Вы находитесь на странице: 1из 13

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan

(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Stereotip Orang Betawi Dalam Sinetron


Oleh: Wahyudi Akmaliah Muhammad1

Abstract
Based on the writers experience, this article examines some stereotype assumptions
which has been labeling into betawi ethnic people and has been embedded within most of
Indonesian people in seeing them, such as a lazy person, uneducated people, and a person
who loves to get married repeatedly. Instead of oral communication culturally from
person to others as main factor why those stereotypes spread massively, the writer argues
TV Serials as the main trigger why those have happened. To rationalize it rigorously, the
writer systematizes those factors within four sub sections. Firstly, the origin of betawi
people by using some references generally used, mainly from Laurence Castles (1967).
Secondly, explaining a betawi people in certain periods by describing dynamic of betawi
peoples identity construction during the implementation of the development program
under Soeharto regime. Thirdly, it is the appearance of betawi ethnic in both movies and
TV Serials since Soeharto regime as a form of defense which then had been attracted
audiences sympathy to watch them until nowadays. Fourthly, my analysis of TV Serials
with the background of betawi ethnic by proposing three reason points, namely a relation
among actors/actress, the setting of background construction, an exploitation of betawi
peoples openness and its honesty.
Keywords: Betawi, Orang Betawi, Stereotip, Sinetron

Pengantar
Siapa bilang anak Betawi bertingke
Siapa bilang anak Betawi buaye
Anak Betawi ketinggalan jaman, katanya
Anak Betawi nggak berkebudayaan, katanja
Aduh sialan............!
Nih, Si Doel anak Betawi asli
Kesukaannya sembahyang dan ngaji
Tapi jangan bikin dia sakit hati
Diberi sekali, orang bisa mati!!
(Sjuman Djaja, 1973)

Menjadi betawi adalah persoalan. Inilah yang dirasakan oleh beberapa orang
betawi terkait dengan kebetawian mereka. Setiap berkenalan dengan seseorang, dan
kemudian berlanjut pada pertanyaan mengenai asal kelahiran, Ia cenderung akan
bertanya, orang Jakarta asli atau tidak?. Jika dijawab tidak, maka tidak ada pertanyaan
lanjutan. Sebaliknya, jika dijawab orang Jakarta yang beretnik betawi, pertanyaan asalusul tersebut akan berlanjut, seringkali, tanggapan yang diberikan bernada takjub
bercampur rasa tidak percaya. Di antara tanggapan tersebut adalah Masa sih kamu orang
1

Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI. Ia dapat dihubungi:
wahyudiakmaliah@gmail.com

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

betawi bisa sampai sekolah sampai gelar pascasarjana? Ada ya orang betawi kuliah
sampai jenjang Master? Unik juga ya bisa melihat orang betawi kayak kamu. Beragam
tanggapan dan pertanyaan tersebut tidak hanya satu atau dua kali ditemui, melainkan
berkali-kali. Hal ini kerap membuat mereka jenuh menanggapi.
Kondisi ini dialami kebanyakan orang betawi yang melanjutkan jenjang sekolah
lebih tinggi, mendapatkan posisi karir yang bagus dalam sebuah perusahaan ataupun
institusi yang tersebar di kota-kota besar, termasuk penulis sendiri. Diakui, ada
kebanggaan ketika orang tidak percaya bahwa mereka, termasuk penulis, adalah orang
betawi; kebanggaan sebagai suatu bentuk keunikan bagi masyarakat Indonesia
kebanyakan dalam melihat orang betawi yang bisa sekolah lebih tinggi ataupun memiliki
jenjang karir yang bagus. Kebanggaan ini juga yang sering diamini oleh orang betawi
sendiri. Pertanyaan dan tanggapan penuh keheranan terkait dengan identitas orang betawi
ini mengusik penulis menelusuri lebih jauh di balik asumsi yang melekat tersebut.
Dengan mengajukan beberapa pertanyaan, Apakah benar pertanyaan tersebut sekedar
pertanyaan tanpa pretensi ideologi apapun di baliknya? Jika iya, mengapa pertanyaan
tersebut relatif sedikit diajukan kepada orang-orang beretnis lain? Bukankah etnis betawi
sama dengan etnis-etnis lain di Indonesia yang turut mewarnai khazanah kekayaan wajah
Indonesia sehingga sudah sewajarnya pertanyaan dan keheranan itu diajukan juga kepada
etnis-etnis lainnya. Ataukah ada semacam katalisator yang melekat dalam ingatan
sebagian orang Indonesia dalam memandang orang betawi yang tidak berpendidikan,
sehingga ketika melihat latar belakang pendidikannya dianggap menyalahi kelaziman
yang selama ini terjadi pada orang betawi kebanyakan.
Memang, ada asumsi berkembang di masyarakat bahwa kebanyakan orang betawi
itu tidak berpendidikan. pemalas, tukang kawin, hidup dari sekedar menjaga kontrakan
(baca: juragan kontrakan), dan hanya mengandalkan warisan orangtua dalam menjalani
hidup rumah tangga. Diakui, asumsi ini benar dan kondisi tersebut kerap dialami oleh
orang betawi. Dalam keluarga besar penulis di daerah Cakung Barat, Jakarta Timur,
misalnya, kebanyakan dari mereka mengandalkan warisan kontrakan rumah dan hasil
pembagian tanah kakek-nenek. Melalui warisan ini, mereka memulai hidup dan
mengembangkan usaha. Ada yang maju dan ada juga terjungkal secara ekonomi. Namun,
jika melekatkan asumsi ini kepada orang betawi semata, hal tersebut sebagai tindakan
generalisasi stereotip terhadap orang betawi. Ini karena, ada banyak orang betawi yang
memiliki jenjang pendidikan yang bagus, pekerja keras, dan memiliki kesetiaan terhadap
isteri yang dinikahi. Selain itu, ada yang hidup mengandalkan kemampuan tangannya
sendiri dalam upaya survival hidup di Jakarta.
Akibatnya, jika cara pandang negatif seperti ini dibiarkan akan berujung pada
upaya stigmatisasi terhadap orang betawi, yaitu mengurung identitas betawi dengan
asumsi yang sudah melekat kepada dirinya. Lebih jauh, dengan kondisi ini, orang betawi
dengan citra negatif yang melekat, akan mengafirmasikan diri lewat tindakan keseharian
mereka. Berangkat dari pemaparan di atas, tulisan ini memeriksa kembali asumsi
inferioritas dalam memandang orang betawi, dan bagaimana asumsi tersebut dikonsumsi
dan direproduksi, yang secara tidak langsung melanggengkan stereotip terhadap orang
betawi. Padahal, stereotip itu sendiri adalah satu upaya stigmatisasi: satu tindakan yang
selangkah lagi akan menuju cikal bakal kekerasan. Di sini, asumsi inferioritas tersebut
akan dilihat melalui media, dalam hal ini sinetron, sebagai salah satu katalisator dalam

