Вы находитесь на странице: 1из 6

1.

Artikel Pahlawan sebelum tahun 1928


a. Ir. Soekarno
Ir. Soekarno yang bernama
lahir Koesno Sosrodiharjo ini lahir
pada 6 Juni 1901 di Blitar dari
pasangan Raden Soekemi
Sosrodiharjo dan Ida Ayu
Nyoman Rai, diberi nama kecil,
Koesno. Ir. Soekarno , 44 tahun
kemudian, menguak fajar
kemerdekaan Indonesia setelah
lebih dari tiga setengah abad
ditindas oleh penjajah-penjajah asing. Soekarno hidup jauh dari orang tuanya
di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai
tamat HBS (Hoogere Burger School).
Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan
pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering
menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian
menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).Soekarno pindah
ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School),
Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur,
25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang
lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).
Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai
Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia
Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman
penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara
Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949. Di dalam pidato pembelaannya
yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api menelanjangi
kebobrokan penjajah Belanda. Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian
memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke
Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah
ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh
Soekarnoputri.Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan
ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah
dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan
judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku setebal kira-kira 630
halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora
muda Bung Karno.Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia
menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan
selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah
mengimingi kemerdekaan bagi Indonesia. Penyerahan diri Jepang setelah dua
kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu,

tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang


Indonesia.
Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari
Jepang.Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan
Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia,
tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln.
Proklamasi), Jakarta.

b. Dr. Moch. Hatta

Hatta lahir dari keluarga


ulama Minangkabau, Sumatra
Barat. Ia menempuh pendidikan
dasar di Sekolah Melayu,
Bukittinggi, dan kemudian pada
tahun 1913-1916 melanjutkan
studinya ke Europeesche Lagere
School (ELS) di Padang. Saat usia
13 tahun, sebenarnya beliau telah
lulus ujian masuk ke HBS
(setingkat SMA) di Batavia (kini
Jakarta), namun ibunya
menginginkan Hatta agar tetap di
Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta
melanjutkan studi ke MULO di Padang, baru kemudian pada tahun 1919 beliau
pergi ke Batavia untuk studi di HBS. Beliau menyelesaikan studinya dengan hasil
sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda
untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Erasmus Universiteit). Di
Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.Saat masih di sekolah menengah
di Padang, Bung Hatta telah aktif di organisasi, antara lain sebagai bendahara
pada organisasi Jong Sumatranen Bond cabang Padang.Pada tangal 27
November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di
Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul Lampau dan Datang.Saat berusia
15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond Cabang Padang.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya
menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang
tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Pada usia 17
tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas berangkat ke
Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School.

Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat, juga sebagai


Bendahara.Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia
segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu,
telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal
tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik
mereka lewat tulisan di koran De Express. Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis
karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB)
Cabang Padang.
Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan
masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan
saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal
pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim
dalam Neratja. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena
kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan
politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah
Abdul Moeis. Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik
mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun
katanya.
Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu
hebat menarik perhatian dan membakar semangat, aku Hatta dalam Memoirnya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat
Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran
Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas
ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins
Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam
majalah Jong Sumatera, Namaku Hindania! begitulah judulnya. Berkisah
perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati
suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama
Wolandia, yang kemudian meminangnya. Tapi Wolandia terlalu miskin
sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anakanakku, rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam
bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan
tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi
dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan
Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka
bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang
kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu.
Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah
dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara

mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan


mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan
Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, Karena
berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan, kenang Hatta lagi dalam
Memoir-nya. Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama
dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski
Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika
pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki
yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe)
memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan
peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di
Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan
banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta. Hatta
mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung
dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim
pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang
berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air.
Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya
tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto
Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka
lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi
Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia
Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan
Mamoerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya! berisi informasi bagi para
pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip
kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi
tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari
beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische meski masih
bermasalah sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan
di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari
sanalah mereka semua berasal. Hatta mengawali karir pergerakannya di
Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu
berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus
Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen
Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di
masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti
nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan
kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah
pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah
seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang
kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India,
Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta

ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan


pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan
organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan
kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda
kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan
Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan
kemudian ke Banda selama 6 tahun. Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi
diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi
presiden RI.

