Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh:
Tiffany Hanik Lestari
Noviyanti Soleha
140410120042
140410120059
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyusun Makalah Kultur Kalus ini, tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan dan hambatan itu
bisa teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk memperbaiki dan
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
BAB II ISI.......................................................................................................................
BAB III KESIMPULAN................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
Kalus merupakan kumpulan sel-sel amorf yang terjadi dari sel-sel jaringan yang
membelah secara terus-menerus (Sudarto, 1988 dalam Ariningsih, dkk, 2003). Kalus
merupakan sumber bahan tanam yang sangat penting dalam meregenerasi tanaman
yang baru. Penggunaan kalus akan sangat menguntungkan karena pembentukan kalus
dapat diinisiasi dari jaringan manapun dari tanaman. Pembengkakan eksplan yang
terjadi adalah sebagai respon dari tanaman yang mengakibatkan sebagian besar
karbohidrat dan protein yang ada akan terakumulasi pada jaringan yang luka tersebut.
Adanya pelukaan pada suatu jaringan tanaman dapat menginduksi perubahan proses
metabolism terutama terhadap adanya patogen yang berhubungan dengan sintesa
protein (Thanh dan Thrinh, 1990 dalam Marlin, dkk, 2012). Kalus ini akan terbentuk
pada media yang mengandung konsentrasi auksin dan sitokinin dalam kondisi
seimbang (Abidin, 1994 dalam Ariningsih, dkk, 2003). Kultur kalus merupakan
induksi dan pertumbuhan aspetik kalus secara in vitro yang bertujuan untuk
mendapatkan tanaman yang baru (diperbaiki sifatnya) atau untuk mendapatkan
produk sekunder tanaman. Teknik kultur kalus telah digunakan untuk berbagai tujuan,
antara lain:
a) menghasilkan varian genetik yang berguna,
b) penyaringan sel-sel secara in vitro bagi tipe-tipe yang memiliki karakter
berguna, dan
c) memproduksi produk kimia yang berguna.
Pertumbuhan tumbuhan hasil kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal antara lain ketersediaan air dalam jaringan, kandungan
cadangan makanan, umur tanaman, hormon endongen, serta jenis tanaman yang
distek. Sedangkan faktor eksternal antara lain media perakaran, kelembaban, suhu,
dan cahaya (Kramer dan Kozlowski, 1960 dalam Puspitasari, 2000).
Teknik kultur jaringan memiliki banyak keuntungan antara lain tidak tergantung
pada faktor lingkungan, sistem produksinya dapat diatur sehingga kualitas dan
produksinya lebih konsisten untuk memenuhi kebutuhan pasar serta dapat
mengurangi penggunaan lahan (Wiendi dkk. dalam Sitinjak, 2000). Meskipun teknik
kultur jaringan mempunyai keuntungan yang besar, namun masih mempunyai
kekurangan, yaitu produksi metabolit sekunder yang masih rendah pada beberapa
kultur tumbuhan. Untuk mengatasinya perlu dilakukan teknik elisitasi (Buitalaar dan
Tramper dalam Sitinjak, 2000). Elisitasi menurut Barz et al. dalam Sitinjak (2000)
merupakan teknik untuk merangsang pembentukan fitoaleksin dan meningkatkan
produksi metabolit sekunder yang terakumulasi akibat cekaman. Substansi yang dapat
dijadikan sebagai elisitor dapat berupa zat pengatur tumbuh (ZPT) dan komponen
abiotik seperti cahaya, temperatur, prekursor, dan kondisi nutrien pada medium.
Media yang umum digunakan dalam kultur kalus adalah media dasar Murashige
dan Skoog (1962 dalam Marlin, dkk, 2012) yang terdiri dari komponen hara makro,
hara mikro, myoinositol dan asam amino. Masing-masing komponen media di
larutkan
dan
diencerkan
sesuai
dengan
kepekatan
hara
yang
sudah banyak digunakan. Menurut Gunawan (1987 dalam Dewi, 2008) bahwa jika
konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin maka kalus akan tumbuh, dan bila
konsentrasi sitokinin lebih besar dibandingkan auksin maka tunas akan tumbuh.
Sumber karbon merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
menentukan keberhasilan kultur jaringan selain kombinasi zat tumbuh (ZPT). Sumber
karbon berfungsi sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh sel untuk dapat
melakukan pertumbuhan (Kimball, 1994). Glukosa dan fruktosa sebagai hasil
hidrolisis sukrosa dapat merangsang pertumbuhan beberapa jaringan. Konsentrasi
sukrosa berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus (Srilestari, 2005).