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

mewarnai cara pandang masyarakat dalam melihat orang betawi. Untuk memperjelas alur
sistematika tulisan, akan dibahas terlebih dahulu asal mula orang betawi, dinamika orang
betawi dalam rentangan jaman, dan konstruki orang betawi dalam dunia sinetron yang
kemudian ditutup dengan kesimpulan.
Asal Mula Orang Betawi
Menurut hipotesa sarjana Belanda, Van der Aa, sebagaimana dijelaskan oleh
Ninuk Kleden (1996: 104), jika dilihat dari segi bahasa, betawi merupakan etnis yang
baru tumbuh. Ini bisa dirunut dari bahasa sehari-hari yang digunakan di Batavia ketika
abad ke-18, yaitu penggunaan dialek Portugis dalam interaksi sosial sehari-hari. Namun,
dalam proses perjalanan selanjutnya, abad 19, penggunaan bahasa dengan dialek Portugis
perlahan-lahan mengalami perubahan, dan menjadi dialek bahasa Melayu-Betawi. Orangorang inilah yang kemudian disebut sebagai orang betawi. Betawi sebagai etnik yang
baru tumbuh ini dikuatkan oleh pendapat Milone yang mengatakan bahwa etnis tersebut
terbentuk dari beberapa kelompok etnik yang telah mengalami percampuran sejak jaman
kerajaan Sunda, Pajajaran, dan pengaruh Jawa, yang dimulai dengan ekspansi Kerajaan
Demak. Hibriditas etnik tersebut berlanjut dengan adanya pengaruh-pengaruh yang
masuk setelah abad ke-16, di mana VOC juga memberikan andil dalam proses
pembentukan orang betawi (Ninuk Kleden, 1996: 105-106).
Sementara itu, Castles (1967, hal. 157) dengan menggunakan sumber buku Daghregister (1673) dan dua buku yang sangat terkenal, yang ditulis oleh Rafles, History of
Java (1815) dan Encylopedia van Nederlandsch Indie (1893) mencoba membandingkan
etnis-etnis yang berada di Batavia dengan sensus yang diadakan pada tahun 1930.
Tabel 1: Jumlah Penduduk Batavia 1673-183
Jumlah Penduduk
Batavia
dan
Sekitarnya
Eropa dan setengah
Eropa
Cina
Mardeker
Arab
Moor
Jawa
(termasuk
Sunda)
Orang-orang
Sulawesi Selatan
Bali
Sumbawa
Ambon dan Banda
Melayu
Budak

1673

1815

1893

2. 750

2.028

9.017

2.747
5.362
-----6.3392
------

11.854
-----518
119
3.331

26.569
-----2.842

------

4.1393

------

981
----------611
13.278

7.720
232
82
5.155
14.249

72.2414
--------------------

Termasuk 5.000. orang Jawa di luar kota.


Termasuk orang Timor.
4 Termasuk semua penduduk asli.
2
3

------

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Jumlah

32.0685

47.217

110.669

Sumber : Castles (1967, hal. 157)


Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada tahun 1673 tercatat tujuh etnik, dan
satu di antaranya adalah golongan budak. Sedangkan tahun 1893 terdapat empat
kelompok etnik, dan golongan budak tidak ada lagi. Perihal tidak adanya budak, lebih
disebabkan karena mulai munculnya larangan perbudakan. Keempat etnik yang masih
bertahan itu adalah Eropa, Arab, China, dan Moor (orang-orang yang datang dari India)
serta orang-orang etnik Indonesia, yang terdiri dalam satu kelompok, yang terdiri dari
orang Jawa (termasuk orang sunda), orang-orang dari Sulawesi Selatan, Bali, Sumbawa,
Ambon, dan orang Banda. Selain itu, masih ada satu kelompok lain yang disebut orang
Melayu. Proporsi penduduk Batavia yang tercantum dalam tabel kolom keempat di atas
bisa begitu dinarasikan. Karena pada abad ke-17 dan abad ke-18 pelbagai kelompok etnik
itu termasuk bekas-bekas budak yang berasal dari Bali (Matraman), Sulawesi, Sumbawa,
Timor, Flores, dan Ambon, yang berdiam berkelompok dalam kampung-kampung
tersendiri. Nama-nama kampung itu hingga kini dapat kita jumpai. Misalnya, kampung
Manggarai; sebuah nama kampung yang berasal dari nama daerah di Flores, kampung
Jawa, kampung Bali, kampung Arab di Krukut (Pekojan), kampung Petojo yang berasal
dari nama tokoh Makassar yang tinggal di kampung itu. Sedangkan jumlah budak sendiri,
menurut catatan angka tahun 1673, lebih dari setengah seluruh penduduk batavia. Perihal
ini disebabkan, pada tahun-tahun itu sedang marak-maraknya perdagangan budak (Alwi
Shahab, 2002: 109-112).
Berawal dari sini mulai muncul benih-benih hibriditas terhadap pelbagai etnis,
yang akhirnya mengental dan membentuk identitas etnis yang baru. Tepatnya pada paruh
abad ke-19, lahir sebuah identitas etnis yang berasal dari pelbagai unsur etnik, yang
merupakan percampuran, baik percampuran secara darah melalui pernikahan dan ataupun
melalui interaksi sosial yang dibangun melalui ruang-ruang publik, terlebih adanya
kemajuan perdagangan di tanah Batavia saat itu. Etnik baru yang merupakan hasil dari
hibridasi sekian tahun itu bernama betawi, dengan menggunakan dialek Melayu yang
dipengaruhi oleh pelbagai unsur etnik, semacam Bali, Jawa, Sunda, China, Arab,
Portugis, Belanda, dan Inggris. Pada proses selanjutnya, etnis betawi yang merupakan
hibridasi dari pelbagai etnik membentuk dan mengeraskan diri (reifikasi) menjadi etnis
betawi, yang membedakan dengan etnis lain. Pada tahun 1923 masyarakat betawi ini
telah memproklamirkan dirinya sebagai Organisasi Kaum Betawi, yang berdiri tegak di
samping organisasi-organisasi pemuda lainnya, yang berbasis etnik gerakan, seperti Jong
Java, Jong Ambon, dan yang lainnya.
Pembentukan etnis Betawi yang bermetamorfosis menjadi dirinya sebagai etnis
yang otonom ini bisa dilihat dengan argumentasi yang diberikan Castles (1967, hal. 181)
melalui tabel. Hal ini terlihat bahwa hampir 64, 3% orang betawi tinggal di wilayah kota
Batavia, yang merupakan etnik tersendiri.

