Вы находитесь на странице: 1из 102

RESUME KOMPILASI BLOK 11

SKENARIO 3
OEDEMA
Oleh: KELOMPOK E
1. Bambang Prabawiguna
2. Ashoka Sulistyasmara
3. Erwin Maulana F.P.
4. Elsa Viona
5. B.G. Krisna Astayogi
6. Ade Churie Tanjaya
7. Cynthia Parasetiayu
8. Harmas Suhendi
9. Lilis Rahmawati
10. Dian Hadi Purnamasari
11. Much. Faisol Rizeki
12. Meilani Y. Debora P.
13. Rizsa Aulia Danesty
14. Wahyu Dwirima
15. Stevie Pramudita W.

092010101002
092010101005
092010101007
092010101008
092010101010
092010101016
092010101019
092010101023
092010101033
092010101054
092010101058
092010101059
092010101061
092010101074
092010101075

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
SKENARIO 3
Bobby, usia 27 tahun ke klinik swasta karena bengkak di seluruh tubuhnya sejak 2 hari
yang lalu, awalnya bengkak hanya pada matanya. Selain itu Bobby juga mengalami diare, nyeri
perut, nafsu makan turun dan beberapa jam yang lalu mengalami sesak nafas. Kerika dibawa
kerumah sakit didapatkan kondisi umum yang lemah, TD 160/90, RR: 44X/menit, cepat dan
dangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pitting oedema, acites dan ronchi basah pada kedua

paru. Hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh ureum 90,7 mg/dL. Kreatinin 1,83 mg/dl, dan
pada urinalisis didapatkan protein urine +++.

Analisis masalah

Edema
Proteinuria
Keseimbangan elektrolit dan asam basa serta gangguannya
Transplantasi ginjal

Hemodialisis
Sindroma nefrotik
Glomerulonefritis
Gagal ginjal
Sindroma nefritik
Diabetic nefropatik
Acute tubular necrosis
Farmakologi - diuretik
Farmakologi - steroid
Dehidrasi dan penanganannya

A. OEDEMA
Definisi
Edema ialah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau
di dalam berbagai rongga tubuh. Sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor

yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik


sistem kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta
berpindahnya air dari intravaskuler ke interstisium.
ETIOLOGI
1.
Penurunan tekanan osmotik:

2.

sindrom nefrotik

sirosis hepatic

malnutrisi

Peningkatan permeabilitas vascular terhadap protein:


-

3.

4.

Peningkatan tekanan hidrostatik


-

gagal jantung kongestiv

Sirosis hepatis

Obstruksi aliran limfe


-

5.

angioneurotik edema

gagal jantung kongestiv

Retensi air dan natrium


-

gagal ginjal

sindrom nefrotik

KLASIFIKASI
Edema intraseluler

etiologi :
1) depresi system metabolic
2) tidak adanya nutrisi sel yang adekuat
Bila aliran darah ke jaringan turun pengiriman oksigen & nutrien berkurang tidak
ada nutisi sel yang adekuat edema
Bila aliran darah sangat rendah untuk mempertahankan metabolisme jaringan normal
pompa ion membrane sel menjadi tertekan Na+ yang biasanya masuk ke dalam sel,
tidak bisa dipompa keluar sel kelebihan Na+ dalam sel osmosis air ke dalam sel
meningkatkan volume cairan intraseluler jaringan edema
Edema intraseluler juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang.
Peradangan mempunyai efek langsung pada membrane sel yaitu meningkatkan permeabilitas
Na+ & ion-ion lain berdifusi ke dalam sel diikuti osmosis air kedalam sel
Edema ektraseluler
etiologi :
1) kebocoran abnormal cairan dari plasma ke ruang interstisisal melalui kapiler

2) kegagalan limfatik mengembalikan cairan dari interstisium ke dalam darah


3) Penyebab klinis akumulasi cairan intertisial yang paling sering adalah filtrasi cairan
kapiler yang berlebihan.
Berbagai kondisi yang menyebabkan edema ekstraseluler :
I. Peningkatan tekanan kapiler
A. Retensi garam & air berlebihan di ginjal
B. Tekanan venosa yang tinggi
C. Penurunan resistensi arteriol
II. Penurunan protein plasma
A.
Proteinuria
B.
Kehilangan protein dari kulit yang terkelupas
C.
Gagal menghasilkan protein
III. Peningkatan permeabilitas kapiler
A. Reaksi imun yang menyebabkan pelepasan histamine & produk imun lainnya
B. Toksin
C. Infeksi bakteri
D. Defisiensi vitamin, terutama vit C
E. Iskemia yang lama
F. Luka bakar
IV. Hambatan aliran limfe
A. Kanker
B. Infeksi (misal : nematoda jenis filariasis)
C. Pembedahan
D. Kelainan / tidak adanya pembuluh limfatik secara congenital

Patofisiologi

Patofisiologi Edema dapat dijelaskan dengan konsep Volume Darah Arteri


Efektif (VDAE) yang akan mempengaruhi retensi na dan air. VDAE normal terjadi
ketika rasio curah jantung dengan retensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE
berkurang pada keadaan pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi),
penurunan curah jantung (gagal jantung) atau peningkatan capasitance pembuluh
darah (sirosis hepatis, sepsis).
Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air sebagai
berikut :
1. Mekanisme dari ginjal
Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada pembuluh darah
besar, termasuk low-pressure barroreceptors atau intrarenal receptor sehingga terjadi
peningkatan tonus simpatis yang menurunkan aliran darah pada ginjal. Hal ini dapat
terjadi melalui :

Peningkatan Rearbsorbsi natrium dan air di tubulus proksimal


Penurunan aliran darah dipersepsikan sebagai penurunan tekanan darah oleh
ginjal, sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus
jukstaglomerular. Renin akan meningkatkan pembentukan angiotensin II, yang
menyebabkan kontrikse arteriol eferen sehingga GFR naik dan peningkatan
tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik inilah yang
menyebabkan peningkatan rearbsorbsi air pada tubulus proksimal.
- Peningkatan Rearbsorbsi natrium dan air di tubulus distal
Angiotensin II akan merangsang kelenjar adrenal melepaskan aldosteron,
aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.
2. Mekanisme dari sekresi hormon ADH
Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada arteri besar dan
hipotalamus, yang akan merangsang pelepasan ADH yang kemudian menyebabkan
retensi Na dan air.
Penyebab umum edema :
- Penurunan tekanan osmotik
o Sindrom nefrotik
o Sirosis hepatis
o Malnutrisi
- Peningkatan permeabilitas vaskuler terhadap protein
o Angioneurotik edema
- Peningkatan tekanan hidrostatik
o Gagal jantung kongestif
o Sirosis hepatis
- Obstruksi aliran limfe
o Gagal jantung kongestif
- Retensi air dan natrium
o Gagal ginjal
o Sindrom nefrotik
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik
Pada sindrom nefrotik pasien akan mengalami hipoalbunemia, yang
menyebabkan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik
menyebabkan perpindahan cairan dari intravaskuler ke intertisium hingga
menimbulkan edema. Pada kedaan tertentu, kehilangan protein dan hipoalbumin
dapat sangat berat hingga minumbulkan volume plasma berkurang yang
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang dapat merangsang retensi natrium dan
air.
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik:
1. Mekanisme Underfilling
Edema disebabkan karena rendahnya kadar albumin serum yang
mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti
peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstisial, akibatnya vol.

Darah yang beredar akan berkurang (underfilling) yang selanjutnya akan


merangsang sistem RAA yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis.
2. Mekanisme Overfilling
Pada keadaan tertentu penderita sindrom nefrotik mengalami kelainan yang
bersifat primer yang mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, yang
mengakibatkan kenaikan volume darah yang disertai dengan rendahnya tekanan
osmosis plasma sehingga terjadi transudasi cairan.

Pembentukan edema pada gagal jantung kongestif


Gagal jantung merupakan kondisi disaat jantung gagal memompa darah.
Darah akan terbendung d vena sedangkan volume darah pada arteri akan
berkurang. Hal ini direfleksikan sebagai penurunan VDAE yang akan direspon
oleh reseptor barometer sehingga meningkatkan tonus simpatis yang
mengkontriksikan pembuluh darah. Termasuk pembuluh darah ginjal, sehingga
aliran darah ke ginjal akan berkurang. Hal ini akan mengangtifkan sistem aparatus
jugstaglomerular yang mengakibatkan retensi natrium dan air.
Pada kondisi gagal jantung yang sangat berat, ginjal akan meretensi air
lebih banyak daripada natrium, hal ini akan menyebabkan hiponatremia, yang
menyebabkan peningkatan aktifitas ADH yang akan meretensi air, selain itu ADH
akan merangsang pusat rasa haus sehingga terjadi peningkatan asupan air.
Pembentukan edema pada sirosis hepatis
Pada sirosis hepatis, terjadi peningkatan tahanan sistem porta diikuti
dengan terbentekya portosistemik baik intra maupun ekstra hepatis. Apabila
perubahan struktur parenkim semakin berlanjut, vasodilatasi akan semakin berat
sehingga tahanan perifer juga semakin turun. Tubuh akan menafsirkan kondisi
VDAE. Sebagai kompensasinya adalah dengan peningkatan tonus saraf simpatis
adrenegik, yang mengaktifkan sistem RAA, simpatis dan ADH. Sistem RAA akan
mengakibatkan peningkatan retensi natrium. ADH akan menyebabkan retensi air.
Dan tonus simpatis akan menyebabkan penurunan GFR yang akan mengakibatkan
peningkatan rearbsorbsi garam pada tubulus proksimal.
Terapi
Prinsip Terapi Edema:
1. Penanganan terhadap penyakit yang mendasari
2. Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena.
3. Meningkatkan pengeluaran natrium dan air
a. Diuretik : hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif
b. Tirah baring : dengan mengangkat kaki di atas level atrium kiri.

4. Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang berlebihan


menyebabkan kekurangan volume plasma, hipotensi, perfusi yang adequat,
sehingga pemberian diuretik diberikan secara hati-hati.
B. PROTEINURIA
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya
yaitu lebih dari 150 mg/hari atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Proteinuria biasanya
bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Biasanya
proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari pada beberapa kali
pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein
urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit diatas nilai
normal. dikatakan protein masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya
mayoritas terdiri dari albumin.
Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria dapat meningkat dari melalui salah satu cara dari ke-4 jalan dibawah ini :
Perubahan permabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari
protein plasma normal terutama albumin.

Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi.

Filtrasi

glomerulus

dari

sirkulasi

abnormal,

Low

Molecular

Weight

Protein(LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas tubulus.

Sekresi

yang

meningkat

dari

makuloprotein

uroepitel

dan

sekresi

IgA(imunoglobulin A) dalam respon untuk inflamasi.


Derajat proteinuria dan komposisi protein dalam urin tergantung mekanisme jejas
pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. sejumlah besar protein secara normal
melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. jika sawar ini rusak, terdapat
kebocoran protein plasma kedalam urin (proteinuria glomerulus).
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel
maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap
protein besar (>100kDal) sementara foot processes dari epitel/podosit akan
memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang
sempit. Beberapa penyakit glomerulus akan seperti penyakit minimal change
menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin
selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler
yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non
selektif atau proteinuria bermakna.
Mekanisme lain terjadinya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria
abnormal yang melebihi kapasitas reabsobsi tubulus (biasanya ditemui pada diskrasia sel
plasma yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek.

