Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Abstract
Based on the writers experience, this article examines some stereotype assumptions
which has been labeling into betawi ethnic people and has been embedded within most of
Indonesian people in seeing them, such as a lazy person, uneducated people, and a person
who loves to get married repeatedly. Instead of oral communication culturally from
person to others as main factor why those stereotypes spread massively, the writer argues
TV Serials as the main trigger why those have happened. To rationalize it rigorously, the
writer systematizes those factors within four sub sections. Firstly, the origin of betawi
people by using some references generally used, mainly from Laurence Castles (1967).
Secondly, explaining a betawi people in certain periods by describing dynamic of betawi
peoples identity construction during the implementation of the development program
under Soeharto regime. Thirdly, it is the appearance of betawi ethnic in both movies and
TV Serials since Soeharto regime as a form of defense which then had been attracted
audiences sympathy to watch them until nowadays. Fourthly, my analysis of TV Serials
with the background of betawi ethnic by proposing three reason points, namely a relation
among actors/actress, the setting of background construction, an exploitation of betawi
peoples openness and its honesty.
Keywords: Betawi, Orang Betawi, Stereotip, Sinetron
Pengantar
Siapa bilang anak Betawi bertingke
Siapa bilang anak Betawi buaye
Anak Betawi ketinggalan jaman, katanya
Anak Betawi nggak berkebudayaan, katanja
Aduh sialan............!
Nih, Si Doel anak Betawi asli
Kesukaannya sembahyang dan ngaji
Tapi jangan bikin dia sakit hati
Diberi sekali, orang bisa mati!!
(Sjuman Djaja, 1973)
Menjadi betawi adalah persoalan. Inilah yang dirasakan oleh beberapa orang
betawi terkait dengan kebetawian mereka. Setiap berkenalan dengan seseorang, dan
kemudian berlanjut pada pertanyaan mengenai asal kelahiran, Ia cenderung akan
bertanya, orang Jakarta asli atau tidak?. Jika dijawab tidak, maka tidak ada pertanyaan
lanjutan. Sebaliknya, jika dijawab orang Jakarta yang beretnik betawi, pertanyaan asalusul tersebut akan berlanjut, seringkali, tanggapan yang diberikan bernada takjub
bercampur rasa tidak percaya. Di antara tanggapan tersebut adalah Masa sih kamu orang
1
Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI. Ia dapat dihubungi:
wahyudiakmaliah@gmail.com
betawi bisa sampai sekolah sampai gelar pascasarjana? Ada ya orang betawi kuliah
sampai jenjang Master? Unik juga ya bisa melihat orang betawi kayak kamu. Beragam
tanggapan dan pertanyaan tersebut tidak hanya satu atau dua kali ditemui, melainkan
berkali-kali. Hal ini kerap membuat mereka jenuh menanggapi.
Kondisi ini dialami kebanyakan orang betawi yang melanjutkan jenjang sekolah
lebih tinggi, mendapatkan posisi karir yang bagus dalam sebuah perusahaan ataupun
institusi yang tersebar di kota-kota besar, termasuk penulis sendiri. Diakui, ada
kebanggaan ketika orang tidak percaya bahwa mereka, termasuk penulis, adalah orang
betawi; kebanggaan sebagai suatu bentuk keunikan bagi masyarakat Indonesia
kebanyakan dalam melihat orang betawi yang bisa sekolah lebih tinggi ataupun memiliki
jenjang karir yang bagus. Kebanggaan ini juga yang sering diamini oleh orang betawi
sendiri. Pertanyaan dan tanggapan penuh keheranan terkait dengan identitas orang betawi
ini mengusik penulis menelusuri lebih jauh di balik asumsi yang melekat tersebut.
Dengan mengajukan beberapa pertanyaan, Apakah benar pertanyaan tersebut sekedar
pertanyaan tanpa pretensi ideologi apapun di baliknya? Jika iya, mengapa pertanyaan
tersebut relatif sedikit diajukan kepada orang-orang beretnis lain? Bukankah etnis betawi
sama dengan etnis-etnis lain di Indonesia yang turut mewarnai khazanah kekayaan wajah
Indonesia sehingga sudah sewajarnya pertanyaan dan keheranan itu diajukan juga kepada
etnis-etnis lainnya. Ataukah ada semacam katalisator yang melekat dalam ingatan
sebagian orang Indonesia dalam memandang orang betawi yang tidak berpendidikan,
sehingga ketika melihat latar belakang pendidikannya dianggap menyalahi kelaziman
yang selama ini terjadi pada orang betawi kebanyakan.
Memang, ada asumsi berkembang di masyarakat bahwa kebanyakan orang betawi
itu tidak berpendidikan. pemalas, tukang kawin, hidup dari sekedar menjaga kontrakan
(baca: juragan kontrakan), dan hanya mengandalkan warisan orangtua dalam menjalani
hidup rumah tangga. Diakui, asumsi ini benar dan kondisi tersebut kerap dialami oleh
orang betawi. Dalam keluarga besar penulis di daerah Cakung Barat, Jakarta Timur,
misalnya, kebanyakan dari mereka mengandalkan warisan kontrakan rumah dan hasil
pembagian tanah kakek-nenek. Melalui warisan ini, mereka memulai hidup dan
mengembangkan usaha. Ada yang maju dan ada juga terjungkal secara ekonomi. Namun,
jika melekatkan asumsi ini kepada orang betawi semata, hal tersebut sebagai tindakan
generalisasi stereotip terhadap orang betawi. Ini karena, ada banyak orang betawi yang
memiliki jenjang pendidikan yang bagus, pekerja keras, dan memiliki kesetiaan terhadap
isteri yang dinikahi. Selain itu, ada yang hidup mengandalkan kemampuan tangannya
sendiri dalam upaya survival hidup di Jakarta.
Akibatnya, jika cara pandang negatif seperti ini dibiarkan akan berujung pada
upaya stigmatisasi terhadap orang betawi, yaitu mengurung identitas betawi dengan
asumsi yang sudah melekat kepada dirinya. Lebih jauh, dengan kondisi ini, orang betawi
dengan citra negatif yang melekat, akan mengafirmasikan diri lewat tindakan keseharian
mereka. Berangkat dari pemaparan di atas, tulisan ini memeriksa kembali asumsi
inferioritas dalam memandang orang betawi, dan bagaimana asumsi tersebut dikonsumsi
dan direproduksi, yang secara tidak langsung melanggengkan stereotip terhadap orang
betawi. Padahal, stereotip itu sendiri adalah satu upaya stigmatisasi: satu tindakan yang
selangkah lagi akan menuju cikal bakal kekerasan. Di sini, asumsi inferioritas tersebut
akan dilihat melalui media, dalam hal ini sinetron, sebagai salah satu katalisator dalam
mewarnai cara pandang masyarakat dalam melihat orang betawi. Untuk memperjelas alur
sistematika tulisan, akan dibahas terlebih dahulu asal mula orang betawi, dinamika orang
betawi dalam rentangan jaman, dan konstruki orang betawi dalam dunia sinetron yang
kemudian ditutup dengan kesimpulan.
Asal Mula Orang Betawi
Menurut hipotesa sarjana Belanda, Van der Aa, sebagaimana dijelaskan oleh
Ninuk Kleden (1996: 104), jika dilihat dari segi bahasa, betawi merupakan etnis yang
baru tumbuh. Ini bisa dirunut dari bahasa sehari-hari yang digunakan di Batavia ketika
abad ke-18, yaitu penggunaan dialek Portugis dalam interaksi sosial sehari-hari. Namun,
dalam proses perjalanan selanjutnya, abad 19, penggunaan bahasa dengan dialek Portugis
perlahan-lahan mengalami perubahan, dan menjadi dialek bahasa Melayu-Betawi. Orangorang inilah yang kemudian disebut sebagai orang betawi. Betawi sebagai etnik yang
baru tumbuh ini dikuatkan oleh pendapat Milone yang mengatakan bahwa etnis tersebut
terbentuk dari beberapa kelompok etnik yang telah mengalami percampuran sejak jaman
kerajaan Sunda, Pajajaran, dan pengaruh Jawa, yang dimulai dengan ekspansi Kerajaan
Demak. Hibriditas etnik tersebut berlanjut dengan adanya pengaruh-pengaruh yang
masuk setelah abad ke-16, di mana VOC juga memberikan andil dalam proses
pembentukan orang betawi (Ninuk Kleden, 1996: 105-106).