Tidak termasuk 1260 tentara Belanda dan 359 orang Belanda

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Tabel 2: Perkiraan Komposisi etnis di Batavia Tahun 1930


Pelbagai Etnik di Tahun 1930
%
Jakarta
Orang Batavia (termasuk
Depok)
Sunda
Jawa
Aceh
Batak
Minangkabau
Etnis-etnis dari Sumatera
Selatan
Banjar
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Maluku dan Irian
Nusatenggara Timur
Nusatenggara Barat
Bali
Malaya dan Pulau-pulau
sekitarnya
Lain-lain
dan
etnis
bangsa
yang
tidak
diketahui

41.800

64.5

150.300
60.000
------1.300
3.200
800

24,5
9,2
0,0
0,2
0,5
0,1

----------5.800
2.000
---------------5.300

0,0
0,0
0,6
0,3
0,0
0,0
0,0
0,8

6.900

1,1

Sumber: Castles (1967, hal. 181)


Orang Betawi Dalam Rentangan Jaman
Seiring dengan proses pertumbuhan kota Jakarta, dari tahun ke tahun kondisi
orang betawi selalu diliputi oleh kemelut dan ketidakpastian. Alih-alih mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan kelayakan ekonomi untuk menghidupi diri, yang terjadi
adalah upaya peminggiran terhadap orang betawi di tanah kelahirannya. Peminggiran
yang berjalan seolah-olah alamiah akibat dari ketidakmampuan sumber daya orang
betawi dalam berkompetisi dengan etnis yang lainnya. Keadaan ini yang memunculkan
rasa empati seorang sastrawan Balai Pustaka seperti Aman Dt. Madjoindo terhadap orang
Betawi ketika itu. Salah satu bentuk rasa empatinya, Ia mengangkat dan menyuarakan
kebudayaan orang betawi ke dalam sebuah Novel Si Doel anak Betawi, yang menjadi
bacaan wajib di sekolah-sekolah dasar pada tahun 1960-an.
Novel Si Doel Anak Djakarta berisi mengenai kepedulian seorang Ayah tiri
bernama Baduali kepada Si Doel dan juga keprihatinan melihat kondisi orang betawi di
tanahnya sendiri yang tidak bisa berbuat banyak untuk menghidupi keluarganya. Kondisi
keprihatinan ini diamsalkan dengan pohon manggis di halaman rumahnja, isi manggis
jang manis itu habis dimakan orang datang, kulitnja yang pahit tinggal padanja. Sebab
itu, Baduali hendak menyekolahkan Si Doel agar kelak setelah lulus mendapatkan
pekerjaan yang layak seperti etnis pendatang lainnya. Sebagaimana dinarasikan oleh
Aman Dt. Madjoindo (1951: 104) dalam novel tersebut :

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Di kantor-kantor atau di toko-toko, sepatutnya penduduk asli sini pula hendaknja


jang banjak, dan mendjabat pangkat jang tinggi-tinggi. Tapi saja lihat orang dari luar
djuga banjak berpangkat. Anak negeri sini hanja kelihatan seorang dua sadja. Saja
rasa sebabnja itu tak lain tentu karena kekurangan ilmu djua. Djadi tak ubahnja orang
sini sebagai mempunjai pohon manggis di halaman rumahnja, isi manggis jang manis
itu habis dimakan orang datang, kulitnja yang pahit tinggal padanja. Itulah sebabnja
saja hendak mentjoba menjekolahkan Si Doel. Mudah-mudahan hidupnja senang
nanti, dan dapat menolong kau (baca: ibunya Si Doel) di hari tua.