Proteinuria Fisiologis
Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya
kurang dari 200mg/hari dan bersifat sementara, misalnya pada keadaan demam tinggi,
gagal jantung, latihan fisik yang kuat, dan pasien dalam keadaan transfusi darah.
Proteinuria Patofisiologis
Proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator
perburukan fungsi ginjal. Proteinuria dikatakan patofisiologis ketika melebihi 150mg/hari
atau ada juga yang mengatakan protein dibawah 200mg/hari.
Terdapat 3 jenis proteinuria patologis, yaitu :

Proteinuria Glomerulus (misalnya mikroalbuminemia)


albumin merupakan jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin. Ada 2
faktor yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat : a) ketika
barier filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi glomerulus, protein plasma,
terutama albumin mengalami kebocoran pada filtrasi glomerulus pada sejumlah
kapasitas tubulus yang berlebihan yang menyebabkan proteinuria. b) faktor-faktor
hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi filtrasi
mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang
meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intinsik dinding kapiler
glomerulus. Contohnya adalah mikroalbuminemia yang pada keadaan normal
albumin tidak melebihi 30mg/hari. bila albumin d urin 30-300 mg/hari disebut
mikroalbuminemia. Mikroalbuminemia merupakan pertanda untuk proteinuria
klinis yang disertai menurunnya faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus).

Proteinuria Tubular

Jenis protein ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg/ hari,
terdiri atas B-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang
biasanya menimbulakan proteinuria tubular adalah renal tubular asidosis,
sarkoidosis, sindrom frankoni dll.
Overflow proteinuria

terdiri dari protein berat molekul rendah (kurang dari 40000 Dalton) berupa light
chain imunoglobulin yang tidak bisa terdeteksi dengan dipstik (pemeriksaan
albumin rutin). Protein ini disebut Protein Bence Jones, protein ini dihasilkan dari
kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus
proksimal.
Proteinuria isolasi

Adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien
yang sehat yang tidak mengalami gangguan ginjal/sistemik. Biasanya total
ekskresi kurang dari 2gr/hari. Dibagi dalam 2 kategori 1)jinak dan 2)persisten.
Proteinuria isolasi jinak
1)
Proteinuria fungsional
Bentuk umum Proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang MRS
karena berbagai penyakit, seperti GJ kongestif, demam tinggi, dll.
Proteinuria disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang
meningkatkan filtrasi glomerulus plasma.
2)
Proteinuria transien idiopatik

3)

Proteinuria umum pada anak2 dan dewasa muda kurang dari 30 tahun,
ditandai oleh Proteinuria yang timbul selama pemeriksaan rutin orang
yang sehat tapi hilang kembali saat dilakukan pemeriksaan ulang.
Proteinuria ortostatik
Pada semua pasien dengan eksresi protein massif, Proteinuria meningkat
pada posisi tegak daripada berbaring. Perubahan ortostatik pada eksresi
protein tampaknya tidak memiliki kepentingan diagnositk. Proteinuria ini
biasanya terjadi pada dewasa muda. Prognosis biasanya baik. Namun, bila
masih menetap, maka dilakukan monitoring Tekanan darah dan
pemeriksaan urin pada pasien.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Bila proteinuria sebagai sign, maka kondisi yang mendasari adalah :


Sindrom nefrotik
Pre eklamsia dan eklamsia
Lesi ginjal
Collagen vascular disease (lupus eritrema)
Glomerulonefrtis
Latihan fisik dan stress
Obat-obatan seperti NSAID, nikotin, ACE inhibitor)
Infeksi (HIV, sifilis, hepatitis)

1)
2)
3)
4)
5)

Kondisi yang mendasari Proteinuria terutama Bence jones protein sebagai sign, yaitu :
Waldestroms makroglobulinemia
Kronik limfotik leukemia
Amilodosis
Maligna (kanker, limfoma)
Multiple myeloma

Keseimbangan Air

Keseimbangan cairan dalam tubuh mengarah kepada interaksi cairan ekstra selular
dengan lingkungan di luar tubuh tanpa melihat adanya pengaruh elektrolit. Perpindahan cairan
tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini

Keseimbangan Air
Sumber

Input Harian (ml)

Air dalam bentuk makanan

1000

Air dalam bentuk liquid

1200

Air hasil dari metabolisme

300

Total

2500

Metode Eliminasi

Output Harian (ml)

Urination

1200

Evaporasi lewat kulit

750

Evaporasi lewat paru

400

Feses

150

Total

2500

Kehilangan air secara rutin secara kasar sekitar 2500 ml setiap harinnya melalui urin,
feses dan penguapan secara tidak sengaja. Penguapan secara sengaja melalui aktifitas
dapat mengakibatkan defisit air secara signifikan karena dapat mencapai sekitar 4 liter air
yang hilang.
Kenaikan temperatur melalui demam. Demam dapat meningkatkan kehilangan air
sekitar 200 ml di atas normal.
Intake Air. Intake secara kasar sekitar 2500 ml per hari atau sekitar 40ml/kgBB. Salah
satu sumber untuk memenuhi hal tersebut adalah pembentukan air lewat metabolisme.

Dalam metabolisme air didapat melalui reaksi fosforilasasi oksidatif dalam mitokondria.
Saat sel memecah 1 gram lipid sekitar 1,7 ml air dibuat (0.41ml/g untuk protein dan
0.55ml/g untuk karbohidrat). Melalui cara ini sekitar 12 % kebutuhan tubuh terpenuhi.

Kelebihan air dan Kekurangan Air


Air dalam tubuh tidak gampang dimonitor dari luar. Tetapi konsentrasi Na+ dalam plasma
merupakan indikator yang sangat berguna. Ketika air meningkat dan cukupkuat untuk membuat
konsentrasi Na+ dibawah 130 mEq/l maka muncul kondisi hiponatremia. Ketika konsentrasi
melebihi 150 mEq/l maka muncul kondisi hipernatremia.
Hyponatremia merupakan tanda dari overhidrasi atau kelebihan air. Penyebab dari
overhidrasi adalah:
1. Ingesti volume yang besar lewat fresh water atau infusion

2. Ketidakmampuan membuang air karena gagal ginjal kronis, gagal jantung, dan
cirrhosis.
3. Penyakit endokrin yang menyebabkan over produksi ADH
Kadar natrium yang rendah menyebabkan air berpindah menuju ICF yang berefek utama
ke sistem saraf pusat. Intoksikasi air merupakan hal yang jarang tetapi sangat berbahaya.
Proses yang cepat halusinasi, kejang, koma kemudian kematian dapat terjadi.
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan diuretik dan pemberian natrium

Hypernatremia merupakan tanda dari dehydrasi karena kekurangan air. Kehilangan air
menyebabkan rasa haus, kulit berkerut dan kering, penurunan volume plasma dan tekanan
darah yang dapat menyebabka shock pada sistem sirkulasi. Penatalaksanaan yang
dilakukan adalah dengan pemberian carian hypotonic secara enteral maupun parentral.

Keseimbangan Elektrolit
Keadaan tubuh berada dalam keseimbangan asam dan basa. Hal tersebut menjadi penting karena

Konsentrasi elektrolit total berpengaruh kepada keseimbangan cairan


Konsentrai elektrolit dapat mempengaruhi fungsi sel.

Dua kation yang patut diperhatikan adalah Na+ dan K+ karena


1. Kontribusi mereka yang besar dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler
2. Mereka mempunyai efek langsung dalam fungsi sel

Keseimbangan Natrium di pengaruhi 2 faktor yaitu:


1. Uptake ion natrium lewat saluran pencernaan. Ion natrium melewati epitel saluran
pencernaan melalui difusi dan carrier mediated transport
2. Ekskresi Ion Natrium pada ginjal dan tempat lain. Kehilangan natrium secara primer di
ekskresi melalui urin dan melalui penguapan.

Keseimbangan Kalium
Secara kasar 98% kalium pada tubuh manusia berada dalam ICF. Sel mencurahkan
energinya untuk melindungi ion kalium agar tetap berada di dalam karena mereka berdifusi
keluar sitoplasma ke ECF. Sama seperti natrum, kadar konsentrasi ion kalium di ECF berada
dalam keseimbangan karena keseimbangan antara penyerapan pada epitel saluran cerna dan
pembungan pada ginjal. Pembuangan kalium dalam urine diatur oleh pompa ion pada tubulus
distal dan kolektivus.
Ion K+ yang terbuang lewat urin biasanya dibatasi oleh jumlah yang diarbsorpsi pada
epitel pencernaan yaitu sekitar 50-150 mEq/hari. Ratio sekresi K+ merupakan respon dari tiga
faktor berikut
1. Perubahan konsentrasi K+ pada ECF. Secara umum semakin besar konsentrasi kalium
pada cairan ekstraseluler semakin besar rasio sekresinya.
2. Perubahan PH. Saat PH turun maka PH pada cairan tubular juga turun maka kation yang
disekresikan cenderung ke H+ daripada K+ untuk mengganti ion natrium yang hilang.
3. Kadar aldosteron. Jumlah ion kalium yang terbuang melalui urin sangat dipengaruhi oleh
aldosteron, karena pompa ion yang sensitif oleh hormon ini mengrearbsorpsi Na + dan
ditukar oleh K+ dari cairan peritubular.
Aldosteron dipengaruhi oleh angitensin II sebagai bagian dari pengontrol volume darah,
tetapi kadar K+ yang tinggi juga berpenogaruh langsung terhadap sekresi aldosteron.
Hypokalemi
Saat konsentrasi potasium turun dibawah 2mEq/l maka suatu kelemahan otot yang parah
akan muncul yang kemudian diikuti oleh paralisis. Penyebab dari hipokalemi meliputi:
1. Intake inadekuat K+ yang tidak dapat mengimbangi output dari urin
2. Pemberian diuretik. Beberapa diuretik menyebabkan hipokalemi walaupun kadar kalium
dalam urine tetap sedikit. Hal tersebut dikarenakan volume yang banyak dari urin juga
menyebabkan kalium yang terbuang juga bertambah banyak

3. Sekresi aldosteron yang berlebihan. Sekresi aldosteron akan meningkatkan retensi


natrium yang berakibat pada peningkatan sekresi kalium
4. Peningkatan PH dalam ECF. Penurunan ion hidrogen dalam ECF akan menyebabkan
pelepasan ion hidrogen dalam sel, sebagai kompensasinya ion kalium dalam ECF akan
berpindah ke dalam sel untuk mempertahankan PH cairan intra seluler. Hal tersebut tentu
saja membuat kadar kalium plasma akan turun.

Hiperkalemi
Saat konsentrasi K+ melebihi 8mEq/l maka aritmia yang parah akan timbul. Faktor-faktor
yang mempengaruhinya adalah
1. Gagal ginjal. Gagal ginjal karena trauma maupun penyakit kronis akan menghambat
sekrese ion kalium.
2. Pemberian diuretik yang menghambat retensi Na+. Saat penyerapan natrium berjalan
lambat maka sekresi kalium juga berjalan lambat.
3. Penurunan pH ECF. Saat terjadi penurunan pH maka ginjal cenderung mensekresi H + dari
pada ion kalium. Kombinasi dari masuknya ion kalium dan penurunan sekresi kalium
akan menyebabkan hiperkalemi yang berlangsung sangat cepat dan berbahaya.

