Вы находитесь на странице: 1из 119

Kenakalan Remaja dan

Tantangan Pendidikan Madrasah


Studi tentang Pembelajaran Afektif di Madrasah
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

Fikrul Umam MS

Pengantar:
Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan
Wakil Rais Aam PBNU 2004-2010

Kenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan Madrasah


Studi tentang Pembelajaran Afektif di Madrasah
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

@Fikrul Umam MS
Pengantar: Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan
Editor: MD & Jokowa
Cetakan: 1, 2015

Penerbit:
Aswaja Press Yogyakarta bekerjasama dengan
Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati

Pendidikan sebagai Akar Peradaban


Oleh: Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan
Guru Besar Unisma Malang, Wakil Rais Aam PBNU 2004-2010.

Pada awal abad XX M, seorang cendekiawan dan penulis


Muslim dari Syria, bernama Amir Syakib Arsalan, menulis sebuah
buku "Limaadza Taakhkhara al-Muslimun, wa limaadza
Taqaddama
Ghairuhum"
(Mengapa
orang-orang
Islam
terbelakang, dan mengapa orangorang lain menjadi maju).
Dalam bukunya tersebut Amir Syakib Arsalan mengatakan,
bahwa yang menjadi sebab-sebab terpenting kemunduran umat
Islam antara lain:
1. Karena kebodohan, yang menjadikan mereka tidak mampu
membedakan antara tuak dan cuka (tidak mampu
membedakan antara yang manfaat dan madlarat) mudah
dibohongi dan gampang tertipu.
2. Karena
kebobrokan
moral,
sehingga
tidak
mampu
mengendalikan
hawa
nafsunya
dan
tidak
sanggup
mengontrol sikap dan prilakunya sebagai orang-orang yang
seharusnya hidup terhormat dan menjadi teladan. Lebih-lebih
lagi apabila kebobrokan moral ini sudah merasuki elite
mereka.
3. Karena kehilangan karakter dan jatidirinya, menjadi orangorang yang tidak memiliki harga diri, tidak mempunyai

keberanian, dan kehilangan sifat dan sikap patriotisme, tidak


sanggup menyampaikan kebenaran di hadapan para
penguasa.
Di akhir bukunya, Arsalan memberi kesimpulan untuk kita
renungkan bersama. Ia mengatakan: "Bahwa mereka ( orangorang Barat atau Jepang) adalah manusia seperti kita, akan
tetapi yang kurang pada kita adalah penguasaan ilmu
pengetahuan dan kualitas amal perbuatan/kualitas kerja."
Pada pertengahan abad XX M, seorang pemikir survivalis
Islam dari Pakistan, Abu al-Ala al-Maududi banyak melontarkan
otokritik terhadap kehidupan dan kemunduran peradaban Islam,
terutama karena ketertinggalan umat Islam dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan rendahnya kualitas pendidikan mereka.
Dalam salah satu tulisannya Manhaj Jadid lit-Tarbiyah alIslamiyah , antara lain ia mengatakan:
Bahwa tumbuh dan tenggelamnya peradaban manusia
serta unggul dan kalahnya, bukan karena sesuatu yang
kebetulan semata, tetapi ada sebab-sebab tersembunyi yang
berperan di balik fenomena tersebut. Dan apabila kita amati
dengan cermat dan jujur, maka akan kita temukan suatu
kesimpulan, bahwa kepemimpinan yang sanggup mengendalikan
umat manusia itu mempunyai kaitan yang kuat dengan tingkat
penguasaannya
terhadap
ilmu
pengetahuan.Allah
memberikan anugerah kepada manusia berupa tiga nikmat
potensial kaitan hal ini, yaitu as-Samu (daya pendengaran),
al-Basharu (daya pengamatan), dan al-Fuad (daya hatinurani), yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk yang
lain.
Sayangnya tidak semua manusia mampu menangkap
makna firman Allah tersebut dengan baik (disebut lebih dari 6 x
dalam al-Quran dalam konteks yang berbedabeda ), yang
tersimpan dalam tiga kata tersebut. Kita seharusnya tidak
memahami kata-kata tersebut sebatas arti harfiyahnya semata.
Kata as-Samu bukan sekedar mendengar dengan telinga,
tetapi menangkap informasi dan melindungi nilai-nilai ilmiah
yang sudah dicapai oleh orang-orang lain (atau diwariskan oleh

generasi terdahulu ). Kemudian al-B ashar tidak hanya sekedar


melihat dengan mata, tetapi juga pengamatan, penelitian dan
analisa-analisa laboratoris untuk mengembangkan keilmuan
yang baru. Dan al-Fuad bukan sekedar membatin dalam hati,
tetapi mengelaborasi dengan membuat evaluasi dan uji
kebenaran lebih mendalam terus-menerus, untuk mengetahui
mana yang valid dan mana yang tidak.
Maka bangsa dan masyarakat yang manapun yang mampu
mengembangkan ketiga nikmat potensial anugerah Tuhan
tersebut dengan baik, dialah yang akan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dan dapat membangun peradaban
yang maju. Dan mereka yang tidak mampu melakukan hal
tersebut,
akan
hidup
dalam
keterbelakangan
dan
ketidakberdayaan .
Islam juga banyak menganjurkan umatnya agar menguasai
ilmu-ilmu duniyawiyah, (di samping ilmu-ilmu syariyah), dengan
alasan:
1. Bahwa membangun kualitas kehidupan (kemakmuran) di
bumi itu merupakan bagian dari misi hidup manusia ( risalatu
al-Insan ), dan dinilai sebagai ibadah, dimana manusia
diciptakan untuk maksud tersebut.
2. Allah yang menciptakan manusia, dengan tugas sebagai
khalifah-Nya di bumi, tidak untuk hidup menderita dan
merana, tetapi manusia diciptakan sebagai makhluk
unggulan dan terhormat, yang didukung sumberdaya dan
kekayaan alam di daratan maupun di lautan.
3. Tugas berjuang (al-Jihad) yang bebankan terhadap orangorang yang beri- man untuk melindungi agamanya dan umat
itu tidak akan sukses dan sem-purna, apabila tidak memiliki
peradaban yang kuat dan maju.
Di
tengah-tengah
persaingan global sekarang
ini,
penguasaan sains dan teknologi di samping agama dan moral
telah menjadi ikon peradaban Islam, dan umat Islam ti-dak
mungkin mencapainya tanpa melalui pendidikan, baik sebagai

sistem maupun sebagai institusi. Pendidikan Islam harus


dipandang sebagai investasi sumberdaya ma-nusia yang
memiliki kemampuan dan kepakaran dalam mengembangkan
dan menerapkan sains dan teknologi, sertai nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan dalam proses membangun citra peradaban Islam,
untuk kemanfaatan dan kemaslahatan hidup manusia.
Pertanyaannya sekarang adalah: Pendidikan Islam yang
bagaimana yang kita perlukan untuk membangun cita peradaban
Islam? Menujrt Syed M. Naquib Al-Attas, pendidikan harus
berfungsi sebagai penyemaian dan penanaman "adab" dalam diri
peserta didik, yang mencakup unsur pengetahuan (al-ilm),
instruksi (at-talim) dan pembinaan karakter (at-tarbiyah).
Berangkat
dari
perspektif
pengembangan
kualitas
sumberdaya manusia, ada beberapa kecenderungan yang prlu
diperhatikan dalam pembaharuan pendidikan kita, di antaranya
yang paling pokok:
1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci
dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia ( out put
pendidikan), yaitu manusia yang me-miliki wawasan,
kemampuan, keterampilan, kepribadian yang sesuai dengan
kebutuhan nyata yang dihadapi umat/bangsa. Dengan ciri
seperti itu, maka hasil suatu proses pendidikan bukan hanya
diukur dari apa yang diketahui (know-what), melainkan apa
yang secara nyata dapat ditampilkan oleh lulus-an pendidikan
(knowhow).
2. Dalam perspektif dunia kerja, orientasi kepada kemampuan
nyata (what one can do) yang dapat ditampilkan oleh lulusan
pendidikan akan semakin kuat, artinya, dunia kerja akan
cenderung lebih realistik dan pragmatik, dimana dunia kerja
lebih melihat kompetensi nyata dapat ditampilkan seseorang
daripada ijazah semata-mata.
3. Sebagai dampak globalisasi, maka mutu pendidikan suatu
komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur
berdasarkan kreteria dalam internal mereka, melainkan
dibandingkan dengan pendidikan komunitas lain. Contohnya:
kualitas pendidikan Islam tidak hanya diukur dilingkungan

komunitas Islam saja, tapi juga dibandingkan dengan kualitas


pendidikan Katholik atau Kristen, dan lain-lain, bahkan
sekarang pendidikan suatu negara harus mam-pu bersaing
dengan pendidikan negara-negara lain. Ini merupakan
tantangan kepada kita yang memerlukan jawaban yang
tepat.
4. Apresiasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan
akan semakin me-ningkat, yaitu menginginkan pendidikan
yang lebih berkualitas, relevan dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan (accountable). Hal ini sebagai
konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran,
masyarakat selalu ingin mendapatkan sesuatu yang lebih
baik.
5. Sebagai komunitas
atau
masyarakat religius,
yang
mempunyai keimanan dan sistem nilai, maka pendidikan
yang
diinginkan
adalah
pendidikan
yang
mam-pu
menanamkan karakter Islami (kesalehan, kesopanan,
kesabaran, keberani-an dan kearifan) disamping memberikan
kompetensi-kompetensi yang sifat-nya akademis dan skills.
Pendidikan Islam sebagai kunci jawaban yang dapat
membangun citra Peradaban Islam dalam era gflobalisasi yang
penuh persaingan sekarang ini, harus mepunyaik karakter
sebagai berikut:
1. Dinamik, dalam arti terus bergerak maju dan siap membuat
perubahan-perubahan
sejalan
dengan
perkembangan
tantangan yang dihadapi, dan tujuan yang ingin dicapai, yang
harus kreatif dan visioner.
2. Relevan, semua program-programnya diorientasikan pada
kepentingan kemas-lahatan umat, sesuai dengan tingkat
kebutuhan masyarakatnya, dan mendu-kung kebutuhan
pembangunan nasionalnya.
3. Professional, dalam manangani managemen institusinya,
dalam memilih dan mengembangkan SDM-nya, dalam
melaksanakan
proses
belajar-mengajarnya,
dalam

menggunakan metodologi dan teknologi pendidikannya, dan


dalam u-paya meningkatkan mutu out putnya.
4. Kompetitif,
siap
bersaing
dengan
lembaga-lembaga
pendidikan lain di sekitarnya atau dimana saja, dalam
penampilan, dalam pelayanan, dalam kualitas akademik dan
dalam menarik dukungan dan partisipasi masyarakat.
Masalah ini memang bukan sesuatu yang mudah,
membutuhkan kesadaran dan kesabaran yang tinggi, dan butuh
partisipasi yang luas dari masyarakat, serta orien-tasi inovatif
dan semangat perjuangan serta pengabdian yang tidak kenal
lelah dari para pemikir, ilmuwan, dermawan dan pemimpin umat.
Perlu
bersama-sama
kita
merenungkan dan kemudian
mengambil langkah strategis, dari pesan Tuhan dalam al-Quran:
Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang
beriman diantara-mu, dan orang-0rang yang diberi ilmu
pengetahuan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
lakukan. ( Al-Mujadalah: 11)

Kata Pengantar
Mengapa Remaja Akrab dengan Kenakalan?

Remaja adalah harapan dan tumpuan setiap orang tua dalam


keluarga.Remaja juga didaulat menjadi generasi penerus bangsa.
Masa depan bangsa ditentukan oleh kiprah para pemudanya.
Dalam sebuah kesempatan, Soekarno pernah berorasi: Beri aku
1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri
aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.
Orasi Soekarno ini menggambarkan bahwa pemuda adalah
tulang punggung sebuah bangsa yang akan menjadi motor
penggerak bagi kemajuan bangsa meraih kejayaannya.
Tetapi,

di

era

modern

yang

ditandai

dengan

pesatnya

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini,


pemuda tak seindah citra yang dibayangkan oleh Soekarno di
awal masa kemerdekaan itu. Pemuda dan remaja-remaja kita kini
lebih akrab dengan kenakalan. Mengapa

demikian?

Itulah

tantangan yang harus dijawab oleh lembaga pendidikan.


Setiap melakukan tindakan atau melakukan suatu sikap tertentu
dilakukan oleh sebuah motivasi dan motivasi atau dorongan
tersebut tidak hanya satu motivasi melainkan dapat dari
berbagai motivasi. Misalnya, seorang anak bersikap nakal di

sekolah terhadap adik kelasnya, karena memiliki pengalaman


terhadap kakak kelas yang juga bersikap sama terhadapnya.
Motivasi atau dorongan-dorongan tersebut dapat dimasukkan ke
dalam faktor-faktor penyebab munculnya kenakalan remaja.
Buku ini hadir menjawab berbagai problem remaja, peran
lembaga pendidikan Islam dan tantangan masa depan bangsa.
Berbagai

kekurangan

dalam

buku

ini

adalah

murni

tanggungjawab penulis. Saran dan kritik pembaca sangat saya


nantikan, sehingga terjadi perdebatan yang mencerahkan untuk
masa depan. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak
yang berkontribusi penting dalam buku ini, khususnya kedua
orang tuaku, saudaraku, istri dan anakku, dan seluruh keluarga
besar Madrasah Mazroatul Ulum, Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa
Tengah.

Penulis,

10

BAB I
Kenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan Madrasah

Mengenal Kenakalan Ramaja


Istilah "kenakalan" akrab disandingkan dengan "ramaja". Berakar
dari

kata

dasar

"nakal",

kenakalan

merujuk

pada

suatu

perbuatan atau perilaku yang menyimpang (melanggar) norma,


aturan atau hukum. Sementara, istilah "remaja", para ahli
pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang
berusia antara 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah
melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup
matang untuk dapat dikatakan dewasa. Remaja berada pada
masa transisi.
Dengan demikian, kenakalan remaja merupakan suatu perbuatan atau perilaku
yang menyimpang norma dalam masyarakat yang dilakukan oleh remaja atau usia
transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Kenalakan remaja atau dalam bahasa

11

Inggris di kenal dengan istilah juvenile delinquency, merupakan gejala


patologi sosial pada remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk
perilaku yang menyimpang, sehingga tidak dapat diterima
secara sosial.1
Dalam perspektif perilaku menyimpang, masalah sosial terjadi
karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagaiaturan
sosial maupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku
menyimpang dapatdianggap sebagai sumber masalah karena
dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Kasus geng motor
yang anarkis, tawuran antar pelajar, kekerasan dalam lingkungan
sekolah,

pelecehan

seksual,

seks

bebas,

penyalahgunaan

narkoba dan minum-minuman keras dan kenakalan remaja


lainnya bisa menjadi contoh.
Kenakalan remaja ini biasanya dilakukan oleh para remaja yang
gagal dalam menjalani proses perkembangan jiwanya, baik pada
saat mereka masih remaja maupun pada masa kanak-kanak.
Merujuk gagasan Erich Fromm (2000) bahwa aksi kenakalan
remaja dengan mengambil latar, bentuk, pola, model dan
modus yang beragam lahir dari kondisi-kondisi tertentu yang tidak
memungkinkan seseorangberkembang secara positif. Keterhambatan untuk
1Michelle Kalra, Juvenile Delinquency and Adult Aggression Against Women,
Wilfrid Laurier University, (1996).

12

tumbuh secara baik (positif) ini akhirnya membalikkan pertumbuhan individu ke


arah perilaku agresif.
Masa transisi dari kanak-kanak dan masa remaja berlangsung
begitu singkatdengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi
yangbegitu cepat pula.Secara psikologis, kenakalan remaja
merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidakterselesaikan
dengan baik pada masa kanak-kanak maupun masa remaja para
pelakunya. Sering kali didapati bahwa ada trauma dalam masa
lalunya,

perlakuan

kasar

dan

tidak

menyenangkan

dari

lingkungannya maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya,


seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.
Mereka gagal dalam mengelola perubahan sosiologis di satu sisi
dan perubahan biologis di sisi lain, sehingga melahirkan krisis
identitas.

Mereka

kesulitan

mempelajari

dan

membedakan

perilaku yang dapat diterima atautidak dapat diterima di


masyarakat. Kalaupun mengetahui perbedaan tersebut, namun
mereka tidak bisa mengembangkan kontroldiri untuk bertingkah
laku sesuai dengan pengetahuannya.Kartini Kartono mengatakan
bahwa remaja yang nakal disebut pula sebagai remaja yang
cacatsosial.