Sementara itu, Castles (1967, hal. 157) dengan menggunakan sumber buku Daghregister (1673) dan dua buku yang sangat terkenal, yang ditulis oleh Rafles, History of
Java (1815) dan Encylopedia van Nederlandsch Indie (1893) mencoba membandingkan
etnis-etnis yang berada di Batavia dengan sensus yang diadakan pada tahun 1930.
Tabel 1: Jumlah Penduduk Batavia 1673-183
Jumlah Penduduk
Batavia
dan
Sekitarnya
Eropa dan setengah
Eropa
Cina
Mardeker
Arab
Moor
Jawa
(termasuk
Sunda)
Orang-orang
Sulawesi Selatan
Bali
Sumbawa
Ambon dan Banda
Melayu
Budak
1673
1815
1893
2. 750
2.028
9.017
2.747
5.362
-----6.3392
------
11.854
-----518
119
3.331
26.569
-----2.842
------
4.1393
------
981
----------611
13.278
7.720
232
82
5.155
14.249
72.2414
--------------------
------
Jumlah
32.0685
47.217
110.669
41.800
64.5
150.300
60.000
------1.300
3.200
800
24,5
9,2
0,0
0,2
0,5
0,1
----------5.800
2.000
---------------5.300
0,0
0,0
0,6
0,3
0,0
0,0
0,0
0,8
6.900
1,1
dari penggusuran yang tidak kompromi itu, ribuan orang Betawi hijrah ke wilayah
pinggiran kota jauh dari Gambir. Mereka bercerai seperti tawon digoda sarangnya.
Antara sanak saudara, handai taulan, tidak lagi tinggal berdekatan. Mereka tidak lagi
main rebana bersama-sama, tidak bisa samrah. Main galat asin atau duduk ngelenong
di depan rumah, di bawah keteduhan pohon waru dan mengkudu. Oleh karena, sanak
saudara tinggal berjauhanbisa berjarak 15 km lebihmaka mereka menjadi jarang
bertemu muka. Karena amat jarangnya berkomunikasi, lama kelamaan mereka
menjadi tidak saling mengenai alias kematian obor. Tidak aneh jika seorang
encang (paman) tidak mengenal lagi kemenakannya. Atau sesama saudara misan
tidak saling tegur di jalan karena memang tidak kenal.
Penggusuran tanah dan rumah orang betawi yang berakibat pada kematian obor
ini membuat mentalitas orang betawi merasa rendah diri. Ini diakibatkan oleh solidaritas
etnik yang mulai memudar di tengah lipatan pembangunan yang membuat mereka
tergusur dan merasa tersingkir. Salah satu bentuk perasaan rendah diri ini bisa dilihat
dalam pembentukan organisasi mereka yang tidak menamakan, mengidentifikasikan, dan
mendakukan diri sebagai bagian dari etnis betawi. Sebaliknya, mereka menggunakan
nama Jakarta, seperti Ikatan Keluarga Putra-Putri Djakarta (IPPD), Ikatan Keluarga Besar
Anak Djakarta (IKB Anda), Ikatan Keluarga Djakarta (IKD). Perasaan rendah diri ini
menjadi berlipat dengan stereotip orang betawi yang dipandang orang non betawi sebagai
etnis terbelakang, malas, tukang kawin, dan suka jual tanah untuk pergi haji; sebuah
stereotip yang direproduksi secara terus menerus oleh orang luar betawi, melalui ceritacerita ringan sebagai bentuk pengalaman dan oleh-oleh, saat orang luar betawi pulang
kampung. Stereotip inilah yang membuat orang betawi mengafirmasikan dirinya,
sehingga menjadi keyakinan bahwasanya mereka memang seperti yang dipersepsikan.