Keseimbangan Asam Basa


Asam adalah donor proton (ion hidrogen). Basa adalah akseptor proton (ion hidrogen). Keadaan
keasaman dalam tubuh dijaga tetap stabil diantara nilai 7.357.45
Setiap pergeseran pH akan berakibat sangat berbahaya karena H+ berpengaruh terhadap stabilitas
membran sel, struktur protein dan kerja enzim. Mekanisme kontrol pH dipengaruhi oleh tiga
buffer mayor dalam tubuh yaitu:
1. Protein buffer system. Buffer ini berkontribusi terhadap keseimbangan pH
intraseluler maupun ekstraseluler.
Jika kondisi asam atau saat pH turun maka ion karboksilat dan grup amino dapat
bertindak sebagai basa lemah dan menerima hidrogen membentuk gugus karboksil (COOH) dan ion amino(-NH3+). Efek ini secara terbatas kepada asam amino bebas dan
asam amino terakhir merupakan rantai polipeptida, karena carboksil dan gugus amino
dalam ikatan peptida tidak dapat berfungsi sebagai buffer.
Buffer dalam darah merah mempunyai perkecualian yaitu dengan menggunakan buffer
hemoglobin. Sistem hemoglobin mencegah perubahan drastis pH akibat penurunan atau
kenaikan pCO2.
2. Sistem Buffer asam karbonat dan bikarbonat.
Peran utama dari sistem ini adalah untuk mencegah perubahan pH akibat dari asam
organic dan asam tetap dalam ECF. Tetapi buffer ini mempunyai tiga keterbatasan
1. Sistem ini tidak dapat melindungi perubahan pH ECF akibat kenaikan atau penurunan
kadar CO2. Penambahan CO2 akan membuat reaksi bergeser ke kanan yang akan
nantinya akan membuat H2CO2 berdisosiasi menjadi H+ dan HCO3- sehingga pH akan
menjadi turun.
2. Sistem ini hanya dapat berfungsi jika sistem respirasi dan pusat kontrol sistem
respirasi berjalan normal. Hal tersebut dikarenakan sistem respirasi dibutuhkan untuk
membuang CO2 yang dihasilkan.
3. Kemampuan sistem buffer asam terbatas pada ketersidiaan ion bikarbonat. Setiap ion
hidrogen yang dilepas dari darah membutuh ion bikarbonat. Ketika semua ion
bikarbonat habis maka sistem buffer ini tidakakan berjalan (walaupun hal ini sangat
jarang).
3. Sistem buffer phospat
Sistem ini hanya sebagai sistem pembantu pada ECF tetapi mempunyai peranan yang
penting dalam ICF dan dalam menyetabilkan pH urin.

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA

Asidosis

Alkalosis

Perubahan primer HCO3-Metabolik

Perubahan primer pCO2 darah Respiratorik

Berikut ini adalah gambaran skematik mengenai ph normal, asidosis dan alkalosis:

Respon Ginjal Terhadap Asidosis dan Alkalosis


Acidosis terjadi saat buffer plasma normal tertekan oleh kelebihan ion hidrogen. Saat pH
turun akibat produksi asam organik dan volatile maka respon ginjal terbatas pada
1.
2.
3.
4.

Sekresi H+
Aktifitas buffer pada cairan tubular
Pelepasan CO2
Dan rearbsorpsi NaHCO3
Ketika terjadi alkalosis maka

1. Jumlah sekresi H+ turun


2. Sel tubulu tidak menggunakan ion bikarbonat dalam cairan tubuler
3. Transport HCO3- ke dalam cairan tubulus saat pelepasan HCl kedalam cairan peritubular.

Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit


Hiperhidrasi
Hiperhidrasi merupakan kelebihan volume air yang mengakibatkan pembesaran pada
salah satu kompartemen tubuh. Hal-hal yang bisa mengakibatkan hiperhidrasi antara lain:
a. Kerusakan fungsi ginjal yang mengakibatkan GFR menjadi turun sehingga ekskresi air
dan NaCl berkurang.
b. Pemberiaan infus NaCl isotonik yang tidak terkendali.
c. Pemberiaan infus larutan glukosa isotonik.
d. Edema

Dehidrasi

Gangguan kesimbangan kalium


Kadar kalium yang abnormal terjadi akibat gangguan kalium atau distribusinya diantara ruang
intrasel dan ekstrasel. Efek perubahan konsentrasi kalium di plasma sebagian besar diperantarai
oleh perubahan potensial membran. Hipokalemia menyebabkan hiperpolarisasi, sementara
hiperkalemia menyebabkan depolarisasi potensial keseimbangan kalsium. Dengan cara seperti
ini bila terjadi hipokalemia dapat menyebabkan berkurangnya eksitabilitas sel saraf, otot rangka,
dan otot polos. Selain itu penurunan kalium akan menurunkan konduktansi kanal K+ sehingga
mengurangi efek hiperpolarisasi K+ terhadap potensial membran. Keadaan ini meningkatkan

otomatisasi heterotopik pada jantung yang dapat mencetuskan fibrilisasi atrium. Akibat yang lain
dari kekurangan kalium adalah alkalosis yang disebabkan retensi H+ didalam sel dan sekresinya
di tubulus ginjal.
Sebaliknya yang terjadi pada hiperkalemia berbeda pada hipokalemia. Dimana pada
hiperkalemia dapat menyebabkan meningkatnya eksitabilitas sel saraf, otot rangka, dan otot
polos. Selain itu hiperkalemia akan meningkatkan meningkatkan konduktansi kanal K+ sehingga
terjadi pemendekkan potensial aksi dan sejalan dengan itu terjadi pemendekkan segmen ST pada
gambaran EKG.

Gangguan keseimbangan magnesium


Setengah magnesium yang ada dalam tubuh terikat pada tulang, dan hampir setengahnya terdapat
dalam sel. Konsentrasi magnesium didalam cairan ekstrasel relatif rendah. Magnesium penting
untuk aktivitas sejumlah enzim dan pada beberapa fungsi magnesium berlawanan dengan
kalsium.

Gangguan keseimbangan kalsium


Sebagai transmitter intrasel kalsium memperantarai perangkaian elektromekanis. Kalsium
merangsang pelepasan neurotransmiter dan hormon, aktivitas sekretorik kelenjar eksokrin, dan

sejumlah enzim. Selain itu kasium juga mengaktivasi kanal kalium yang ada di jantung.
Sedangkan fugsi kalisu ekstrasel antara lain menstabilakn kanal natrium, mengurangi
permeabilitas membrana basalis dan tigh juntion serta memainkan peranan penting dalam
pembekuan darah.

Gangguan keseimbangan Fosfat


Fosfat merupakan unsur pokok bagi sejumlah senyawa, seperti nukleotida (ATP, cAMP, cGMP,
dll.), asam nuleat, kreatinin fosfat, substrat antara pada metabolisme karbohidrat, dan fosfolipid.
Fosfat dapa mengaktivasi atau menginaktivasi sebagian enzim dan merupakan sistempenyangga
yang penting dalam sel dan urin. Fosfat juga memainkan peranan penting dalam mineralisai
tulang.

Terapi
Non Farmakologi :

Prinsip Terapi Edema:


5. Penanganan terhadap penyakit yang mendasari
6. Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun
intravena.
7. Meningkatkan pengeluaran natrium dan air
a. Diuretik : hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif
b. Tirah baring : dengan mengangkat kaki di atas level atrium kiri.
8. Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang
berlebihan menyebabkan kekurangan volume plasma, hipotensi,
perfusi yang adequat, sehingga pemberian diuretik diberikan secara
hati-hati.

TRANSPLANTASI GINJAL
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap
akhir hampir di seluruh dunia. Transplantasi merupakan cara penanganan gagal ginjal thap akhir
yang paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal.
Ada beberapa factor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu factor
yang berkaitan dengan donor dan resipien, factor imunologi, factor penggunaan pra dan perioperatif, serta factor pasca operatif.
1. Factor yang berkaitan dengan donor
Transplantasi ginjal tidak bisa terlaksana tanpa ginjal donor. Transplantasi dapat
memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Transpalntasi
donor jenazah juga member keuntungan lain yaitu tidak adanya resiko pada donor dan
ginjal donor dapat diberikan kapada resipien yang paling sesuai.
a. Donor hidup
Yang dimaksud donor hidup adalah donor yang masih hidup.
Evaluasi
Penjaringan donor
Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah
Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringancalon donor
Konfirmasi kesamaan golongna darah ABO calon donor dengan calon
resipien
Pemeriksaan tissue typing dan cross match
Pilih donor yang paling sesuai, bersama calon resipien dan keluarga.
Edukasi calon donor
Evaluasi Donor
Criteria eksklusi calon donor hidup:
Umur kurang dari 18 tahun atau lebih dari 65 tahun
Hipertensi (> 140/90 atau perlu obat darah tinggi)

Diabetes
Proteinuria
Riwayat batu ginjal
LFG abnormal (TKK < 80/ml/menit)\
Hematuria mikroskopik
Kelainan urologic ginjal donor
Obesitas
Riwayat tromboemboli
Dll
Diharapkan donor dapat hidup normal setelah malakukan donasi. Dimaksud hidup
normal adalah dapat bekerja seperti sebelum donasi, tidak memerlukan diet
khusus, atau obat, tidak ada perubahan dalan kehidupan seksjika dalam usia subur
ia tetap subur seperti semula.
b. Donor jenazah
Transplantasi donor jenazah bertujuan memanfaatkan organ tubuh pasien yang
akan meninggal.ginjal donor dalam waktu yang relative singkat harus segera
dipindahkan ke resipien. Pada umumnya donor jenazah adalah korban trauma
kepala atau penyakit pembuluh darah otak. Sedang kontraindikasinya adalah;
- Umur > 70 tahun
- Penyakit ginjal kronik
- Keganasan denga metastasi
- Hipertensi berat
- Sepsis bakteri
- Pecandu obat intra vena
- HBs Ag, anti HCV, HIV positif
- Gagal ginjal akut oligurik
- Waktu iskemik panas yang panjang.
Ketahanan hidup ginjal transplant dari donor jenazah yang meninggal karena
penyakit serebrovaskular iskemik tidak sebaik ketahanan hidup ginjal trasplan
dari donor jenazah yang meninggal karena perdarahan subarachnoid.
2. Factor yang berkaitan dengan resipien
Dipastikan dulu bahwa pasien resipien benar-banar mengalami gagal ginjal tahap
akhir.
a. Seleksi calon resipien
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya masalah medic, social,
psikologis yang dapat menghalangi keberhasilan transplantasi ginjal.
Evaluasi calon resipien:
-

Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap


Pemeriksaan laboratorium
Golongan darah, darah lengkap, kimia darah, HBs Ag, anti HCV, CMV
Urinalisis, kultur urin, hemostasis, tissue typing, hemostasis, antibody
sitotoksik

- Elektrokardiagrafi, ekokardigrafi
- Foto thorax, arteriografi
- Pemerksaan THT, gigi-mulut
- Gastroskopi
b. Kontraindikasi trasplantasi ginjal
- Masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat
- Riwayat ketidakpatuhan berulang
- Umur sangat lanjut (>70 tahun)
- Keganasan atau dengan metastasis
- Penyakit diluar ginjal (jantung, vascular, hati, paru-paru)
- Infeksi kronik (tb aktif)
c. Pembedahan yang mungkin diperlukan sebelum transplantasi ginjal
- Saluran kemih : prostatektomi, batu saluran kemih, nefroktomi, eksisi leher
3. Factor

kandung kemih
Jantung : operasi pintas koroner
Gastrointestinal : penyakit divertikel, batu kandung empedu.
Gigi mulut : ekstraksi gigi
imunologipada trasplantasi ginjal, system histokompatibilitas yang berperan

adalah kesesuaian system golongan darah ABO dan HLA (Human Leucocyte antigen)
4. Factor pre-opertaif dan perioperatif
a. Waktu iskemik
Keberhasilan juga ditentukan oleh panjang waktu suatu ginjal mengalami iskemia
akibat terhentinya sirkulasi. Ada 4 jenis waktu iskemik yang harus diperhatikan
pada transplantasi ginjal:
- Waktu iskemik total, yakni waktu selama ginjal tidak mendapat sirkulasi
darah, dimulai ssat nefroktomi sampai dengan selesainya anastomosis
-

pembuluh darah pada waktu operasi transplantasi ginjal.


Waktu iskemik panas pertama, yakni waktu yang dimulai dari saat sirkulasi ke

ginjal sampai saat dimulainya perfusi ginjal dengan cairan pembilas


Waktu iskemik dingin, yakni waktu di mulai dari saat ginjal donor diperfusi

cairan pembilas sampai perfusi dihentikan


Waktu iskemik panas kedua, yakni waktu di mulai dari saat perfusi cairan
pembilas dihentikan sampai dengan anstomosis dibuka.

