Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat
gawat terhadap obat. Efek samping obat ini berpengaruh pada kulit, terutama selaput mukosa.
Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk lagi, yang disebut sebagai nekrolisis
epidermis toksik (toxic epidermal necrolysis/ TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut
sebagai eritema multiforme (EM).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala yang bervariasi umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom
muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, Dr. Stevens
dan Dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.
Epidemiologi
Sindrom Stevens Johnson merupakan kasus yang kadang-kadang terjadi. Insidens
Sindrom Steven Johnson di laporkan sekitar 2,6-6,1 kasus per juta populasi setiap tahun. Di
Amerika Serikat, ada sekitar 300 diagnosa baru pertahun. Sindrom Stevens-Johnson paling
sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3 tahun
rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun. Frekuensi yang sama terjadi pada pria dan
wanita . Di bagian kulit universitas Indonesia setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien,
umumnya juga pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya
disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun
seperti pada usia lanjut.
ETIOLOGI
SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai factor. ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan penyakit ini, umumnya sering berkaitan dengan respon
imun terhadap obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya.
Beberapa faktor yang berhubungan timbulnya SSJ diantaranya yaitu infeksi, druginduced, keganasan, dan idiopatik.
infeksi
o virus
variola.
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus
o bakteri
grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri,,tularemia,
dan typhoid.
o Jamur
Coccidioidomycosis, dermatophytosis, dan histoplasmosis
o Protozoa
Malaria dan trikomoniasis
drug-induced,
o Oxicam NSAID dan sulfonamides
o Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin
o Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat
Faktor genetik
o hubungan yang kuat antara HLA, obat hipersensitivitas dan latar belakang
etnis ditemukan oleh Chung et al. yang menunjukkan hubungan yang kuat
Patofisiologi
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya)
atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan
sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan
akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
MANIFESTASI KLINIS
Biasanya dimulai dengan gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam
derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah beberapa hari itu akan timbul lesi di kulit:
o eritema, vesikel, bula bahkan purpura, bersifat generalisata (penyeluruh).
sekunder.
Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan
morbiditas.
Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan,
dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat
yang paling umum.
o Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling
umum di batang tubuh
esofagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ
tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi
mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa
ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau
inkomplit.
hampir selalu terjadi pada semua kasus. Untuk membedakan SJS, SJS-TEN dan permukaan
TEN yang perlu dibedakan adalah : 1. Gambaran histologist setelah dilakukan cryoseksi
dengan atau secara konvensional dengan formalin pada epidermis yang mengalami nekrosis
pada setiap lapisan. Pemeriksaan secara imunologis juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini.
MANAJEMENDAN TERAPI SJS
PENGOBATANPADA STADIUMAKUT
Manajemendalam tahap akutmelibatkan:
1. evaluasi yang berurutanberdasarkan tingkat keparahan danprognosis penyakit
2. mengidentifikasi obatyang menjadi penyebab
3. memulaiperawatan suportif secepat mungkin dengan pengaturanyang tepat
4. terapiobat khusus.
1. Evaluasi Tingkat Keparahan danPrognosis
Segera
setelahdiagnosisSJStelah
ditetapkan,keparahandan
prognosisdari
3. Perawatan Supportif
Elemen penting dariperawatan suportifadalah manajemencairan danelektrolit. Cairan
intravenaharus diberikan untukmempertahankan outputurine50-80 mlper jam dengan0,5%
NaCldilengkapidengan 20mEqKCl. Penggantian terapi secara dini dantepatdiperlukandalam
kasushiponatremia,hipokalemiaatauhipofosfatemiayangcukup
seringterjadi.Lukaharus
Sistemik Steroid
Steroid sistemik merupakan pengobatan standar sampai awal 1990-an walaupun tidak
terdapat manfaat yang telah terbukti dalam percobaan terkontrol, sampai sekarang
penggunaannya masih diperdebatkan. Namun, sebuah studi retrospektif terbaru menunjukkan
bahwa kortikosteroid dosis tinggi (deksametason) mungkin bermanfaat. Di sisi lain, studi
kasus kontrol retrospektif yang baru-baru ini dilakukan oleh Schnecketal. di Perancis dan
Jermanmenyimpulkan
bahwakortikosteroidtidak
menunjukkandampak
yang
Thalidomide
Thalidomide merupakan medikasi yang dikenal dengan aktivitas anti TNF yang
merupakan imunomodulator dan anti angiogenetic yang telah di evaluasi untuk pengobatan
Topic Epidermal Necrolisis (TEN). Sayangnya, dalam penelitian kelompok thalidomide
menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi dalam pengobatan TEN.
-Intravenous Immunoglobulins (IVIG) Dosis Tinggi
Pemberiankortikosteroid
secara
bersamaanatauagen
imunosupresifmasih
Plasmaferesis/plasmaexchange(PE).
PEjuga telah pernah dicoba untuk pengobatan SJS/TEN, namun datasaat ini tidak
Siklofosfamid (CPP)
Meskipun menguntungkan, CPP baru diteliti pada penelitian kecil, butuh penelitian
yang lebih besar untuk mengetahui efek samping yang lebih potensial.
SJS yang parah dapat mengancam jiwa. Rata-rata angka kematian dilaporkan dari SJS
adalah 1-5%, dan bisa lebih tinggi pada pasien usia lanjut dan mereka yang memiliki luas
permukaan epidermal yang lebih besar. Dalam rangka standarisasi evaluasi risiko dan
prognosis pada pasien dengan SJS, sistem penilaian yang berbeda telah diusulkan.
SCORTEN saat ini paling banyak digunakan sebagai sistem penilaian dan mengevaluasi
parameter berikut : umur, keganasan, takikardia, luas awal epidermal permukaan tubuh, urea
serum, glukosa serum, dan bikarbonat.
Sumber :
Abdullah O Kandil et al.2010. Case reportMultifocal Stevens-Johnson syndrome after
concurrent phenytoin and cranial and thoracic radiation treatment, a case
report.Kandil et al. Radiation Oncology, 5:49. Available at http://www.rojournal.com/content/5/1/49. (30 Juni. 2013)
Jaafer M. Kurmanji, Manal M. Younus, and Maytham H. A. Al-amiry. 2012. Steven Johnson
Syndrome: Three Cases Reported In Iraq. Iraq : Iraqi Pharmacovigilance
Center. Vol 4, Issue 4.
Kim In Hye et al. 2005. Causes and Treatment Outcomes of Steven Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis in 82 Adult Patients. Korea : Departement of
Internal Medicine, Kyungpook National University School of Medicine