Mereka

adalah

penderita

cacat

mental

yang

disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengahmasyarakat,

13

sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu


kelainan dandisebut kenakalan.2
Sementara, Singgih D. Gumarso, mengatakan bahwa dari segi
hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang
berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu:
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak
diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau
sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum
2. Kenakalan

yang

bersifat

melanggar

hukum

dengan

penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum


yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum
bila dilakukan oleh orang dewasa.3
Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan
remaja kedalam tiga tingkatan, yaitu;
1. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran,
membolos sekolah, pergi dari rumahtanpa pamit.
2. Kenakalan
kejahatan

yang
seperti

menjurus

pada

mengendarai

pelanggaran
mobil

tanpaSIM,

mengambil barang orang tua tanpa izin.

2Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja,


(Jakarta:Rajawali Press, 1986), hlm. 98.
3Singgih D Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulya. 1988), hlm. 19.

14

dan

3. Kenakalan khusus
hubungan

seks

seperti

penyalahgunaan

diluar

nikah,

narkotika,

pergaulan

bebas,

pemerkosaan dan lain sebagainya. Kategori di atas


biasanya

menjadi

ukuran

kenakalan

remaja

dalampenelitian.
Sosiolog Emile Durkheim dalam Rules of Sociological Method
pernah mengemukakan bahwa perilaku menyimpang atau jahat
kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial
yang normal, maka kenakalan itu adalah normal karena tidak
mungkin

menghapusnya

secara

tuntas.Artinya,

perilaku

dikatakan normal apabila perilaku tersebut tidak menimbulkan


keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam
batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang
tidak disengaja. Sebaliknya, perilaku nakal atau jahat adalah
perilaku

yang

disengaja

meninggalkan

keresahan

pada

masyarakat.4

Faktor-Faktor Kenakalan Remaja


Faktor-faktor kenakalan remaja lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut:5
4Soerjono Soekanto, Sosiologi Penyimpangan, (Jakarta:Rajawali Press, 1988),
hlm. 73

5John W. Santrock, Perkembangan Masa Hidup, terj Juda Damanik dan Achmad
Chusairi, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 24.

15

1. Faktor Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukan Erikson
(1968), masa remaja ada pada tahap di mana krisis
identitas versus difusi identitas harus diatasi. Erikson
percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai
dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang
kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas.
Beberapa dari remaja yang tidak mampu memenuhi
tuntutan yang dibebani pada mereka untuk setiap masa
perkembangan yang mereka lewati, mungkin akan memilih
perkembangan identitas yang negatif. Remaja seperti ini
mungkin akan ambil bagian dalam tindak kenakalan,
membuat diri mereka sendiri terperangkap dalam arus
zaman yang paling negatif dalam dunia muda yang mereka
hadapi.
2. Kontrol diri lemah
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai
kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup
dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam
mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah
dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Santrock

16

menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai


peranan penting dalam kenakalan remaja.6
Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku
yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau
mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan
antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol
yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk
membimbing

tingkah

laku

mereka.

Remaja

pelaku

kenakalan juga mungkin saja mengembangkan standar


tingkah laku yang tidak memadai.
Remaja yang akan melakukan tindakan antisosial
memerlukan pemikiran krisis terhadap dirinya sendiri agar
bisa

menghambat

kecenderungan

untuk

melakukan

tindakan yang melanggar hukum. Standar krisis terhadap


diri sendiri ini sangat dipengaruhi oleh model peran yang
dimiliki oleh remaja. Oleh karena itu, remaja yang memiliki
orang tua, guru, dan teman sebaya yang menunjukkan
adanya

standar krisis

mengembangkan
menahan

diri

terhadap diri

kontrol

dari

diri

tindakan

yang

sendiri biasanya
diperlukan

melanggar

hukum

untuk
atau

antisosial.

6 John W. Santrock, Perkembangan Remaja,terj. Shinto B.Adelar dan Sherly


Saragih (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 27.

17

Hasil

penelitian

yang

dilakukan

baru-baru

ini

menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai


peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh
orangtua yang efektif di masa kanak- kanak (penerapan
strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak
aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri
oleh anak. Dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut
internal akan berpengaruh

pada

menurunnya

tingkat

kenakalan remaja.7
3. Usia Penampakan awal
Perilaku anti-sosial berkaitan dengan pelanggaranpelanggaran serius di kemudian hari pada masa remaja.
Akan tetapi tidak semua anak yang bertindak berlebihan
menjadi anak nakal. Munculnya tingkah laku anti sosial di
usia

dini

berhubungan

dengan

penyerangan

serius

nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua


anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan
menjadi pelaku kenakalan.
4. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam perilaku
antisosial daripada remaja perempuan, walaupun remaja

7Ibid., hlm. 35.

18

perempuan lebih cenderung melarikan diri dari rumah.


Sedangkan remaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam
tindakan-tindakan kejahatan.
5. Harapan terhadap pendidikan rendah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali
memiliki harapan- harapan pendidikan yang rendah dan
nilai rapor yang rendah. Kemampuan-kemampuan verbal
mereka seringkali lemah. Remaja yang menjadi pelaku
kenakalan

seringkali

memiliki

harapan

yang

rendah

terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa


sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya
sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah
cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi
untuk sekolah.
6. Kurangnya kasih sayang orang tua
Remaja yang nakal seringkali berasal dari keluarga
dimana orangtua jarang memantau anak-anak mereka,
memberi sedikit dukungan, dan mendisiplinkan mereka
secara tidak efektif. Faktor keluarga sangat berpengaruh
terhadap

timbulnya

kenakalan

remaja.

Kurangnya

dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua


terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin

19

yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat


menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan
rekan-rekannyamenunjukkan bahwa pengawasan orangtua
yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan
penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai
merupakan

faktor

keluarga

yang

penting

dalam

menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan


dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga
berhubungan

dengan

kenakalan.

Faktor

genetik

juga

termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun


persentasenya tidak begitu besar.8
7. Temen sebaya nakal
Bergaul dengan teman-teman sebaya yang nakal
menambah besar resiko menjadi nakal. Memiliki temanteman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak
melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase
kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki

8Ibid., hlm 34.

20

hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan


kenakalan.9
8. Status sosial ekonomi rendah
Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari
kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan
yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja
merasa akan mendapatkan perhatian dan status dengan
cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi tangguh
dan maskulin adalah contoh status yang tinggi bagi
remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status
seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja
dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri
setelah melakukan kenakalan. Pelanggaran-pelanggaran
yang serius lebih sering dilakukan oleh kaum laki-laki kelas
rendah.
9. Lingkungan membiakkan kejahatan
Tinggal di suatu daerah yang tingkat kejahatannya
tinggi, yang juga dicirikan oleh kondisi-kondisi kemiskinan
dan kehidupan yang padat, menambah kemungkinan
bahwa seorang anak akan menjadi nakal. Masyarakat ini
seringkali memiliki sekolah-sekolah yang sangat tidak
9John W. Santrock, Perkembangan Remaja, hlm. 29.

21

memadai. Komunitas juga dapat berperan serta dalam


memunculkan kenakalan remaja.
Masyarakat

dengan

tingkat

kriminalitas

tinggi

memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang


melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau
penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat
seperti

ini

sering

ditandai

dengan

kemiskinan,

pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas


menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan
aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor
lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan
kenakalan remaja.

Sumber Kenakalan Remaja


Berhubung sangat banyaknya faktor yang menyebabkan tingkah
laku kenakalan remaja, maka Willis (2008) membagi atau
mengelompokkan berdasarkan tempat atau sumber kenakalan
remaja atas empat bagian:10
a. Faktor-faktor di dalam diri anak itu sendiri, yaitu
predisposing

factor,

lemahnya

pertahanan

10Kartini, Kartono, Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja, (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 1992), hlm. 57.

22

diri,

kurangnya

kemampuan

penyesuaian

diri,

dan

kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri remaja:


b. Faktor-faktor di lingkungan rumah tangga, yaitu remaja
kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari
orangtua,

lemahnya

keadaan

ekonomi

orangtua

(terutama di desa-desa), dan kehidupan keluarga yang


tidak harmonis.
c. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat,
yaitu

kurangnya

secara

pelaksanaan

konsekuen,

memperoleh

ajaran-ajaran

masyarakat

pendidikan,

yang

kurangnya

agama
kurang

pengawasan

terhadap remaja, dan pengaruh norma-norma baru dari


luar
d. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan sekolah,
yaitu faktor guru, faktor fasilitas pendidikan, norma
pendidikan dan kekompakkan guru, dan kekurangan
guru.
Kesemuanya itu menggambarkan betapa rendahnya kualitas
karakter

manusia

Indonesia.

Rendahnya

kualitas

karakter

manusia itu disebabkan oleh krisis etika yang diduga kuat


sebagai akibat dari pola pikir sentralistik, monolitik, uniformistik,
di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan.

23

Bagaimana Tanggungjawab Pendidikan?


Persoalan-persoalan tersebut memang bukanlah semata-mata
menjadi tanggung jawab dunia pendidikan, namun pendidikanlah
yang paling banyak berperan terhadap munculnya persoalanpersoalan

tersebut.

Sementara,

pendidikan

belum

mampu

menyediakan ruang untuk proses berkembangnya siswa secara


mandiri, kreatif, kritis dan bertanggung jawab. Pendidikan belum
menjadi

medium

untuk

kemanusiaan,agama,
produktivitas,

penanaman

pengembangan

berpikir

kritis-analitis,

nilai-nilai
daya

moral-

kreativitas,

bertanggung

jawab,

kemandirian dan kemampuan berkembang menjadi pribadi yang


baik, berkarakter dan berkepribadian.
Sebaliknya, pelaksanaan pendidikan yang selama ini berlangsung lebih
berorientasi di ranah kognitif, sedangkan ranah afektifnya masih terabaikan.
Pendidikan bukan lagi suatu upaya pencerdasan siswasehingga
mampu

mengenal

pembutaan

realitas

kesadaran

yang

diri

dan

disengaja

dunianya,
dan

melainkan

terencanayang

menutup proses perubahan dan perkembangan. Teori stimulusrespon yang sudah bertahun-tahun dianut dan digunakan dalam
kegiatan

pembelajaran,

tampak

sekali

mendukung

sistem

pendidikan tersebut. Teori ini mendudukkan orang yang belajar


sebagai individu yang pasif.Perilaku siswa dapat dibentuk karena

24

dikondisikan dengan cara tertentu dengan menggunakan metode


indoktrinasi.
Dalam dunia pendidikan dikenal 3 bentuk tingkah laku yangmerupakan ciri
berhasilnya pendidikan apabila tingkah laku tersebut dapatdiwujudkan dalam diri
siswa. Ketiga bentuk tingkah laku itu menurut B.S.Bloom, dkk disebut taksonomi
tujuan instruksional yang terdiri dari 3 ranahyaitu ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik.11
Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Secara umum pendidikan dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat. Dengan demikian bagaimanapun sederhananya
peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses
pendidikan.

Menurut Tim Dosen FIP IKIP Malang yang dikutip oleh Dra.

Zuhairini: Pendidikan merupakan aktivitas

dan usaha manusia untuk

meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi rohani (pikir, rasa,


karsa,

cipta

dan

budi

nurani)

dan

jasmani

(panca

indera

dan

ketrampilanketrampilan).12

Pendidikan Islam, Mampukah Menjawab?


Dari rumusan tersebut pengertian pendidikan masih terlihat keumumannya, untuk
itu Islam memberikan batasan bentuk konseptualnya yaitu pembentukan
11WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996, 144.
12Zuharini, et. Al., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, 151.

25

kepribadian yang dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian


muslim. Jadi kepribadian muslim merupakan tujuan dari setiap usaha pendidikan.
Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan
manusia yang utuh jasmani dan rohani yaitu manusia yang berguna bagi dirinya
dan masyarakatnya serta senang mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam
dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat
mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk
kepentingan hidup di dunia dan akhirat.
Hal ini telah ditunjukkan Allah dalam firman-Nya :
Arinya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Qs. Ali
Imran : 102)13

Untuk menghasilkan manusia yang utuh jasmani dan rohanisebagaimana yang


diharapkan dalam pendidikan Islam itu bukanlah hal yangmudah sehingga
dibutuhkan kerja keras yang dilakukan secara berencana.Salah satu cara atau alat
yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuantersebut adalah melalui
pengajaran. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Zakiah Daradjat dengan pendapatnya yaitu
Tujuan pendidikan Islam tidak dapatdicapai kecuali melalui proses pengajaran,
pengalaman, pembiasaan,penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya.14
Adapun dalam pendidikan formal (sekolah, madrasah), tahap-tahap dalam
mencapai tujuan pendidikan itu dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang
selanjutnya dikembangkandalam tujuan instruksional. Di dalam praktek sehari13Soenarjo, dkk.,Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1971, 92.
14Zakiah Daradjat, dkk.,Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, 30.

26

hari di sekolah dikenaltujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional


khusus (tujuan yangdidasarkan atas tingkah laku dan merupakan bentuk
operasional dari TIU).
Dalam dunia pendidikan dikenal 3 bentuk tingkah laku yangmerupakan ciri
berhasilnya pendidikan apabila tingkah laku tersebut dapat diwujudkan dalam diri
siswa. Ketiga bentuk tingkah laku itu menurut B.S.Bloom, dkk disebut taksonomi
tujuan instruksional yang terdiri dari 3 ranahyaitu ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik.15Adapun yang menjadiperhatian penulis adalah ranah afektif.
Pembahasan tentang ranah afektif tidak mungkin terpisah dengan ranah kognitif
dan psikomotorik. Karena pada dasarnya pemisahan antara ketiga ranah tersebut
merupakan pemisahan yang dibuat-buat. Hal inidisebabkan karena manusia
merupakan suatu kebulatan yang tidak dapatdipecah-pecah sehingga segala
tindakannya merupakan suatu kebulatan.16 Meskipun demikian, ketiga ranah
tersebut dapat dibedakan satu sama lain. Ranah afektif merupakan salah satu
taksonomi tujuan instruksionalyang berkaitan dengan kondisi psikologis atau
perasaan seseorang.

Konsep Afeksi dalam Pendidikan


Adapun ranah afektif itu terdiri dari 5 unsur sebagaimana pendapat Krathwohl
yangdikutip oleh Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D. Kelima unsur tersebut adalah

15WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996, 144.


16Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,
2001, 116.

27

sikap,minat, nilai, apresiasi dan penyesuaian dengan proses munculnya unsur


afektif dalam diri siswa dapat disusun strukturnya sebagai berikut:
a. Receiving(menerima)
Menerima (receiving) ialah kepekaan seseorang dalam
menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan
lain-lain,

termasuk

kesadaran

dan

dalam

keinginan

jenjang
untuk

ini

misalnya

menerima

ialah

stimulus,

mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan


yang datang dari luar.
b. Responding(menanggapi)
Menanggapi

(responding)

mengandung

arti

adanya

partisipasi aktif. Jadi, kemampuan menanggapi ialah


kemampuan

yang

dimilikioleh

seseorang

untuk

mengikutsertakan dirinya secara aktif dalamfenomena


tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah
satucara.
c. Valuing(menilai )
Menilai/menghargai

(valuing)

yang

dimaksudkan

ialah

memberi nilai atau memberikan penghargaan terhadap


suatu kegiatanatau objek, sehingga apabila kegiatan atau
objek,

sehingga

apabilakegiatan

itu

tidak

dikerjakan,

dirasakan akan membawa kerugian ataupenyesalan.

28

d. Organization(mengatur atau mengorganisasikan)


Mengatur atau mengorganisasikan (organization) ialah
mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai
baru yanguniversal, yang membawa kepada perbaikan
umum.
e. Characterization by a value(karakterisasi dengan suatu nilai)17
Karakterisasi dengan suatu nilai (characterization by a)
ialah keterpaduansemua sistem nilai yang telah dimiliki
seseorang

yang

mempengaruhipola

kepribadian

dan

tingkah lakunya.
Apabila kita melihat struktur kawasan afektif tersebut ternyata tidak sejelas seperti
struktur pada kawasan kognitif. Dimana kawasan kognitifmasing-masing
unsurnya bisa dikatakan hierarkis artinya unsur yang satumerupakan syarat
mutlak bagi unsur yang lain. Namun dalam ranah afektifmasing-masing unsur
tersebut saling tumpang tindih, maka tidaklahmengherankan apabila dalam
pendidikan lebih mengorientasikan tujuannyapada ranah kognitif karena lebih
mudah dirumuskan dan dievaluasi.Sedangkan ranah afektifnya terbengkalai
artinya ranah afektif hanya dipasangdalam tujuan, kalaupun itu ada, namun tidak
pernah diupayakan aplikasinya.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa unsur-unsur afektif itu tidak
dapatdiwujudkan dalam proses belajar mengajar, tetapi untuk mewujudkan unsur-

17Suyanto, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki


Millenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000, 72.