Satu bentuk afirmasi tersebut terlihat dengan keengganan orang betawi yang berada di
kota tidak menggunakan bahasa betawi dalam kehidupan publik mereka. Mereka hanya
menggunakan bahasa betawi kepada sesama orang betawi saja dan digunakan lebih pada
kehidupan privat. Kondisi ini dipaparkan oleh Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta 19661977, yang ketika itu bermaksud menghidupkan kembali tradisi dan kebudayaan betawi
di Jakarta. Ali Sadikin menyebut kondisi ini dengan istilah orang betawi sedang
tenggelam dalam rumahnya sendiri (Yasmin Zakie, 2004).
Seiring berjalannya waktu, betawi sebagai sebuah budaya dan tradisi mulai
muncul kepermukaan. Ini terlihat pada awal tahun 1990-an, di mana sinetron Si Doel
Anak Sekolahan dan Lenong Rumpi mulai menghiasi dunia televisi, dan mendapatkan
tempat di hati masyarakat dengan perolehan rating yang cukup tinggi. Berawal dari
kesuksesan dua sinetron inilah, khususnya Si Doel Anak Sekolahan, mulai bermunculan
sinetron yang mengambil latar belakang betawi. Keadaan ini, secara sekilas, telah
mengangkat derajat orang betawi untuk dikenal luas di masyarakat di tengah etnis
lainnya. Selain itu, lengsernya Soeharto dan rejim Orde Baru pada 20 Mei 1998,
memunculkan beberapa organisasi etnis yang mengatasnamakan dan merepresentasikan
diri sebagai masyarakat Betawi, seperti Forum Betawi Rempug (FBR) dan Forum
Komunikasi Anak Betawi (Forkabi). Tujuan mereka mendirikan organisasi tersebut
sebagai wadah perjuangan masyarakat betawi untuk memperjuangkan hak-haknya
selama ini tertindas, baik secara struktural maupun kultural. Pada titik ini identitas
kebetawian tidak hanya menjadi identitas kultural untuk mendefinisikan eksistensi orang
betawi dengan etnis yang lain, melainkan identitas perlawanan di tengah rasa
ketertindasan mereka.6
Betawi Dalam Dunia Sinetron
Seiring dengan maraknya sinetron yang menggunakan latarbelakang budaya
betawi, ada anggapan yang mengatakan bahwa budaya tersebut sedang naik daun. Hal
ini membuat orang Betawi merasa bangga. Namun, perihal ini menjadi terbalik, jika
melihat kondisi masyarakat betawi pada pertengahan tahun 1960-1990-an yang merasa
rendah diri, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kebanggan ini bisa terlihat saat dalam
satu kesempatan penulis berdiskusi dengan komunitas Keluarga Mahasiswa Jakarta
(KMJ), organisasi yang anggotanya orang betawi yang sedang menimba ilmu, di
Yogyakarta pada tahun 2004. Menurut mereka, dengan diangkatnya kebudayaan betawi
dalam dunia sinetron, secara tidak langsung, telah mengangkat harkat dan derajat orang
betawi. Di sini, sinetron menjadi representasi dari naiknya derajat orang betawi. Secara
kasat mata, sinetron yang menayangkan budaya betawi bisa mengangkat dan
menyebarluaskan profil orang betawi itu dan kebudayaannya. Meskipun demikian, bukan
berarti dengan diangkatnya budaya betawi ke dunia sinetron, bisa mengangkat citra
positif orang betawi kepada khalayak publik, walaupun niat awal sebuah sinetron
mengangkat tema betawi untuk mengangkat pamor dan derajat orang betawi. Ini terlihat
dengan Si Doel Anak Sekolahan, sebuah sinetron garapan sutradara Rano Karno, yang
mengadaptasi dari film sukses yang dibuat oleh Sjuman Djaja, Si Doel Anak Betawi
(1973), Si Doel Anak Modern (1976), mencoba mengangkat kembali khazanah budaya
Betawi.