Waktu iskemik panas sangat berkolerasi dengan panjang hidup ginjal transplant.
Jikawaktu iskemik panas pertama lebih dari 60 menit ketahanan hidup ginjal
transplant sangat menurun. Pada donor jenazah waktu iskemik dingin yang lebih
dari 24 jam akan memperlambat saat ginjal transplant mulai berfungsi pasca
transplantasi, dan akan menurunkan ketahanan hidup ginjal transplant.
b. Cairan pembilas

Panjang waktu penyimpanan ginjal bergantung pada proses pendinginana yang


dilakukan untuk mengrangi proses metabolic dan kebutuhan oksigen, serta jenis
cairan yang digunakan untuk memepertahankan lingkungan intraseluler dalan
keadaan tanpa adanya pompa natrium/kalium. Perfusi dilakukan dengan cairan
pembilas yang bersuhu 2 4o C melalui arteri renalis karena proses pendinginan
yang kurang atau berlebihan dapat menyebabkan kerusakan yang irreversible.
c. Penatalaksanaan perioperatif
Karena obat imunosupresif sudah diberikan sebelum atau pada saat operasi,
tindakan operasi harus sangat cermat.hematoma dan kebocoran ureter akan
meningkatkan insidns infeksi luka pasca operatif. Antibiotika berspektrum luas
dosis tunggal yang diberikan pada saat induksi anestesi dapat mengurangi
insidens infeksi luka pasca operatif. Jika pada periode pre-operatif dijumpai
keadaan dehidrasi, selama operasi dapat diberikan cairan yang agak berlebih.
Volume cairan intravascular perlu dipertahankan dengan cara memonitor tekanan
vena sentralis. Ini akan membantu ginjal transplant berfungsi optimal. Albumin
juga diberikan untuk menarik cairan interstisial yang berlebihan ke rongga
intravascular. Manitol juga diberikan waktu revaskularisasi karena dapat
mengurangi insidens nekrosis tubular akut.
Pada umumnya ginjal trasplan akan memproduksi urin setelah revaskularisasi.
Urin yang dihasilkan sampai dengan 1000 ml/jam. Pada beberapa jam pertama
pascatransplantasi diberikan larutan kristaloid per infuse untuk menggantikan
jumlah urin yang keluar dengan tetesan paling sedikit 100 ml/jam. Setelah itu,
jumlah urin yang keluar diganti dengan infuse larutan dekstrosa dalam garam (1/2
norma) dengan menghitung keseimbangan cairan dari jam ke jam dan
memeperhatikan nilai tekanan vena sentralis. Dieresis biasanya akan kembali
normal dalam watu 24-72 jam. Resipien yang mengalami oliguria harus menjalani
dialissis sampai ginjal transplant berfungsi.
5. Factor pasca operatif
Oleh karena sel limfosit T berperan sangat penting dalam proses rejeksi berbagai obat
imunosupresif yang dipergunakan pada transplantasi ginjal ditujukan pada sel ini
beberapa obat imunosupresif juga mempunyai efek tamabahan terhadap sel imun
yang lain seperti sel limfosit B dan sel fagosit mononuklir. Obat imunosupresif yang
dipakai pada transplantasi ginjal adalah:
a. Kortikosteroid
b. Penghambat sintesis purin
c. Penghambat kalsineurin
d. Penghambat tager rapamisin
e. Dan antibody terhadap reseptor pada permukaan sel T.

HEMODIALISIS

Pada Gagal ginjal terminal hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. darah
pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel
buatan (artificial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisat
yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konentrasi tinggi ke konsentrasi rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialysis, air
juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara
menaikkan tekanan hidrostatik negative pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini
disebut ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah.
Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat disbanding molekul
dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila
1.
2.
3.

Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar.


Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah
Bila tekanan osmotic di kompartemen cairan dialisat lebih tinggi

Cairan dialysis ini mengalit berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiansi.
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama dikedua kompartemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu;
1.
2.
3.
4.

Selulosa
Selulosa yang diperkaya
Selulosintetik
Membran sintetik

Luas permukaan juga penting untuk proses pembersihan, luas permukaan membran yang tersedia
adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien
proses dialysis yang terjadi.
Selama proses dialysis pasien akan terpajan dengan ciran dialisat sebanyak 120-150 liter
setiap dialysis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat

dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialysis. Karena itu kandungan solute
cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh.
Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat
membahayakan tubuh. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan
asetat dan bikarbonat.
Dengan tehnik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeable yang
memiliki pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti
urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialysis dapat
berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari
200 koloni/mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan
dialisat berkisar 135-145 meq/L. bila kadar natrium lebih rendah maka resiko untuk terjadinya
gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium
lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium
darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk
minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selam hemodialisisyang sulit
ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis.
Indikasi dialysis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5
mL/menit. Dialysis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah:
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum \> 6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/Dl
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
Fluid overload
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.
Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, kejang, aritmia, reaksi dialiser,
emboli udara, perdarahan intracranial,dll.
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi
yang baik. Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan
nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium sangat
diperlukan. Karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-bauhan dan umbi-umbian tidak

dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang
ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna
mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus
yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama
periode di antara dialysis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.
Penggunaan hemodialisis prognosis kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
SINDROM NEFROTIK
Definisi
Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat
berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:
proteinuria (protein di dalam air kemih)
menurunnya kadar albumin dalam darah
penimbunan garam dan air yang berlebihan
meningkatnya kadar lemak dalam darah.
Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia
18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Etiologi
Sindroma nefrotik bisa terjadi akibat berbagai glomerulopati atau penyakit menahun yang
luas. Sejumlah obat-obatan yang merupakan racun bagi ginjal juga bisa menyebabkan sindroma
nefrotik, demikian juga halnya dengan pemakaian heroin intravena. Sindroma nefrotik
berkembang menjadi gagal ginjal total dalam waktu 3-4 bulan.
Penyebab sindroma nefrotik:
1. Penyakit
Glomerulopati, amiloidosis, kanker, diabetes, infeksi HIV, mieloma multipel, lupus
eritematosus sistemik.
2. Obat-obatan
Obat pereda nyeri yang menyerupai aspirin, senyawa emas, heroin intravena, penisilamin.
3. Alergi
Gigitan serangga, racun pohon ivy, racun pohon ek, cahaya matahari.

Patofisiologi

Manifestasi Klinis
-

Edema, dimana pada wajah (terutama preorbital) di pagi hari saat baru bangun tidur dan
pada tungkai di siang sampai malam hari (pengaruh gravitasi saat beraktivitas terutama
pada posisi berdiri tekanan lebih besar pada daerah tungkai), edema yang terjadi

adalah pitting edema dan bilateral (tidak di satu lokasi saja).


Edema juga dapat terjadi pada genitalia, thoraks (edema pulmo sesak napas), dan

abdomen (ascites).
Terkadang muncul sakit perut yang hebat, mual dan muntah, serta dinding perut terasa

tegang disebabkan oleh ascites.


Pada yang hipoalbuminemia berat (albumin serum < 2 gram%) terjadi edema anasarka
sesak napas, kaki terasa berat dan dingin, dan kadang terjadi diare (karena edema mukosa

saluran cerna).
Terjadi muscle wasting yang tampak nyata setelah edema menghilang. Jadi penderita
akan terlihat gemuk karena edemanya padahal untuk ototnya sendiri (terutama otot
skelet) mengalami atrofi.

Tanda-tanda malnutrisi perubahan rambut dan kulit, pembesaran kelenjar parotis, dan

garis Muercke pada kuku (garis putih).


Terjadi hipertensi karena pengaktivan sistem RAA oleh GFR yang menurun.
Urine berbuih karena kandungan protein dalam urine.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium terhadap air kemih
- Menunjukkan kadar protein yang tinggi.
- Konsentrasi albumin dalam darah adalah rendah karena protein vital ini dibuang melalui
air kemih dan pembentukannya terganggu.
- Kadar natrium dalam air kemih adalah rendah dan kadar kalium dalam air kemih adalah
tinggi.
- Konsentrasi lemak dalam darah adalah tinggi, kadang sampai 10 kali konsentrasi normal.
Kadar lemak dalam air kemih juga tinggi.
Biopsi ginjal terutama efektif dalam mengelompokkan kerusakan jaringan ginjal yang khas.
Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang
Inspeksi

Pasien terlihat gemuk karena edema, edema yang terjadi adalah edema menyeluruh pada

kedua sisi tubuh.


Wajah terlihat sembab (puffy face)
Perut terlihat besar karena ascites dan jika berbaring akan terlihat lebih mendatar dan
melebar ke sisi lateral (karena terdapat cairan dalam rongga peritoneal sebagai

penyebab perut membesar).


Pasien terlihat kesulitan bernafas dan mengalami sesak (nafas cepat).
Terlihat agak pucat karena anemi ringan
Terlihat perubahan pada rambut dan kulit khas pada malnutrisi.
Kelenjar parotis terlihat agak membesar.
Terlihat garis Muercke pada kuku (garis putih).

Palpasi

Khas: Pitting edema muncul cekungan akibat tekanan yang bertahan lama.
Jika diraba, kelenjar parotis membesar

Perkusi
Pada perkusi toraks redup karena alveolus dibanjiri cairan (edema pulmo).
Auskultasi
Bising usus dapat meningkat (diare motilitas meningkat)
Pada thoraks terdengar ronchi basah karena edema pulmo

Dilakukan juga pemeriksaan fisik khusus untuk ascites:


Tes undulasi minta pasian menekan pertengahan abdomen dengan sisi ulnar, lalu

pemeriksa menepuk dengan perlahan salah satu sisi dan merasakan transmisi gelombang ke

sisi yang lain.


Puddle test meminta pasien tidur miring ke sisi berlawanan dengan pemeriksa dan

perkusi lagi jika suara menjadi timpani maka hasil test +


Tes pekak beralih pasien tidur telentang lalu lakukan perkusi abdomen dari medial
kearah lateral sampai terjadi perubahan timpani ke suara redup atau pekak.

Pemeriksaan rutin
-

Pemeriksaan urin proteinuria massif (>3,5 gr/24 jam) dan lipiduria


Pemeriksaan albumin serum hipoalbumin (<3 gr/dl)
Pemeriksaan kolesterol dan trigliserid hiperlipidemia

Pemeriksaan penunjang
Biopsy ginjal untuk mengetahui Glomerulonefritisnya secara histopatologi, sekaligus
menyingkirkan kemungkinan penyebab Glomerulonefritis sekunder.
Terapi
Pengobatan Sindrom Nefrotik (SN) terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengoban non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol
edema, dan mengobati komplikasi. Diuretic disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat
membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat
memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan.
Pembatasan asupan protein 0,8-1 g/kg berat badan /hari dapat mengurangi proteinuria. Obat
penghambat enzim konversi angiotensin (ACE inhibitor) dan anatagonis reseptor angitensin II
dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
menurunkan proteinuria. Pada SN resiko tromboemboli meningkat dan perlu mendapat

penanganan yaitu bisa diberikan obat antikoagulan jangka panjang. Walaupun pemberian obat
antikoagulan ini masih kontraversial tetapi pada study terbukti memberikan keuntungan dalam
mengontrol tromboemboli. Dislipidemia pada SN bisa diberikan obat penurun lemak golongan
statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL
Prognosis
-

Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan jenis kerusakan
ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang
seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau
kanker) atau obat-obatan.

Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid.

Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1
tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan
ginjal.

Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis
yang ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap
pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat
kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.

Prognosis pada sindroma nefrotik akibat infeksi, alergi maupun pemakaian heroin
intravena bervariasi, tergantung kepada seberapa cepat dan seberapa efektif penyebabnya
diatasi.