Pemberian sukrosa dalam media akan menjadi sumber energi dan sumber
karbon bagi sel-sel eksplan untuk dapat tumbuh. Peningkatan konsentrasi sukrosa
yang diberikan akan menyebabkan eksplan memperoleh sumber energy dan sumber
karbon yang lebih banyak, sehingga akan dapat mempercepat pertumbuhan eksplan.
Sumber energi yang semakin banyak mengakibatkan pembelahan sel yang lebih cepat
sehingga pertumbuhan kalus akan lebih cepat. Sukrosa juga dapat menjaga tekanan
osmotik media. Pada media yang mengandung sukrosa lebih banyak akan
mengakibatkan gradient konsentrasi yang lebih tinggi antara media dengan sel
eksplan. Media dengan gradien konsentrasi yang lebih tinggi ini akan mengakibatkan
gerakan difusi lebih cepat ke dalam sel yang mempunyai konsentrasi yang lebih
rendah (Salisbury & Ross, 1995).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarmaji (2000 dalam Dewi, 2008)
mengenai penentuan konsentrasi yang tepat pada pertumbuhan kalus kapas
menunjukkan bahwa pemebrian BAP dengan konsentrasi 2 mg/l pada kalus dari
kapas varietas Coker 500 menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dan kuantitas
kalus yang paling baik. BAP pada konsentrasi 3 mg/l menghasilkan bobot akhir kalus
paling tinggi (1,65 g). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Pudji Rahardjo dan
Gatut-Suprijadji ( 2001) mengenai Pengaruh Panjang Sayatan dan Konsentrasi NAA
Terhadap Perakaran Setek Daun Bermata Tunas Kopi Robusta menunjukkan bahwa
panjang sayatan 3 cm dan 4 cm menyebabkan persentase setek berakar mencapai
90%, jumlah akar rata-rata 1,9-2,0, panjang akar mencapai 8,7-9,6 cm, panjang tunas
1,3-2,4 cm dan berat kering tunas 14,15-14,94 mg. Pemberian zat tumbuh NAA
dengan konsentrasi 1.000 ppm, 1.500 ppm, dan 2.000 ppm tidak mampu
meningkatkan persentase setek berakar, jumlah akar, panjang akar, dan panjang tunas.
Pembentukan kalus terjadi karena adanya pelukaan yang diberikan pada
eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut.
Pada awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan
membengkak selanjutnya terjadi pembelahan sel. Sel dapat melakukan aktivitas
metabolik tersebut membutuhkan energi. Sukrosa yang ditambahkan dalam media,
akan menjadi sumber energi sel-sel eksplan, sehingga sel dapat mengalami
pembentangan dan pembelahan selanjutnya akan membentuk kalus (Sitorus, dkk,
2011).
Kultur kalus merupakan budidaya secara heterotrof. Sel tidak dapat melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan karbon seperti halnya tanaman autotrof, sehingga
sumber karbon harus diperoleh dalam bentuk karbohidrat yang ditambahkan dari luar.
Gula merupakan sumber karbon sebagai pengganti karbon yang biasanya diperoleh
tanaman dari atmosfer dalam bentuk CO 2 untuk bahan fotosintesis. Jika tidak ada
sukrosa, maka aktivitas dan pertumbuhan kalus tidak dapat berlangsung dan pada
akhirnya sel-sel tersebut akan mati, karena tidak ada sumber energi. Hal tersebut
membuktikan bahwa sukrosa merupakan komponen penting yang harus tersedia
dalam media kultur jaringan tumbuhan (Sitorus, dkk, 2011).
Pembentukan akar pada tumbuhan kultur jaringan merupakan suatu peristiwa
regenerasi yang berfungsi untuk mengganti suatu dari tanaman yang telah terganggu
atau hilang. Menurut Wareing and Philips (1986 dalam Ismail, dkk, 2008) regenerasi
dapat terjadi dengan dediferiansi, yaitu proses perkembangan balik sel-sel pada
daerah yang berbatasan dengan permukaan potongan eksplan sehingga sel-sel yang
telah terdiferensiasi kembali bersifat meristematik. Peristiwa tersebut menunjukkan
diferensiasi dari berbagai sel tumbuhan tidak menyebabkan sel-sel tersebut
kehilangan potensi genetik, sel-sel tersebut tetap mempunyai sifat totipotensi, yaitu
kemampuan sel tumbuh dan untuk membentuk tumbuhan baru yang lengkap jika
ditumbuhkan pada kondisi yang sesuai (George & Debergh, 2008 dalam Ismail, dkk,
2008).
