 TAHUN 2004


Masa reformasi ternyata belum bisa merubah substansi kebijakan di sektor air, hal
tersebut tidak bisa dilepaskan dengan jeratan hutang yang menimpa bangsa Indonesia
akibat politik "pembangunan" di masa lalu. Hal tersebut tercermin dari kelahiran UU
No. 7 tahun 2004 yang diindikasikan banyak pasalnya yang melanggengkan usaha
privatisasi dan komersialisasi sumberdaya air. Sebagaimana telah diketahui pada
tanggal 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Sumberdaya Air menjadi undang-undang baru. Undang-undang ini menggantikan UU
No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Kelahiran Undang-Undang No. 7 tahun 2004
tentang Sumberdaya Air tersebut mendapat banyak tantangan dari berbagai kalangan.
Sebuah undang-undang, yang mengatur pengelolaan air lebih terpadu, memperhatikan
fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang adil atas konflik
pemanfaatan air, memang sangat dibutuhkan tetapi pada kenyataannya Undang-Undang
No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air tersebut tampak didominasi oleh
kepentingan ekonomis, air yang seharusnya memiliki fungsi sosial dan seharusnya
dikuasai dan dikelola bersama karena bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak
justru dikomersialisasikan karena ada pandangan yang melihat bahwa air merupakan
komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Maka pada Febuari 2015 UU No.7
Tahung 2004 resmi dibatalkan penggunaannya oleh Mahkamah Konstitusi.

3.3.

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG

SUMBER DAYA AIR


a. KOMERSIALISASI AKSES ATAS SUMBER AIR
Pasal 7 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak guna air dapat berupa hak guna pakai air dan hak guna
usaha air. Pasal 1 angka 15 Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air menyebutkan bahwa hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan
mengusahakan air.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau
badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 11 ayat (3) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa pola pengelolaan sumberdaya air dilakukan dengan
melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
Pasal 40 ayat (4) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha swasta dan masyarakatdapat berperan
serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
Pasal 49 Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pada
intinya menyebutkan bahwa pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan
kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
telah dapat terpenuhi. Pengusahaan air untuk negara lain juga diharuskan melalui
mekanisme dan atas rekomendasi yang ditetapkan oleh undang undang.
Pasal 7, 9, 11 ayat (3), 40 ayat (4) dan 49 Undang-Udang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air bertentang dengan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 7, 9, 11 ayat (3), 40 ayat (4) dan 49 Undang-Udang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air merupakan bentuk dan upaya merubah sumberdaya air
sebagai sumberdaya publik menjadi sumberdaya privat. Pandangan bahwa air
adalah komoditas adalah pandangan neoliberal yang banyak dianut oleh sebagian
besar Negara kapitalis yag merupkan negara-negara yang penyumbang terbesar
Bank Dunia dengan didukung oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Padahal
semestinya air memiliki fungsi sosial karena setiap manusia terikat secara azasi
dengan atas sumber air. Bila air diposisikan sebagai komoditas ekonomi maka
ruang untuk mendapatkan air tersebut menjadi timpang dan tidak fair karena
kemampuan ekonomi setiap individu atau kelompok masyarakat berbeda-beda.
Secara normatif landasan idiil system ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan
UUD 1945. Masalah perekonomian nasional dan Kesejahteraan Sosial ditetapkan
dalam Bab XIV yaitu dalam pasal 33 yang terdiri dari 5 ayat. Setelah amandemen
kedua di tahun 2002, isi pasal 33 yaitu :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan


kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
Dari ayat-ayat dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut secara prinsipil dan de jure
sebenarnya perekonomian Indonesia disusun atas dasar asas kekeluargaan untuk
mensejahterakan rakyat banyak. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama
bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar pada Pancasila. Selain itu
ditempatkannya Pasal 33 ini dibawah Bab XIV yang bertajuk Kesejahteraan Sosial
menunjukkan adalah bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk
mensejahterakan rakyat banyak (ayat 2 pasal 33 UUD 45) dengan artian bahwa
perekonomian

Indonesia

seharusnya

dimaksudkan

untuk

mensejahterakan

masyarakat bukan untuk diserahkan pada swasta atau badan usaha yang tentu saja
berorientasi pasar dan pada keuntungan yang sebesar-besarnya.
Komersialisasi sumberdaya air akan mendorong kenaikan tarif. Perusahaan
telah memanfaatkan tarif untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dimana bila didefinisikan mencari keuntungan adalah orientasi dasar perusahaan.
Lebih jauh lagi orientasi pencarian keuntungan menjadikan air adalah komoditas
ekonomi daripada memandang air sebagai kebutuhan azasi manusia dan anugerah
alam, di mana pandangan tersebut menyebabkan hak-hak masyarakat yang tidak
punya kapasitas ekonomi kuat terabaikan. Karena hiudp tanpa air bukanlah suatu
pilihan masyarakat kadang terpaksa mengkonsumsi air yang mutunya tidak baik
atau bahkan berbahaya bagi kesehatan.
b. KEBERADAAN DAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa penguasaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan
itu, sepanjangan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumberdaya air tetap
diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan
daerah setempat.