GLOMERULONEFRITIS AKUT

Definisi

Penyakit peradangan bilateral pada glomerulus ginjal yang terjadi akibat suatu
mekanisme imunologis. Biasanya kasus ini terjadi setelah infeksi streptokokus pada
tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu

Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya :
1. Kongenital atau herediter
Sindrom Alport
Sindrom nefrotik kongenital (tipe Findlandia)
Hematuria familial
Sindrom nail patella
2. Didapat
Primer / idiopatik
Penyakit kelainan minimal
Glumerulonefritis proliferatif mesangial
Glomerulosklerosis fokal segmental
Gmlomerulonefritis membranosa
Nefropati IgA
Glomerulonefritis progresif cepat
Glomerulonefritis prliferatif difus
Glomerulonefritis kronik yang lain
Sekunder
a. Akibat infeksi
Glomerulonefritis pascastreptokokus, hepatitis B, endokarditis bakterial
subaku
Nefritis pirau, glomerulonefritis pascapneumokok, sifilis kongenital, malaria
AIDS, filariasis, lepra, schistosomiasis
b. Berhubungan dengan penyakit multisistem
Purpura Henoch Scholen, SLE, sindrom hemolitik ureum
DM, sindrom Goodpasture, amiloidosis
Penyakit kolagen vaskuler
Obat : penisilin, NSAID, kaptopril, garam emas, Street heroin, litium,

mercury
Neoplasia : leukimia, limfoma, karsinoma
Lain-lain : rejeksi transplantasi ginjal kronik, nefropati refluks, penyakit sel
sabit

Patofisiologi

Dari etiologi diatas yang paling banyak menyebabkan terjadinya glomerulonefritis


akut (GGA) adalah glomerulonefritis pascastreptokokus (APSGN). Organisme
penyebab lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1.
Terjadinya glomerulonefritis ini disebabkan karena adanya antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma strerptokokal-spesifik. Dari sana akan terbentuk
kompleks Ag-Ab dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks
tersebut terperangkap dalam membran basal. Selanjutnya kompleks Ag-Ab
mengaktivasi komplemen yang kemudian berikatan dengan kompleks Ag-Ab.
Komplemen tersebut akan mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
PMN. Fagosit dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran
basalis glomerulus (GBM)
Sebagai responnya, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler
glomerulus menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar ke urine yang dibentuk
ginjal proteinuria dan hematuria

Reaksi antigenantibodi
Aktivitas vasopresor
meningkat

Proliterasi dan
kerusakan glomerutus

GFR
menurun

Vasospasme

Aldosteron
meningkat

ECF
meningkat
Hipertensi

Kerusakan umum kapiler

Retensi
na
Retensi
H2O
Edema
Albuminuria Hematuria
(silinder)

Gambaran histopatologis
Klasifikasi GN primer secara histopatologis sangat bervariasi tetapi secara umum
dapat dibagi menjadi proliferatif dan non proliferatif. Yang termasuk non proliferatif
adalah :
1. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
GN ini dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula nefrosis lupoid. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran
glomerulus yang normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan
hilangnya foot processes sel epitel viseral glomerulus
2. Glomerulosklerosis fokal dan segmental (GSFS)
Pada pemeriksaan mikroskopik cahaya menunjukkan sklerosis glomerolus yang
mengenai bagian tertentu. Obliterasi kapiler glomerolus terjadi pada segmen
glomerulus dan dinding kapiler mengalami kolaps. Pada kelainan ini disebut
hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerulus yang lain dapat
normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.
3. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)
Atau nefropati membranosa sering penyebab
nefrotik. Pada pemeriksaan
mikroskopik cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada
pemeriksaan mikroskopi IF ditemukan deposit IgG dan komplemen C3 berbentuk
granuler pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak
konfigurasi spike-like pada MBG.
4. Glomerulonefritis proliferatif
Tergantung lokasi keterlibatannya dan gambaran histopatologi dibedakan menjadi
GN membranoproliferatis (GNMP), GN mesangioproliferatif (GNMsP), dan GN
kresentik. Nefropati IgA dab nefropati IgM juga dikelompokkan dalam GB
proliferatif. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan
proliferasi sel mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik
ekstraseluler. Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi
penebalan MBG serta double contour. Pada mikroskopi IF ditemukan endaspan
IgG,IgM, dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular

Penampang sebuah glomerulus pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya

Manifestasi klinis
APSGN paling sering menyerang anak usia 3 7 tahun, meski orang dewasa dan
juga dewasa muda dapat juga terserang. Perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah sekitar 2 : 1.
Gambaran APSGN yang paling sering ditemukan adalah : hematuria, proteinuria,
oligouria, edema, dan hipertensi.
Gejala umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit adalah : rasa lelah,
anoreksia, kadang demam, sakit kepala, mual, muntah. Peningkatan titer
antistreptolisin O (ASO) dapat menyatakan adanya antibodi terhadap organisme
streptokokus, kadar komplemen serum .
GFR (meskipun aliran plasma ginjal biasanya normal), akibatnya ekskresi air, Na,
dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga dapat menyebabkan edema dan azotemia
Di pagi hari sering terjadi edema wajah terutama edema periorbita, meskipun
edemanya lebih nyata di bagian anggota tubuh ketika menjelang siang

Pemeriksaan
Fisik
Diagnosis APSGN perlu dicurigai pada pasien datang dengan gejala klinis berupa
hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab, dan gagal ginjal akut setelah
infeksi streptokokus
Penunjang
Pada pemeriksaan urinalisis urine tampak kemerah-merahan atau seperti kopi.
Pemeriksaan mikroskopik sedimen urine memperlihatkan adanya silinduria
(banyak silinder di dalam urine), eritrosit, dan silinder eritrosit
Hilangnya protein biasanya tidak cukup banyak untuk

menyebabkan

hipoalbuminemia, sedangkan sindrom nefrotik jarang terjadi pada APSGN.


Berat jenis urine biasanya meski terjadi azotemia.

Terapi
Pengobatan terpenting adalah pengobatan suportif
Hipertensi dapat diatasi secara efektif dengan vasodilator perifer (hidralazine,
nifedipen).
Diuretik diperlukan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Dimana
sebagian besar pasien memrlukan terapi antihipertensi jangka pendek (beberapa
hari sampai beberapa minggu)
Cairan, natrium dan kalium harus diabatasi sampai keadaan hipertensi, overload
cairan dn hiperkalemia hilang
Pada biakan tenggorok dan kulit yang mengandung Streptokokus hemolitikus
grup A harus diberikan antimikroba yang sesuai, penisilin atau eritromisin untuk
mencegah penyebaran penyakit

Prognosis
Diperkirakan lebih dari 90% yang menderita penyakit ini dapat sembuh sempurna
Pada orang dewasa prognosisnya menjadi kurang baik (30% - 50%)
2% -5% dari semua kasus akut mengalami kematian
Sedangkan sisa pasien lainnya dapat berkembang menjadi glomerulonefritis
progresif cepat (RPGN) atau glomerulonefritis kronik yang yang berkembangnya
lebih lambat
Pada glomerulonefritis progresif cepat, kematian akibat azotemia biasanya terjadi
dalam jangka waktu beberapa bulan saja, sedangkan pada glomerulonefritis kronis
dapat berkisar antara 2 4 tahun

Komplikasi
Ensefalopati hipertensif Glomerulonefritis kronik
Gagal ginjal (Oliguria sampai anuria)
Anemia
Gangguan sirkulasi dispneu, ortopneu, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanan darah
GLOMERULONEFRITIS SUBAKUT

Definisi

Glomerulonefritis sub akut dikenal juga dengan nama Glomerulonefritis


Progresif

cepat.

Suatu

penyakit

yang

jarang

terjadi,

dimana

sebagian

besar glomeruli mengalami kerusakan parsial sehingga terjadi gagal ginjal yang
berat disertai proteinuria (protein dalam air kemih), hematuria (darah dalam air
kemih) dan gumpalan sel darah merah di dalam air kemih.

Etiologi
Sekitar sepertiga kasus disebabkan oleh serangan antibodi terhadap glomeruli,
sepertiga lainnya penyebabnya tidak diketahui dan sisanya disebabkan oleh
endapan antibodi danantigen yang terbentuk di bagian tubuh lainnya dan terbawa ke
dalam ginjal. Penyebab pembentukan antibodi terhadap glomeruli tidak diketahui.
Pembentukan antibodi ini mungkin berhubungan dengan infeksi virus atau
penyakit autoimun(misalnya lupus eritematosus sistemik). Pada beberapa penderita
yang memiliki antibodi terhadap glomeruli, antibodinya juga bereaksi terhadap
kantung udara kecil di paru-paru dan menyebabkan sindroma Goodpasture.
Hidrokarbon (contohnya etilen glikol, karbon tetraklorid, kloroform dan toluen)
bisa menyebabkan kerusakan pada glomeruli, tetapi tidak menyebabkan reaksi
kekebalan atau pembentukan antibodi.

Manifestasi Klinis
Kelemahan, kelelahan dan demam merupakan gejala awal yang tampak dengan
jelas. Bisa juga terjadi mual, hilangnya nafsu makan, muntah, nyeri pada
persendian dan nyeri perut. Sekitar 50% penderita mengalami gejala yang
menyerupai influenza pada beberapa bulan sebelum gagal ginjal mulai berkembang.
Edema (pembengkakan) terjadi karena penimbunan cairan dan berkurangnya
pembentukan air kemih. Jarang terjadi tekanan darah tinggi dan jika
timbul hipertensi jarang bersifat berat. Jika terjadi sindroma Goodpasture, akan
terjadi batuk darah dan gangguan pernafasan.

Diagnosis
Air kemih seringkali tampak kemerahan (karena mengandung darah) dan
pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan gumpalan sel-sel darah merah.
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia (kadang sifatnya berat) dan
peningkatan jumlah sel darah putih. Pemeriksaan darah untuk menilai fungsi

ginjal menunjukkan adanya penimbunan limbah metabolik yang bersifat racun.


Pada USG atau rontgen, pada awalnya ginjal tampak membesar tetapi kemudian
akan

mengkisut.

Untuk

memperkuat

diagnosis

seringkali

dilakukan biopsi (pengambilan contoh jaringan ginjal untuk diperiksa dengan


mikroskop). Juga dilakukan pemeriksaan darah untuk antibodi dan infeksi.

Terapi dan Penatalaksanaan


Jika hasil biopsi menunjukkan bahwa penyakitnya berat, maka segera dimulai
pemberian

obat

Kortikosteroid

dosis

tinggi

biasanya

diberikan

secara intravena selama 1 minggu dan selanjutnya diberikan per-oral(ditelan).Bisa


juga diberikan siklofosfamid atau azathioprine (obat untuk menekan aktivitas
sistem kekebalan).
Selain itu, bisa dilakukan tindakan plasmaferesis, yaitu suatu prosedur untuk
membuang antibodi dari darah penderita. Jika penyakit berkembang lebih lanjut,
maka satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dialisa. Pilihan lainnya adalah
pencangkokan ginjal, meskipun penyakit ini juga bisa menyerang ginjal yang
dicangkokkan.

Prognosis
Prognosis tergantung kepada beratnya gejala. Jika tidak menjalani dialisa,
penderita yang mengalami gagal ginjal akan meninggal dalam waktu beberapa
minggu. Prognosis juga tergantung kepada penyebab dan usia penderita. Jika
penyebabnya adalah penyakit autoimun (tubuh membentuk antibodi untuk
menyerang sel-selnya sendiri), maka biasanya pengobatan akan mampu
memperbaiki keadaan penderita. Jika penyebabnya tidak diketahui atau usia
penderita telah lanjut maka prognosisnya lebih buruk. Sebagian besar penderita
yang tidak menjalani pengobatan akan menderita gagal ginjal dalam waktu 2
tahun

GLOMERULONEFRITIS KRONIS

Definisi
Sindroma Nefrotik Kronik (Glomerulonefritis kronis) adalah suatu kelainan yang
terjadi pada beberapa penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan
kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-tahun.