Pembentukan akar pada stek pucuk merupakan suatu peristiwa regenerasi yang
berfungsi untuk mengganti suatu dari tanaman yang telah terganggu atau hilang.
Menurut Wareing and Philips (1986 dalam Ismail, dkk, 2008) regenerasi dapat terjadi
dengan dediferiansi, yaitu proses perkembangan balik sel-sel pada daerah yang
berbatasan dengan permukaan potongan stek sehingga sel-sel yang telah
terdiferensiasi kembali bersifat meristematik. Peristiwa tersebut menunjukkan
diferensiasi dari berbagai sel tumbuhan tidak menyebabkan sel-sel tersebut
kehilangan potensi genetik, sel-sel tersebut tetap mempunyai sifat totipotensi, yaitu
kemampuan sel tumbuh dan untuk membentuk tumbuhan baru yang lengkap jika
ditumbuhkan pada kondisi yang sesuai (George & Debergh, 2008 dalam Ismail, dkk,
2008). Setelah sel-sel spesifik mengalami dediferensiasi, terjadi pembentukan bakal
akar dari sel-sel tertentu dekat berkas vaskuler atau jaringan vaskuler yang telah
menjadi meristematik dengan dediferensiasi. Selanjutnya bakal akar ini berkembang
menjadi primordia akar yang terorganisasi. Primordia akar mengalami pertumbuhan
dan muncul keluar melalui jaringan batang lain, serta terjadi pembentukan hubungan
vaskuler antara primordia akar dan jaringan vaskuler dari stek itu sendiri (Hartman et
al., 1990 dalam Ismail, dkk, 2008).
Pada tumbuhan berkayu, perakaran akan tumbuh dari dalam batang, berasal dari
floem sekunder yang muda atau jaringan pembuluh, kambium dan empulur. Dalam
perkembangannya, primordia akar berkembang sehingga muncul di permukaan
batang. Pembentukan kalus biasanya terjadi apabila stek berada pada kondisi yang
menguntungkan. Kalus itu terbentuk dari sel-sel yang berada pada daerah kambium
vaskuler (Abidin, 1984 dalam Ismail, dkk, 2008).
Pertumbuhan eksplan selama periode kultur memerlukan waktu yang relatif
lebih lama dalam membentuk kalus. Pada beberapa bagian eksplan biasanya
menunjukkan gejala pencoklatan (browning). Pencoklatan ini terjadi karena adanya
sintesis senyawa fenolik. Vickery and Vickery (1980 dalam Marlin, dkk, 2012)
menyatakan bahwa sintesis senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan
pada sel tanaman. Inisiasi pembentukan kalus tanaman dapat dilakukan dari semua
bagian tanaman. Tetapi setiap bagian tersebut memiliki kecepatan pertumbuhan dan
respon yang berbeda. Selain itu, penggunaan ZPT dalam konsentrasi yang tepat juga
sangat menentukan proses pembentukan dan perkembangan kalus in vitro.
Terbentuknya kalus disebabkan adanya rangsang luka (Fowler, 1983 dalam
Marlin, dkk, 2012). Rangsang tersebut menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel
berubah arah, sebagian protoplas mengalir ke luar sehingga mulai terbentuk kalus.
Pada beberapa perlakuan dominasi warna kecoklatan menutupi permukaan kalus. Hal
ini dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya kandungan senyawa fenolik yang
terbentuk serta menutupi permukaan kalus. Nisa dan Rodinah (2005 dalam Marlin,
dkk, 2012) juga mendapatkan beberapa eksplan yang mati akibat pencoklatan
(browning). Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesis metabolit sekunder
(senyawa fenolik). Adanya sintesis senyawa fenolik yang menutupi permukaan kalus
ini dapat menghambat pertumbuhan kalus. Bahkan, pada kultur yang lebih lanjut
dapat menyebabkan kematian eksplan. Selain itu, pada permukaan kalus juga
cenderung keras dan terdapat jaringan yang menebal. Di samping itu, pertumbuhan
kalus yang terjadi memang belum mencapai tingkat yang maksimal (Marlin, dkk,
2012).
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA