Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
paling singkat. Aku harus menyeberang sungai yang sangat lebar terlebih
dahulu. Melewati pematang sawah yang banyak lintahnya, melewati semaksemak yang penuh dengan kengerian dari binatang-binatang yang berbisa,
Jalan sangat jelek , becek, banyak teletong kerbau di jalan-jalan, ular berlalu
lalang, bahkan embah pernah berpesan dalam perjalananmu jangan
sampai menemui ular tutut (ular yang bentuknya seperti montong pisang).
Karena siapa saja bila ketemu dengannya akan mendapatkan cilaka, entah
sakit, mati, bernasib sial, duri pohon bambu ori tersebar di mana-mana,
nyamuk siap menggigit saat terlena, ulat berbulu nempel pada daun daun
padi dan pasti gatal sekali kalau hinggap pada anggauta tubuhku. pokoknya
deh, perlu perjuangan yang sangat ekstra. Apalagi bila akan melewati
sebuah rumah bapaknya Sriyanto.
Ayah Sriyanto adalah satu-satunya pemilik tunggal yang kaya di desa
itu. Dia mempunyai sebuah bendi (andong) yang ditarik kuda. Kuda yang ia
milik mempunyai seekor anak yang masih kecil. Walaupun kecil anak kuda
tersebut sangat lincah, lari kesana-kemari tanpa tujuan, apalagi saat ada
orang atau binatang lewat di depannya, pasti dia selalu mengejarnya,
bahkan siapa yang naik sepeda pasti dikejar, seakan-akan diajak balapan
lari. Anehnya pemiliknya membiarkan berlarian mengejar orang.
Sambil ngomong ngalor-ngidur dengan kakak. Aku mohon padanya,
Mas aku nanti digendong ya. Ah, apa lo jawabnya. Aku sangat takut
kataku. Langkah perjalananku semakin tambah terasa sangat berat. Itu saja
baru seper sembilan puluh lima dalam perjalananku menuju ke sekolah.
Entah berapa langkah kecil lagi aku akan tiba di sekolah. Mungkin
seandainya aku anak yang lemah, pasti perjananan itu merepotkan kakak
kandungku. Untunglah aku anak yang kuat, walaupun makanan yang aku
konsumsi jauh dari layak disbanding dengan makanan yang dimakan anakanak sekarang. Tahukah bekatul.
Dengan hati bergetar-getar, aku menujukkan kepada kakak
kandungku. Aku menyela padanya, Kak kita akan sampai di depan rumah
Sriyanto, kak. Aku takut sekali. Tolong aku di belakang kakak saja ya atau
aku digendong. Ada apa to dik? Jawabnya. Aku takut dengan si belo. Dah
jelek suka kejar anak-anak, emanya temanya?. Ok, ndak apa-apa, nanti tak
kemponya dengan jurus Ulat Lapar Banget. kata kakaku, yang sok jadi
pahlawan kesiangan. Memang ada jurus Ulat Lapar Banget?, kataku. coba
aja nanti, kalau macam-macam dengan adikku, yang paling ganteng dewe.
Katanya. Aku merasa aman dekat kakakku selama dalam perjalananku.
Dalam hati, aku bertanya-tanya. Apa betul, kalau kakaku bisa kempo? Apa
dia pernah belajar kempo? Dimana? Dan siapa gurunya? Ah, bodoh amat
lah. Yang penting aku merasa terlindungi olehnya. Pokoknya aku merasa
aman disamping kakakku.
Kak-kak-kak-kak-kakkkkkkkkkkk, kita hampir dekat teriakku. Apaapaan to dik? jawabnya. Itu lo rumahnya bapaknya Sriyanto kataku sambil
mbesengut. Emangnya ada apa? katanya. si belo kataku. Ah ndak ada
gitu kok katanya. Memang saat lewat di depn rumahnya bapaknya Sriyanto,
rumah itu masih tertutup rapat. Entah kemana keluarganya pergi. Berarti, si
belo belum dikeluarkan dari istananya. Aman-aman, hatiku menjadi glong
karena tidak melihat belo di parkir di depan rumah bapaknya Sriyanto.
Perjalananku saat itu agak senang sedikit. Lewat pematang sawah,
melomcati sungai-sungai kecil. Kadang harus jatuh bangun dalam perjalanan
itu. Terpeleset, jatuh baju kena lumpur, kadang sobek.
Setelah menempuh perjalanan satu jam lamanya. Tibalah aku di
sekolahanku. Dengan istirahat kurang dari 5 menit untuk mengatur nafas
dan mengeringkat keringatku. Bel masuk dibunyikan ibu guru yang cantik.
Aku mengikuti pelajaran seperti anak-anak lain. Dalam mengikuti pelajaran
aku juga tak pernah ketinggalan disbanding dengan teman lainnya, bahkan
kandang aku menjadi sumber tirunan teman, bila ibu guruku mengadakan
ulangan.
Jam demi jam berlangsung terus tampa ada yang bisa menghentikan
waktu. Pelajaran demi pelajaran pun juga begitu. Aku merasa iri pada
mereka, karena sehabis pelajaran, mereka pulang ke rumahnya masingmasing dengan cepat sampai di rumahnya. Namun saat jam pejalaran
terakhir akan usai, hatiku kembali gudah gulana. Akankah perjanan pulangku
sekolah yang jauh nanti, apa masih sama seperti ketika perjalan ke sekolah
tadi pagi? Tanya dalam hatiku sendiri. Pokoknya perang batin dalam diriku
berkecamuk. Betul, bel tanda akhir pelajaran terakhir telah dibunyikan,
semua anak-anak menyambut dengan suka riang, berserok-sorai,
diwajahnyapun juga kelihatan berseri-seri. Kecuali aku.
Nasib-nasib kata hatiku. Aku dan kakakku setelah jam pelajaran usai,
tanpa istirahat aku mulai stat lagi perjalananku untuk pulang. Disamping aku
lapar, haus, pusing setelah mengikuti pelajaran. Aku berjalan dengan rasa,
lemah lunglai, tidak semangat seperti di pagi hari. Ya, maklum. Tak pernah
di beri bekal untuk uang jajan. Selain itu rasa takutku masih ada di benak
pikirannku. Namun kakakku selalu memberiku semangat, sehingga dengan
sisa tenaga dan bayangan akan rasa takut itu, sedikit menghilang.
mau menagis yang sekeras-kerasnya tidak bisa, malah tangis aku menjadi
megap-megap sambil pasrah entah apa yang akan terjadi.
Dengan ranting yang berdaun, kakaku meyeblak si Belo yang sedang
menggodaku. Karena seblakan wessssss .. dan suara keras pergi
kau!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! dari kakak, maka si Belo pun lari tunggang
langgang menuju ke kandangnya. Meskipun aku menangis karena si Belo, si
empunyapun tidak ada reaksi apapun terhadapku. Tetapi tak apalah yang
penting aku sudah selamat dari dari si Belo. Entah lain hati aku tak tahu lagi.
Tamat