Novel ini cukup populer di kalangan masyarakat Jakarta. Popularitas novel Si


Doel Anak Betawi ini kemudian memberikan inspirasi sutradara kenamaan yang berasal
dari Sumatera, Sjuman Djaja untuk mengadaptasikannya ke dalam sebuah film pada
tahun 1973. yang berjudul Si Doel Anak Sekolahan (1973). Film ini dibintangi oleh
seorang pelawak Betawi populer, Benyamin S, sebagai ayah Si Doel, dan aktor cilik
Rano Karno sebagai Si Doel. Film ini menangguk sukses dan respon positif oleh
masyarakat. Karena kesuksesannya, tiga tahun kemudian dibuatlah film yang hampir
mirip dengan film pertama, begitu juga dengan adegan dan tokoh-tokohnya, yaitu Si Doel
Anak Modern (1976) (Budianta, 2002: 248). Berbeda dengan film sebelumnya, Si Doel
Anak Modern ini lebih berisi komedi satir yang menyampaikan kritik sosial-politik yang
cukup pedas, terutama dalam menyoroti pembangunan, yang menjadi kata sakti pada
jaman kemasan Orde baru di tahun 1970-an. Dalam cerita film ini Sjuman Djaja dengan
menarik menarasikan bagaimana Si Doel dirayu oleh Sapei dan Sinyo; dua orang yang
memiliki pelbagai usaha, baik itu di bidang impor-ekspor, kontraktor, distributor, jualbeli tanah dan mobil menyewakan rumah besar dan kecil, termasuk menjual lotre buntut,
agar mau menjual tanah warisan kakeknya Si Doel untuk modal guna membeli ribuan
hektar tanah masyarakat Betawi (Budianta, 2002: 247-248).
Akan tetapi, saat mereka ingin membeli tanah masyarakat betawi, ternyata ada
kompetitor utama yang siap membayar tanah mereka berapa pun mereka meminta.
Kompetitor itu adalah Pertamina: sebuah perusahaan minyak miliki negara. Dijadikannya
Pertamina sebagai contoh kompetitor sebenarnya untuk mengkritik Pemerintah ketika itu,
di mana pada tahun 1975 telah diekspos oleh media massa secara besar-besaran karena
telah melakukan praktek korupsi. Pertamina sendiri merupakan badan usaha milik
pemerintah yang menghasilkan pendapatan devisa utama untuk pemerintah. Selain itu,
film ini mencoba mengkontekstualisasikan kondisi Jakarta yang sedang menjadi kiblat
pembangunan gedung dan infrastruktur perkotaan. Akibatnya, banyak dari orang-orang
betawi menjadi korban dengan tergusur rumah-rumah mereka dan kemudian berpindah
ke pinggir kota. Kondisi penggusuran ini dinarasikan dengan baik oleh Firman Moentaco,
sastrawan kelahiran Jakarta, mengenai perasaan mereka (Shahab, 2004: 20):
Bukan hal yang mengada-ada bila perkampungan di Jakarta dibarengi pula dengan
pengusuran-penggusuran tanah dan rumah penduduk sebagai salah satu konsekuensi.
Dan semua sudah maklum bahwa korban penggusuran yang terbanyak adalah
penduduk asli. Untuk dan atas nama kepentingan umum, orang Betawi terpaksa
harus berlapang dada menerima penggusuran terhadap rumah dan pusakanya untuk
digantikan oleh berdirinya gedung-gedung pemerintah, pasar Inpres, perkantoran
swasta, pertokoan, real estate, jembatan, jalan tol, jalan arteri, dan sebagainya. Akibat

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

dari penggusuran yang tidak kompromi itu, ribuan orang Betawi hijrah ke wilayah
pinggiran kota jauh dari Gambir. Mereka bercerai seperti tawon digoda sarangnya.
Antara sanak saudara, handai taulan, tidak lagi tinggal berdekatan. Mereka tidak lagi
main rebana bersama-sama, tidak bisa samrah. Main galat asin atau duduk ngelenong
di depan rumah, di bawah keteduhan pohon waru dan mengkudu. Oleh karena, sanak
saudara tinggal berjauhanbisa berjarak 15 km lebihmaka mereka menjadi jarang
bertemu muka. Karena amat jarangnya berkomunikasi, lama kelamaan mereka
menjadi tidak saling mengenai alias kematian obor. Tidak aneh jika seorang
encang (paman) tidak mengenal lagi kemenakannya. Atau sesama saudara misan
tidak saling tegur di jalan karena memang tidak kenal.

Penggusuran tanah dan rumah orang betawi yang berakibat pada kematian obor
ini membuat mentalitas orang betawi merasa rendah diri. Ini diakibatkan oleh solidaritas
etnik yang mulai memudar di tengah lipatan pembangunan yang membuat mereka
tergusur dan merasa tersingkir. Salah satu bentuk perasaan rendah diri ini bisa dilihat
dalam pembentukan organisasi mereka yang tidak menamakan, mengidentifikasikan, dan
mendakukan diri sebagai bagian dari etnis betawi. Sebaliknya, mereka menggunakan
nama Jakarta, seperti Ikatan Keluarga Putra-Putri Djakarta (IPPD), Ikatan Keluarga Besar
Anak Djakarta (IKB Anda), Ikatan Keluarga Djakarta (IKD). Perasaan rendah diri ini
menjadi berlipat dengan stereotip orang betawi yang dipandang orang non betawi sebagai
etnis terbelakang, malas, tukang kawin, dan suka jual tanah untuk pergi haji; sebuah
stereotip yang direproduksi secara terus menerus oleh orang luar betawi, melalui ceritacerita ringan sebagai bentuk pengalaman dan oleh-oleh, saat orang luar betawi pulang
kampung. Stereotip inilah yang membuat orang betawi mengafirmasikan dirinya,
sehingga menjadi keyakinan bahwasanya mereka memang seperti yang dipersepsikan.
Satu bentuk afirmasi tersebut terlihat dengan keengganan orang betawi yang berada di
kota tidak menggunakan bahasa betawi dalam kehidupan publik mereka. Mereka hanya
menggunakan bahasa betawi kepada sesama orang betawi saja dan digunakan lebih pada
kehidupan privat. Kondisi ini dipaparkan oleh Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta 19661977, yang ketika itu bermaksud menghidupkan kembali tradisi dan kebudayaan betawi
di Jakarta. Ali Sadikin menyebut kondisi ini dengan istilah orang betawi sedang
tenggelam dalam rumahnya sendiri (Yasmin Zakie, 2004).
Seiring berjalannya waktu, betawi sebagai sebuah budaya dan tradisi mulai
muncul kepermukaan. Ini terlihat pada awal tahun 1990-an, di mana sinetron Si Doel
Anak Sekolahan dan Lenong Rumpi mulai menghiasi dunia televisi, dan mendapatkan
tempat di hati masyarakat dengan perolehan rating yang cukup tinggi. Berawal dari
kesuksesan dua sinetron inilah, khususnya Si Doel Anak Sekolahan, mulai bermunculan
sinetron yang mengambil latar belakang betawi. Keadaan ini, secara sekilas, telah
mengangkat derajat orang betawi untuk dikenal luas di masyarakat di tengah etnis
lainnya. Selain itu, lengsernya Soeharto dan rejim Orde Baru pada 20 Mei 1998,
memunculkan beberapa organisasi etnis yang mengatasnamakan dan merepresentasikan
diri sebagai masyarakat Betawi, seperti Forum Betawi Rempug (FBR) dan Forum
Komunikasi Anak Betawi (Forkabi). Tujuan mereka mendirikan organisasi tersebut
sebagai wadah perjuangan masyarakat betawi untuk memperjuangkan hak-haknya
selama ini tertindas, baik secara struktural maupun kultural. Pada titik ini identitas
kebetawian tidak hanya menjadi identitas kultural untuk mendefinisikan eksistensi orang