29

unsur tersebut diperlukan kondisi yang kondusif artinya adanya usaha untuk
menciptakan kondisi belajar mengajar yang mampu menumbuhkan sikap,minat,
nilai, apresiasi dan penyesuaian terhadap suatu fenomena kognitif.
Posisi

unsur-unsur

sangatberpengaruh

afektif
terhadap

seseorang
proses

terhadap

pengambilan

fenomena
keputusan

kognitif

dalam

diri

seseoranguntuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh pada


saatbangsa Indonesia berperang melawan Belanda, para pemimpin perang
kitatelah berhasil menanamkan sistem nilai kepada seluruh rakyat, yaitu lebih
baikmati dari pada dijajah. Dari sistem nilai itu timbul semboyan merdeka
ataumati. Dengan sistem nilai seperti itu dipercaya, diminati, diapresiasi dan
jugadisikapi secara positif oleh rakyat. Oleh karena itu dengan bambu
runcingyang sudah agak tumpul pun rakyat Indonesia berani berperang
melawanpenjajah.
Jadi, jelas unsur-unsur afektif itu sebagai penentu seseorang untuk melakukan
sesuatu atau sebaliknya. Demikian halnya dalam pendidikan Agama Islam yang
penuh dengan nilai-nilai moral, maka dalam pembelajaranagama Islam tidak
hanya menghafal berbagai tuntutan agama, tetapi gurumemberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukanrefleksi terhadap nilai-nilai agama
yang sedang dipelajarinya. Dengandemikian nilai agama akan dipegang sebagai
suatu yang harus diyakini,disadari dan diamalkan. Maka secara otomatis
terbentuklah kepribadianmuslim dalam diri siswa sebagaimana yang dicita-citakan
dalam pendidikan Islam.

30

Namun, apabila kita mengamati fenomena pelaksanaan pendidikanIslam sekarang


ini, maka pembelajaran agama Islam yang selama iniberlangsung kurang terkait
terhadap persoalan bagaimana mengubahpengetahuan agama yang bersifat
kognitif menjadi nilai yang perludiinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk
selanjutnya menjadikepribadian siswa yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan sehari-hari.18Implikasinya pada saat ini banyak terdapat kasus
kenakalan di kalangan pelajar seperti perkelahian pelajar, konsumen minuman
keras, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya. Munculnya kasus tersebut salah
satu penyebabnya adalahpelaksanaan pendidikan yang selama ini berlangsung
lebih mengorientasikantujuannya pada ranah kognitif sedangkan ranah afektifnya
terabaikan.
Pengabaian

tersebut

merugikan

perkembangan

peserta

didik

secara

individualmaupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada ialah


peserta didiktahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap,
minat,sistem nilai maupun apresiasi positif terhadap apa yang mereka ketahui.
Oleh karena itu, penanaman nilai kehidupan harus ada dalam
pendidikan afeksi di sekolah, walaupun tidak harus dalam
bentuk mata pelajaran, melainkan dapat terintegrasi dalam
mata pelajaran. Hal yang paling penting adalah bagaimana
guru menanamkan nilai pada siswa melalui pendidikan afeksi

18Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2001, 168.

31

yang diajarkan di sekolah dan bagi siswa belajar tentang


makna nilai kehidupan.19

Mazroatul Ulum Menjawab


Lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum yang
terletak di lereng gunung muria tepatnya di Desa Suwaduk
Kecamatan

Wedarijaksa

Kabupaten

Pati

dalam

mengimplementasikan pembelajaran afeksi kepada siswanya


berusaha untuk selalu mencakup seluruh proses pengembangan
domain

afektif

yang

meliputi

pendidikan

sikap,

etika,

kepercayaan, perasaan, khususnya estetika, kemanusiaan, moral


dan nilai.
Di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati sendiri dalam
pengimplementasian pembelajaran yang mengarah pada pembelajaran afeksi telah
terlihat dengan indikasi yang tampak pada peserta didik dalam
berbagai tingkah laku dan sikap siswa, seperti: bertambahnya
perhatian terhadap mata pelajaran yang diajarkan, kedisiplinan
dalam mengikuti pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi
untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang diterimanya,
penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan lain
sebagainya.
19Bambang Irianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu
Solusi Dalam Memenuhi Tuntutan Global dan Lokal (makalah),
Bandung : Makalah, 2003, 2.

32

Bertitik tolak dari penjelasan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian atas Implementasi Pembelajaran Afeksi Siswa di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Tahun Pelajaran
2011/2012

BAB II
Kupas Tuntas Konsep Pembelajaran Afeksi

33

Pengertian Pembelajaran Afeksi


Dalam membahas pembelajaran afeksi, tentu saja yang mesti
dipahami adalah makna kata per kata. Secara etimologis kata
pembelajaran berasal dari kata belajar yang mendapatkan
tambahan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti
sebuah proses. Kata belajar sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan berusaha memperoleh kepandaian atau
ilmu.20
Pengertian belajar menurut Gordon H. Bower dan Ernest R.
Hilgard ialah to gain knowledge through experience.21
Artinya: untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalaman.
Secara terminologis pembelajaran memiliki banyak pengertian
dan memiliki batasan yang luas. Hal tersebut dikarenakan, para
ahli

pendidikan

memiliki

pemahaman

yang

berbeda-beda

tentang pengertian pembelajaran.


Oemar

Hamalik

kombinasi

yang

mendefinisikan
tersusun

pembelajaran

meliputi

unsurunsur

ialah

suatu

manusiawi,

material, fasillitas, perlengkapan dan prosedur yang saling


mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.22 Menurut
E. Mulyasa pembelajaran pada hakekatnya ialah interaksi antara
20 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, 4
21 Gordon H. Bower dan Ernest R. Hilgard, Theories of Learning,
London: Prentice Hall International, 1981, 2

34

peserta didik dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan


perilaku

ke

arah

yang

baik. 23

lebih

S.

Nasution

bahwa

pembelajaran ialah proses interaksi antara guru dan siswa atau


sekelompok

siswa

dengan

tujuan

untuk

memperoleh

pengetahuan, ketrampilan atau sikap serta menetapkan apa


yang dipelajari.24
Berdasarkan

pengertian di

atas

dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan


lingkungan belajar yang diatur guru untuk mencapai tujuan
pengajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, posisi guru
dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya sebagai penyampai
informasi melainkan sebagai pengarah dan pemberi fasilitas
untuk terjadinya proses belajar.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang
diupayakan untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh
dan

berkembang

sesuai

dengan

maksud

dan

tujuan

penciptaannya. Istilah pembelajaran sebelumnya lebih popoler


dengan sebutan kegiatan belajar mengajar maupun proses
22 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi
Aksara, 2001, 57
23 E. Mulyasa, Kurikulum Berbeasis Kompetensi, Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset, 2003, 100
24 S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara,
2007, 102

35

belajar

mengajar.

Dalam

kegiatan

belajar

mengajar

pelaksanaannya tidak ada keseimbangan antara guru dengan


siswa, di mana dalam kegiatan belajar menekankan keaktifan
guru sementara siswa hanya pasif. Sehingga kegiatan belajar
mengajar

guru

berhasilnya

bersifat

kegiatan

theacher
belajar

oriented.
mengajar,

Seiring

kurang

maka

proses

pembelajaran merupakan jawaban terhadap kelemahan kegiatan


belajar mengajar selama ini.25
Dalam pembelajaran baik guru maupun siswa dituntut untuk
aktif. Dalam memperoleh kondisi pembelajaran yang efektif
tersebut maka guru sangat berperan dalam menentukan kualitas
dan kuantitas pengajaran. Oleh karena itu, dalam hal ini, seorang
guru harus mampu merencanakan dan meningkatkan kualitas
pengajaran.
Untuk memenuhi hal tersebut, guru dituntut mampu mengelola
proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada
siswa sehingga mau belajar, karena memang siswalah subjek
utama

dalam

belajar.

Dalam

menciptakan

kondisi

belajar

mengajar yang efektif, berikut ini akan penulis paparkan tentang


ketrampilan dasar yang harus dikuasai oleh seorang guru di
dalam pembelajaran, antara lain:
25 Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam di Sekolah,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, 184

36

1) Memberi penguatan
Penguatan (reinforcement) ialah segala bentuk respon
apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang merupakan
bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah
laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi
atau umpan balik (feed back) bagi si penerima (siswa) atas
perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun
koreksi

atau

berulangnya
tersebut

penguatan
kembali

tingkah

dimaksudkan

membesarkan

hati

meningkatkan
laku

untuk

siswa

agar

kemungkinan

tersebut.

Tindakan

mengganjar
mereka

lebih

atau
giat

berpartisipasi dalam interaksi belajar mengajar.


Adapun jenis penguatan ada 2 antara lain:26 a) Penguatan
verbal (biasanya diungkapkan atau diutarakan dengan
penggunaan kata-kata pujian, penghargaan, persetujuan
dan sebagainya), misalnya: bagus, bagus sekali, betul,
pintar, dan lain-lain. b) Penguatan non verbal (penguatan
gerak/syarat) misalnya: anggukan atau gelengan kepala,
senyuman, acungan jempol dan lain-lain).
2) Menggunakan teknik bertanya yang merespon siswa

26 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2002, 80

37

Dalam

proses

belajar

mengajar,

bertanya

memainkan

peranan penting, sebab pertanyaan yang tersusun dengan


baik dan teknik pelontaran yang tepat akan memberikan
dampak positif terhadap siswa, di antaranya:27
a) Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan
belajar mengajar
b) Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi
c) Mengembangkan pola dan cara belajar aktif siswa
sebab berfikir itu

sendiri

sesungguhnya

ialah

bertanya.
Ketrampilan dan kelancaran bertanya dari calon guru maupun
dari guru itu perlu dilatih dan ditingkatkan baik isi pertanyaan
maupun teknik bertanyanya. Dasar bertanya yang baik antara
lain:
a) Jelas dan mudah dimengerti oleh siswa
b) Memberikan informasi yang cukup kepada anak
c) Difokuskan

pada

suatu

masalah

atau

tugas

tertentu
d) Berikan respon yang ramah dan menyenangkan
sehingga timbul keberanian siswa untuk menjawab
dan bertanya.
27 Usman, 75

38

3) Menggunakan metode yang bervariasi


Variasi merupakan kegiatan guru dalam konteks proses interaksi
belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan
siswa sehingga dalam situasi belajar mengajar siswa senantiasa
menunjukkan

ketekunan

antusias

serta

penuh

partisipasi.

Adapun tujuan dan manfaat penggunaan metode yang bervariasi


ialah:28
a) Untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian
siswa kepada aspek-aspek belajar yang relevan
b) Untuk memupuk tingkah laku yang positif terhadap
guru dan sekolah dengan berbagai cara mengajar
yang lebih hidup dan lingkungan belajar yang lebih
baik.
c) Guna memberi kesempatan kepada siswa untuk
memperoleh

cara

menerima

pelajaran

yang

disenanginya.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam metode yang bervariasi,
antara lain:
1) Variasi

hendaknya

digunakan

sesuai

dengan

maksud dan tujuan yang hendak dicapai.


2) Menggunakan

variasi

secara

lancar

dan

berkesinambungan sehingga tidak akan merusak


28 Usman, 84-85

39

perhatian siswa dan tidak mengganggu proses


pelajaran.
3) Penggunaan komponen variasi harus benar-benar
terstruktur dan direncanakan oleh guru.
Metode-metode

di

atas

merupakan

metode

yang

sering

digunakan dalam pengajaran, selain metode-metode tersebut


masih banyak metode-metode lain yang dapat dipraktekkan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, penggunaan dan kombinasi
antara metode-metode harus dilakukan oleh pengajar.
4) Menarik perhatian siswa
Untuk membangkitkan perhatian yang disengaja seorang
guru harus:29
a) Dapat menunjukkan pentingnya bahan

pelajaran

yang disajikan bagi siswa.


b) Berusaha menghubungkan antara apa yang telah
diketahui oleh siswa dengan materi yang akan
disampaikan.
c) Merangsang siswa agar melakukan kompetensi
belajar yang sehat dan berusaha menghindarkan
hukuman serta dapat memberikan hadiah secara
bijaksana.
5) Melakukan evaluasi
29 Busyairuddin Usman, 10

40

Evaluasi/penilaian ialah suatu upaya untuk memeriksa


sejauhmana siswa telah megalami kemajuan belajar
atau mencapai tujuan belajar dan pembelajaran. 30
Menurut

Daryanto

mengetahui

evaluasi

usaha

yang

digunakan

dilakukan

guru

untuk
melalui

pengajaran berkaitan dengan pencapaian tujuan yang


dirumuskan.31
Dengan demikian tujuan utama melakukan evaluasi
ialah

untuk

mendapatkan

informasi

yang

akurat

tentang pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa


sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Untuk
lebih mudah pengukuran keberhasilan proses belajar
mengajar,
materi

maka

sebaiknya

sedapat

mungkin

pertanyaan-pertanyaan baik

sehabis

menerangkan

guru

mengajukan

lisan maupun tulisan

sehingga siswa juga lebih mudah mencerna dan


mengingat-ingat pelajaran yang telah disampaikan.
6) Mengelola kelas
Pengelolaan

kelas

(classroom

management)

ditekankan pada upaya untuk menciptakan kondisi


30 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi
Aksara, 2001, cet. 3, 157
31 Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, 7

41

dan prakondisi yang nyaman bagi terlaksananya


proses pembelajaran secara efektif dan efisien. Dalam
melaksanakan
seorang

kegiatan

guru

harus

atau

aktivitas

bertanggung

mengajar,

jawab

dan

memperhatikan semua aktivitas di dalam kelas. Ia


dapat berlaku sebagai seorang manajer. Orang

tua,

teman,

dan

nara

sumber,

mediator,

motivator,

supporter bagi siswanya.


Guru sebagai pemimpin (manajer) memberikan contoh
yang baik kepada siswanya tentang bagaimana belajar
dan

ia

terlibat

dalam

berbagai

aktivitas

yang

menyenangkan. Guru juga harus mendorong siswa


untuk belajar dan berprean dalam semua aktivitas dari
sejak awal. Siswa harus diberikan tugas secara teratur,
baik berupa kegiatan belajar di dalam kelas, tugas di
luar

kelas,

maupun

tugas

mandiri

supaya

pembelajaran dapat terpusat (terfokus) pada siswa


(student centered).

Pengertian Afeksi
Dalam proses belajar mengajar, terdapat empat unsur utama
yaitu tujuan, materi, metode dan alat serta evaluasi. Tujuan pada
hakikatnya merupakan rumusan tingkah laku yang diharapkan

42

dapat dikuasai siswa setelah menempuh pengalaman belajar.


Materi

merupakan

seperangkat

pengetahuan

ilmiah

yang

disampaikan dalam proses belajar mengajar agar sampai pada


tujuan yang ditetapkan, sedangkan metode dan alat merupakan
cara yang digunakan dalam mencapai tujuan. Adapun untuk
mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai
atau tidak maka diperlukan evaluasi. Dari evaluasi itu akan
diketaui hasil belajar atau kemampuan yang dimiliki siswa
setelah proses belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam memahami ranah afeksi
tidak

terlepas

dari

keempat

unsur

utama

proses

belajar

mengajar. Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan


pendidikan menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin
S. Bloom yang secara garis besar membagi tiga ranah yakni
ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.32
Istilah ranah afeksi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata
ranah yang berarti bagian (satuan) perilaku manusia dan
afeksi berarti berkenaan dengan perasaan.33 Jadi, ranah afeksi
merupakan bagian dari tingkah laku manusia yang berhubungan
dengan perasaan.
32 Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,
Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, 22
33 Djalinus Syah, dkk., Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa
Indonesia), Jakarta : Rineka Cipta, 1993, 4

43

Di dalam mendefinisikan ranah afeksi, para ahli banyak yang


menyebutkan bahwa ranah afeksi itu merupakan tujuan yang
berkenaan dengan sikap dan nilai. Dari definisi tersebut di atas,
pengertian ranah afeksi terlihat sangat singkat dan masih
membutuhkan

pemahaman

sehingga

untuk

lebih

jelasnya,

penulis paparkan pendapat Menurut Muhibbin Syah, yang


mengatakan bahwa ranah kognitif sangat erat kaitannya dengan
ranah kognitif. Pengembagan ranah kognitif pada dasarnya
membuahkan

kecakapan

kognitif

dan

juga

menghasilkan

kecakapan afektif. Sebagai contoh, seorang guru yang piawai


dalam mengembangkan kecakapan kognitif, maka berdampak
positif pula terhadap ranah afektif.34
Syamsul

Yusuf

LN mengatakan bahwa ranah afeksi pada

dasarnya

merupakan

tingkah

laku

yang

mengandung

penghayatan suatu emosi atau perasaan tertentu. Contoh ikhlas,


senang,

marah,

sedih,

menyayangi,

mencintai,

menerima,

menyetujui dan menolak.35


Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa dalam ranah afeksi
bukan sikap dan nilai saja yang diutamakan, tetapi meliputi hal
yang lebih rumit artinya siswa diharapkan memperhatikan
34 Muhibbin Syah, Psikologi dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995, 51
35 Syamsu Yusuf LN., Psikologi Belajar Agama, Bandung: Pustaka
Bani Quraish, 2004, 9

44

sebuah fenomena selanjutnya ia memberikan sebuah respon


tertentu untuk diorganisasikan dalam dirinya sehingga siswa
mampu mengambil sikap-sikap, prinsip-prinsip yang menjadi
bagian dari dirinya di dalam memberikan
Ciri-ciri hasil belajar afeksi akan tampak pada peserta didik dalam
berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata
pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinan dalam mengikuti
pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu
lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya,
penghargaan

atau

rasa

hormatnya

terhadap

guru

agama

pendidikan agama Islam dan lain sebagainya.36


Jadi dari setiap pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran afektif adalah suatu sistem yang didalamnya
terdapat suatu interaksi antara siswa dengan lingkungan belajar
yang diatur guru dengan tujuan untuk membentuk suatu proses
belajar siswa agar dapat mempengaruhi keadaan perasaan,
emosi, pembentukan sikap dan nilai siswa tersebut.