Etiologi
Etiologi tidak diketahui. Pada 50% penderita ditemukan glomerulopati sebagai
penyebabnya, meskipun tidak pernah timbul gejala-gejalanya.

Gejala Klinis
Selama bertahun-tahun, sindroma ini tidak menimbulkan gejala. Sindroma ini
berkembang secara bertahap, sehingga tidak dapat ditentukan kapan tepatnya
penyakit ini mulai timbul. Seseorang yang merasa sehat, memiliki fungsi ginjal
yang normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda sindroma nefrotik kronik,
diketahui menderita penyakit ini ketika menjalani pemeriksaan kesehatan rutin,
yang menunjukkan adanya protein dan kemungkinan sel darah di dalam air
kemihnya. Penderita lainnya bisa mengalami gagal ginjal yang menyebabkan,
Mual,

muntah,

sesak

napas,

gatal-gatal,

kelelahan.

Bisa terjadi penimbunan cairan (edema) dan sering ditemukan tekanan darah
tinggi.

Pemeriksaan
1. Urinalisis menunjukkan adanya protein, darah atau beberapa kelainan lainnya.
2.

Rontgen

dada

bisa

menunjukkan

adanya

cairan

yang

berlebihan.

3. USG ginjal, CT scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.


4. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau
pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli.

Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada penyebab penyakit serta jenis dan beratnya gejala.
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala-gejalanya.
Untuk mengendalikan tekanan darah tinggi diberikan obat anti-hipertensi dan
pembatasan

asupan

garam,

cairan

serta

protein.

Untuk mengatasi gagal ginjal dan memperpanjang harapan hidup penderita,


dilakukan dialisa atau pencangkokan ginjal.
GLOMERULONEFRITIS LESI PRIMER

LESI PRIMER, dibagi menjadi:


1. Perubahan minimal
Disebut juga nefrosis lipoid atau penyakit podosit; glomeruli tampak normal atau
hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan pada mikroskop elektron terlihat adanya
penyatuan podosit; hanya bentuk GN mayor yang tidak menunjukkan imunopatologi;
biasanya berwujud sebagai sindrom nefrotik pada anak usia 1-5 tahun; berespon baik dengan
terapi kortikosteroid; prognosis sangat baik.
2. Perubahan proliferatif
Endapan imunoglobulin, komplemen, dan fibrin akan menyebabkan proliferasi sel-sel
endotel, mesangium dan epitel, kemudian mengakibatkan pembentukan sabit yang dapat
melingkari dan menyumbat glomerulus (tanda yang berbahaya). Sering ditemui pada RPGN
(glomerulonefritis progresif cepat) dan GN kronik yang sudah lanjut.
3. Perubahan membranosa
Endapan epimembranosa dari bahan imun di sepanjang membran basal glomerulus
(GBM) mengakibatkan GBM menebal, tetapi hanya sedikit atau hampir tidak ada peradangan
atau proliferasi sel meskipun lumen kapiler akhirnya akan mengalami obliterasi. Lesi ini
merupakan lesi yang sering dijumpai pada orang dewasa pasien sindrom nefrotik,
berespon buruk terhadap terapi kortikosteroid dan imunosupresif. Prognosis pada
umumnya jelek dan perlahan-lahan berkembang menjadi gagal ginjal. Perubahan
membranosa juga lazim terjadi pada penyakit-penyakit nefritis sistemik seperti diabetes
melitus dan lupus eritematosus sistemik (SLE).
4. Perubahan membranoproliferatif
Disebut juga GN mesangiokapiler, lobular, atau hipokomplementemik. Bahan
komplek imun diendapkan antara GBM dan endotel sehingga GBM menebal dan terjadi
proliferasi sel-sel mesangium, sehingga glomerulus tampak berllbus atau seperti kumparan
kawat jika dilihat dengan mikroskop cahaya. Ditandai dengan kadar komplemen serum yang

rendah, hematuria, dan sindrom nefrotik. Berespon buruk terhadap terapi dan umunya
perlahan-lahan berkembang menjadi gagal ginjal.
5. Glomerulonefritis fokal
Lesi proliferatif atau sklerosis yang terjadi secara acak di seluruh ginjal dan seringkali
hanya mengenai sebagian dari rumbai glomerulus. Terjadi pada sebagian perjalanan penyakit
SBE, SLE, poliarteritis nodosa, sondrom Goodpasture dan purpura, kadang terjadi GN fokal
idiopatik pada anak. Prognosis baik.

GLOMERULONEFRITIS LESI SEKUNDER


Manifestasi Klinis

Faringitis atau tansiktis.


Demam
Sakit kepala
Malaise
Nyeri panggul
Hipertensi
Anoreksia
Muntah
Edema akut
Oliguri
Proteinuri
Urin berwarna cokelat.

Patofisiologi
Kasus glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau
kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme penyebab
lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1,jarang oleh penyebab
lainnya. Namun sebenarnya bukan streptokukus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Di
duga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan
membran plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam darah
bersikulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap

dalam membran basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimerfonuklear(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis
glomerulus(GBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi , timbul poliferasi sel-sel endotel
yang di ikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran
kapiler glomerulus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urin yang
sedang di bentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya, kompleks
komplemen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel(atau sebagai
bungkusan epimembanosa)pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan
berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi,pada pemeriksaan mikroskop cahaya
glomerulus tampak membengkak dan hiperselular di sertai invasi PMN
GAGAL GINJAL AKUT
Definisi
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba Glomerular Filtration Rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai
dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali
dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan
hiperkalemia.
Klasifikasi
1. Gagal

Ginjal

Akut Prarenal
2. Gagal

Ginjal

Akut Renal
3. Gagal

Ginjal

Akut Postrenal

1. GAGAL GINJAL AKUT - PRERENAL


Disebut juga Azotemia Prarenal, berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal
(hipoperfusi). Penyebab keadaan hipoperfusi, yaitu:
1. Deplesi volume cairan ekstrasel (ECF) absolute
Perdarahan: operasi besar, trauma, pascapartum
Diuresis berlebihan
Kehilangan cairan dari gastrointestinal yang berat: muntah, diare
Kehilangan cairan dari ruang ketiga: luka bakar, peritonitis, pancreatitis
2. Penurunan volume sirkulasi arteri yang efektif

Penurunan curah jantung: infark miokardium, disritmia, gagal janutng kongestif,


tamponade jantung, emboli paru

Vasodilatasi perifer: sepsis, anafilaksis, obat antihipertensi, anestesi, nitrat

Hipoalbuminemia: sindrom nefrotik, gagal hati (sirosis)

3. Perubahan hemodinamik ginjal primer

Penghambat sintesis prostaglandin: aspirin dan obat NSAID

Vasodilatasi arteriol eferen: ACE inhibitor (kaptopril)

Obat vasokonstriktor : obat alfa-adrenergik, angiotensin II

Sindrom hepatorenal

4. Obstruksi vaskular ginjal bilateral

Stenosis arteri ginjal, emboli, thrombosis

Trombosis vena renalis bilateral

Azotemia prarenal merupakan satu-satunya penyebab tersering azotemia akut (>50%


kasus), yang dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut tipe ATN, apabila tidak terdiagnosis
dengan baik dan tepat. Beberapa keadaan prarenal yang paling sering dengan peningkatan resiko
gagal ginjal akut adalah pembedahan aorta abdominalis, operasi jantung-terbuka, syok
kardiogenik, luka bakar berat, dan syok septik. Sebagian besar keadaan ini berkaitan dengan
hipotensi sistemik dengan aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatis dan sistem RAA.

Angiotensin menyebabkan vasokonstriktor ginjal, kulit, dan jaringan vaskular


splanknikus, dan aldosteron menyebabkan retensi air dan garam. Respon ini didesain
untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ yang
penting. Pada waktu yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan untuk
mempertahankan GFR dan melindungi ginjal terhadap adanya iskemia. Angiotensin II
menyebabkan terjadinya konstriksi arteriol glomerulus sehingga meningkatkan tekanan
intraglomerulus dan GFR. Pada waktu yang sama merangsang produksi prostaglandin
ginjal vasodilator. Oleh karena itu, obat-obatan NSAID dan ACE inhibitor harus
digunakan secara hati-hati karena dapat menjadi pencetus kerusakan ginjal atau gagal
ginjal akut.

2. GAGAL GINJAL AKUT - RENAL


Batasan:
Terjadi di parenkim ginjal
Terjadi kerusakan pada struktur fungsional ginjal glomerulus (glomerulonefritis) dan
atau tubulus ginjal (Nekrosis Tubulus Akut)
Etiologi:

Iskemia renal yang lama


Paparan obat-obatan nefrotoxic, heavymetal, dan organic solvent
Toksin endogen* obstruksi intratubular

Ketiga etiologi di atas merupakan etiologi dari akut tubular nekrosis

Acute renal disease akut glomerulonefritis dan pielonefritis

Banyak penyebab gagal ginjal akut renal yang di sebabkan langsung atau di
eksaserbasi oleh berkurangnya aliran darah ginjal ke seluruh bagian atau sebagian ginjal.
Penyebab kerusakan iskemik ini di sebabkan keadaan prarenal yang tidak teratasi. Penyebab
lain adalah penyempitan atau stenosis arteri renalis sehingga mengurangi aliran darah ke
seluruh ginjal.
Penyakit lain yang lebih komplek seperti eklamsia, rejeksi alograf, sepsis, sindrom
hepatorenal juga merupakan penyakit iskemia ginjal.
Nekrosis Tubular Akut
Kebanyakan pasien dengan NTA tidak di biopsi, dan diagnosis di tegakkan atas dasar
gejala dan perjalanan klinis saja. Pada NTA ini ternyata di dapatkan kontribusi perubuhan sel
yang subletal seperti kehilangan lapisan brush border, membran plasma, polaritas membran,
dan terlepasnya sel dari membran basalis, sehingga menyebabkan perubahan fungsional.
Nekrosis Tubular Akut Akibat Toksin
Umumnya kerusakan terjadi akibat kerusakan tubulus, akan tetapi dapat juga di sertai
dengan gangguan hemodinamik sistemik maupun mekanisme autoregulasi ginjal.
Toksin Endogen: Mioglobulinuria, Hemoglobulinuria, Protein Mieloma
Mioglobulin adalah protein yang mengandung hemo (17kDa), di filtrasi glomerulus.
Pada rabdomiolisis tubulus proksimal tak mampu meresorpsi protein ini sehingga mioglobulin
menyumbat tubulus yang lebih distal (obstructing tubular casts). Selain itu mioglobulin
memprovokasi terjadinya vasokontriksi oleh karena dapat mengikat nitrik oksida dan oleh
karena rabdomiolisis luas yang menyebabkan penggumpalan cairan (kompartemen ke-3),
sehingga terjadi hipovolemia.
Hemoglobulinuria
Hemoglobulin tak setoksik mioglobulin, dan jarang menyebabkan GGA kecuali
apabila terjadi hemolisis intravaskular yang luas.
Light chains

GGA sering merupakan gejala mieloma, protein ini di filtrasi melalui glomerulus dan
pada kosentrasi tertentu mencapai tubulus distal dan di situ akan terbentuk silinder yang
menyumbat (cast nephrophaty).
Nefrotoksik Kontras
Prediktor dari GGA akibat kontras adalah usi lanjut, gangguan fungsi ginjal, diabetes
dan miolema. Penurunan fungsi berlangsung selama 3-5 yang di mulai saat terpajan. Zat
kontras dapat langsung nmerusak sel tubulus melalui efek hiperosmolar, memprovokasi
produksi oksigen radikal bebas, dan juga menstimulasi vasokontriksi intrarenal. Pengelolaan
kejadian ini hanya dengan cara pencegahan, 12 jam seelum tindakan di lakukan hidrasi
dengan salin.
3. GAGAL GINJAL AKUT POSTRENAL
Merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi
intra renal dan ekstra renal. Obstruksi intra renal terjadi karena deposisi Kristal (urat, oxalate,
sulfonamide ) dan protein ( mioglobin, hemoglobin ). Obstruksi ekstra renal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic ( tumor, batu, nekrosis papilla ) dan ekstrinsik serta pada
kandung kemih dan uretra.
GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, vesika urinaria, dan
ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal yang disebabkan oleh prostaglandin E. Fase kedua, setelah
1,5 2 jam terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah normal akibat pengaruh
tromboksan A2 dan A II. Fase ketiga atau fase kronik ditandai oleh aliran darah ginjal yang
makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Pada
fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan factor pertumbuhan yang akan
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.
Diagnosis
Anamnesis
Pada GGA perlu di perhatikan betul banyaknya asupan cairan (input), kehilangan
cairan (output) melalui: urin, muntah, diare, keringat yang berlebih,dll, serta pencatatan berat

badan pasien. Perlu di perhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskular


(redistribusi) seperti pada peritonitis, asetis, ileus paralitik, edema anasarka, trauma luas
(kerusakan otot atau crush syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik,
adanya penyakit sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume
efektif perlu selaludi tanyakan.
Pemeriksaan Fisis
Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisis pasien dengan GGA:
1) Penentuan status volume sirkulasi
2) Ada tidaknya tanda-tanda obstruksi saluran kemih
3) Ada tidaknya tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal
Evaluasi Klinis Intravaskular
Tanda Klinis Deplesi Cairan
1.