Dalam sinetron ini, dengan gamblang dan bernada nyinyir, Rano Karno, setiap
episode menggambarkan kehidupan sehari-hari marjinalisasi ekonomi orang betawi, dan
bagaimana mereka menghadapi tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Secara
implisit sinetron Si Doel Anak Sekolahan bisa dilihat sebagai bentuk pembelaan kepada
masyarakat betawi yang selama ini langgeng distereotipkan sebagai terbelakang, tidak
berpendidikan, malas, tukang kawin, dan lain sebagainya. Bentuk suara pembelaan Rano
Karno adalah pada setting dan alur penceritaan yang dibangun dengan simbolisasi tokoh
Si Doel yang sedang studi ke jenjang yang lebih tinggi, Sarjana Strata Satu, sehingga
lulus menjadi tukang insinyur. Keputusan Si Doel untuk studi ini didukung oleh
keluarganya, meski mereka harus menjual warisan tanah kakeknya. Perihal ini sangat
berbeda dengan masyarakat betawi kebanyakan, yang kurang begitu mementingkan
pendidikan, sebagaimana dituturkan dalam alur cerita sinetron ini dari awal hingga akhir.
Dalam sinetron ini, Si Doel digambarkan sebagai sosok orang yang berpendidikan
tinggi, pekerja keras, dan rajin. Mentalitas keluarga Si Doel dalam sinetron ini juga
6
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai FBR silahkan lihat: David Brown dan Ian Wilson (2007),
Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta. Working Paper No.145.
Australia: Murdoch University; Untung Widyanto (2005), Antara Jago dan Preman; Studi tentang Habitus
Premanisme pada Organisasi Forum Betawi Rempug (FBR), Tesis Program Pascasarjana Sosiologi,
Depok: FISIP Universitas Indonesia; dan Grace Tjandra Leksana (2008), Urban Youth, Maginalization and
Mass Organization: Involvement in the Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, A Research Paper, Master
of Arts in Development Studies, Institute of Social Studies, Netherlands.
10
11
12
Daftar Pustaka
AGB Nielsen Media Research. 2007. Betawi Punya Cerita, Newsletter edisi ke-11, Juli,
dikutip
dari
http://www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/AGB%20Nielsen%20Newslette
r%20July-Ind.pdf pada tanggal 6 Juli, 2012
Akmaliah Muhammad, Wahyudi. 2005. Betawi, Kebetawian, Orang bukan Betawi:
Politik Identitas Orang Betawi. Makalah Dokumentasi Pribadi
Anonimus. 1996. Pokok dan Tokoh: Rano Karno, Gue Enggak Ada Niat Ngelecehin.
Tempo
Interaktif,
dikutip
dari
http://www.tempointeractive.com/ang/min/01/28/pokok2.htm pada tanggal 6
Juli, 2012
Anonim. 2003.Melihat Jakata Tempoe Doeloe, Kompas, 13 Juli
Baudrillard, Jean. 1981. Simulation, Semiotexe(e), New York, 1981.
Brown, David dan Ian Wilson (2007), Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi
Brotherhood Forum in Jakarta. Working Paper No.145. Australia: Murdoch
University;
Budianta, Melani.2002. In the margin of the capital, From Tjerita Bujang Bingoeng To
Si Doel anak sekolahan dalam Keith Foultcher and Tony Day (ed),
Clearing Space: Postcolonial readings of modern Indonesian literature,
Leiden: KITLV
Castles, Laurence.1967. The Etnic Profile of Djakarta, Indonesia, No. 3. Ithaca, New
York: Cornell University.
Dt. Madjoindo, Aman.1951. Si Doel Anak Betawi, Jakarta: Balai Pustaka, 1951.
Kleden, Ninuk.1996. Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta:
Obor, 1996
Shahab, Alwi. 2002. Betawi Queen of the East, Jakarta: Republika
Shahab, Yasmine Zakie. 2004. Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi,
Jakarta: Laboratorium Antropologi FISIP UI
Spivack, Gayatri. 2008. Can Subaltern Speak?, dalam Sharp Joanne (editor),
Geographies of Postcolonialism, Glasgow, United Kingdom; Sage Publication
Tjandra Leksana, Grace.2008, Urban Youth, Maginalization and Mass Organization:
Involvement in the Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, A Research Paper,
Master of Arts in Development Studies, Institute of Social Studies,
Netherlands.
Widyanto, Untung. 2005. Antara Jago dan Preman; Studi tentang Habitus Premanisme
pada Organisasi Forum Betawi Rempug (FBR), Tesis Program Pascasarjana
Sosiologi, Depok: FISIP Universitas Indonesia.
13