Jenjang dan Aspek Ranah Afeksi


Ranah afeksi oleh Krathwohl dan kawan-kawan ditaksonomikan
menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, sebagai berikut:37
36 Muhibbin Syah, 54
37 Krathwohl dkk, 54-56

45

a. Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending)


Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending) ialah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari
luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi,
gejala dan lain-lain, termasuk dalam jenjang ini misalnya ialah
kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol
dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari
luar. Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian
sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau
suatu objek.
Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia untuk
menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka,
dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau
mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar afektif
jenjang receiving, misalnya ialah peserta didik menyadari bahwa
disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdisiplin harus
disingkirkan jauh-jauh.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi (responding) mengandung arti adanya partisipasi
aktif. Jadi, kemampuan menanggapi ialah kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara
aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya

46

dengan salah satu cara.38 Jenjang ini setingkat ranah afektif


receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding
ialah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih
jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang
kedisiplinan.
c. Menilai atau menghargai (valuing)
Menilai/menghargai (valuing) yang dimaksudkan ialah memberi
nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan
atau objek, sehingga apabila kegiatan atau objek, sehingga
apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa
kerugian atau penyesalan.
Valuing merupakan tingkatan afeksi yang lebih tinggi lagi dari
pada receiving dan responding. Dalam kaitan dengan proses
belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau
menerima nilai yang diajarkan, tetapi mereka telah mampu
untuk menilai konsep atau fenome, yaitu baik atau buruk. 39 Bila
sesuatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan telah mampu
untuk mengatakan itu ialah baik, maka ini berarti bahwa
peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu telah

38 Amirul Hadi, dkk., Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta : Rineka


Cipta, 2001, 31
39 Slameto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2001, 162

47

mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian,


maka nilai tersebut telah stabil dalam diri peserta didik.
Contoh hasil belajar afeksi jenjang valuing ialah tumbuhnya
kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin,
baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
d. Mengatur atau mengorganisasikan (organization)
Mengatur

atau

mengorganisasikan

(organization)

ialah

mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru


yang universal, yang membawa kepada perbaikan umum.
Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan
nilai dari ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya
hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas
nilai yang telah dimilikinya. Contoh hasil belajar afektif jenjang
organization ialah peserta didik mendukung penegakan disiplin
nasional.
Mengatur dan mengorganisasikan merupakan jenjang sikap atau
nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan
valuing. Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai
(characterization by a value or value complex) ialah keterpaduan
semua

sistem

nilai

yang

telah

dimiliki

seseorang

yang

mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini


proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam

48

suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada
sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya.
Hal ini ialah merupakan tingkatan afeksi tertinggi, karena sikap
batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki
philosophy of life yang mapan. Jadi, pada jenjang ini peserta
didik telah memiliki system nilai yang mengotrol tingkah lakunya
untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk
karakteristik pola hidup tingkah lakunya menetap, konsisten
dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang
ini ialah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta
didik menjadikan perintah Allah SWT., yang tertera dalam alQuran surat al-Ashr sebagai pegangan hidupnya. Dalam hal
yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, di
rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Lima Ranah Afeksi


Jadi, berdasarkan pendapat Krathwohl tersebut, dapat dipahami
bahwa ranah afeksi terdiri dari 5 aspek yaitu:
Pertama, Minat (interest). Menurut Doyles Friyer yang dikutip
oleh Wayan Nurkancana dalam bukunya Evaluasi Pendidikan,
Minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan

49

obyek atau aktifitas yang menstimulus perasaan senang pada


individu.40
Dari pengertian tersebut, apabila seseorang senang terhadap
obyek atau aktivitas tertentu maka ia akan mempunyai minat
yang besar terhadap obyek itu. Sebagai contoh apabila siswa
senang dengan pelajaran sejarah Islam maka ia akan menaruh
minat yang besar terhadap pelajaran tersebut misalnya dengan
memperhatikan

pelajaran

tersebut

dengan

baik,

banyak

membaca buku-buku sejarah Islam, senang bertanya kepada


guru

tentang

pelajaran

itu

dan

sebagainya.

Jadi

minat

merupakan faktor pendorong individu untuk melaksanakan


usahanya.
Kedua, Sikap (attitude). Sikap merupakan kecenderungan untuk
merespon sesuatu baik individu, tata nilai, peristiwa, dan
sebagainya dengan cara-cara tertentu. Dalam proses belajar
mengajar terlihat adanya sikap siswa seperti kemauannya untuk
menerima pelajaran dari guru, perhatiannya terhadap apa yang
dijelaskan oleh guru, penghargaannya terhadap guru. Jadi sikap
akan

memberikan

arah

kepada

individu

untuk

melakukan

perbuatan yang positif ataupun negatif.

40 Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1986,


229

50

Ketiga, Nilai (value). Sebagaimana yang dikutip oleh Drs. H.M.


Chabib Thoha dalam buku Kapita Selekta Pendidikan Islam, Sidi
Gazalba mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak.
Ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik,
melainkan

soal

penghayatan

yang

dikehendaki

dan

tidak

dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.41


Dari kedua pengertian nilai tersebut, dalam hubungannya
dengan proses belajar mengajar, siswa mampu menghayati
sebuah fenomena sehingga ia dapat membedakan benar dan
salah, baik dan buruk dan mana yang lebih penting dalam hidup.
Keempat,

Apresiasi.

Apresiasi

sering

diartikan

sebagai

penghargaan terhadap suatu benda baik abstrak maupun


kongkret yang memiliki nilai luhur dan umumnya dikaitkan
dengan karya seni. Menurut Chaplin yang dikutip oleh Muhibbin
Syah,

apresiasi

berarti

suatu

pertimbangan

(judgment)

mengenai arti penting atau nilai sesuatu.42


Dalam proses belajar mengajar, apresiasi dapat dilihat dari
perilaku siswa menghargai guru dan teman, menghargai waktu
belajar dan tahu hal-hal yang lebih penting dalam hidup.
41 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Semarang :
Pustaka Pelajar,1996, 60
42 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru, Bandung : Rosdakarya, 1997, 121

51

Kelima,

Penyesuaian

(adjustment).

Penyesuaian

merupakan

aspek afektif yang mengontrol perilaku siswa sesuai dengan


prinsip-prinsip yang tertanam dalam dirinya. Jadi adjustment
dapat

diartikan

sebagai

penguasaan;

yaitu

kemampuan

membuat rencana dan mengatur respon-respon sedemikian rupa


sehingga dapat menguasai atau menanggapi segala macam
konflik atau masalah.43
Sebagai

contoh,

siswa

melakukan

latihan

diri

dalam

memecahkan masalah berdasarkan konsep bahan yang telah


diperolehnya

atau

menggunakannya

dalam

praktek

kehidupannya.

Evaluasi dalam Aspek Afektif


Penilaian

terhadap

berlangsungnya

aspek

afektif

dilakukan

kegiatan belajar mengajar, baik

selama
di

dalam

maupun di luar kelas, yang berorientasi pada perilaku siswa


sehari-hari sebagai pengamalan nilai-nilai agama. Aspek afektif
inilah yang menjadi perhatian utama dalam penilaian mata
pelajaran pendidikan agama. Aspek afektif yang perlu dinilai
meliputi sopan santun siswa kepada guru, karyawan dan teman

43 Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam


Islam, Bandung : Mandar Maju, 1989, 260-261

52

sekolah serta sopan santun siswa kepada orang tua, keluarga,


teman dan orang yang lebih tua di rumah atau di masyarakat.
Menurut Anas Sudijono, bahwa evaluasi ranah afektif dapat
menggunakan tes sikap (attidute test) atau sering dikenal
dengan

skala

sikap

(attidute

scale).44

Muhibbin

Syah

menambahkan, bahwa untuk melakukan evaluasi ranah afektif


dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert (Likert Scale).
Skala likert ini digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan/
sikap orang. Bentuk skala likert menampung pendapat yang
mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan
sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau
1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor itu dapat
mencerminkan sikap-sikap yang diukur.45
Untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif
siswa yang representatif, item-item skala sikap sebaiknya
dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi:46
Pertama, Doktrin (pendirian). Doktrin / pendirian ini merupakan
masa siswa dapat menghargai nilai nilai sebagai hal yang
abstrak.

Sehingga

akan

timbul

pada

diri

siswa

tersebut

44 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2001, 27
45 Muhibbin Syah, 188
46 Muhibbin Syah, 189

53

penentuan pilihan atau pendirian hidup. Penentuan ini biasanya


berkali kali melalui proses jatuh bangun, karena ia menguji nilai
yang dipilihnya dalam kehidupan nyata, sampai diperoleh
pandangan atau pendirian yang tahan uji.
Kedua,

Komitmen

(ikrar

setia

untuk

melakukan

atau

meninggalkan suatu perbuatan). Komitmen yang dimaksud di sini


mempunyai arti peristiwa dimana individu sangat tertarik pada
tujuan, nilai-nilai dan sasaran-sasaran. Jadi komitmen lebih dari
hanya sekedar keanggotaan karena meliputi sikap kesetiaan
untuk

berusaha

dengan

segenap

kemampuannya

demi

memperlancar pencapaian tujuan.


Ketiga, Penghayatan (pengalaman batin). Tidak adanya pengalaman
yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah
terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan
emosi, karena dengan penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih
lama membekas.
Keempat, Wawasan (pandangan atau cara memandang sesuatu).
Wawasan dalam hal ini diartikan sebagai proses pencarian
informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi
tersebut adalah alat penginderaan (pendengaran, penglihatan,
peraba dan sebagainya). Untuk memberikan respon positif
maupun negatif, seseorang akan sangat dipengaruhi oleh

54

persepsi atau pandangan terhadap informasi tertentu. Bila


seseorang telah mengamati sesuatu dan memiliki kesan yang
baik, maka orang tersebut akan memberikan respon yang positif
terhadap objek tersebut begitupun sebaliknya.
Selain menggunakan skala likert, untuk mengukur ranah afektif
dapat digunakan skala ciptaan C. Osgood yang dikenal dengan
semantic

differential.

Penggunaan

skala

ini

tidak

sekedar

mengetahui sikap siswa dengan menjawab benar atau salah,


melainkan untuk mengetahui kecenderungan setuju atau
tidak setuju.47
Prinsip dasar yang dijadikan sebagai patokan dalam penilaian
akhir satuan pelajaran ialah sebagai berikut:
a. Maksudkan

untuk

mengetahui

penguasaan

siswa

terhadap tujuan pengajaran khusus yang hendak


dicapai.
b. Feedback bagi guru dan layanan bantuan khusus bagi
siswa yang mengalami kesulitan belajar.
c. Tingkah laku yang dinilai terbatas aspek kognitif dan
atau

psikomotor

yang

pengajaran khusus.

47 Muhibbin Syah, 190

55

terkandung

dalam

tujuan

d. Tes dibuat secara langsung dengan menjabarkan


setiap tujuan pengajaran khusus ke dalam bentuk
pertanyaan.
e. Pendekatan penilaian yang digunakan ialah penilaian
yang bersumber pada criteria mutlak, sebab yang
hendak diukur ialah kecakapan nyata setiap siswa.48
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan
berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan
tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan
kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas,
proyek dan atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian
diri.

Penilaian

merupakan

serangkaian

kegiatan

untuk

memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses


dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis
dan

berkesinambungan

sehingga

menjadi

informasi

yang

bermakna dalam pengambilan keputusan. Hal-hal yang perlu


diperhatikan dalam penilaian :49
a. Penilaian

diarahkan

untuk

mengukur

pencapaian

kompetensi

48 Agus Irawan Sensus, Departemen pendidikan nasional Direktorat jenderal


peningkatan mutu pendidik Dan tenaga kependidikan Pusat pengembangan
penataran guru tertulis 2006
49 Pengembangan Silabus KTSP MI, MTs., dan MA dalam www.ktsp.co.id

56

b. Penilaian

menggunakan

acuan

kriteria

yaitu

berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik


setelah mengikuti proses pembelajaran dan bukan
untuk

menentukan

posisi

seseorang

terhadap

kelompoknya
c. Sistem yang direncanakan ialah sistem penilaian yang
berkelanjutan.

Berkelanjutan

dalam

arti

semua

indikator ditagih kemudian hasilnya dianalisis untuk


menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan
yang belum serta untuk mengetahui kesulisan peserta
didik.
d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak
lanjut.

Tindak

pembelajaran

lanjut

berupa

berikutnya,

perbaikan

program

proses

remedi

bagi

peserta didik yang pencapaian kompetensinya di


bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan
bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria
ketuntasan
e. Sistem

penilaian

harus

disesuaikan

dengan

pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses


pembelajaran.

Misalnya,

jika

pembelajaran

menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan


maka evaluasi harus diberikan baik pada proses

57

(keterampilan proses) misalnya teknik wawancara,


maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan
yang berupa informasi yang dibutuhkan.

Strategi Pembelajaran Afeksi


Setiap

strategi

pembelajaran

sikap

pada

umumnya

menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik


atau situasi yang problematik. Melalui situasi ini diharapkan
siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang
dianggapnya

baik.

Berikut

ini

disajikan

beberapa

model

consideration

modal)

pembelajaran pembentukan sikap.50


a.

Model Konsiderasi
Model

konsiderasi

(the

dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul


menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama
dengan

pengembangan

Pembelajaran
pembentukan

moral

kognitif

siswa

yang

menurutnya

rasional.
adalah

kepribadian bukan pengembangan

intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan


kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk
kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi
manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang
50 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, 279

58

lain. Kebutuhan yang fundamental adalah bergaul


secara harmonis dengan orang lain, saling memberi
dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Dengan
dasarnya

demikian,

adalah

pembelajaran

membantu

anak

mengembangkan kemampuan untuk

sikap
agar
bisa

pada
dapat
hidup

bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa


yang dirasakan orang lain (tepo saliro).
Implementasi model konsiderensi guru dapat
mengikuti tahapan pembelajaran seperti di bawah ini.
1) Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang
mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah
dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi
juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,
misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan
orang lain.
3) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya
terhadap permasalahan yang dihadapinya.
4) Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang
lain serta membuat kategori dari setiap respons
yang diberikan siswa.

59

5) Mendorong siswa untuk merumuskan akibat dari


setiap

tindakan

yang

diusulkan

siswa.

Dalam

tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala


kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan
tindakannya.
6) Mengajak siswa untuk memandang permasalahan
dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk
menambah
menimbang

wawasan
sikap

agar

tertentu

mereka

dengan

dapat

nilai

yang

dimilikinya.
7) Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan
yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya
berdasarkan pertimbangannya sendiri.
b.

Model Pengembangan Kognitif


Model pengembangan kognitif (the cognitive
development model) dikembangkan oleh Lawrence
Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran
John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari
restrukturisasi

kognitif

yang

berlangsung

secara

berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut


Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3
tingkatan, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.

60

1) Tingkat Prakonvensional
Pada tingkatan ini setiap individu memandang
moral

didasarkan

pada

pandangannya

secara

individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan


yang

dibuat

oleh

masyarakat.