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

betawi dengan etnis yang lain, melainkan identitas perlawanan di tengah rasa
ketertindasan mereka.6
Betawi Dalam Dunia Sinetron
Seiring dengan maraknya sinetron yang menggunakan latarbelakang budaya
betawi, ada anggapan yang mengatakan bahwa budaya tersebut sedang naik daun. Hal
ini membuat orang Betawi merasa bangga. Namun, perihal ini menjadi terbalik, jika
melihat kondisi masyarakat betawi pada pertengahan tahun 1960-1990-an yang merasa
rendah diri, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kebanggan ini bisa terlihat saat dalam
satu kesempatan penulis berdiskusi dengan komunitas Keluarga Mahasiswa Jakarta
(KMJ), organisasi yang anggotanya orang betawi yang sedang menimba ilmu, di
Yogyakarta pada tahun 2004. Menurut mereka, dengan diangkatnya kebudayaan betawi
dalam dunia sinetron, secara tidak langsung, telah mengangkat harkat dan derajat orang
betawi. Di sini, sinetron menjadi representasi dari naiknya derajat orang betawi. Secara
kasat mata, sinetron yang menayangkan budaya betawi bisa mengangkat dan
menyebarluaskan profil orang betawi itu dan kebudayaannya. Meskipun demikian, bukan
berarti dengan diangkatnya budaya betawi ke dunia sinetron, bisa mengangkat citra
positif orang betawi kepada khalayak publik, walaupun niat awal sebuah sinetron
mengangkat tema betawi untuk mengangkat pamor dan derajat orang betawi. Ini terlihat
dengan Si Doel Anak Sekolahan, sebuah sinetron garapan sutradara Rano Karno, yang
mengadaptasi dari film sukses yang dibuat oleh Sjuman Djaja, Si Doel Anak Betawi
(1973), Si Doel Anak Modern (1976), mencoba mengangkat kembali khazanah budaya
Betawi.
Dalam sinetron ini, dengan gamblang dan bernada nyinyir, Rano Karno, setiap
episode menggambarkan kehidupan sehari-hari marjinalisasi ekonomi orang betawi, dan
bagaimana mereka menghadapi tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Secara
implisit sinetron Si Doel Anak Sekolahan bisa dilihat sebagai bentuk pembelaan kepada
masyarakat betawi yang selama ini langgeng distereotipkan sebagai terbelakang, tidak
berpendidikan, malas, tukang kawin, dan lain sebagainya. Bentuk suara pembelaan Rano
Karno adalah pada setting dan alur penceritaan yang dibangun dengan simbolisasi tokoh
Si Doel yang sedang studi ke jenjang yang lebih tinggi, Sarjana Strata Satu, sehingga
lulus menjadi tukang insinyur. Keputusan Si Doel untuk studi ini didukung oleh
keluarganya, meski mereka harus menjual warisan tanah kakeknya. Perihal ini sangat
berbeda dengan masyarakat betawi kebanyakan, yang kurang begitu mementingkan
pendidikan, sebagaimana dituturkan dalam alur cerita sinetron ini dari awal hingga akhir.
Dalam sinetron ini, Si Doel digambarkan sebagai sosok orang yang berpendidikan
tinggi, pekerja keras, dan rajin. Mentalitas keluarga Si Doel dalam sinetron ini juga
6

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai FBR silahkan lihat: David Brown dan Ian Wilson (2007),
Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta. Working Paper No.145.
Australia: Murdoch University; Untung Widyanto (2005), Antara Jago dan Preman; Studi tentang Habitus
Premanisme pada Organisasi Forum Betawi Rempug (FBR), Tesis Program Pascasarjana Sosiologi,
Depok: FISIP Universitas Indonesia; dan Grace Tjandra Leksana (2008), Urban Youth, Maginalization and
Mass Organization: Involvement in the Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, A Research Paper, Master
of Arts in Development Studies, Institute of Social Studies, Netherlands.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

dibangun sebagai keluarga yang mementingkan pendidikan. Lagu pembuka dalam


sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini seakan menguatkan ihwal itu semua:
Siapa bilang anak Betawi bertingke
Siapa bilang anak Betawi buaye
Anak Betawi ketinggalan jaman, katanya
Anak Betawi nggak berkebudayaan, katanja
Aduh sialan............!
Nih, Si Doel anak Betawi asli
Kesukaannya sembahyang dan ngaji
Tapi jangan bikin dia sakit hati
Diberi sekali, orang bisa mati!!

Sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini begitu populernya, sehingga dibuat


lanjutannya dalam seri kedua, ketiga, dan keempat. Pada saat seri keempat dimulai logat
bahasa betawi sudah masuk dalam industri periklanan dan media populer. Logat ini
dipakai bukan sebagai ekspresi linguistik milik etnis betawi semata, tetapi sebagai ciri
khas bahasa sehari-hari orang Jakarta atau bahasa gaul anak Ibukota. Pada titik ini,
melalui media televisi, khususnya dunia sinetron dengan makin banyaknya sinetron
berlatarbelakang betawi, secara tidak langsung bahasa betawi memberikan sumbangsih
yang besar dalam mempopulerkan penggunaan bahasa Indonesia (ala betawi) ke penjuru
nusantara. Selain itu, bahasa betawi juga memberikan ruang berbahasa informal yang
dapat memberikan kesan keakraban setiap orang yang diajak berbicara, meskipun di sisi
lain bahasa betawi dianggap merusak tatanan bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD,
yang baik dan benar. Berkat kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan, banyak dari
aktor betawi yang semula kurang dikenal, perlahan-lahan mulai dikenal dan mendapatkan
penghasilan yang bagus lewat bintang iklan yang direpresentasikannya. Sementara,
indikasi kesuksesan sinetron besutan Rano Karno ini bisa dilihat dengan tingginya rating
dari masyarakat yang menonton dan banyaknya pemodal yang ingin mensosialisasikan
produknya pada jam tayang sinetron tersebut. Hal ini tercermin dari hasil terbaru Survey
Research Indonesia, Juli 1996, sinetron Si Doel Anak Sekolahan III berada di rating
tertinggi, 45, dan punya tarif iklan Rp14 juta per menit (www.tempointerative.com,
2006).
Mengikuti jejak kesuksesan Si Doel Anak Sekolahan, mulai 2001 hingga 2007
makin berderet daftar sinetron berlatar belakang budaya betawi yang muncul di layar
kaca, seperti Bajaj Bajuri, Juleha, Kecil-kecil Jadi Manten, Julia Jadi Anak Gedongan,
Duk Duk Mong, Wong Cilik, Jadi Pocong, O-Jekri, Gado Gado Betawi, Unjuk Gigi, Jay
Anak Metropolitan, dan lain sebagainya. Sinetron yang berlatarbelakang budaya Betawi
ini hampir selalu diminati oleh masyarakat Indonesia, yang terlihat dengan tingginya
rating masyarakat yang menonton saat sinetron-sinetron betawi ditayangkan. Hal ini
dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh AGB Nielsen Media Research.
Menurut mereka, rating tertinggi sinetron betawi selama tujuh tahun terakhir ini
diraih oleh Jadi Pocong pada tahun 2002 dengan rating 17.7 pada semua target pemirsa
(di atas 5 tahun ke atas). Sebuah angka yang cukup besar untuk saat itu mengingat
persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Sementara itu, di tahun 2001, dua
judul sinetron betawi berhasil menduduki top program berdasarkan rating adalah Wah

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Cantiknya (Anjasmara) dan Tarzan Betawi (Mandra), yang masing-masing berhasil


meraih rating sebesar 17.1 dan 16.2. Pada tahun berikutnya, Tarzan Betawi bertahan di
dalam top 10 program dengan rating yang lebih tinggi, yaitu 17.6. Sinetron Betawi
lainnya yang juga memimpin perolehan rating, Jadi Pocong (17.7), yang diikuti oleh
Babe (Batak Betawi) (13.9), dan Kecil-Kecil Jadi Manten(13.1), turut meramaikan
kompetisi di dalam top 10 program. Sepanjang 2003, televisi nasional masih tetap
menayangkan sinetron bertemakan betawi. Beberapa di antaranya adalah program dengan
judul-judul baru, tapi masih ada juga yang merupakan sekuel dari tahun sebelumnya
(http://www.agbnielsen.net, 2012). Hasil survei AGB Nielsen Media Research ini seakan
menegaskan bahwa budaya dan kebudayaan betawi begitu diminati oleh masyarakat
Representasi Betawi Dalam Sinetron
Dari hasil pengamatan penulis mengenai pelbagai sinetron betawi yang selama
ini ditayangkan, setidaknya ada tiga hal yang selalu muncul. Pertama, relasi antar tokoh.
Tokoh yang dibangun dalam sinetron yang bernuansa betawi kerapkali orang betawi
menempati posisi marjinal, seperti miskin, orang bawahan, terbelakang, malas.
Sedangkan tokoh lawan memainkan posisi orang mapan, yang merupakan representasi
non orang betawi. Meski diakui, tokoh yang termarjinalkan menjadi pemain utama dalam
setiap sinetron. Satu contoh bisa dilihat dalam sinetron Juleha Jadi Anak Gedongan.
Meskipun Juleha orang miskin, yang hanya menjual perabot rumah tangga, tetapi dicintai
oleh pemuda tampan, kaya, dan baik hati. Di sinilah relasi kuasa antara Si Kaya dan Si
Miskin dibentuk. Relasi kuasa yang timpang jika dihadapkan dengan kondisi orang
betawi saat ini, di mana tidak semua orang betawi yang miskin dan tidak semua orang
kaya itu baik. Kedua, konstruksi latarbelakang (setting). Dalam sinetron yang bernuansa
betawi, jarang sekali orang betawi menempati rumah dengan bangunan yang mewah.
Yang terpotret rumah orang betawi terbuat dari kayu dengan lantai yang beralaskan
tanah, dengan pohon-pohon yang menghiasi latar depan rumah. Nuansa miskin,
terbelakang, atau sesuatu yang mencirikan kampung tempoe doeloe digambarkan
dengan jelas. Jika ada tokoh orang betawi dikontruksikan sebagai orang kaya,
mempunyai perusahaan, dan rumah mewah, kekayaannya dijadikan alat atau modal untuk
memiliki isteri lebih dari satu. Hal ini bisa dilihat dalam sinetron Jay Anak Metropolitan,
yang dimainkan oleh Eko Patrio sebagai Jay dan Jaja Miharja sebagai ayah Si Jay; yang
memiliki isteri dua. Di sini, lagi-lagi betawi menempati posisi termarjinalkan.
Ketiga, eksploitasi keterbukaan orang betawi. Tanah Betawi sebagai ibu kota
Jakarta, membuat mereka terbuka dan menerima kehadiran pendatang yang ingin mencari
nafkah. Salah satu bentuk keterbukaan orang betawi adalah cara mereka berbicara yang
khas, apa adanya, dan sedikit menggunakan metafor dalam menggunakan bahasa ketika
berdialog dengan lawan berbicara. Lawan yang diajak berbicara bisa memahami. Namun,
keterbukaan dan keluguan yang dimiliki mereka menjadi eksploitasi yang tak pernah
habis dan selalu bisa dijadikan bahan tertawaan. Eksploitasi ini tentu saja demi
tercapainya rating tinggi, yang berimbas pada pendapatan iklan. Hasilnya, para pemilik
modal yang menikmatinya. Sebagaimana ditegaskan oleh Ishadi SK, Direktur Trans TV
dalam satu forum ilmiah pada tahun 2006, terkait dengan dunia televisi. Menurutnya,
ekonomi memiliki logika sendiri dalam merepresentasikan apapun. Begitu juga dengan
pemiliki modal, dalam hal ini adalah media televisi, yang memiliki prinsip menekan