Tekanan vena jugular rendah

2.

Hipotensi tekanan darah turun > 10 mmHg pada perubahan posisi (baringduduk)

3.

Vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki)

Tanda Klinis Kelebihan Cairan


1.

Tekanan vena jugularis tinggi

2.

Terdengar suara gallop

3.

Hipertensi, edema perifer, pembengkakan hati, dan ronki di paru

Pada pemeriksaan fisis perlu di lakukan palpasi, perkusi daerah suprasifisis mencari
adanya pembesaran kandung kemih, yang kemudian konfirmasi dengan pemasangan kateter.
Analisis Urin
Berat jenis urin yang tinggi lebih dari 1.020 menunjukkan prarenal, GN akut awal,
sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmolal
(1.010) terdapat pada NTA, pascarenal dan penyakit intertisial (tubulointertisial). Pada
keadaan ini BJ urin dapat meningkat kalaudalam urin terdapat banyak protein, glukosa,
manitol,

atau

kontras

radiologik.

Gambaran yangkhas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder
mengandung sel tubulus, dan silinder yang besar (coarsely granulat broad casts).
Adanya kristal urat pada GGA menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering di dapat
pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukimia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada
GGA akibat etilen glikol yang umumnya di akibatkan percobaan bunuh diri.
Penentuan Indikator Urin
Pada GGA prarenal, aliran urin lambat sehingga lebih banyak ureum yang di absorpsi.
Hal

ini

menyebabkan

perbandingan

ureum

dalam

darah

meningkat.

Pemeriksaan Pencitraan
Pada GGA pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan
anatomiginjal, dapat di peroleh informasi mengenai besar ginjal, ada tau tidaknya batu ginjal
dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Pemeriksaan USG juga dapat menentukan apakah
gangguan fungi ginjal ini sudah terjadi lama (GGK), yaitu apabila di temukan gambaran
ginjal yang sudah kecil.
Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi

Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau
berlangsung

lama,

atau

terdapat

tanda

glomerulonefrosis

atau

nefritis

intertisial.

TERAPI DAN PROGNOSIS


Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaannya di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang berisiko GGA
(sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan hemoestatis;
mempertahankan euvolemia, keseimbangan cairandan elektrolit, mencegah komplikasimetabolik
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah
infeksi dan selalu mengevaluasi obat obat yang di pakai.
Pengelolaan medis GGA
Pada GGA terdapat 2 masalah yang sering di dapatkan yang mengancam jiwa yaitu
edema paru dan hiperkalemia.
1.

Edema paru
Keadaan ini terjadi akibat ginjal tak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah
yang cukup. Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke
vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat (furosemid inj.).

2.

Hiperkalemia
Mula-mula di berikan kalsium intravena (Ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml yang
dapat di ulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya, kadar
kalium tak berubah, kerja obat ini pada jatung berfungsi untuk menstabilkan membran.
Pengaruh obat ini hanya sekitar 20-60 menit.
Pemberian infus glukosa dan insulin (50 ml glukosa 50% dengan 10 U insulin kerja
cepat) selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1-2mEq/L dalam waktu 30-60 menit.
Insulin bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati
dan lemak, memasukkan kalium kedalam sel. Glukosa di tambahkan guna mencegah
hipoglikemia.
Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5mg dalam 15 menit)
atau inhalasi nebuliser (10 atau 20mg) dapat menurunkan 1mEq/L. Obat ini bekerja dengan
mengaktivasi pompa Na-K-ATPase. Pemberian sodium bikarbonat walaupun dapat

menurukan kalium tidak begitu di anjurkan oleh karena menambah jumlah natrium, dapat
menimbulkan iritasi, menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi
bermanfaat apabila ada asidosis atau hipotensi.
Pemberian diuretik
Pada GGA sering di berikan diuretik golongan loop yang sering bermanfaat pada keadaan
tertentu. Pemberian diuretik furosemid mencegah reabsorpsi Na sehingga mengurangi
metabolisme sel tubulus, selain itu juga di harapkan aliran urin dapat membersihkan endapan,
silinder sehingga menghasilkan obstruksi, selain itu furosemid dapat mengurangi masa oliguri.
Dosis yang di berikan amat bervariasi di mulai dengan dosis konvensional 40 mg
intravena, kemudian apabila tidak ada respons kenaikan bertahap dengan dosis tinggi 200 mg
setiap jam, selanjutnya infus 10-40 mg/jam. Pada tahap lebih lanjut apabila belum ada respons
dapat di berikan furosemid dalam albumin yang di berikan secara intravena selama 30 menit
dengan dosis yang sama atau bersama dengan HCT.
Nutrisi
Pada GGA kebutuhan nutrisi di sesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya.
GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya mengatur air,
asam-basa, elektrolit, tetapi juga asam amino/protein, karbohidrat, dan lemak.

SINDROM NEFRITIK
Sindrom nefritik adalah suatu kompleks klinis, biasanya beronset akut, yang ditandai
dengan hematuria (dengan sel darah merah dismorfik dan silinder sel darah merah dalam
urine), oliguria dan azotemia, serta hipertensi. Protenuria dan edema tidak terlalu
mencolok.
Lesi memperlihatkan proliferasi sel di dalam glomerulus disertai sebukan leukosit.
Peradangan mencederai dinding kapiler SDM lolos dalam urine hematuria
perubahan hemodinamik penurunan GFR oliguria, retensi cairan, azotemia.
Retensi cairan + peningkatan pengeluaran rennin dari ginjal yang iskemik hipertensi
Sindrom nefrotik ditimbulkan penyakit sistemik, SLE, atau penyakit primer glomerulus,
GN proliferatif difus akut.

Glomerulonefritis proliferatif akut ( pascastreptokokus, pascainfeksi )


Difus, disebabkan kompleks imun
Antigen pemicu dari eksogen atau endogen. Eksogen GN pascainfeksi, endogen
nefritis lupus, SLE.
Infeksi streptokokus, pneumokokus, stafilokokus, virus (campak, gondongan, cacar
air, hepatitis B,C)
1 4minggu setelah pasien sembuh dari infeksi streptokokus grup A
Hanya streptokokus beta-hemolitikus picu penyakit glomerulus infeksi awalnya di
faring atau kulit
Penyakit kompleks imun, seperti hipokomplementemia, endapan glanular IgG dan
komplemen di GBM. C3 mengendap di GBM sebelum IgG mengendap. Cedera primer
disebabkan oleh pengaktifan komplemen terbentuk kompleks imun antigen
tersangkanya : endostreptosin dan protein pengikat plasmin nefritis.
Peningkatan selularitas rumpun glomerulus yang merata, hampir semua glomerulus
difus.
Peningkatan selularitas disebabkan proliferasi dan pembengkakan sel endotel dan
mesangium serta oleh sebukan neutrofil dan monosit.
Thrombus dalam kapiler dan nekrosis dinding kapiler
Crescent ( struktur mirip bulan sabit ) di dalam kapsula bowman
Kompleks imun tersusun sebagai punuk melekat ke GBM di subendotel,
intramembranosa, subepitel. Endapan itu IgG dan komplemen dan lenyap dalam periode
sekitar 2 bulan.
Serangan akut, malaise, demam ringan, mual, sindrom nefrotik, oliguria, azotemia,
hipertensi, hematuria makroskopis ( urine tampak cokelat berasap ), protenuria, sindrom
nefrotik, kadar komplemen serum rendah selama fase aktif penyakit, titer antistreptolisin
O serum meningkat pada kasus pascastreptokokus
Perkembangan penyakit : pemulihan, GN progresif cepat, atau penyakit ginjal kronis,
penyakit ginjal tahap akhir
Glomerulonefritis progresif cepat ( crescentic )

Sindrom klinis, penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif + oliguria


Jika oliguria tidak diterapi kematian akibat gagal ginjal dalam beberapa minggu sampai
bulan
Adanya bulan sabit di sebagaian besar glomerulus ( GN crescentic ) disebabkan
proliferasi sel epitel parietal di kapsula bowman dan sebukan monosit dan makrofag
Glomerulonefritis crescentic disebabkan penyakit terbatas di ginjal dan bersifat sistemik
proses imunologis
Cedera glomerulus parah
CrGN tipe I penyakit anti-GBM endapan linier IgG, C3 di GBM, antibody antiGBM berikatan dengan membrane basal kapiler alveolus paru gx perdarahan paru +
gagal ginjal disebut sindrom goodpasture dx : antibody anti-GBM tx : plasma
feresis, yang membersihkan antibody patogenik dari sirkulasi
CrGN tipe II penyakit diperantarai kompleks imun penyulit semua nefritis
kompleks imun pemeriksaan imunofluoresens lumpy bumpy tx : untuk penyakit
yang mendasarinya.
CrGN tipe III CrGN tipe pausi-imun tidak adanya antibody anti-GBM atau
kompleks imun pasien memiliki antibody antisitoplasma neutrofil ( ANCA )
berperan dalam sebagaian vaskulitis merupakan komponen vaskulitis sistemik,
sebagian kasus juga ada yang terbatas hanya di ginjal disebut idiopatik
Ginjal membesar, pucat, perdarahan ptekie di permukaan korteksnya. Glomerulus
nekrosis dan trombosis fokal, proliferasi mesangium. Gambaran histologik didominasi
oleh pembentukan struktur bulan sabit yang khas. Proliferasi sel epitel dan migrasi
monosit ke dalam ruang bowman, kadang + sel T di bulan sabit dan runag bowman. Tipe
pausi-imun merekrut makrofag ke glomerulus, menyebabkan obliterasi ruang bowman
dan menekan glomerulus. Serat fibrin tampak mencolok di antara lapisan sel di bulan
sabit. Px mikroskop electron endapan subepitel rupture GBM bulan sabit jadi
parut.
Oliguria dan azotemia mencolok, protenuria, anuria, perlu dialysis jangka panjang atau
transplantasi. Pertukaran plasma bagi pasien yan mengidap penyakit anti-GBM dan
sindrom goodpasture

Nefropati IgA ( penyakit Berger )


Hematuria makroskopis, 1-2 hari setelah ISPA, nyeri di daerah lipatan paha.
Merupakan penyebab hematuria micros/macros berulang
Pengendapan IgA di mesangium, kelainan pembentukan dan pembersihan IgA,
peningkatan produksi IgA dalam sumsum tulang dan kompleks imun di darah
mengandung

IgA.