Pada

tingkat

prakonvensional ini terdiri atas dua tahap yaitu:


a) Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini perlaku anak didasarkan
kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi.
Artinya, anak hanya berpikir bahwa perilaku
yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan
mengakibatkan
setiap

hukuman.

peraturan

harus

Dengan
dipatuhi

demikian,
agar

tidak

menimbulkan konsekuensi negatif.


b) Tahap orientasi instrumental-relatif
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan
kepada

rasa

adil

berdasarkan

aturan

permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil


manakala orang membalas perilaku yang telah
dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu
didasarkan saling menolong dan saling memberi.
2) Tingkatan Konvensional

61

Pada tingkat ini anak mendekati masalah


didasarkan pada hubungan individu-masyarakat.
Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa
perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan
aturan

yang

demikian,

berlaku

pemecahan

di

masyarakat.

masalah

bukan

Dengan
hanya

didasarkan kepada rasa keadilan belaka, akan tetapi


apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan
norma masyarakat atau tidak. Pada tahap ini
mempunyai 2 tahap sebagai kelanjutan dari tahap
yang ada pada tingkat prakonvernsional, yaitu:
a) Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap
perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh
keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
b) Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan
didasarkan pada dorongan untuk memenuhi
harapan orang lain yang dihormatinya, akan
tetapai didasarkan pada tuntutan dan harapan
masyarakat.
3) Tingkat Postkonvensional

62

Pada

tingkat

ini

perilaku

bukan

hanya

didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma


masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh
adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang
dimilikinya

secara

individu.

Seperti

tingkat

sebelumnya tingkat ini juga terdiri dari dua tahap


yaitu:
a) Tahap kontra sosial
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan
pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh
masyarakat.

Kesadaran

individu

untuk

berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk


menerpakan

prinsip-prinsip

sosial.

Dengan

demikian, kewajiban moral dipandang sebagai


kontra sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar
pemenuhan system nilai.
b) Tahap prinsip etis yang universal
Pada tahap terakhir, perilaku manusia
didasarkan
macam

pada

prinsip

universal.

tindakan

bukan

hanya

Segala

didasarkan

sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan


tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai
manusia. Sesuai dengan prinsip bahwa moral

63

terjadi

secara

bertahap,

maka

strategi

pembelajaran model Kohlberg diarahkan untuk


membantu agar setiap individu meningkat dalam
perkembangan moralnya.
Menurut Further,

menjadi remaja berarti

mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak


berarti

hanya

memperoleh

melainkan

pengertian

juga

saja
dapat

menjalankannya/mengamalkannya.

Hal

ini

selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat


menginternalisasikan penilaian-penilaian moral,
menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk
selanjutnya
akan

penginternalisasian

tercermin

dalam

sikap

nilai-nilai
dan

ini

tingkah

lakunya.51
c.

Teknik Mengklarifikasi Nilai


Tehnik mengklarifikasi nilai (Value Clarification
Technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan
sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencapai dan menentukan suatu nilai yang
dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan

51 Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta


Didik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet. 2, 174

64

melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan


tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakteristik
VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
sikap adalah proses penanaman nilai
melalui

proses

sebelumnya

analisis
dalam

menyelaraskannya

nilai
diri

dengan

yang

dilakukan
sudah

siswa
nilai-nilai

ada

kemudian
baru

yang

hendak ditanamkan. VCT sebagai suatu model strategi


pembelajaran moral VCT bertujuan :52
1) Untuk

mengukur

atau

mengetahui

tingkat

kesadaran siswa tentang suatu nilai


2) Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang
dimilikinnya baik tingkatannya maupun sifatnya
(positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke
arah peningkatan dan pembetulannya.
3) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada
siswa melalui cara yang rasional dan diterima
siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan
menjadi malik siswa.

52 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar


Proses Pendidikan, 279

65

4) Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima,


serta

mengambil

keputusan

terhadap

sesuatu

persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan


sehari-hari di masyarakat.

Urgensi Pembelajaran Afeksi dalam Membentuk


Kepribadian
Kepribadian

muslim

merupakan

tujuan akhir

setiap

usaha

pendidikan Islam. Kepribadian itu bukan terjadi dengan serta


merta akan tetapi terbentuk melalui suatu proses kehidupan
yang panjang sehingga banyak faktor yang ikut ambil bagian
dalam pembentukan kepribadian manusia tersebut. Dengan
demikian apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat
atau lemah, beradab atau biadab, sepenuhnya ditentukan oleh
faktor-faktor

yang

mempengaruhi

dalam

perjalanan

hidup

seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan Islam sangat besar


peranannya dalam pembentukan kepribadian muslim.
Dalam

hubungannya

dengan

perjalanan

hidup

seseorang,

perkembangan zaman mempunyai pengaruh yang sangat besar


sekali. Apalagi pada era globalisasi ini, para siswa dihadapkan

66

pada beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia


masa kini dan masa depan, yaitu:53
a.

Kemajuan IPTEk dalam bidang informasi serta inovasi


baru

di

dalam

teknologi

yang

mempermudah

kehidupan manusia
b.

Masyarakat yang serba kompetitif

c.

Meningkatnya kesadaran terhadap hak asasi manusia


serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama

Dengan kemajuan IPTEK dalam bidang informasi maka para


siswa dihadapkan pada kehidupan yang dipacu oleh media
globalisasi yang sifatnya bisa menghibur, mendidik, mengajar
bahkan menyesatkan dan semuanya ini berjalan secara terus
menerus tanpa henti. Kemudian siswa juga dihadapkan pada
model-model kehidupan yang paling kontroversial yang dapat
disaksikan dalam waktu yang sama, misalnya antara kesalehan
dan keseronohan, antara kelembutan dan kekerasan, antara
masjid dan mall yang terus berdampingan satu sama lain. Karena
itu, pada pagi hari misalnya, seseorang disanjung sebagai
pahlawan tetapi pada sore hari dikutuk sebagai penjahat; antara
pahlawan dan penjahat dapat bertemu dalam pribadi yang sama.

53 Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : PT.


Remaja Rosdakarya, 2001, 168

67

Dalam kondisi demikian, apabila siswa tidak memiliki kepribadian


yang

kokoh,

terombang

dengan
ambing

dasar
oleh

Islam,
arus

maka

zaman

ia

akan

mudah

sehingga

untuk

mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Dalam proses


belajar mengajar pendidikan agama Islam hendaknya tidak
hanya diorientasikan pada transfer of knowledge tetapi justru
harus dikembangkan ke arah proses internalisasi nilai yang
dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan yang
kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilai-nilai
dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta
didik (psikomotorik).
Hal ini dikuatkan oleh Drs. Muhaimin dengan pendapatnya:
Pembelajaran pendidikan agama Islam tidak mungkin dapat
berhasil dengan baik sesuai dengan misinya bila hanya berkutat
pada

transfer

atau

pemberian

ilmu

pengetahuan

agama

sebanyakbanyaknya kepada peserta didik.54


Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran
afeksi penting dalam pembentukan kepribadian siswa, karena
melihat proses internalisasi nilai tersebut, maka apabila siswa
sudah sampai pada karakterisasi sebuah nilai, maka ia tidak akan
bertindak menuruti kemauannya sendiri, tetapi ia akan bertindak

54 Muhaimin, 169

68

sesuai

dengan

nilai-nilai

yang

telah

ditanamkan

dalam

pribadinya.
Dengan

kata

lain

pembelajaran

afeksi

berperan

dalam

mengontrol tingkah laku siswa sehari-hari agar sesuai dengan


nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam sehingga secara
berangsur-angsur terbentuklah kepribadian muslim pada diri
siswa sebagaimana yang dicita- citakan dalam pendidikan Islam.
Jadi, pembelajaran afeksi mempunyai peranan penting dalam
membentuk kepribadian siswa. Namun terbentuknya kepribadian
muslim dalam diri siswa itu sepenuhnya tidak ditentukan oleh
pembelajaran afeksi. Tetapi masih ada faktor lain yang ikut
berperan

dalam

membentuk

kepribadian

siswa

selain

pembelajaran afeksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi


kepribadian muslim sebagaimana diuraikan dalam pembahasan
sebelumnya.
Bab III

MTs. Mazroatul Ulum:


Berdiri untuk Mencetak Generasi yang Saleh dan Siap Menjawab Tantangan
Jaman
Sekilas Sejarah
Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan

minimal

dengan

prinsip

69

manajemen

berbasis

sekolah/madrasah. Begitulah bunyi penjelasan pasal 51 BAB XIV


Undang-Undang RI, Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Madrasah

Tsanawiyah

(MTs)

Mazroatul

Ulum

Suwaduk

Wedarijaksa Pati, adalah bagian dari lembaga pendidikan yang


dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam Mazroatul Ulum Desa
Suwaduk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati.
Mulai perintisan dan rencana pendirian Madrasah Tsanawiyah
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati mula-mula tidak
berjalan mulus dan mengalami stagnasi / kemandekan dan tidak
berkembang melalui beberapa hambatan yang mengganggu
proses berdirinya Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati.55
Pada awal berdirinya Madrasah ini dengan sarana prasarana
yang kurang sekali, kelas sering berpindah-pindah bahkan
ditutup oleh yayasan yang bersangkutan karena terbentur
kendala yang sangat urgens, yaitu keluarnya Kepala Sekolah
yang pantas menduduki jabatan Kepala Madrasah Tsanawiyah
Mazroatul Ulum.
Tetapi karena atas usulan para sesepuh desa yang menginginkan
tetap

berdinya

Madrasah

Tsanawiyah

ini,

dimana

mereka

55 Nur Sahid, Kepala MTs Mazroatul Ulum, wawancara, Dikutip


Tanggal 10 Mei 2011

70

mempunyai

tujuan

agar

generasi

muda

masyarakat

desa

Suwaduk mempunyai amal yang shaleh dan shalihah sekaligus


pandai dalam ilmu umum, maka akhirnya Madrasah ini pun
didirikan.
Alhamdulillah Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk
Wedarijaksa Pati ini resmi didirikan pada tanggal 28 juni 1998
yang

didukung

oleh

semua

anggota

Yayasan

Madrasah

Tsanawiyan (MTs) Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati.


Adapun siswa yang pertama kali diterima pada tahun 1998 ada
24 anak untuk siswa kelas I MTs. Pada tahun tersebut pula
Yayasan mengajukan izin operasional dan Akreditasi sekaligus.
Pertama mendapat pengakuan dari Kakandepag Kabupaten Pati
pada tahun 1998 dengan mendapat status Madrasah Tsanawiyah
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati terdaftar. 56 Dengan
dukungan, baik moril maupun materiil dari elemen masyarakat
Desa Suwaduk yang mempunyai tingkat agama yang lumayan
dan

simpatisan,

Madrasah

ini

berkembang

pesat

sampai

sekarang.
Adapun tokoh tokoh yang berjasa dalam pendirian MTs.
Mazroatul Ulum adalah: H. Mahfudz, H. Shobirin, H. Nur Hasan,
H. MA Rubai, dan H. Slamet, M.Ag. Sedangkan Kepala Madrasah
56 Amin Musthofa, Komite MTs Mazroatul Ulum, Wawancara, 10
Mei 2011

71

yang pernah menjabat sebagai Kepala Madrasah Tsanawiyah


Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati adalah: Fahrurrozi
pada tahun pelajaran 1998 s/d 2001 dan Nur Sahid pada tahun
pelajaran 2001 sampai sekarang.

Letak Geografis
Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati
merupakan lembaga pendidikan Islam menengah pertama yang
terletak di Desa Suwaduk Kec. Wedarijaksa Kab. Pati, yang
dibangun diatas tanah seluas 1.600 m2. Adapun letak Desa
Suwaduk yang merupakan lokasi berdrinya Madrasah Tsanawiyah
Mazroatul Ulum, dapat dijelaskan batas teritorialnya dengan
desa lain sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Trangkil

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Purwokerto


Pasucen

Sebelah

Selatan

berbatasan

dengan

Desa

Panggungroyom

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Wedarijaksa

Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum mempunyai jarak dari


kota kabupaten sejauh 10 km. berdasarkan letak geografisnya,
Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum berada pada daerah

72

pedesaan dengan lingkungan pekerjaan penduduknya mayoritas


petani dan pedagang.

Visi, Misi dan Tujuan


1) Visinya adalah terwujudnya peserta didik yang unggul
dalam

Iman

dan

Taqwa

(IMTAQ)

serta

dalam

Ilmu

Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK).


2) Misinya adalah:
a) Mewujudkan pembelajaran dalam mempelajari
Al-quran dan menjalankan ajaran agama Islam.
b) Mewujudkan pembentukan karakter Islami yang
mampu mengaktualisasi diri dalam masyarakat.
c) Mewujudkan pendidikan yang berkualitas dalam
pencapaian prestasi akademik.
d) Meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme
tenaga

kependidikan

sesuai

dengan

perkembangan dunia kependidikan.


e) Menyelenggarakan tata kelola madrasah yang
efektif,efisien,transparan dan akuntable.
3) Tujuannya adalah :
a) Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran aktif
(PAIKEM DAN CTL) Pembelajaran yang Aktif Ideal

73

Kreatif

dan

Menyenangkan

dan

Contextual

Theacing and Learning.


b) Mengembangkan potensi akademik,minat dan
bakat siswa melalui layanan bimbingan dan
kegiatan extra kurikuler.
c) Membiasakan

perilaku

Islami

di

lingkungan

Madrasah atau di luar Madrasah.


d) Meningkatkan prestasi akademik siswa.
e) Menigkatkan prestasi akademik siswa di bidang
seni dan olah raga dengan kejuaraan dan
kompetisi.

Motto MTs Mazroatul Ulum


Berkualitas dalam bidang akademik, Islami dalam bertoleransi,
dan Berwawasan Lingkungan

Keadaan Guru dan Karyawan


Guru dan karyawan merupakan bagian personalia di MTs.
Mazroatul Ulum. Pada tahun 2011/2012 secara keseluruhan
berjumlah 19 orang. Untuk lebih jelasnya data tentang guru dan
karyawan di MTs. Mazroatul Ulum dapat di lihat pada tabel di
bawah ini.

74

Tabel 4.1
Keadaan Guru dan Karyawan MTs. Mazroatul Ulum
Tahun Pelajaran 2011/201257
N
o.

Pendidika
n

Nama Guru

Jabatan

Nur Sahid, S.Ag

S1

Kepala

Ali Syaroni, S.Pd.I

S1

Wakakur

Suwadi, S.Pd

S1

Bendahara

Sudardi, S.Pd.I

S1

Wakasis

Ahmad Syaroni, S.Pd.I

S1

Ka. TU

Moh. Taufiq Z., S.Pd

S1

Wali Kelas VII

Arsyad Adhari, S.Pd

S1

Wali Kelas VIII

Anshori, S.Pd.I

S1

Wali Kelas IX

Aris Supriyono,S.P

S1

BP

10

Ahmad Thoyyib

SLTA

Guru

11

Ahmad Syukron, S.Pd.I

S1

Guru

12

Ahmad Busroni, S.Pd.I

S1

Guru

13

Agus Hartono, S.Pd

S1

Guru

14

Muhsin, SPd.I

S1

Guru

15

H. Abdul Kholiq

S1

Guru

16

Ismail NH

SLTA

Guru

17

Amin Musthofa, S.Pd.I

18
19

S1

Komite

Fikrul Umam

SLTA

Staf TU

Siti Mardliyah

SLTA

Pustakawan

57Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei


2011

75

Keadaan Siswa
Selain komponen-komponen tersebut di atas, siswa merupakan
unsur

pokok

dalam

pelaksanaan

pembelajaran

di

sebuah

lembaga pendidikan. Siswa merupakan faktor penting kedua


setelah guru, karena dalam proses pembelajaran guru adalah
pihak yang paling mengetahui kondisi kelas (siswa) yang masing
masing mempunyai perbedaan kemampuan, kecerdasan, dan
karakter, serta perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan
perbedaan tingkat umur antara yang satu dengan yang lain.
Berdasarkan data siswa yang ada pada tahun 2011/2012 jumlah
siswa yang tercatat 98 siswa yang terdiri dari:
Tabel 4.2
Keadaan Siswa MI Mazroatul Ulum Suwaduk
Tahun 2011/201258
No

Kelas

Laki-laki

Peremp
uan

Jumlah

VII

22

13

35

VIII

16

14

30

IX

14

19

33

Jumlah

52

46

98

Sebagaimana di sekolah-sekolah lain yang sederajat, di MTs.


Mazroatul Ulum, siswa diberikan media aktualisasi diri dalam

58 Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei


2011

76

berorganisasi

melalui

kegiatan

OSIS,

intrakurikuler,

pengembangan diri, dan ekstrakurikuler.

Struktur Organisasi
Untuk memperlancar mekanisme kerja suatu lembaga termasuk
di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk sebagai suatu lembaga
pendidikan,

sangat

dibutuhkan

adanya

kejelasan

struktur

kewenangan dalam organisasinya.