10

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

pengeluaran (keuangan) dan menggali pemasukan sebanyak-banyaknya. Mereka kurang


begitu memikirkan apakah baik atau tidak dampaknya untuk khalayak penonton. Terkait
dengan sinetron, kisah Bajaj Bajuri adalah contoh tepat bagaimana menggambarkan
keterbukaan orang betawi, disimbolkan oleh tokoh Bajuri, yang keluguannya
dieksploitasi secara maksimal. Sikap keterbukaan dan keluguannya ini dapat membuat
penonton tertawa; candaan yang terkadang nyinyir untuk orang betawi yang menonton.
Di antara sikap keluguan yang selalu dimainkan oleh orang betawi adalah Mandra, Bolot,
Jojon, Mali, dan lain sebagainya.
Tiga hal di atas sekiranya membentuk imajinasi tentang orang betawi. Hasil dari
konsumi tontonan ini dijadikan referensi dan kacamata saat berhadapan dengan orang
betawi sesungguhnya. Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia yang mengkontruksi
orang betawi melalui hasil dari konsumsi tontonan sinetron, telah hidup dalam dunia
mitos yang sudah dicipta-reka oleh media kapital, televisi. Dengan mitos ini orang-orang
betawi dikepung dan ditundukkan agar mengikuti nalar yang selama ini diimajinasikan
oleh televisi. Dengan demikian, jika ada orang betawi yang keluar dari mitos tersebut,
yang muncul kemudian adalah kata-kata seperti, Oh kamu orang Betawi toh! Masa sih
kamu orang Betawi?Wah hebat banget yah ada orang betawi bisa kuliah! dan nada
miris yang bertaut ketidakpercayaan lainnya. Di sinilah stereotip orang betawi
dilanggengkan dan direproduksi. Terkait dengan mitos, hal ini bisa dijelaskan dengan
meminjam teori-nya Baudrillard mengenai hiperealitas. Menurutnya, hiperealitas adalah
kondisi atau konsekuensi, yang di dalamnya realitas telah diambil alih oleh model-model
teknologi simulasi, dalam hal ini adalah televisi. Informasi yang hadir dihadapan kita
menjadi seolah-oleh ada, nyata, dan benar-benar terjadi, bahkan melebihi realitas yang
sesungguhnya. Perbedaan antara nyata dan tidak dalam dunia sinetron yang dihadirkan
oleh televisipun menjadi kabur (Baudrillard, 1986, 2-5).
Dapat dikatakan, sutradara yang membuat sinetron betawi ini awalnya sekedar
bentuk kerinduan terhadap Jakarta tempoe doeloe. Sebagaimana diakui oleh Aris
Nugroho, sutradara dan penulis skenario Bajaj Bajuri. Menurutnya, sinetron-komedi
Bajai Bajuri merupakan "rekaman" yang dilihat tentang lingkungan betawi yang
dialaminya sejak dia tinggal di bilangan Cipinang. Salah satu tetangganya yang masih
diingat hingga kini adalah Engkong Ahmad. Saat tinggal daerah Cipinang Melayu, Ia
kaget melihat suasana yang terjadi. Banyak dari masyarakat Jakarta tetangga yang
dilihatnya, duduk santai, bercanda-canda, nongkrong sambil ngobrol di warung, dan tidak
pernah sedih. Ketika para pendatang berusaha menyekolahkan anaknya setinggi
mungkin, anak keluarga betawi lebih memilih kawin. Kalau pendatang berusaha
memperluas tanahnya, orang betawi suka menjual tanah warisannya (Kompas, 13 Juli,
2003). Namun imbas dari romantisme terhadap Jakarta tempoe doeloe, mereka, telah
menguatkan stereotip orang betawi yang selama ini dianggap miring.
Bertolak dari pemaparan di atas, sinetron-sinetron yang berlatarbelakang betawi,
yang selama ini dianggap sebagai representasi dari masyarakat betawi, sebagaimana
masyarakat betawi mengidentifikasikan, khususnya Si Doel Anak Sekolahan, alih-alih
ingin mengangkat pamor budaya betawi dengan melakukan pemihakan terhadap mereka
yang selama ini terpinggirkan, yang terjadi adalah menegaskan stereotip identitas mereka,
dengan membongkar dapur rumah orang betawi kekhalayak publik. Di sini, Si Doel