2. Artiekel Pahlawan setelah tahun 1928


a.Soegondo Joyopuspito
TEMPO.CO, Jakarta -- Soegondo Djojopoespito, Ketua
Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dan Ketua Kongres
Pemuda II, memiliki dikenal memiliki beragam profesi
sepanjang perjalanan hidupnya.
Dalam wawancara dengan Sunarindrati, putri kedua
Soegondo, yang saat ditemui Majalah Tempo pada 2008
telah berusia 71 tahun, melalui Majalah Tempo Edisi 36/37
tertanggal 2 November 2008 lewat tulisan yang berjudul
"Peran Soegondo: Sang Pemimpin yang Redup" melukiskan
kiprah Soegondo di dunia politik ini.
Sejak muda, Soegondo sudah tertarik pada politik. Namun, karena masih
pelajar, ia belum dapat bergabung dengan partai politik. Meskipun demikian, ia
sering menghadiri rapat-rapat umum. Jiwa kebangsaan kian kuat ketika
Soegondo melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada 1925. Namun, sekolahnya tak
tamat. Beasiswa dari Belanda dicabut, karena ia aktif di politik, kata
Sunarindrati.
Saat kuliah, Soegondo menumpang di rumah pegawai pos di Gang
Rijksman (sebuah kampung di sebelah utara Rijswik), Jalan Segara. Teman
kosnya kebanyakan pegawai pos. Salah satunya pernah memberikan majalah
Indonesia Merdeka terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang dilarang
masuk Indonesia.
Setelah membaca majalah itu, mata Soegondo makin terbuka. Ia
menyadari pentingnya meraih sebuah kemerdekaan. Ia ingin berbuat sesuatu.
Soegondo lalu belajar dan berdiskusi politik dengan Haji Agus Salim. Temantemannya dihubungi untuk membaca majalah terlarang itu dan berdiskusi di
pemondokannya. Mereka antara lain Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo, adik
Ali Sastroamidjojo.
Pada 1926, Soegondo membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia,
terinspirasi oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sigit terpilih sebagai ketua.
Tugas khusus mereka adalah menghubungi mahasiswa-mahasiswa baru dan

pemimpin perkumpulan pemuda untuk menularkan persatuan. Mereka


membuat pamflet rahasia untuk menggulingkan Belanda.
Setahun berselang, Sigit meletakkan jabatan dan digantikan oleh
Soegondo. Sebagai ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan, lalu
membentuk panitia kongres pada Juni 1928. Pada 1933, Soegondo masuk Partai
Pendidikan Nasional Indonesia, pecahan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sebelumnya, di 1928, ia adalah simpatisan PNI.
Bersama Sutan Sjahrir, Soegondo adalah satu dari delapan pendiri Partai
Sosialis Indonesia pada 1948. Ia adalah anggota Politbiro Partai Sosialis
Indonesia, merangkap Ketua Partai Sosialis Indonesia di Jawa Tengah/Daerah
Istimewa Yogyakarta. Ia ideolog Partai Sosialis, kata Rosihan Anwar, tokoh
pers Indonesia yang wafat tahun lalu. Menurut dia, Soegondo dan Djohan
Sjahroezah termasuk perangkai ideologi partai ini.
Sampai akhir hidupnya, Soegondo (22 Februari 1905-23 April 1978)
menetap di Jalan Nyoman Oka, Kota Baru, Yogyakarta. Bersama Suwarsih
Djojopoespito (1912-1977), istrinya, penyuka pepes bandeng panggang ini
menulis artikel di majalah dan berpolitik di dalam dan luar negeri. Karyanya
tidak terkenal, tapi Suwarsih dikenal sebagai novelis. Buku Suwarsih berjudul
Manusia Bebas diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Indonesia.

Вам также может понравиться