Mengenai struktur organisasi MI. Mazroatul Ulum Suwaduk,
penulis sajikan dalam bentuk gambar bagan sebagai berikut:

Gambar 4.1
Struktur Organisasi MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati Tahun Pelajaran
2011/201259
Kepala Madrasah
Nur Sahid, S.Ag
Wakil Kepala
59 Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei
2011

77

Kurikulum
Ali Syaroni, S.Pd.I

Kesiswaan
Sudardi, S.Pd.I

Komite Madrasah

Tata Usaha
Ah. Syaroni,
S.Pd.I

Amin Musthofa,
S.Pd.I

Wali Kelas

Kelas VII

Kelas VIII

Kelas IX

Moh. Taufiq Z.,


S.Pd

Arsyad Adhari,
S.Pd

Anshori, S.Pd.I

Guru BP
Aris Supriyono,
S.P
Guru Mapel
Siswa-siswi
Agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalankan tugas, maka
masing masing jabatan mempunyai tugas tugas yang
berbeda beda. Adapun uraian tugas (job description) organisasi
MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk tahun pelajaran 2011/2012
adalah sebagai berikut :
a. Kepala Madrasah
1) Mengkoordinir

dan

mengarahkan

Program Kerja Madrasah

78

penyusunan

2) Mengkoordinir

dan

mengarahkan

pelaksanaan

program kerja madrasah.


3) Mengkoordinir

dan

mengarahkan

administrasi

madrasah
4) Memonitor dan supervise pelaksanaan program
kerja madrasah.
5) Menegvaluasi hasil pelaksanaan program kerja.
6) Mengkoordinir

perbaikan

program

kerja

sesuai

dengan hasil evaluasi.


7) Mempertanggungjawabkan pengelolaan madrasah
secara keseluruhan.
b. Waka Kurikulum
1) Menyusun Rencana Program Pengajaran (tahunan,
semester)
2) Menyusun pembagian tugas guru
3) Menyusun jadwal pelajaran
4) Menyusun jadwal evaluasi belajar (tes sumatif)
5) Menyusun jadwal pelaksanaan UM/UN.
6) Menyusun jadwal penerimaan Rapor
7) Menyiapkan criteria/norma kenaikan kelas
8) Menyusun laporan pelaksanaan pengajaran secara
berkala.

79

9) Mengarahkan

dan

mengkoordinir

penyusunan

program satuan pelajaran.


c. Waka Kesiswaan
1) Menyusun program pembinaan kesiswaan
2) Melakukan

bimbingan,

pengarahan,

dan

pengendalian siswa.
3) Memberikan pengarahan dalam pemilihan ketua
OSIS
4) Melakukan

pembinaan

pengurus

OSIS

dalam

berorganisasi
5) melaksanakan

pemilihan

siswa

teladan

dan

penerimaan beasiswa
6) Mengadakan

pemilihan

siswa

untuk

mewakili

sekolah dalam kegiatan diluar sekolah.


7) Menyusun

laporan

kegiatan

kesiswaan

secara

berkala.
d. Waka Hubungan Masyarakat
1) Mengatur dan menyelenggarakan hubungan sekolah
dengan orang tua / wali murid dan masyarakat
secara umum.
2) Membina

hubungan

Yayasan

80

sekolah

dengan

pengurus

3) Mengatur dan membina hubungan sekolah dengan


instansi terkait, dunia usaha dan lembaga social
lainnya.
e. Waka Sarana dan Prasarana
1) Bertanggung

jawab

sepenuhnya

terhadap

keberadaan dan keadaan sarana prasarana milik


madrasah
2) Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana
meliputi

rencana

kebutuhan,

pengadaan,

pendayagunaan, daftar inventaris, daftar infentaris


ruangan, daftar penghapusan, serta memberikan
nomor inventaris pada sarana atau perlengkapan
milik madrasah.
3) Memberikan laporan tentang keadaan inventaris
madrasah.
f. Wali Kelas
1) Mengelola dan mengatur kelas meliputi tata ruang,
penempatan peralatan dan perlengkapan kelas.
2) Menyelenggrakan administrasi kelas (denah tempat
duduk, tat tertib kelas, kegiatan PBM)
3) Statistic bulanan siswa

81

4) Pengisian daftar nilai siswa, catatan khususu siswa,


daftar kelas, mutasi siswa, buku leger, nuku laporan
pendidikan, pembagian buku laporan pendidikan.
g. Tata Usaha
1) Melaknasakan tugas tugas layanan administrasi,
pengarsipan,

penyediaan,

pengisian

administrasi

perkantoran

maupun

data,

baik

administrasi

madrasah yang lain.


2) Menata

dan

mengatur

setting

perangkat

administrasi yang menjadi tanggungjawabnya.


3) Membunyikan bel tanda jam pelajaran
4) Memberikan layanan administrasi yang lain sesuai
dengan aturan yang berlaku.
h. Bendahara
1) Bertanggungjawab

sepenuhnya

terhadap

pemasukan dan pengeluaran keuangan madrasah.


2) Melaksanakan administrasi keuangan meliputi : buku
penerimaan, buku

cekking, buku kas dan buku

penyetoran
3) Melakukan penyetoran dan mengadakan rekapitulasi
bulanan bersama dengan bendahara yayasan

82

4) Memberikan data pelunasan keuangan yang menjadi


tanggungjawab siswa kepada wali kelas pada akhir
semester saat pembagian raport.
5) Bertanggungjawab sepenuhnya dan melaksanakan
administrasi keuangan madrasah yang dibebankan
kepadanya sesuai dengan aturan yang berlaku.
6) Bersama

sama

dengan

bendahara

yayasan

menyusun laporan keuangan akhir tahun.


7) Menunjukkan

dan

meminta

persetujuan

(acc)

kepada Kepala Madrasah pada buku kas yang


dipegangnya setiap akhir bulan
i.

Guru ( Tenaga Edukasi )


1) Membuat atau menyusun analisis mata pelajaran,
program pengajaran, program semester, program
tahunan dan RPP
2) Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
3) Mengadakan evaluasi belajar siswa
4) Melaksanakan program perbaikan atau program
pengayaan berdasarkan hasil evaluasi belajar siswa.
5) Mengadakan pengembangan bidang pengajaran
6) Meneliti daftar hadir siswa sebelum mengajar dan
mengisi buku kemajuan atau presensi kelas
7) Menyusun atau mengadakan lembar kerja siswa

83

8) Mengatur kebersihan ruang belajar dan lain lain


setiap akhir pelajaran.60

Sarana dan Prasarana


Salah satu faktor yang turut menentukan proses pendidikan dan
pengajaran supaya kegiatan belajar mengajar berjalan lancar
adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Karena
itu setiap lembaga pendidikan harus mempunyai sarana dan
prasarana.
Adapun sarana prasarana yang dimiliki oleh MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk adalah :
a.

1 ruang kantor Kepala Sekolah dan Guru

b.

3 Ruang Kelas Siswa

c.

1 Ruang Perpustakaan

d.

1 Ruang Komputer

e.

1 Ruang Koperasi

f.

1 Ruang Musholla

g.

1 ruang Gudang

h.

1 ruang UKS

i.

1 Lapangan Bulu Tangkis dan Sepak Takraw

j.

1 Kamar Mandi & WC Guru

60 Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, Rincian Tugas


Pengelolaan Madrasah, dikutip tanggal 17 Mei 2012

84

k.

4 Kamar Mandi & WC Siswa61

Selain sarana dan prasarana yang tersebut diatas juga memiliki


sarana dan prasarana lain seperti tertera pada table berikut:
Tabel 4.3
Data Inventarisasi MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk
Tahun 2011/201262

1.

Mesin Ketik

1 buah

Keterang
an
Baik

2.

Meja Kursi Guru

6 buah

Baik

3.

Meja Kursi Siswa

50 pasang

Baik

4.

Almari Kelas

3 buah

Baik

5.

Loker Guru

1 buah

Baik

6.

Komputer

10 buah

Baik

7.

Alat Olahraga
- Meja Tenis Meja

1 buah

Baik

- Bola Sepak

3 buah

Baik

- Bola Kasti

5 buah

Baik

- Bola Takraw

3 buah

Baik

No

Nama Barang

Jumlah

61 Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, Dikutip tanggal 27 Mei


2011
62 Dokumentasi MI. Mazroatul Ulum, Dikutip tanggal 27 Mei
2011

85

Bab IV
Pembelajaran Afeksi dan Kerja Cerdas MTs.
Mazroatul Ulum Mewujudkan Generasi yang Disiplin,
Berkarakter, dan Kompetitif di Tengah Globalisasi

Penanaman nilai kehidupan harus ada dalam pendidikan afeksi di


sekolah, walaupun tidak harus dalam bentuk mata pelajaran,
melainkan dapat terintegrasi dalam mata pelajaran. Hal yang
paling penting adalah bagaimana guru menanamkan nilai pada
siswa melalui pendidikan afeksi yang diajarkan di sekolah dan
bagi siswa belajar tentang makna nilai kehidupan. 63
Pembelajaran afeksi yang diimplementasikan di MTs. Mazroatul
Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati ini telah menanamkan pada diri
siswa sikap yang menjadi peranan penting dalam mencapai
tujuan pendidikan.

Kedisiplinan Siswa
Kedisiplinan mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan
pendidikan. Berkualitas atau tidaknya belajar siswa sangat
dipengaruhi oleh faktor yang paling pokok yaitu kedisiplinan,
disamping faktor lingkungan, keluarga dan sekolah. Perencanaan
63 Bambang Irianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu
Solusi Dalam Memenuhi Tuntutan Global dan Lokal (makalah),
(Bandung : Makalah, 2003) 2.

86

kedisiplinan di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati bisa


dilihat dari diterapkannya beberapa Tata tertib sekolah yang
tertempel pada dinding kelas masing masing. Tata tertib
tersebut mulai dari hal hal yang diwajibkan, hal hal yang
dilarang sampai sanksi siswa ketika siswa melanggar tata tertib
tersebut.

Hal

memperhatikan

ini
tata

diterapkan
tertib

agar

tersebut

siswa

sebagai

senantiasa
bagian

dari

kedisiplinannya.
Tata tertib siswa Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk
Wedarijaksa Pati tahun pelajaran 2011/2012 adalah sebagai
berikut :64
1. Umum
a. Mentaati semua peraturan madrasah yang telah ditentukan
b. Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik almameter kapan dan
dimana saja berada.
c. Menghormati Bapak / Ibu guru kapan dan dimana saja berada.
2. Khusus
a. Datang / sampai di Madrasah 30 menit sebelum jam pelajaran
dimulai bagi yang piket dan 20 menit bagi yang tidak piket.
b. Mengatur dan merawat ruang kelas.
c. Berpakaian seragam :

64 Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 28 Mei


2012

87

1) Pramuka lengkap

: Hari Sabtu dan Ahad

2) Baju Putih, celana / rok biru

: Hari Senin dan Selasa

3) Baju batik, celana / rok biru

: Hari Rabu dan Kamis

d. Membayar iuran ISMU (Ikatan Siswa Mazroatul Ulum) Rp


1.000 / bulan
e. Apabila tidak masuk / tidak mengikuti pelajaran harus membuat
izin yang ditandatangani orang tua.
f. Setelah ada bel tanda masuk, siswa harus segera masuk ruangan
dan duduk yang baik dan tenang.
g. Setelah Bapak/Ibu Guru masuk, siswa harap berdiri dan member
salam dipimpin oleh ketua kelas / wakil ketua kelas, setelah itu
duduk dan berdoa.
h. Setelah ada bel tanda istirahat, siswa harus keluar dari ruangan,
kecuali ada kepentingan yang lain.
i. Mengikuti sholat dzuhur berjamaah setelah bel istirahat kedua di
bunyikan, dengan diabsen ketua kelas masing masing.
j. Menghafalkan mufrodat / vocabulary Bahasa Arab dan Bahasa
Inggris dalam setiap hari satu kata.
k. Bagi yang naik kendaraan harus turun setelah sampai di depan
pintu pagar madrasah.
l. Tidak boleh makan dan minum sambil berjalan
3. Sangsi / Tazir

88

a. Bagi siswa/siswi yang tidak mengikuti aturan yang ditentukan,


akan diberikan sangsi sesuai dengan bobot kesalahannya, dan jika
melakukan kesalahan yang fatal, maka tidak segan segan Kepala
Sekolah mengeluarkannya.
Adapun klarifikasi kesalahan :
-Bagi siswa siswi yang tidak masuk sekolah tanpa izin membayar
denda Rp 2.000,-Bagi siswa siswi yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
tanpa ijin : membayar denda Rp 2.000,-Bagi siswa siswi yang tidak mengikuti jamaah : membayar denda
Rp 500,-Bagi siswa siswi yang terlambat masuk sekolah : kebijaksanaan
guru
-Bagi siswa siswi yang tidak mengerjakan PR : kebijaksanaan
guru
-Bagi siswa siswi yang berkelahi : meminta tanda tangan kepada
semua Guru.
-Bagi siswa siswi yang terlibat criminal berat ( judi, minuman
keras, narkoba) akan langsung dikeluarkan dari sekolah.
Dalam pemberian sanksi sanksi di atas semuanya memiliki score yang berbeda
beda sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Score ini akan terus
berlanjut dan bertambah setiap siswa tersebut mengulangi suatu kesalahan lagi
hingga mencapai point 10.

89

Suatu contoh ketika seorang siswa tidak masuk tanpa izin selain mendapatkan
denda sesuai dengan sanksi di atas juga akan mendapatkan score 1. Ketika hal
tersebut diulangi sampai 5 kali maka anak tersebut mendapatkan score 5 dengan
sanksi yang diberikan adalah pemanggilan orang tua ke sekolah sebagai bentuk
tanggung jawab orang tua ketika di rumah. Kalau hal tersebut masih tetap
dilakukan sampai mencapai score 10, maka siswa tersebut akan mendapatkan
sanksi paling akhir yakni dikembalikan kepada orang tuanya atau drop out.
Suatu contoh ketika anak terlambat atau bolos sekolah maka sesuai dengan
peraturannya yakni kebijaksanaan guru, anak tersebut dikenai sanksi berupa
teguran lisan dan hukuman langsung berupa membersihkan musholla dan
sebagainya. Sanksi yang diberikan berbeda beda sesuai tingkat ringan dan
beratnya pelanggaran tersebut. Sanksi tersebut mulai dari teguran lisan, teguran
tertulis dan pemanggilan orang tua siswa sampai dikeluarkan secara hormat atau
tidak hormat dari madrasah. Semua ini diberikan sebagai bentuk pengajaran bagi
anak didik agar mereka terlatih untuk disiplin yang baik di dalam ataupun di luar
sekolah.
Fakta yang penulis temukan dilapangan ketika Guru BP yaitu Bapak Aris
Supriyanto, S.P memberikan sangsi kepada beberapa murid dari kelas VIII MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk karena terlambat masuk sekolah.
Mereka yaitu : Moh. Rifki, Haikal Aliem alam, Ivan Alfi Anggih. Sanksi yang
diberikan sesuai dengan tertulis pada tata tertib siswa siswi MTs. Mazroatul
Ulum Suwaduk yakni kebijaksanaan guru, maka anak tersebut
diberikan sangsi berupa berdiri menghadap matahari ketika

90

upacara berlangsung. Setelah itu anak disuruh membersihkan


musholla madrasah hingga bersih. Setelah semua itu dikerjakan
anak disuruh untuk melapor kepada Guru BP bahwa mereka telah
melakukan hukuman / sangsi yang diberikan dan mereka
membuat surat pernyataan yang berisikan bahwa mereka tidak
akan mengulangi kesalahan yang sama.65 Ha ini merupakan
bentuk tindakan langsung agar anak terbiasa untuk disiplin baik
di dalam maupun di luar kelas.
Setelah

diterapkannya

pembelajaran

yang

mengarah

pada

kedisplinan di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati


prestasi siswa menjadi lebih baik karena siswa menjadi sadar bahwa kedisiplinan
merupakan dasar untuk memperoleh prestasi. Hal ini dibuktikan ketika penerapan
tata tertib dilakukan di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa
Pati peserta didik telah terlatih untuk bersikap disiplin, dan kini siswa memiliki
kesadaran akan pentingnya arti kedisiplinan bagi mereka. Hal ini dibuktikan
dengan rendahnya prosentase tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Dan
dengan sikap disiplin itu pula terlihat siswa telah mempunyai kecakapan dalam
menangani cara belajar yang baik, yang nantinya akan menjadi suatu proses
menuju pembentukan watak yang baik pula.

