Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
buruk. Sumber infeksi S.Typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang
sehat yang menjadi pembawa kuman (carrier). Ada beberapa cara penyebaran/
transmisi infeksi S.Typhi, yaitu :
1. Water born disease karena sanitasi lingkungan yang buruk, misalnya sumber air
berdekatan dengan MCK (mandi, cuci, kakus).
2. Kontaminasi makanan (fecal-oral) karena higiene pribadi yang buruk.
3. Infeksi transplasental (bakteriemi ibu ke fetus).
4. Transmisi intrapartum (fecal-oral dari ibu karier)
Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang
beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier
manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinannya adalah air (jalur yang paling
sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia.
Karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi Salmonella typhi dalam feces dan urine selama lebih dari satu tahun.
Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan,
dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di
bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke
feces, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.
III.Patogenesis
Manifestasi klinis dari infeksi yang disebabkan oleh S. typhi bergantung kepada
dosis infektif bakteri yang masuk ke dalam tubuh serta kondisi dari pejamu sendiri
seperti keasaman lambung, flora normal usus, dan daya tahan usus setempat. Bakteri
ini biasanya masuk bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis
infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik adalah 103 - 105
bakteri dengan variasi masa inkubasi antara 3-60 hari (dengan rata-rata 10-14 hari).
Faktor yang mempengaruhi patogenitas S.typhi antara lain daya invasinya, antigen
permukaan, endotoksin serta enterotoksin.
Sebagian S.typhi yang tertelan akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam
lambung dan sebagian lainnya akan mencapai usus halus. S.typhi kemudian
melakukan penetrasi ke dalam lapisan epitel mukosa, di mana dari sana bakteri ini
akan memasuki sistem limfatik dan kemudian masuk ke dalam aliran darah. Bakteri
kemudian akan sampai di hati, limpa, juga sumsum tulang, dan juga ginjal. S.typhii
segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut, di sini
bakteri berkembang biak memperbanyak diri.
Setelah periode multiplikasi intraseluler, bakteri akan dilepaskan lagi ke dalam
aliran darah, terjadilah bakteriemia kedua, pada saat ini penderita akan mengalami
panas tinggi. Bakteriemia ini menyebabkan dua kejadian kritis yaitu masuknya
bakteri ke dalam kantung empedu dan plaque peyeri. Bila terjadi reaksi radang yang
hebat maka akan terjadi nekrosis jaringan yang secara klinik ditandai dengan
kolesistitis nekrotikans, dan pendarahan serta perforasi usus. Masuknya bakteri di
kantung empedu dan plaque peyeri menyebabkan kultur tinja positif, dan invasi ke
dalam kandung empedu dapat menyebabkan terjadinya karier kronik.
Bakteriemia yang menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid
klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola
pengungkapan klinis (kolesistitis, pendarahan usus atau perforasi). Dengan invasi
kantung empedu dan plaque peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan
dapat ditemukan pada biakan feces pada awal minggu kedua penyakit klinis.
Bakteriemia I ( 1-7 hari)
Melalui makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10 6-109) masuk ke
dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam lambung dan
sebagian lagi masuk ke dalam usus halus di usus halus, kuman mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi (di tempat ini
sering terjadi pendarahan dan perforasi) kuman menembus lamina propria kemudian
masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami
hipertrofi melalui ductus thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah
yang menimbulkan bakteriemia I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus masuk
kembali ke dalam hati.
disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih sering terjadi
sekunder oleh infeksi pneumokokus.
Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardi relatif)
akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v.femoralis,
v.saphena, dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa
hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang
adalah otot diafragma, m. rectus abdominalis, dan otot paha. Hal ini yang mendasari
kelemahan otot pada penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptur
spontan disertai pendarahan lokal. Infeksi sekunder menyebabkan abses di otot
bersangkutan.
Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat
berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum,
iga, dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik
disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang
ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan
eosinofil serta bertambahnya sel mononuklear.
