Вы находитесь на странице: 1из 2

Air France AF447

Ingatan kita putar sejenak terkait dengan penerbangan Air France AF447 jenis A330- 200 registrasi F-GZCP
yang berangkat dari Rio de Janeiro menuju Paris, Prancis, pada 31 Mei 2005 pukul 22.29 GMT dengan melintasi
Samudra
Atlantik sebelah timur. Menjelang 4 jam penerbangan dengan ketinggian 35 ribu kaki, pilot melaporkan cuaca
buruk (kumulonimbus) di sepanjang jalur penerbangan yang pada saat itu kapten sedang istirahat di ruangan
tidur
pilot di belakang kokpit. Karena penerbangan berlangsung selama 11 jam, setiap pilot beristirahat
secara bergiliran.
Seorang kopilot duduk di kiri menggantikan kapten sebagai pilot flying (PF) dan kopilot yang lain duduk di
sebelah kanan bertindak sebagai pilot monitor (PM). PF memberikan informasi kepada awak kabin untuk
bersiap-siap karena
akan memasuki cuaca buruk serta tanda kenakan sabuk pengaman dinyalakan. Dari diskusi di kokpit, kedua
kopilot
menyadari bahwa mereka akan memasuki inter tropical convergence zone (ITCZ)sama seperti keadaan
cuaca di Laut Jawa pada saat kecelakaan Air Asia QZ8501. ITCZ yang menghadang AF447 mempunyai panjang
kurang lebih 100 nautical mile dan lebar 60 nautical mile.
Setelah berada di dalam awan selama kurang lebih setengah jam, tiba-tiba indikator kecepatan menjadi tidak
akurat dan menunjukkan kecepatan pesawat berkurang. Dengan data kecepatan yang tidak valid, yang
pertama berhenti bekerja dengan melepaskan diri off ialah autopilot disertai warning lampu merah di depan
kedua pilot, dan suara
aural cavalry seperti bunyi trompet pasukan kavaleri. Dengan sigap kopilot yang duduk di sebelah kiri
mengambil alih kemudi secara manual menggunakan joy stick. Namun, bersamaan dengan itu, peringatan
demi peringatan bermunculan di layar LCD pada electronic centralized aircraft monitor (ECAM) yang disertai
aural ping tanpa hentihentinya. Data kerusakan itu langsung terkirim melalui satelit ke pusat maintenance Air France di Paris
melalui aircraft communication and reporting system (ACARS) yang membuat petugas pusat maintenance
Air France bingung karena ada 24 kerusakan pada sistem komputer pesawat dalam waktu bersamaan.
Kerusakan demi kerusakan yang bermunculan membuat kedua kopilot kebingungan dan tanpa indikator
kecepatan yang akurat, yang dikerjakan PF ialah menarik joy stick ke belakang yang membuat pesawat
mendongak lebih dari 15 derajat dengan kecepatan vertikal yang luar biasa, 7.000 kaki per menit, sampai
mencapai ketinggian 38 ribu kaki.
Ketinggian tersebut, dengan keadaan berat pesawat pada saat itu, merupakan ketinggian maksimum. PF tetap
mempertahankan posisi mendongak dari pesawat dengan cara tetap menahan posisi joy stick ke belakang
sehingga mencapai kecepatan minimum yang membuat pesawat kehilangan daya angkatnya dan mulai jatuh
dengan istilah stall.
Dari hasil pemeriksaan cockpit voice recorder, ada 74 kali stall warning yang berupa aural trompet dan
suara pria sintetis stall!, stall!, stall!. Namun, peringatan itu tidak dihiraukan kedua kopilot karena mereka
berdua kebingungan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Seharusnya pada peringatan pertama posisi
mendongak pesawat harus segera dikurangi rata dengan horizon atau sedikit lebih ke bawah untuk
mendapatkan kembali kecepatan aman. Pesawat mulai kehilangan ketinggian dan jatuh dengan posisi
mendongak dengan tenaga mesin penuh, dengan kecepatan turun 5.00010.000 kaki per menit. Pada saat
kapten kembali ke kokpit dan mengambil tempat duduk di tengah (observer seat), dan bertanya, Apa yang
sudah kalian perbuat? ia mendapat jawaban, Kita kehilangan kendali pesawat ini.
Kapten pun tidak tahu apa yang terjadi. Namun, akhirnya ia sadar dengan apa yang terjadi ketika ketinggian
pesawat sangat rendah dan sudah sangat terlambat. Pesawat menyentuh permukaan Samudra Atlantik pada
posisi mendongak 10 derajat dan kecepatan vertikal 15 ribu kaki per menit!
Dari hasil penelitian black box yang ditemukan 6 tahun kemudian diketahui, penyebab kacaunya instrumen
dan
segala kerusakan ikutannya ialah sensor kecepatan yang tidak bekerja. Kerusakan tersebut disebabkan pada
saat memasuki awan di ketinggian 35 ribu kaki, banyak terdapat supercooled water droplets atau butir air
yang sangat di ngin yang mana pada ketinggian itu suhu udara di luar pesawat -40 derajat celsius. Butir air
sangat dingin itu, apabila kontak dengan pesawat, segera akan membeku. Di pesawat Airbus ada tiga sensor
kecepatan atau dikenal dengan pitot tube; satu milik kapten, satu milik kopilot, dan satu lagi cadangan/
standby.
Pada kejadian AF447, ketiga pivot tube itu mengalami penyumbatan karena pembekuan butir air sangat
dingin
tersebut yang membuat ketiga indikator kecepatan menjadi tidak reliable dan tidak akurat. Sebenarnya
kecelakaan itu tidak perlu terjadi apabila pada saat itu pilot segera menerapkan prosedur dengan unreliable
airspeed dengan cepat dan tepat.
Setelah insiden AF447 yang menewaskan 228 jiwa itu, Airbus mengeluarkan instruksi bagi seluruh operator
Airbus

A330 dan A340 untuk mengganti pivot tube dengan yang lebih mutakhir. Instruksi itu tidak ditujukan kepada
operator
pesawat A320. Semoga apa yang terjadi pada AF447 ini tidak terjadi pada QZ8501.

Вам также может понравиться