Minat dan Semangat Belajar Siswa

65 Berdasarkan Observasi tanggal 29 Mei 2012

91

Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang


yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk
mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Dalam hal ini
semua pendidik di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa
Pati dikondisikan untuk mampu membangkitkan minat semua
peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan.
Karena keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan
psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik, maka
dalam hal ini pendidik di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk
Wedarijaksa Pati melakukan tindakan secara sistematik untuk
meningkatkan minat belajar peserta didik.
Rencana yang dilakukan oleh guru di MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati dalam menumbuhkembangkan minat
peserta

didik

dalam

belajar

adalah

membuat

rencana

pembelajaran yang menarik yang tidak hanya mengunakan satu


metode yang menjenuhkan, tetapi juga menggunakan beberapa
metode yang bervariasi.
Dalam melaksanakan pembelajaran guru di MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati telah menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan metode metode yang
variatif antara lain metode diskusi (tukar pikiran), metode kerja
kelompok, metode demonstrasi (peragaan atau pertunjukan
tentang

cara

melakukan

sesuatu),

92

dan

metode

simulasi

(pelatihan yang memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan


yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya). Dan yang
tidak kalah penting dalam melaksanakan pembelajaran guru di
MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk agar anak tidak cepat bosan akan
tetapi malah mempunyai minat belajar yang tinggi adalah
penggunaan alat peraga dalam pembelajaran.
Study kasus yang penulis temukan yakni ketika salah seorang
guru IPA yaitu Bapak Ali Syaroni memberikan pengajaran di
kelas VIII tentang pengenalan organ tubuh manusia. Disamping
beliau telah membuat perencanaan pembelajaran / RPP agar
pelaksanaan
menggunakan

pembelajaran
alat

peraga

semakin
yang

hidup

tersedia

di

juga

beliau

UKS

(usaha

kesehatan sekolah). Jadi ketika pelajaran IPA anak anak tidak


hanya belajar di kelas saja, tetapi mereka juga diajak ke UKS
agar suasana pembelajaran tidak membosankan. Di UKS anak
diberikan pembelajaran langsung menggunakan alat peraga
berupa patung menyerupai tubuh manusia yang disitu terlihat
dengan jelas bagian bagian organ tubuh manusia tentang letak
dan nama dari bagian tubuh tersebut.66
Hal ini diharapkan agar peserta didik tidak cepat bosan dalam
mengikuti pembelajaran, akan tetapi peserta didik akan memiliki

66 Berdasarkan Observasi tanggal 30 Mei 2012

93

minat yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran disamping juga


dapat mengenal lingkungannya.
Dan yang terjadi ketika hal itu diterapkan di MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati telah membuahkan hasil yaitu peserta
didik telah

memiliki sikap atau respon yang positif terhadap

pelajaran dan juga merasa senang dalam mengikuti dan


mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga siswa di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati telah dapat mencapai
hasil pembelajaran yang optimal.

Menegakkan Etos dan Moral Siswa


Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi
orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis.
Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang,
yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala.
Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan
seseorang.
Perencanaan dari pembelajaran moral bagi siswa di

MTs.

Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati adalah dengan


dibuatnya media yang nantinya akan membentuk kepribadian
dan menjadikan moral siswa jauh lebih baik. Media tersebut

94

adalah pelaksanaan membaca al Quran, jamaah sholat dzuhur


dan mengaji kitab kuning di malam hari.
Fakta yang penulis temukan dalam memberikan pembelajaran
moral kepada anak didik adalah mengaji al Quran dengan cara
sorogan oleh anak anak dari mulai kelas VII IX MTs Mazroatul
Ulum Suwaduk

yang dilaksanakan pada jam awal pelajaran.

Ketika itu penulis mendapat bagian untuk mengampu kelas VIII


karena pada saat itu Bapak Amin Musthofa yang mendapat jatah
mengajar jam pertama di kelas VIII kebetulan sedang izin karena
ada rapat KKM di Wedarijaksa. Sedangkan untuk sholat dzuhur
berjamaah telah dilaksanakan dan berjalan dengan baik pada
jam istirahat kedua yakni pada jam

11.40 WIB. Kegiatan ini

diikuti oleh semua siswa dari mulai kelas VII sampai dengan IX
kecuali yang udzur dan dilaksanakan di musholla MTs. Mazroatul
Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati dengan diikuti pula oleh semua
guru yang hadir pada hari tersebut sebgai bentuk peneladanan
bagi siswa.67 Tidak ketinggalan pula penulis juga mengikuti
kegiatan sholat berjamaah tersebut sebagai bentuk observasi
langsung.
Sedangkan untuk mengaji kitab kuning dengan kitab Talimul
Mutaallim menurut pengamatan penulis telah berlangsung
dengan baik yang dilaksanakan setiap Selasa malam Rabu pada
67 Berdasarkan Observasi tanggal 30 Mei 2012

95

jam 18.00 WIB / setelah maghrib di rumah Guru atau pengampu


yang telah membidangi. Lebih jelasnya dapat dilihat dari jadwal
mengaji kitab kuning sebagai berikut :

Tabel 4.4
Jadwal Mengaji Kitab Kuning MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk
Tahun 2011/201268
No

Kelas

VII

VIII

IX

Pengampu
Bp. Ah.
Thoyyib
Bp. H. Ab.
Kholiq
Bp. Ismail NH

Waktu
Setelah
Maghrib
Setelah
Maghrib
Setelah
Maghrib

Tempat
Musholla B. Ah.
Thoyyib
Rumah H. Ab. Kholiq
Rumah Ismail NH

Pengimplementasian kegiatan mengaji, jamaah sholat dzuhur


dan mengaji kitab kuning telah menumbuhkan moral positif bagi
siswa. Artinya setelah kegiatan ditu diterapkan siswa di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati telah mempunyai
moral yang baik, hal ini ditunjukkan dalam sikap siswa yang
senantiasa memegang janji, memiliki kepedulian terhadap orang

68 Dokumentasi MI. Mazroatul Ulum, Dikutip tanggal 27 Mei


2011

96

lain, menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas, memiliki


Kejujuran dan taat pada guru mereka.
Selain beberapa hal tersebut di atas, penanaman nilai moral
yang dilakukan kepada siswa / siswi MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk juga mewajibkan siswa memiliki kebiasaan kebiasaan
yang bisa menanamkan pada diri mereka moral atau perilaku
yang baik baik di dalam ataupun di luar sekolah. Misalkan anak
diharuskan bertutur kata yang baik kepada teman ataupun
gurunya, tidak diperkenankan menggunakan kata kata kotor
ataupun sesuatu yang nilai kurang pas yang dilakukan oleh anak
sekolah. Fakta yang penulis temukan adalah ketika siswa / siswi
kelas VIII MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk ketika bercengkrama
atau ngobrol ngobrol pada jam istirahat mereka menggunakan
kata kata yang baik dan tidak ada kata ejekan kepada
temannya dan ketika penulis berada di kantor setiap murid yang
ada

kepentingan

di

kantor

mereka

menngunakan

bahasa

Indonesia yang baik kepada gurunya.


Selain diwajibkannya anak bertutur kata yang baik dengan
temannya ataupun gurunya juga Penulis menemukan kebiasaan
kebiasaan yang dilakukan siswa / siswi MTs. Mazroatul Ulum
Suwaduk yaitu ketika mereka berpapasan dengan gurunya
mereka selalu mengucapkan salam dengan sedikit menunduk.
Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan disekolah saja, bahkan ketika

97

di rumah pun mereka tetap melakukan kebiasaan itu setiap


bertemu atau berpapasan dengan gurunya. Hal ini merupakan
wujud

tadzim

siswa

kepada

gurunya

sehingga

akan

mempengaruhi sikap atau moral siswa terbiasa melakukan hal


hal yang baik disekolah ataupun dirumah.
Penulis mengamati bahwa kebiasaan kebiasaan yang dilakukan
tersebut di atas mengantarkan siswa memiliki moral atau
perilaku

yang

baik,

karena

mereka

akan

selalu

terbiasa

melakukan hal hal yang positif dan akan senantiasa menjauhi


perbuatan perbuatan yang negatif seperti berkelahi di sekolah,
bermain main ditempat yang kurang pas dilakukan anak
sekolah seperti kumpul atau nongkrong di perempatan jalan,
kebut kebutan sepeda motor di jalan ataupun nongkrong
nongkrong di gubuk atau angkruk pinggir jalan yang bisa
mengantarkan mereka berbuat maksiat atau berbuat anarkis di
lingkungan rumahnya. Dan dari pengamatan penulis memang
tidak ada siswa MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk yang melakukan
atau berada ditempat tempat yang kurang pas bagi mereka.
Penulis bisa memaparkan hal tersebut karena penulis merupakan
warga asli desa Suwaduk yang juga bertetangga dengan
sebagian banyak siswa MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk.
Berikut ini merupakan hasil dari observasi dan juga hasil dari
interview dengan kepala sekolah dan tenaga pendidik yang

98

penulis lakukan di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk yang berkaitan


dengan Implemetasi Pembelajaran Afeksi dengan guru sebagai
cerminan tanggung jawab pendidik dan pembimbing. Hasil
observasi dan interview tersebut antara lain :
1. Guru di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk sudah diakui oleh
masyarakat sebagai seorang pendidik, maksudnya guru di
Madrasah ini sudah mendapat dukungan penuh dan
dipercaya untuk mengajar dan mendidik. Dan rata rata
guru yang ada di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk telah
bersertifikat sebagai tenaga professional karena mereka
telah mengukuti dan telah lulus dalam uji kompetensi
sebagai guru professional.Kepala sekolah mengatakan
bahwa: Guru madrasah ini kami angkat untuk tenaga
pendidik memang dari mereka mereka yang dalam
masyarakat

memiliki

istilahnya

power,

maksudnya

memiliki kemampuan yang lebih dari lainnya, khususnya


dalam bidang mendidik dan mereka itu memang sudah
dipercaya oleh masyarakat bahwa mereka itu mampu
mendidik dan mengajar. Selain itu guru guru yang ada di
MTs.

Mazroatul

Ulum

Suwaduk

99

sangat

bijak

dalam

mendidik siswa dan bijak dalam memberikan peneladanan


kedisiplinan.69
2. Guru dalam melaksanakan pembelajaran di Madrasah ini
mempersiapkan apa yang dibutuhkan dalam mengajar,
seperti membuat prota, promes, Satuan pelalajaran dan
lain sebagainya yang dibutuhkan dalam mendidik. Hal
tersebut

dilakukan

guna

mengembangkan

dan

meningkatkan mutu profesinya demi kemajuan pendidik


di Madrasah. Hal ini dilakukan juga agar pembelajaran
lebih menarik sehingga siswa memiliki minat yang tinggi
dalam belajar.70
3. Ranah ranah afeksi diberikan oleh guru di MTs Mazroatul Ulum
Suwaduk Wedarijaksa Pati kepada peserta didik melalui media mengaji
dan sholat berjamaah bermaksud agar dalam diri seorang siswa tumbuh
moral yang positif. Melalui mengaji diharapkan siswa mengenali huruf
huruf arab sebagai modal dalam membaca al Quran dan juga siswa
dapat mengerti kalam kalam ilahi sebagai tuntunan dalam menjalankan
hidup agar lebih baik. Melalui media sholat berjamaah diharapkan
peserta didik lebih menghargai keragaman, meningkatkan
kesadaran akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan,
69 Nur Sahid, Kepala MTs Mazroatul Ulum, wawancara, Dikutip
Tanggal 20 Mei 2011
70 Ali Syaroni, Wakakur MTs Mazroatul Ulum, wawancara,
Dikutip Tanggal 20 Mei 2011

100

nilai-nilai

moral,

kemanusiaan,

mengembangkan

kreativitas,

bertanggungjawab,

memiliki

dan

religi,

serta

berpikir

kritis,

kemandirian,

berjiwa

kepemimpinan serta mampu berkolaborasi. Melalui media


mengaji kitab kuning dengan kitab Fathul Qorib anak
diharapkan lebih mengenal kaidah kaidah fiqhiyyah
yang nantinya dapat diterapkan dan menjadi pedoman
71

dalam kehidupan sehari hari

Guru sebagai Sumber Tauladan dan Energi Kreativitas


Dari

observasi

yang

peneliti

lakukan

di

Madrasah

dapat

dikatakan bahwa guru di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk ini tidak


hanya

Transfer

Mazroatul

Ulum

suritauladan

of

knowledge

Suwaduk

yang

baik

maksudnya

juga
pada

memberikan
anak

guru

di

MTs.

contoh

atau

didiknya,

sekaligus

memasukkan nilai-nilai sikap yang baik pada diri peserta didik


agar mereka menjadi generasi penerus yang baik.
Langkah

tersebut

di

atas

sudah

sesuai

dengan

kategori

pembelajaran afeksi di mana maksud dari pembelajaran afeksi


sendiri merupakan tingkah laku yang mengandung penghayatan
suatu emosi atau perasaan tertentu.
71 Aris Supriyono, Guru BP MTs Mazroatul Ulum, wawancara,
Dikutip Tanggal 21 Mei 2011

101

Setelah pembelajaran afeksi ini diimplementasikan maka akan


dapat dilihat ciri-ciri hasil belajar afeksi yang tampak pada
peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya
terhadap mata pelajaran, kedisiplinan dalam mengikuti pelajaran
di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak
mengenai pelajaran yang diterimanya, penghargaan atau rasa
hormatnya terhadap guru dan lain sebagainya.
Berdasarkan

uraian

di

atas

dapat

dijelaskan

bahwa

implementasi pembelajaran afeksi siswa di MTs. Mazroatul


Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati mempunyai nilai yang
berdampak positif dan menjadi penting dalam pembentukan
kepribadian

atau

sikap

siswa,

karena

melihat

proses

internalisasi nilai tersebut, maka apabila siswa sudah sampai


pada karakterisasi sebuah nilai, maka ia tidak akan bertindak
menuruti kemauannya sendiri, tetapi ia akan bertindak sesuai
dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam pribadinya.
Dengan kata lain pembelajaran afeksi berperan dalam
mengontrol tingkah laku siswa sehari-hari agar sesuai dengan
nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam sehingga secara
berangsur-angsur

terbentuklah

kepribadian

atau

sikap

seorang muslim pada diri siswa sebagaimana yang dicitacitakan dalam pendidikan Islam.

102

Problem dan Tantangan Masa Depan


Dalam pengimplementasian Pembelajaran Afeksi Siswa di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati tentunya tidak
berjalan dengan mulus sesuai dengan apa yang diharapkan.
Namun ternyata ada beberapa problem atau kendala yang di
temui

dalam

mengimplementasikan

atau

menerapkan

Pembelajaran Afeksi Siswa di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk


Wedarijaksa Pati.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati, maka perlu adanya
analisis untuk mengetahui secara jelas kendala yang dihadapi
oleh

MTs.

Mazroatul

Ulum

Suwaduk

dalam

menerapkan

pembelajaran afeksi.
Berdasarkan hasil penelitian penulis, kebanyakan dari tenaga
guru di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk hanya memahami
kurikulum sebagai produk. Akibatnya guru dalam mengajar
hanya memusatkan diri pada pencapaian target kurikulum dalam
mendomain kognitif semata. Persoalan sistem nilai, kreatifitas
dan kompetensi perilaku peserta didik kurang mendapatkan
perhatian secara proporsional. Padahal keberhasilan guru dalam
proses belajar mengajar (PBM) mestinya diukur dari tiga aspek
ayitu kogfnitif, afektif dan psikomotorik.

103

Keadaan ini bisa dilihat dari kebanyakan guru di MTs. Mazroatul


Ulum

Suwaduk

dalam

mengajar

terkesan

hanya

sekedar

menjalankan tugas mengajar tanpa mau membuat persiapan


terlebih dahulu. Program tahunan, program semester maupun
RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) yang ada disekolah
jarang disentuh dan dilihat oleh guru, akibatnya guru dalam
mengajar kurang mempunyai arah yang jelas, walaupun materi
yang mereka sampaikan telah sesuai dengan kompetensi dasar
kurikulum.
Kenyataan
kurikulum

kurangnya
dalam

arti

perhatian
yang

guru

lebih

dalam

luas

merefleksikan

juga

terlihat

dari

kebanyakan guru yang kurang kreatif dalam mengajar, bahkan


terkesan monoton, mereka kurang menyadari akan pentingnya
praktik dan penggunaan alat peraga dalam mengajar. Hal ini
tentu

saja

menyebankan

disamping

anak

kurang

dalam

mempunyai minat belajar juga penerapan pembelajaran afeksi


yang diberikan kepada anak kurang maksimal.
Problem atau kendala lain yang penulis temui pada implementasi
atau penerapan Pembelajaran Afeksi Siswa di MTs. Mazroatul
Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati antara lain :
1. Kendala internal yang datang dari dalam diri guru berupa inkonsistensi
dalam melakukan atau menerapkan aturan. Ketidakkonsistenan yang
dilakukan oleh guru dalam menanamkan nilai sikap atau aspek afeksi

104

kedisiplinan misalnya terjadi ketika guru menjadi model dalam


menjalankan sikap kedisiplinan, ternyata guru sendiri juga melakukan
tindakan yang kurang disiplin.
Hal ini memberikan contoh atau suritauladan yang kurang
baik pada anak didiknya, karena sekaligus memasukkan
nilai-nilai sikap yang kurang baik pada diri peserta didik
dimana mereka diharapkan menjadi generasi penerus
yang baik.
2. Selain kendala di atas ada juga kendala lain yakni ketidaksepahamannya
antara guru satu dengan yang lainnya dalam menerapkan pembelajaran
afeksi kepada siswa.
Misalnya dalam memberikan hukuman terhadap para pelanggar aturan
yang telah disepakati oleh guru dan siswa. Seringkali ada perbedaan
dalam memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang sama, sehingga
anak akan memandang berbeda terhadap hukuman yang diberikan oleh
guru terhadap pelanggaran yang sama. Hal itu menjadi satu acuan yang
terkadang membingungkan siswa sendiri. Kemudian siswa akan
membanding-bandingkan dengan hukuman yang diberikan oleh guru lain
yang terkadang terlalu ringan atau kurang mendidik.
Kencederungan ini akan menjadikan siswa memiliki sikap yang tidak
komprehensif. Artinya, bagi sebagian guru dia akan bersikap disiplin
sedangkan bagi sebagian yang lainnya dia akan menunjukkan sikap yang
kurang disiplin.