11

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Anak Sekolahan, memungkinkan menjadi gerbang pembuka dan lokomotif penggandaan


reproduksi stereotip terhadap orang betawi.
Penutup
Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali pepatah ini yang bisa
merepresentasikan mengenai betawi. Selain dimarjinalisasikan secara ekonomi,
tergusurnya rumah mereka karena laju modernisasi dengan ditandai semangat
pembangunan melalui kebijakan yang diterapkan Orde Baru, telah mengakibatkan
mereka merasa rendah diri karena tercerai berai ikatan persaudarannya. Salah satu bentuk
rendah diri tersebut adalah dengan adanya penamaan komunitas orang betawi dengan
nama Jakarta. Perasaan ini tak berhenti di sini. Lewat reproduksi stereotip yang
dilekatkan oleh mereka melalui komodifikasi sinetron betawi pasca rejim Orde Baru,
yang awalnya dianggap sebagai upaya mengangkat pamor kebudayaan betawi, telah
melanggengkan perasaan rendah diri mereka dengan stereotip negatif, seperti
terbelakang, miskin, tukang kawin, suka jual tanah, mengandalkan hidup dari harta
warisan. Melalui representasi kebudayaan betawi dalam sinetron, kebanyakan orang
betawi tidak mendapatkan keuntungan apa pun, kecuali segelintir orang betawi yang
menikmatinya, khususnya para aktor dan aktris yang berlatarbelakang betawi dan
memainkan peran sebagai orang betawi dalam sinetron. Kebanyakan orang betawi tetap
miskin dan tergusur lewat marginalisasi ekonomi.
Jatuhnya rejim Orde Baru dan adanya insiden konflik pada tahun 2001 antara
orang betawi dan Madura di kampung Pedaengan, Cakung Barat, Jakarta Timur telah
menguatkan solidaritas etnik orang betawi dengan membentuk Forum Betawi Rempug
(FBR). Alih-alih menjadi representasi suara orang betawi di tingkat publik, dengan
cabang organisasi yang kian besar dengan berdirinya gardu-gardu (posko) di setiap
daerah di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, FBR yang awalnya menjadi Si
Pitung yang dapat membela hak orang betawi, malah menjadi centeng, pada setiap
pemodal yang bersedia membayar jasa keamanan mereka.
Adanya stereotip terhadap orang betawi yang dikukuhkan melalui tayangan
sinetron dan organisasi pembela betawi yang merepresentasikan orang betawi, satu
pertanyaan muncul, meminjam istilah Gayatri Spivak (2008) dalam satu artikelnya yang
bisa dimodifikasi menjadi, Can Betawi People Speak? (Dapatkah orang betawi
berbicara?). Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, tapi merupakan gugatan
sekaligus refleksi terkait dengan adanya representasi terhadap orang betawi. Di balik
representasi atas nama betawi, ada kepentingan politik yang coba diusung, entah itu
upaya melakukan stereotiping mendapatkan rating tinggi dalam sinetron di televisi,
kepentingan komunitas atas politik-ekonomi, ataupun resistensi pribadi terkait dengan
cara pandang kebanyakan orang terhadap orang betawi.

12

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan


(PMB) LIPI, Volume 14 No.2, 2012, hal.349-366

Daftar Pustaka
AGB Nielsen Media Research. 2007. Betawi Punya Cerita, Newsletter edisi ke-11, Juli,
dikutip
dari
http://www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/AGB%20Nielsen%20Newslette
r%20July-Ind.pdf pada tanggal 6 Juli, 2012
Akmaliah Muhammad, Wahyudi. 2005. Betawi, Kebetawian, Orang bukan Betawi:
Politik Identitas Orang Betawi. Makalah Dokumentasi Pribadi
Anonimus. 1996. Pokok dan Tokoh: Rano Karno, Gue Enggak Ada Niat Ngelecehin.
Tempo
Interaktif,
dikutip
dari
http://www.tempointeractive.com/ang/min/01/28/pokok2.htm pada tanggal 6
Juli, 2012
Anonim. 2003.Melihat Jakata Tempoe Doeloe, Kompas, 13 Juli
Baudrillard, Jean. 1981. Simulation, Semiotexe(e), New York, 1981.
Brown, David dan Ian Wilson (2007), Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi
Brotherhood Forum in Jakarta. Working Paper No.145. Australia: Murdoch
University;
Budianta, Melani.2002. In the margin of the capital, From Tjerita Bujang Bingoeng To
Si Doel anak sekolahan dalam Keith Foultcher and Tony Day (ed),
Clearing Space: Postcolonial readings of modern Indonesian literature,
Leiden: KITLV
Castles, Laurence.1967. The Etnic Profile of Djakarta, Indonesia, No. 3. Ithaca, New
York: Cornell University.
Dt. Madjoindo, Aman.1951. Si Doel Anak Betawi, Jakarta: Balai Pustaka, 1951.
Kleden, Ninuk.1996. Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta:
Obor, 1996
Shahab, Alwi. 2002. Betawi Queen of the East, Jakarta: Republika
Shahab, Yasmine Zakie. 2004. Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi,
Jakarta: Laboratorium Antropologi FISIP UI
Spivack, Gayatri. 2008. Can Subaltern Speak?, dalam Sharp Joanne (editor),
Geographies of Postcolonialism, Glasgow, United Kingdom; Sage Publication
Tjandra Leksana, Grace.2008, Urban Youth, Maginalization and Mass Organization:
Involvement in the Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, A Research Paper,
Master of Arts in Development Studies, Institute of Social Studies,
Netherlands.
Widyanto, Untung. 2005. Antara Jago dan Preman; Studi tentang Habitus Premanisme
pada Organisasi Forum Betawi Rempug (FBR), Tesis Program Pascasarjana
Sosiologi, Depok: FISIP Universitas Indonesia.

13

Вам также может понравиться