Pasal 6 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
c. PEMBATASAN PENGGUNAAN AIR UNTUK PERTANIAN RAKYAT
Pasal 8 ayat (1) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada
didalam sistem irigasi. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pertanian rakyat
adalah budidaya pertanian yang meliputi berbagai komoditi, yaitu pertanian tanaman
pangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat
dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala
keluarga. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sistem irigasi meliputi
prasarana irigasi, air irigasi, menajemen irigasi, institusi pengelola irigasi dan
sumberdaya manusia.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
tersebut bertentang dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
Sumberdaya air sebagai sumberdaya publik yang dipakai untuk kesejahteraan
rakyat ternyata pemanfaatannya dibatasi oleh Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Setiap kepala keluarga dapat memperoleh
sumberdaya air tanpa izin apabila penggunaannya tidak melebih debit air 2 liter per
detik. Debit air tersebut apabila dikalkulasikan ternyata hanya dapat dipergunakan
untuk mengairi pertanian rakyat seluas 2 hektar. Luasan pertanian rakyat untuk
wilayah pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua dimana luas tanah yang
dipergunakan sebagai areal pertanian rakyat melebihi 2 Ha per kepala keluarga
sehingga mereka tidak bisa mendapatkan air untuk memproduksi hasil pertanian

karena pembatasan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air.
Konsekuensi dari adanya izin pemanfaatan sumberdaya air untuk usaha
pertanian rakyat yang penggunaanya lebih dari 2 liter per detik dan diluar sistem
irigasi maka akan menyebabkan adanya retribusi dan/atau pungutan baru yang akan
menyebabkan semakin bertambahnya biaya produksi pertanian rakyat.
Petani yang mengusahakan pertanian rakyat dimana luasan areal pertanian
rakyatnya lebih dari 2 Ha sehingga pembatasan penggunaan debit air tersebut sangat
merugikan yang dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan.
d. HAK ATAS AIR DILUAR SISTEM IRIGASI
Pasal 8 ayat (2) Undang-Udang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa hak guna pakai air memerlukan izin apabila digunakan untuk
pertanian rakyat diluar sistem irigasi yang sudah ada.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
tersebut bertentang dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
tersebut bertentang dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
telah menyebabkan adanya pengelompokan didalam pertanian rakyat, yaitu pertanian
rakyat yang berada dalam sistem irigasi dan yang diluar sistem irigasi. Seluruh petani
yang mengusahakan pertanian rakyat adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
harus mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum yang dalam hal ini adalah
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air sesuai dengan Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hanya petani yang berada dalam sistem irigasi yang berhak untuk
memanfaatkan air tanpa izin merupakan bentuk diskriminasi dan perlakuan yang
berbeda dihadapan hukum dimana pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi

merupakan prioritas dan yang tidak berada dalam sistem irigasi bukan merupakan
prioritas.
Pola pertanian Indonesia terdiri dari banyak pola sesuai dengan kondisi dan
kebiasaan masyarakat setempat dan telah diikuti secara turun menurun. Pola pertanian
di Indonesia masih menganut pola pertanian tradisional, seperti pola pertanian dengan
ladang berpindah. Seluruh usaha pertanian rakyat tentu saja memerlukan air untuk
memproduksi hasil pertanian dan demikian juga halnya dengan pola pertanian ladang
berpindah, dimana melalui pembatasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air tidak dapat memperoleh air karena harus mendapatkan
izin terlebih dahulu.
Petani yang mengusahakan pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi
mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan petani yang berada didalam sistem
irigasi sehingga hak konstitusinya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah terlanggar.
e. PRIORITAS PENYEDIAAN SUMBERDAYA AIR
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan
prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
bertentang dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
bertentang dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mendapat persamaan dan keadilan.
Yang menjadi prioritas memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi
bagi pertanian rakyat adalah yang berada dalam sistem irigasi dimana artinya bahwa
pertanian rakyat yang tidak berada dalam sistem irigasi bukan merupakan prioritas.
Penyediaan sumberdaya air untuk pertanian rakyat harus merupakan prioritas bagi

seluruhnya karena hal ini juga merupakan salah satu konsekuensi Indonesia sebagai
negara agraris.
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
bertentang dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Diskriminasi antara pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi dan
yang tidak berada dalam sistem irigasi dapat mematikan sumber penghidupan dan
kehidupan petani yang mengusahakan pertanian rakyat yang tidak berada dalam
sistem irigasi. Pertanian rakyat yang tidak berada dalam sistem irigasi tidak
mendapatkan air untuk dapat mengusahakan pertaniannya sehingga tidak dapat
menghasilkan produksi pertanian yang dapat dijual sebagai sumber penghidupan.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, didapatkan kesimpulan :


1. Alasan UU No 7 Tahun 2004 dibatalkan penggunaannya karena banyak pasal pada
UU No. 7 tahun 2004 yang melanggengkan usaha privatisasi dan komersialisasi
sumberdaya air.
2. Beberapa pasal pada UU No 7 Tahun 2004 yang bertentangan dengan UUD 1945
yaitu Pasal 6 ayat (2) dan (3), 7, 8 ayat (1) dan (2), 9, 11 ayat (3),29 ayat (3), 40 ayat
(4) dan 49 Undang-Udang No. 7 Tahun 2004.

Вам также может понравиться