Вы находитесь на странице: 1из 6

KETIDAKADILAN HUKUM DI INDONESIA

Aksi sidak Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum


berhasil. Seorang terpidana kasus penyuapan petugas, Artalyta
Suryani, kedapatan mendapatkan fasilitas mewah di dalam Rutan
Pondok Bambu, tempatnya ditahan. Bukan hanya mendapatkan
ruangan

yang

serba

wah,

Satgas

juga

menemukan

yang

bersangkutan sedang dirawat oleh seorang dokter spesialis. Ia


memperoleh perawatan khusus dari dokter yang didatangkan dari
luar Rutan. Luar biasa! Seorang terpidana yang menyeret nama
Jaksa Urip dan petinggi Kejaksaan Agung, berada dalam penjara
dengan fasilitas luar biasa, mulai dari pendingin ruangan, telepon,
ruang kerja, bahkan ruang tamu. Ia juga kabarnya bisa ditemui
dengan bebas oleh para asistennya.
Itu adalah wajah hukum kita, wajah yang semakin suram
baik di luar maupun di dalam. Itu pun baru satu temuan, betapa
mafia hukum memang berada dimana-mana, dan ada dimana
saja. Temuan itu justru ditemukan oleh Satgas yang dibentuk dari
luar,

bukan

oleh

mereka

yang

bekerja

untuk

melakukan

pengawasan di instansi pemerintah, yang bekerja setiap tahun


memastikan prosedur Rutan dijalankan dengan baik. Bagi kita,
amat mudah menemukan alasan bagaimana seorang bernama
Artalyta

itu

bisa

menikmati

fasilitas

yang

begitu

mewah.

Jawabnya adalah uang. Ia punya uang untuk melakukan apapun


caranya dan untuk membeli apa yang dia mau. Karena uang itu
pula maka para pejabat yang harusnya berwenang menegakkan

peraturan menjadi tidak lagi bisa berkuasa. Mereka tunduk di


bawah kekuasaan uang. Amat aneh kalau para petinggi Rutan
tidak tahu menahu bahwa sebuah ruangan telah disulap oleh
seorang

terpidana.

Mereka

pasti

merestuinya

dan

mengetahuinya.
Rumor mengenai uang ini bukan hanya berhembus pada
kasus Arthalyta saja. Beberapa kasus lain, terutama yang
menimpa mereka yang beruang dan berada dalam kasus yang
melibatkan uang besar, juga ditengarai terjadi hal-hal serupa.
Mereka tetap bisa bebas dalam penjara. Dengan menggunakan
contoh itu pulalah maka kita mengerti mengapa keadilan dan
kebenaran tidak pernah hadir di negeri kita. Wajah hukum kita
sepertinya telah mudah dibeli oleh uang. Para pengusaha dan
pelaku korupsi yang tidak juga ditangkap dan diperiksa, diyakini
telah menggelontorkan sejumlah uang yang besarannya bisa
mencapai miliaran rupiah supaya mereka tetap menghirup
kebebasan. Setelah diperiksa, mereka juga bisa melakukan
tindakan menyuap supaya mereka kalau bisa divonis bebas.
Bahkan kalaupun sudah diyakini bersalah dan berada dalam
tahanan, maka dengan uang pula mereka bisa tetap bebas
merdeka dalam ruang tahanan, seperti Artalyta. Temuan terhadap
Artalyta sebenarnya sudah cukup memperlihatkan bahwa mafia
hukum ini terjadi karena dua pihak melakukan persekutuan jahat.
Para

pelaku

kejahatan,

kejahatan

yang

bersama-sama

terbukti

dengan

melakukan tindakan tidak terpuji.

melakukan

para

penegak

tindakan
hukum,

Karena itu Satgas seharusnya segera melakukan langkahlangkah

penting.

Salah

satu

yang

perlu

dilakukan

adalah

memberikan efek jera kepada para pejabat yang ketahuan


memberikan fasilitas lebih dan mudah kepada mereka yang
terlibat dalam kejahatan. Para pimpinan Rutan dimana Artalyta
misalnya harus ditahan bersama-sama dengan mereka yang
sebelumnya ditahan. Para pejabat itu harus jera.
Selain itu, kepada para pelaku kejahatan yang terbukti
mencoba atau melakukan transaksi atas nama uang, harus
diberikan hukuman tambahan. Memberikan efek jera demikian
akan membuat mereka tidak ingin berpikir melakukan hal
demikian lagi. Arthalyta, harus diberikan hukuman tambahan atas
suap yang dilakukannya pada pejabat Rutan, ketika dia masih di
dalam penjara. Hal-hal seperti ini harusnya membuat kita
menyadari betapa jahatnya kejahatan di negeri ini. Kejahatan itu
bisa membeli dan merampas keadilan dan kebenaran hukum.
Wajar saja kemudian orang kecil hanya bisa menangis ketika
berada dalam persoalan hukum karena mereka hanya bisa
menjadi korban ketidakadilan...
CONOTH KASUS :
HUKUM HANYA BERLAKU BAGI PENCURI KAKAO, PENCURI PISANG,
& PENCURI SEMANGKA(Koruptor Dilarang Masuk Penjara)
Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi
untuk

menciptakan

kepercayaan

masyarakat

dan

dunia

internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak

kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita.


Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa
kecuali
Keadaan

yang

sebaliknya

terjadi

di

Indonesia.

Bagi

masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa


terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang
punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan
hukum. Ini kan tidak adil !!

Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan


kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di
Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh
Nenek Minah. Memang apapun yang namanya tindakan mencuri
adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga
mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak
begitu yang buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan
keawaman Nenek Minah tentang hukum.
Menitikkan air mata ketika saya menyaksikan Nenek Minah
duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah
keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya
ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya
transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya
cukup

jauh.

Seorang

Nenek

Minah

saja

bisa

menghadiri

persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya

transportasi.

Seorang

pejabat

yang

terkena

kasus

hukum

mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan


alasan sakit yang kadang dibuat-buat. Tidak malukah dia dengan
Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena
mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari
Rp.10.000,-?. Dimana prinsip kemanusiaan itu?. Adilkah ini bagi
Nenek Minah?.
Bagaimana dengan koruptor kelas kakap?. Inilah sebenarnya
yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia.
Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Apakah
karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya
banyak uang?, sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum
tidak berlaku bagi mereka para koruptor. Saya sangat prihatin
dengan keadaan ini.
Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah,
gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu
buah semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara
suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena keadaan
kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelitbelit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang
tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif
dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Apa
bedanya seorang koruptor dengan mereka-mereka itu?.
Saya tidak membenarkan tindakan pencurian oleh Nenek
Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek

Minah. Saya juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh


Nenek Minah dan mereka-mereka itu. Tetapi dimana keadilan
hukum itu? Dimana prinsip kemanusian itu?. Seharusnya para
penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan
hanya menjalankan hukum secara positifistik.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah
yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan
yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan
hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti
Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan
tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke
penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan
korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan
bebasnya.
Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang
dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai
pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan
pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek
perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan
aspek kemanusiaan.

Вам также может понравиться