Вы находитесь на странице: 1из 16

A.

Pendahuluan

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut
sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan
seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama
besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau
adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran
Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam),
tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan
dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B.
1.

Al-Ghazali
Biografi dan Pendidikannya

Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath
Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya
termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman
akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali.
Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H
(1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin
Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian
ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di
negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia
mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai
beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh
madzhab Syafii. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa alGhazali itu adalah lautan tak bertepi....[2]
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke
Muaskar,[3]ia pergi ke Muaskar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al
Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan

sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki alGhazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M.
Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat
perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang
jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.[4]
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai
konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di
Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa,
baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali
dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana
meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham AlMuluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di
daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat
pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini
dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai
ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah
Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan
bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah
untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran
Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri
Nidham Al-Muluk.[6]
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani
Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak
ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan
karangannya yang berjudul Fadhail Al-Bathiniyah wa Fadhail Al-Mustadhhiriyah (tercelanya
aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul
Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti
masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian
timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini
tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.[7]
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan
dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya

untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di


pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara
lain:
a. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4
(empat) tahun.
b. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2
(dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan
menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beritikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di
mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d. tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara
Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat
ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia
hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad
bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun,
dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan
niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan
untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah
haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini
khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih
Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.[8]
2.

Karya-Karya Al-Ghazali

Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis
kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif
oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa
jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman AlBadawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala
buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan
karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai
karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai
karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan

karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]


Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada
zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Quran, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq,
falsafat, dan lainnya.
a.

Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)

Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara
fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia
Barat dan luar Islam.
b. Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab
yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan
tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia
sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
i.
ii.
iii.

Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.


Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,
Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.[10]

d.

Al-Iqtashad fi Al-Itiqad (inti ilmu ahli kalam),

e.

Jawahir Al-Quran (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Quran),

f.

Mizan Al-Amal (tentang falsafah keagamaan),

Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut alFalasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga.
Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.
g.

Al-Maqasshid Al-Asna fi Maani Asmaillah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),

h.

Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),

i.

Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

j.

Al-Mustadhhir,

k.

Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),

l.
Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul addin),
m.

Kimiya As-saadah (menerangkan syubhat ahli ibadah),

n.

Al-Basith (fiqh),

o.

Al-Wasith (fiqh),

p.

Al-Wajiz (fiqh),

q.

Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),

r.

Yaqut At-Tawil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),

s.

Al-Mustasfa (ushul fiqh),

t.

Al-Mankhul (ushul fiqh),

u.

Al-Muntaha fi ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),

v.

Miyar Al-ilmi,

w. Al-Maqashid (yang dituju),


x.

Al-Madnun bihi ala Ghairi Ahlihi,

y.

Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),

z.

Mahku An-Nadhar,

3.

Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.

Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama


karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan
alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai
ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof)
karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan
sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal
untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara
otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil
kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa
dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di
bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabiiyat) yang berkenaan dengan
akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang
menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan
kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b.

Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat
(kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang
diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.
Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan
dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam
pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
[11]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum
kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asyari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu

adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaankebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air
tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.
Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api
ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
[12]
c.

Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam
buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu.
Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal
Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman Ala
Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan,
jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam.
Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan
yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan
menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga
dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syariat, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihyanya yang merupakan perpaduan
harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan
penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]

4.

Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof,
karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-

Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsipprinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak percaya
pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran
yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...[14]
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam
kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam
yaitu al-Quran dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini
hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk
membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya IhyaUlum
Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan
pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya
sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut
untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari
sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.
[15]
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof
menjadi 3 (tiga) golongan:
1.

Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.
2.

Filosof Naturalis (Thabiiyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan
memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian,
mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal
pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.

Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah

menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak
dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri
termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran
ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bidat dan kafir.
Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah,
dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
1.

Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,

2.

Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,

3.
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4.

Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,

5.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua
Tuhan,
6.

Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,

7.

Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,

8.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan
tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9.

Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,

10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak
berakhir),
11.

Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya

12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya,
13.

Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juziyyat,

14.

Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan

kemauan-Nya,
15.

Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,

16.

Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juziyyat,

17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di
luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri
sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa
manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan
dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. [16]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
b.

Alam semesta dan semua substansi qadim.

Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas
alam sama halnya dengan qadimnya illat atas malulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan
tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang
lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita
bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi,
paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak
diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Quran yang jelas menyatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi alGhazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam
tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.[17]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa
pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu
diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi

membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan
tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat
iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai
iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak
perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[18]
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak
qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar
dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik
yang bertindak secara aktual. Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan
Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia
kehendaki.[19]
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah
perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim
berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang
kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu
yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim.
Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh
karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu
alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim
dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan.
Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim.
Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan
dengan ilmu fisika modren.[20]
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang
tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan
kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang
dipadatkan.[21]
c.

Tuhan tidak mengetahui yang juziyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.

Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juziyyat (hal-hal yang sifatnya
terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan
pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh
Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah
sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang
selain-Nya.

Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para
filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah
perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak
membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda,
lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang,
maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmuNya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu
mengalami perubahan.[22]
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Quran yang
menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama:





Artinya: Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu
kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di
bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :


Artinya:Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu,
padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd
yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).
Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) Tuhan yang Mahamulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular
pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan
ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah tidak ada sebutir atom pun di langit

maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya. [23]


Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan
Allah tidak dapat dikatakan juzi (parsial) dan kully (umum). Juzi adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully,
mencakup berbagai jenis (nu). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui
yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan
ilmu Allah bersifat juzi dan kully.[24]
d.

Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.

Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat
adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat
nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah
rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia
saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula.
Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas
alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan.
Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh
sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak
ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup,
oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa
Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan
mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah
menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup
kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi
badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggotaanggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan
kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain
samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak
terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).[25]
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani
kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh
dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali
berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan

terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran
yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi
maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau
sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses
yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[26]
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada
kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang
pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan
di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di
surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Quran dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya.
Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan
perkataannya :
... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi
hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka
itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu
memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang
bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan
yang mereka nyatakan itu.[27]
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang
mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya.
Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara
eksplisit telah ditegaskan dalam syara, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh
semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia
dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya.
Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan
dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaanNya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh,
seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti
menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang
berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada
badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.[28]
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam,

maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. AlGhazali seorang teolog al-Asyari, ia aktif mengembangkan Asyarisme selama delapan tahun
(1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh
aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal
para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional,
tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak
sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[29]
e.

Pandangannya terhadap Ilmu

Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh
dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, AlGhazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk
selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang
berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah
karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk
amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu
keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syariat.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min
Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa
dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuanpengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk
mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai
pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan
bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi
berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran.
Maka marifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara
manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.[30]
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Quran (mutiara al-Quran) dan Mizan AlAmal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1.

Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

2.
Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan
yang dicapai (hushuli).

3.

Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syaiyyah) dan intelektual (aqliyah).

4.
Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhuin (wajib atas setiap individu) dan fardhu
kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di
bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu
intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat
absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang
aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat
mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah
pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan
akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal
oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran
tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan
pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati,
bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil
argumen-argumen ilmu kalam.[31]
C.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus
seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.
Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu;
(1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material
yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2)
Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin
berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari
yang abadi.
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-danpemikiran.html#ixzz3VCE0hstz

Вам также может понравиться