V. Diagnosa
Diagnosa demam tifoid ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan hasil
laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesa Umum
Gambaran klinis demam tifoid
Keluhan :
- Nyeri kepala (frontal)
100 %
50 %
50 %
- Diare
50 %
- Muntah
50 %
Gejala :
- Demam
100 %
75 %
- Bronkitis
75 %
- Toksik
> 60 %
- Letargi
> 60 %
40 %
Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan
gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam, dan bradikardi. Demam ini
khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari menyerupai naik tangga sampai
dengan 40 atau 41 0C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise, dan menggigil.
Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu
pada pasien yang tidak diobati).
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya
kelainan hematologi, gangguan faal hati, dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas
biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat sampai lima minggu. Pada kasus
ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya
berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan,
letargi, dan demam.
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disetai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering. Hampir
selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare
juga ditemukan.
Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam continous) dan
penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dimulai dan terdapat pendarahan saluran cerna. Keadaan berat ini
berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami
delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu ketiga ini tampak
gejala fisik lain berupa bradikardi relatif dengan limpa membesar lunak. Perbaikan
mulai terjadi pada akhir minggu ketiga, suhu badan menurun, dan keadaan umum
tampak membaik. Demam tifoid dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah
demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin
terjadi dua atau tiga kali.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Bradikardia relatif.
Hepatosplenomegali.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun,
kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defense muscular akibat
rangsangan peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul anemia. Pada pendarahan hebat mungkin terjadi
syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang, dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa spincter yang lemah dan ampulanya kosong.
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah, dan kurva suhu denyut nadi
menunjukkan tanda salib maut.
Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,
leukopenia dengan hilangnya sel eusinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear.
Pada sebagian besar penderita, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah
tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia (< 2000 sel per
mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi usus atau penyulit
piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji
benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat.
Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90 %
penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang
pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil
usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti
peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E.coli) dan basil anaerob (B.fragilis). Titer
aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan memuncak
pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas silang dengan
kuman Salmonella lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi.
Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi
silangnya yang luas maka sulit ditafsirkan. Peninggian antibodi 4x lipat pada sediaan
berpasangan adalah kriteria yang baik, tapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit
akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini.
Semakin dini sediaan diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang
nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3-4 minggu sakit, dan
kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.
VI. Komplikasi
Komplikasi pada tifus abdominalis dapat dikelompokkan dalam komplikasi yang
langsung akibat gangguan di sistem retikuloendotelial dan komplikasi tak langsung
karena adanya bakteriemi. Komplikasi yang langsung berupa perdarahan dan perforasi
ulkus di ileum, kolestitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis, dan pendarahan
pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot dapat menyebabkan
abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di jaringan limfe usus halus
sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis biasanya menyerang tibia, sternum,
iga, dan tulang belakang.
Pendarahan ulkus tifus ditemukan pada kira-kira 5% penderita, sedangkan
perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan risiko tinggi
terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang rendah (< 2,5gr%)
yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak memadai, banyak gerak, diet
padat yang diberikan lebih dini, dan keadaan penyakit berat, misalnya demam lebih dari
tiga minggu. Pada keadaan toksik kesadaran menurun dan bradikardi relatif yang
berubah menjadi takikardi merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik
disertai miokarditis.
Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan atau perforasi usus,
penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam hilang sama
sekali. Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat perlu diberikan secara tepat
dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.
Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah tekanan sistolik
yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut, dan defense muscular
akibat rangsangan peritoneum. Diagnosa perforasi kadang sukar ditegakkan karena
penderita sudah letargi dan somnolen. Perut yang kembung dan tegang menyebabkan
adanya rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan usus sering tampil sebagai anemia.
Pengobatan
dibandingkan dengan angka kekambuhan yang berhubungan dengan obat lainnya, angka
kekambuhan tampak lebih rendah pada orang dewasa yang sedikit diberi seftriakson,
namun jumlah pasien yang dilaporkan masih sedikit.
Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah
meningkat pada negara sedang berkembang karena kemahiran plasmid menjadikan laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil trasferase. Di daerah dengan
resistensi banyak, obat ini merupakan masalah.
VIII.
Pencegahan
Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanaskan 57 0C selama
beberapa menit atau dengan proses iodinisasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara merata
juga dapat mematikan kuman. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah
bergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan
sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid.