Вы находитесь на странице: 1из 10

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Medis


2.1.1 Pengertian Demam Thypoid
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh kuman salmonella Thypi (Arifin, 2009).
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan
gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa,
salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara oral melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi ().
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut,
yang

ditandai

dengan

bakterimia,

perubahan

pada

sistem

retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan


ulserasi nodus peyer di distal ileum (Retnosari & Tumbelaka 2001).
2.1.2 Etiologi
Penyebab demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi,
S.paratyphi A, S.paratyphi B danS.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro,
1997). Ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan
demam tifoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang
sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun (Widodo, 2006).

2.1.3 Patofisiologi
Kuman Salmonella typi masuk tubuh manusia melalui mulut
dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan
oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami

hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal


dapat terjadi. KumanSalmonella Typi kemudian menembus ke lamina
propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus
thoracicus. Kuman salmonella typilain mencapai hati melalui sirkulasi
portal dari usus. Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati
dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian ekperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin
salmonella typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
salmonella typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan
karena salmonella typi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang meradang
(Suriadi & Yuliani, 2006).
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari.

Gejala-

gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara
berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke
waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan
yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan
komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang
sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan membuat
diagnosis klinis demam tifoid (Brusch, 2010).
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5F yaitu food (makanan), fingers (jari
tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Feses dan
muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui

perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan


dikonsumsi oleh orang yang sehat (Juwono, 2004).
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Kemudian kuman masuk kedalam lambung, sebagian kuman akan
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid
ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai
sel-sel

retikuloendotelial.

Sel-selretikuloendotelial

ini

kemudian

melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan


bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu (Brusch, 2010).
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid
disebabkan

oleh

endotoksemia.Tetapi

berdasarkan

penelitian

eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan


penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karenamembantu proses inflamasi lokal pada usus
halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya
merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung
selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan
strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap
dalamkeadaan asimtomatis (Setiabudy & Gan, 2007).
2.1.4 Manifestasi Klinis
a. Minggu I
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya , yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan
fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.

b. Minggu II
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan
demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi
dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia (Suddarth & Brunner, 2001).
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukositosit dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus.
c. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat
adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat
antibodi (aglutinin) yaitu:
Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari
tubuh bakteri
Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari
flagela bakteri
Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari
simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan menderita demam tifoid (Suddarth &
Brunner, 2001).

2.1.6 Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perporasi usus
Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan
sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan
syndroma uremia hemolitik.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis,
kolesistitis.
Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan
perinepritis.
Komplikasi pada

tulang

spondilitis dan arthritis.


Komplikasi neuropsikiatrik

osteomyolitis,
:

delirium,

osteoporosis,
meningiusmus,

meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan


sidroma katatonia (Suriadi & Yuliani, 2006).
2.1.7 Penatalaksanaan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah
cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau
mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum
dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan
hindari makanan pedas.
Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu : perawatan, diet
dan obat-obatan (Suddarth & Brunner, 2001).
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian pada anak dengan demam tifoid meliputi :
a. Identitas
Sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun.
b. Keluhan utama

Berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan
kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama
masa inkubasi).
c. Suhu tubuh
Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama

3 minggu,

bersifat febris remiten dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama


minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari.dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan
demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
d. Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma, atau
gelisah (kecuali bila penyakitnya berat dan terlambat mendapat
pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat
gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan
reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam
kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam.
Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada
anak besar.
e. Pemeriksaan fisik:
1) Mulut
Terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor
(coated tongue), sementara ujung dan tepinya berwarna
kemerahan, dan jarang disertai tremor.
2) Abdomen
Dapat ditemukan keadan perut kembung (meteorismus). Bisa
terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
3) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
f. Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leucopenia,
limfositosis relatif, dan aneosinofilia pada permukaan sakit.

2) Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.


3) Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam
darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih
sering ditemukan dalam urine dan faeces.
4) Pemeriksaan widal.
Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah
titer zat anti terhadap antigen O titer yang bernilai 1/200 atau
lebih menunjukkan kenaikan yang progresif (Arifin, 2009).

2.2.2

Diagnosa keperawatan
Menurut Nursalam, (2005. Hal 154), Diagnosa keperawatan yang
mungkin akan didapat pada penyakit demam tifoid adalah sebagai
berikut :
a. Kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit.
b. Gangguan suhu tubuh.
c. Gangguan rasa aman dan nyaman.
d. Resiko tinggi komplikasi.
e. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakitnya.

2.2.3

Perencanaan Asuhan Keperawatan


a. Gangguan kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang
adekuat.
Kriteria hasil

Nafsu

makan

meningkat,

Pasien

mampu

menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan


1) Berikan makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat,
tinggi protein, dan tidak menimbulkan gas.
2) Jika kesadaran klien masih membaik Berikan makanan lunak
dengan lauk pauk yang dicincang (hati dan daging), dan sayuran
labu siam/wortel yang dimasak lunak sekali. Boleh juga
diberikan tahu, telur setengah matang atau matang yang direbus.
Susu diberikan 2 x 1 gelas/lebih, jika makanan tidak habis
berikan susu extra.
3) Jika kesadaran klien menurun, berikan makanan cair per sonde
dan berikan kalori sesuai dengan kebutuhannya. Pemberiannya

diatur setiap 3 jam termasuk makanan ekstra seperti sari buah


atau bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika kesadaran
membaik, makanan dialihkan secara bertahap dari cair ke lunak.
4) Pasang infus dengan cairan glukosa dan NaCl jika kondisi pasien
payah (memburuk), seperti menderita delirium. Jika keadaan
sudah tenang

berikan makanan per sonde, disamping infus

masih diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan


setengah dari jumlah kalori, sementara setengahnya lagi masih
perinfus. Secara bertahap dengan melihat kemajuan pasien,
bentuk makanan beralih ke makanan biasa.
5) Observasi intake output.
b. Gangguan suhu tubuh.
Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal, turgor kulit
kembali membaik.
1) Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian obat secara
mencukupi
2) Anjurkan klien untuk istirahat mutlak sampai suhu tubuhnya
menurun.
3) Atur ruangan agar cukup ventilasi.
4) Berikan kompres dingin.
5) Anjurkan pasien untuk banyak minum (sirup, teh manis, atau apa
yang disukai anak).
6) Berikan pakaian yang tipis
7) Observasi suhu tubuh.

c. Gangguan rasa aman dan nyaman.


Tujuan : mempertahankan kondisi pasien dalam keadan amam dan
nyaman.
Kriteria hasil : pasien merasa aman dan nyaman
1) Lakukan perawatan mulut 2x1 hari

2) Jika pasien dipasangkan sonde, perawatan mulut tetap dilakukan


dan sesekali diberikan minum agar selaput lendir mulut dan
tenggorokan tidak kering.
3) Sebelum pasien mulai berjalan pasien harus mulai menggoyang
goyangkan kakinya sambil tetap duduk dipinggir tempat tidur.
d. Resiko terjadi komplikasi.
Tujuan : komplikasi tidak terjadi.
Kriteria hasil : mempertahankan intake yang adekuat.
1) Pemberian terapi sesuai program dokter.
2) Istirahat yang teratur.
3) Lakukan Pengawasan komplikasi.
e. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakitnya.
Tujuan : pengetahuan klien dan orang tua klien bertambah dengan
adanya informasi.
Kriteria hasil : klien akan menyatakan pemahaman proses penyakit,
pengobatan, mengidentifikasi situasi stres dan tindakan khusus
untuk menerimanya dan berpartisipasi dalam program pengobatan
serta melakukan perubahan pola hidup tertentu.
1) Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang hah-hal sebagai
berikut : pasien tidak boleh tidur dengan anak-anak lain, pasien
harus istirahat mutlak, pemberian obat dan pengukuran suhu
dilakukan seperti dirumah sakit, feses dan urin harus dibuang
2.2.4

kedalam lubang WC dan di siram air sebanyak-banyaknya.


Implementasi
Menurut Carpenito, (2009, hal 57). komponen implementasi
dalam proses keperawatan mencakup penerapan ketrampilan yang
diperlukan

untuk

mengimplentasikan

intervensi

keperawatan.

Ketrempilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk implementasi


biasanya berfokus pada :
a. Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
b. Melakukan pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah
baru atau memantau status masalah yang telah ada.

c. Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan


pengetahuan yang baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan
gangguan.
d. Membantu klien membuat keptusan tentang layanan kesehatannya
sendiri .
e. Berkonsultasi dan membuat rujukan pada profesi kesehatan lainnya
untuk mendapatkan pengarahan yang tepat.
f. Memberi tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi,
atau menyelesaikan masalah kesehatan.
g. Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri
h. Membantu klien mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali
pilihan yang tersedia.
2.2.5

Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat
harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami
respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.

Вам также может понравиться