105

3. Kurangnya ketrampilan dasar yang dikuasai oleh seorang


guru di dalam menciptakan pembelajaran afeksi pada
siswa di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati.

Solusi Cerdas yang Mencerahkan


Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang
diupayakan untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh
dan

berkembang

sesuai

dengan

maksud

dan

tujuan

penciptaannya. Istilah pembelajaran sebelumnya lebih popoler


dengan sebutan kegiatan belajar mengajar maupun proses
belajar

mengajar.

Dalam

kegiatan

belajar

mengajar

pelaksanaannya tidak ada keseimbangan antara guru dengan


siswa, di mana dalam kegiatan belajar menekankan keaktifan
guru sementara siswa hanya pasif. Sehingga kegiatan belajar
mengajar
berhasilnya

guru

bersifat

kegiatan

theacher
belajar

oriented.
mengajar,

Seiring

kurang

maka

proses

pembelajaran merupakan jawaban terhadap kelemahan kegiatan


belajar mengajar selama ini.72
Dalam pembelajaran baik guru maupun siswa dituntut untuk
aktif. Dalam memperoleh kondisi pembelajaran yang efektif
tersebut maka guru sangat berperan dalam menentukan kualitas
72 Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam di Sekolah
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) 184.

106

dan kuantitas pengajaran. Oleh karena itu, dalam hal ini, seorang
guru harus mampu merencanakan dan meningkatkan kualitas
pengajaran.
Sejalan dengan pendapat di atas bahwa dalam menjawab problem problem yang
di temui dalam pengimplementasian Pembelajaran Afeksi Siswa di
MTs.

Mazroatul

Ulum

Suwaduk

Wedarijaksa

Pati,

penulis

menawarkan beberapa solusi antara lain :


1. Internal Guru tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan upaya
penyadaran bahwa guru memiliki peran sebagai teladan. Karena hal
tersebut maka guru harus selalu melakukan introspeksi, dan terus untuk
melakukan koreksi dengan cara menyelaraskan apa yang disampaikan
atau diucapkan di kelas dengan apa yang dilakukannya di luar kelas.
Melalui cara ini guru harus selalu ingat bahwa dirinya sebagai panutan
atau contoh bagi para siswanya, sehingga setiap kata dan perbuatan yang
dilakukan harus sesuai dengan apa yang pernah disampaikan kepada para
siswanya. Selain itu perlu ada niat yang tulus dari para guru untuk tetap
terus memperbaiki diri apabila melakukan kesalahan, terutama apabila
kesalahan tersebut dapat dilihat secara langsung oleh siswa.
2. Kendala kedua seperti yang telah dikemukakan di atas dapat diatasi
dengan beberapa langkah. Langkah yang dapat dilakukan misalnya
dengan cara tetap terus menerapkan niat untuk sikap disiplin siswa.
Meskipun terkadang ada sebagian guru yang kurang setuju dengan apa
yang telah dilakukan oleh guru yang lain. Melalui niat untuk tetap terus

107

menerapkan aturan dalam pembelajaran agar tercipta sikap disiplin,


seorang

guru

seringkali

harus

menerima

sikap

yang

kurang

menyenangkan dari guru lain. Langkah lain untuk mengatasi kendala ini
dilakukan juga melalui forum ataupun pendekatan personal. Melalui
pendekatan ini seorang guru dapat memberikan penjelasan dan rasional
kepada guru yang lain tentang pentingnya penanaman nilai sikap
kedisiplinan. Melalui langkah ini maka setiap strategi yang dilakukan
dalam rangka menanamkan nilai sikap kedisplinan secara perlahan akan
mendapatkan dukungan dari semua pihak dan menciptakan budaya
disiplin di sekolah.
3. Tentang

kurangnya

ketrampilan

yang

dikuasai

oleh

seorang guru dalam menciptakan pembelajaran afeksi,


penulis akan memaparkan tentang ketrampilan dasar
yang

harus

pembelajaran

dikuasai
sesuai

oleh

seorang

dengan

guru

teori

di

dalam

yang

telah

dikemukakan dalam Bab II, antara lain:


7) Memberi penguatan
Penguatan (reinforcement) ialah segala bentuk respon
apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang
merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru
terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk
memberikan informasi atau umpan balik (feed back)
bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai

108

suatu

tindak

dorongan

ataupun

koreksi

atau

penguatan meningkatkan kemungkinan berulangnya


kembali tingkah laku tersebut.
8) Menggunakan teknik bertanya yang merespon siswa
Dalam

proses

belajar

mengajar,

bertanya

memainkan peranan penting, sebab pertanyaan yang


tersusun dengan baik dan teknik pelontaran yang
tepat akan memberikan dampak positif terhadap
siswa, di antaranya:73
a) Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan
belajar mengajar
b) Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi
c) Mengembangkan pola dan cara belajar aktif siswa
sebab berfikir itu

sendiri

sesungguhnya

ialah

bertanya.
9) Menggunakan metode yang bervariasi
Variasi merupakan kegiatan guru dalam konteks
proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk
mengatasi kebosanan siswa sehingga dalam situasi

73 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung :


Remaja Rosdakarya, 2002) 75.

109

belajar

mengajar

siswa

senantiasa

menunjukkan

ketekunan antusias serta penuh partisipasi.


10) Menarik perhatian siswa
Untuk membangkitkan perhatian yang disengaja
seorang guru harus:74
a) Dapat menunjukkan pentingnya bahan

pelajaran

yang disajikan bagi siswa.


b) Berusaha menghubungkan antara apa yang telah
diketahui oleh siswa dengan materi yang akan
disampaikan.
c) Merangsang siswa agar melakukan kompetensi
belajar yang sehat dan berusaha menghindarkan
hukuman serta dapat memberikan hadiah secara
bijaksana.
11) Melakukan evaluasi
Tujuan utama melakukan evaluasi ialah untuk
mendapatkan

informasi

yang

akurat

tentang

pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa sehingga


dapat diupayakan tindak lanjutnya.
12) Mengelola kelas
Pengelolaan

kelas

(classroom

management)

ditekankan pada upaya untuk menciptakan kondisi


74 Usman, 10

110

dan prakondisi yang nyaman bagi terlaksananya


proses pembelajaran secara efektif dan efisien.
Guru sebagai pemimpin (manajer) memberikan contoh yang baik
kepada siswanya tentang bagaimana belajar dan ia terlibat
dalam berbagai aktivitas yang menyenangkan. Guru juga harus
mendorong siswa untuk belajar dan berperan dalam semua
aktivitas dari sejak awal. Siswa harus diberikan tugas secara
teratur, baik berupa kegiatan belajar di dalam kelas, tugas di luar
kelas, maupun

tugas

mandiri

supaya

pembelajaran

dapat

terpusat (terfokus) pada siswa (student centered).

Penutup
Implementasi Jangan Sekedar Basa-basi!
Penelitian penulis dalam buku menitahkan satu kalimat yang tegas:
implementasi jangan hanya basa-basi. Kalau sudah diteaskan, dan apalagi

111

dirumuskan, maka implementasi adalah keniscayaan. Lembaga pendidikan


yang

mampu

mengimplementasikan

berbagai

konsep,

termasuk

pembelajaran afeksi, maka akan melahirkan generasi yang siap memberikan


manfaat bagi masa depan bangsa ini.
Demikian juga yang terjadi

di

MTs

Mazroatul

Ulum.

Implementasi pembelajaran afeksi siswa di MTs. Mazroatul


Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati mempunyai nilai yang
berdampak positif dan menjadi penting dalam pembentukan
kepribadian

atau

sikap

siswa,

karena

melihat

proses

internalisasi nilai tersebut, maka apabila siswa sudah


sampai pada karakterisasi sebuah nilai, maka ia tidak akan
bertindak menuruti kemauannya sendiri, tetapi ia akan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan
dalam pribadinya.
Dengan kata lain pembelajaran afeksi berperan dalam
mengontrol

tingkah

laku

siswa

sehari-hari

mulai

dari

menanamkan nilai nilai kedisiplinan, menumbuhkan minat


belajar siswa dan mengajarkan nilai nilai moral atau
perilaku yang baik pada siswa sesuai dengan nilai-nilai yang
diajarkan dalam agama Islam sehingga secara berangsurangsur terbentuklah kepribadian atau sikap seorang muslim
pada diri siswa sebagaimana yang dicita- citakan dalam
pendidikan Islam.
Dalam proses Implementasi pembelajaran afeksi siswa di
MTs. Mazroatul Ulum

kendala yang penulis temukan adalah


112

kebanyakan dari tenaga guru di MTs. Mazroatul Ulum


Suwaduk hanya memahami kurikulum sebagai produk.
Akibatnya guru dalam mengajar hanya memusatkan diri
pada

pencapaian

target

kurikulum

dalam

mendomain

kognitif semata. Sehingga keberhasilan guru dalam proses


belajar mengajar (PBM) kurang memenuhi standar aspek
pembelajaran yaitu kogfnitif, afektif dan psikomotorik.
Selain itu kendala lain yang penulis temukan antara
lain inkonsistensi seorang guru dalam melakukan atau menerapkan aturan,
ketidak sepahamannya antara guru satu dengan yang lainnya dalam
menerapkan

pembelajaran

afeksi

kepada

siswa

dan

kurangnya

ketrampilan dasar yang dikuasai oleh seorang guru di dalam


menciptakan

pembelajaran

afeksi

pada

siswa

di

MTs.

Mazroatul Ulum.
Dalam menjawab kendala kendala atau problem yang terjadi dalam
pengimplementasian Pembelajaran Afeksi Siswa Di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati, ada beberapa
solusi yang penulis tawarkan.
a. Kendala yang terjadi di internal Guru dapat diatasi dengan cara
melakukan upaya penyadaran bahwa guru memiliki peran sebagai
teladan. Karena hal tersebut maka guru harus selalu melakukan
introspeksi, dan terus untuk melakukan koreksi dengan cara
menyelaraskan apa yang disampaikan atau diucapkan di kelas
dengan apa yang dilakukannya di luar kelas.

113

b. Tentang ketidak sepahaman dalam menerapkan aturan seorang guru


harus tetap terus menerapkan niat untuk sikap disiplin dan biasa
dilakukan juga melalui forum ataupun pendekatan personal.
c. Tentang kurangnya ketrampilan yang dikuasai oleh
seorang

guru

dalam

menciptakan

pembelajaran

afeksi, seorang guru harus menguasai ketrampilan


dasar

yaitu:

memberi

penguatan,

menggunakan

teknik bertanya yang merespon siswa, menggunakan


metode yang bervariasi, menarik perhatian siswa,
melakukan evaluasi dan mengelola kelas
Implementasi pembelajaran afeksi aiswa di MTs.
Mazroatul Ulum Suwaduk mempunyai dampak yang positif dalam
pembinaan siswa untuk melatih kedisiplinan, menumbuhkan minat belajar
dan membiasakan anak untuk berakhlakul karimah.
Makanya, guru-guru di MTs. Mazroatul Ulum harus lebih
meningkatkan kompetensi kepribadian yang mereka miliki, karena terbukti
adanya kompetensi kepribadian yang baik dari seorang guru berbungan
positif dengan moralitas siswa. Dan hal itu perlu diteruskan, dikembangkan
dan ditingkatkan lagi dalam pembinaan generasi yang akan datang, demi
kiprahnya dalam pembangunan bangsa. Sementara siswa-siswi di MTs.
Mazroatul Ulum hendaknya senantiasa melatih diri untuk bergaul
dengan akhlakul karimah, senantiasa mendengarkan dan melaksanakan
nasehat guru dan juga orang tua.

114

Agar implementasi pembelajaran afeksi tidak banyak


menemui kendala, perlu kiranya lembaga pendidikan Islam membiasakan
situasi dan kondisi lingkungannya yang hidup harmonis dan menaati semua
peraturan yang ada MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa
Pati, serta diberlakukan sanksi apabila melanggar peraturan di MTs.
Mazroatul

Ulum

Suwaduk. Ini dilakukan agar siswa tidak

menjalankan sesuatu hal yang di larang oleh Agama. Insya Allah akan
terwujud lingkungan yang sakinah yang dihuni oleh siswa - siswi yang
sholeh-sholehah.
Di dalam lingkungan lembaga pendidikan MTs. Mazroatul
Ulum Suwaduk hampir seluruh siswa berusia remaja yang penuh dengan
problem atau masalah. Untuk itu bimbingan dan pembinaan yang berkaitan
dengan akhlakul karimah akan sangat penting bagi kehidupan di masa
mendatang.

115

DAFTAR PUSTAKA
Agus Irawan Sensus, Departemen pendidikan nasional Direktorat
jenderal peningkatan mutu pendidik Dan tenaga
kependidikan Pusat pengembangan penataran guru
tertulis 2006
Amirul Hadi, dkk., Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta :
Rineka Cipta, 2001
anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001
Ardiyan Sarutobi, Data primer dan data sekunder dalam skripsi,
28
September
2012,
http://ardiyansarutobi.blogspot.com/2010/10/data-primerdata-sekunder-skripsi.html
Bambang Irianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu
Solusi Dalam Memenuhi Tuntutan Global dan Lokal
(makalah), Bandung : Makalah, 2003
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
Djalinus Syah, dkk., Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa
Indonesia), Jakarta : Rineka Cipta, 1993
E. Mulyasa, Kurikulum Berbeasis Kompetensi, Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 2003
Gordon H. Bower dan Ernest R. Hilgard, Theories of Learning,
London: Prentice Hall International, 1981, p. 2
Handarani Nawawi, Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang
Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada Unversity Press, 1992
Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam
Islam, Bandung : Mandar Maju, 1989
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
Remaja Rosdakarya, 2001)

116

(Bandung :

M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Semarang :


Pustaka Pelajar,1996
Maskur, Pengembangan Ranah Afektif dalam Pembelajaran
Akidah Akhlak pada Siswa di MA. Nurul Ulum Jekulo
Kudus, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,
2005,
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2002)
Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001)
Muhibbin Syah, Psikologi dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1995
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru,
Bandung : Rosdakarya, 1997
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1995
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi
Aksara, 2001
Pengembangan Silabus
www.ktsp.co.id

KTSP

MI,

MTs.,

dan

MA

dalam

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta : Rineka


Cipta, 2005, cet. 5)
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara,
2007
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta :
Rajawali Pers, 1995)
Siti Musyarofah, Analisis Item Tes Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Kelas 1 Semester 11 Di MA Futuhiyyah 2 Mranggen Demak
Tahun 2004-2005, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2006
Slameto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2001,
Soenarjo, dkk., Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI,
1971

117

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung : Pustaka


Setia, 2002)
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D (Bandung : Alfabeta, 2008)
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2001
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta, Rineka Cipta, 1998
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Kompetensi dan
Praktiknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet. 2
Suyanto, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,
2000
Syamsul Yusuf LN., Psikologi Belajar Agama, Bandung: Pustaka
Bani Quraish, 2004
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003
W. Gulo, Metodologi Penelitian (Jakarta : Media Widia Sarana,
2002)
Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha
Nasional, 1986
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan,
Winarno Surachmad, Dasar Dan Praktek Research, Pengantar
Metodologi Ilmiah (Bandung : Tarsito, tt, )
WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996
Yatim

Rianto, Metodologi Penelitian


(Surabaya : Sie Surabaya, 1995)

Suatu

Tujuan

Dasar

Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi


Aksara, 2000
Zuharini, et. Al., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1995
118

Tentang Penulis
Fikrul Umam MS, adalah kader muda NU yang aktif dalam
berbagai diskusi, kajian dan penelitian. Selain mengajar di
Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk, juga aktif di Lakpesdam NU
Pati. Alumnus Madrasah Raudlatul Ulum Guyangan Pati ini juga
pernah aktif di PMII Rayon Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,
kontributor NU Online Jakarta, dan Kajian LTN NU DIY.
Selain menulis buku ini, penulis juga aktif menulis di media
massa, tulisannya pernah dipublikasikan di Kompas, Jawa Pos,
dan Suara Merdeka. Sekarang selain mengasuh musolla di
samping rumahnya, juga melanjutkan studinya di Program
Pascasarjana STAIN Kudus.

119

Вам также может понравиться