Penurunan

pembersihan

IgA

plasama

karena

glikosilasi

immunoglobulin A. Terjadi pengaktifan jalur komplemen alternative picu cedera


glomerulus
Terjadi pelebaran mesangium, radang segmental terbatas di sebagian glomerulus ( GN
fokal ), proliferasi difus mesangium ( mesangioproliferatif ), GN nyata nyata crescentic.
Endapan IgA di mesangium, C3, properdin, IgG, IgM. Elektron-dense di mesangium
Nefritis herediter
Penyakit ginjal familial herediter cedera glomerulus
Sindrom alport nefritis + tuli saraf, berbagai kelaiana mata.
Laki-laki lebih sering lebih besar gagal ginjal
Hematuria macros/micros, proteinuria, gagal ginjal
Terkait X, resesif autosomal, dominant autosomal
Proliferasi dan/atau sclerosis glomerulus segmental + peingkatan matriks mesangium. Sel
interstisium tampak berbusa akibat penimbunan lemak netral dan mukopolisakarida ( sel
busa ). Peningkatan glomerulosklerosis, penyempitan pembuluh, atrofi tubulus, fibrosis
interstitium. Membrane basal glomerulus tamapak tipis dan melemah. Protenuria
progresif, insufisiensi ginjal, membrane basal glomerulus dan tubulus memperlihatkan
focus irregular penebalan atau pelemahan disertai pemisahan dan laminasi lamina densa
tampak anyaman kerajang
ACUTE TUBULAR NECROSIS
definisi
Suatu entitas klinikopatologik yang secara morfologis ditandai dengan destruksi
sel

epitel tubulus dan secara klinis oleh supresi akut fungsi ginjal.

Merupakan penyebab tersering gagal ginjal akut.


Penyebab
Merupakan suatu lesi ginjal reversibel yang timbul pada berbagai situasi
klinis. Penyebab mayor dari acute tubular necrosis adalah iskemia dan toxin.
Kerusakan tubular iskemia karena perfusi yang rendah dan sering didahului oleh
azotemia prerenal. Karakteristik gagal ginjal akut iskemi tidak hanya GFR yang tidak
adekuat tapi juga aliran darah yang tidak adekuat untuk menyokong pembentukan sel
parenkim. Ini terjadi pada kasus hipotensi atau hipoksemia, seperti dehidrasi, shock,
dan sepsis. Prosedur pembedahan mayor dapat memperpanjang hipoperfusi yang
dieksaserbasi oleh vasodilating anesthetic agent. Penyebab lain dari ATN adalah
paparan nefrotoxin. Nefrotoxin eksogen lebih umum menyebabkan kerusakan
dibandingkan nefrotoxin endogen.
a.

ATN iskemik pola ATN yang berkaitan dengan berkurangnya aliran darah ke
organ perifer, hipotensi berat, dan syok. Misalnya dalam situasi trauma berat,
pankreatitis parah, septikemia, ketidakcocokan transfusi darah dan kritis
hemolitik lain, serta mioglobinuria.

b.
1)
-

ATN nefrotoksik,
Eksogen

Antibiotik Aminoglikosida.Gentamisin sama nefrotoxicnya dengan tobramicin;


streptomisin paling kecil nefrotoxicnya karena rantai sisi amino kation terdapat pada
setiap molekul

Amfoterisin B nefrotoksik setelah mencapai dosis 2-3 gram. Ini menyebabkan


vasokonstriksi dengan kerusakan tubulus distal dan dapat menyebabkan asidosis
tubulus ginjal bagian distal dengan hipokalemia dan diabetes insipidus nefrogenik.

Vancomycin, acyclovir, dan sedikit sefalosporin telah diketahui dapat menyebabkan


nekrosis tubular akut.

Media kontras radiografi dapat secara langsung mengakibatkan nefrotoksik secara


langsung. Nefropati kontras menduduki urutan ketiga yang dapat menyebabkan gagal
ginjal akut pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Ini mungkin hasil dari kombinasi

yang sinergis dari toksisitas sel epitel tubular renal secara langsung dan iskemic
medullar renal.
-

Cyclosporine

Antineoplastic

Asetaminofen parasetamol

Obat-obatan anastesi

organik (misal, karbon tetraklorida)

logam berat (misal, merkuri, cadmium, dan arsenic)

2)

Endogen

Rhabdomyolysis, hemolysis, asam urat, oksalat, plasma sel dyscrasia (contoh, myeloma).

Patogenesis
1.

Cedera Tubulus
Sel epitel tubulus peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksin.
Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami cedera toksik, termasuk permukaan
bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transpor aktif untuk ion
dan asam organik, dan kemampuan melakukan pemekatan secara efektif.
Iskemik perubahan struktur di sel epitel hilangnya polaritas sel merupakan
kejadian awal yang penting secara fungsional (reversibel) redistribusi protein
membran (misal, Na+, K+-ATPase) dari permukaan basolateral ke permukaan
luminal sel tubulus penyaluran natrium ke tubulus distal meningkat
Sistem umpan balik tubuloglomerulus vasokontriksi; Kerusakan lebih lanjut di
tubulus dan terbentuknya debris tubulus menghambat aliran keluar urin dan
meningkatkan tekanan intratubulus GFR menurun
Cairan dari tubulus yang rusak dapat bocor ke dalam interstisium sehingga cairan
interstisium meningkat dan tubulus kolaps

Sel tubulus yang iskemik juga mengekspresikan kemokin, sitokin, dan molekul
perekat, misalnya P-selectin yang berfungsi merekrut dan mengimobilisasi leukosit
yang dapat ikut serta menimbulkan cedera.
2.

Gangguan aliran darah yang menetap dan berat


Perubahan hemodinamik mencolok GFR menurun
Salah satunya adalah vasokontriksi intrarenal, yang menyebabkan penurunan aliran
plasma glomerulus dan penurunan penyaluran oksigen ke tubulus di medula bagian
luar (pars asenden yang tebal dan segmen lurus tubulus proksimal). Walaupun
sejumlah jalur vasokonstriktor diperkirakan dalam fenomena ini (misal, reninangiotensin, tromboksan A2, norepinefrin), yang sebagian dipicu oleh peningkatan
penyaluran natrium di distal, opini yang sekarang berkembang adalah bahwa
vasokonstriksi diperantarai oleh cedera endotel subletal, yang menyebabkan
peningkatan endotel endotelin dan penurunan pembentukan vasodilator nitrat oksida
dan prostaglandin. Akhirnya, juga terdapat bukti bahwa terjadi efek langsung
iskemia atau toksin pada glomerulus, yang menyebabkan penurunan koefisien
ultrafiltrasi glomerulus, mungkin karena penurunan permukaan filtrasi efektif.

Morfologi Patologi
a. ATN Iskemik
-

Ditandai dengan nekrosis segmen pendek tubulus

Sebagian besar lesi ditemukan di bagian lurus tubulus proksimal dan pars asenden
yang tebal, tetapi tidak ada segmen tubulus proksimal atau distal yang tidak
terkena.

Nekrosis tubulus sering samar sehingga diperlukan pemeriksaan histologik secara


cermat; nekrosis biasanya berkaitan dengan dengan ruptur membran basal
(tubuloreksis) yang sulit dikenali

Temuan tambahan yang mencolok: silinder berprotein di tubulus distal dan duktus
koligentes. Silinder terdiri atas protein Tamm-Horsfall (secara normal disekresi oleh
epitel tubulus) bersama dengan hemoglobin dan dan protein plasma lain. Apabila
ATN disebabkan oleh crush injury, silinder terdiri atas mioglobin.

Interstisium menunjukkan edema generalisata disertai serbukan ringan sel radang


yang terdiri atas leukosit polimorfonukleus, limfosit, dan sel plasma.

b. ATN Toksik
-

Pada dasarnya serupa, dengan beberapa perbedaan.

Nekrosis paling mencolok di tubulus proksimal, dan membran basal tubulus


umumnya tidak terkena.

Bila pasien bertahan selama seminggu, akan mulai tampak regenerasi epitel dalam
bentuk lapisan epitel kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang
tersisa. Kecuali di tempat membran basal rusak, regenerasi bersifat total dan sempurna.

Manifestasi Klinis
Sign and Symptom
Sama dengan gagal ginjal akut.
Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisis menunjukkan adanya kerusakan tubular akut. Urin mungkin cokelat.
Pada pemeriksaan mikroskopik, sedimen aktif menunjukkan pigmented granular cast
berwarna coklat, sel epitel tubular ginjal dan cast sel epitel. Hiperkalemia dan
hiperposfatemia sering ditemui.

Perjalanan Penyakit

1. Stadium Awal
Berlangsung sekitar 36 jam, pada ATN bentuk iskemik biasanya didominasi oleh
proses medis, bedah, atau obstetrik pemicu. Satu-satunya petunjuk kelainan ginjal
adalah penurunan ringan keluaran urin disertai peningkatan nitrogen urea darah. Pada
tahap ini, oliguria dapat dijelaskan berdasarkan penurunan transien aliran darah ke
ginjal
2. Stadium Pemeliharaan
Dimulai setiap saat antara hari kedua sampai keenam. Keluaran urin menurun
drastis, biasanya menjadi antara 50 sampai 400 mL/hari. Kadang-kadang keluaran
menurun hingga hanya beberapa mililiter perhari, tetapi anuria total jarang terjadi.
Oliguria mungkin berlangsung hanya beberapa hari atau mungkin menetap sampai 3
minggu. Gambaran klinis didominasi oleh gejala dan tanda uremia dan kelebihan cairan.
Tanpa adanya perawatan penunjang yang tepat atau dialisis, pasien dapat meninggal
selama fase ini. Namun, dengan perawatan yang benar pasien umumnya selamat.
3. Stadium Pemulihan
Ditandai dengan peningkatan secara tetap volume urine, mencapai hampir sekitar 3
liter / hari dalam beberapa hari. Karena fungsi tubulus masih terganggu, selama fase ini
dapat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit yang serius. Tampaknya juga terjadi
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Oleh karena itu, sekitar 25% kematian akibat
ATN terjadi selama fase ini.
Selama fase akhir, terjadi pemulihan bertahap kesejahteraan pasien. Volume urin
kembali normal; namun, gangguan ringan fungsi ginjal, terutama tubulusnya, mungkin
menetap berbulan-bulan. Dengan metode perawatan modern, pasien yang tidak
meninggal akibat penyakit pemicu memiliki kemungkinan 90% hingga 95% pulih dari
ATN.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ditujukan untuk mempercepat recovery dan menghindari
komplikasi. Sebaiknya, dilakukan pencegahan untuk menghindari volume overload dan
hiperkalemia.
Loop blocking diuretic digunakan dalam dosis yang besar (misalnya, furosemid
dengan dosis dari 20 mg sampai 160 mg per oral atau intravena 2 kali sehari) untuk

memberikan efek diuresis secara adekuat dan membantu mengubah dari gagal ginjal
oliguri menjadi nonoliguri
NEFROPATI DIABETIKUM
Definisi
Nefropati Diabetik adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena diabetes yang
merupakan penyebab terbesar dari gagal ginjal. Tak kurang dari sepertiga penderita diabetes akan
menjadi nefropati diabetik. Orang dengan diabetes dan penyakit ginjal akan lebih buruk
dibanding hanya menderita sakit ginjal saja. Hal ini disebabkan orang dengan diabetes cenderung
untuk memiliki penyakit lain yang menahun seperti tekanan darah tinggi, kolesterol dan penyakit
pembuluh darah (atherosclerosis). Orang dengan diabetes juga cenderung memiliki penyakit
yang berhubungan dengan ginjal seperti infeksi saluran kemih dan rusaknya syaraf yang
berhubungan dengan saluran kemih.
Ada 5 fase Nefropati Diabetika :
Fase I, adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan
hipertropi ginjal.
Fase II ekresi albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin
masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang
menjadi Nefropati Diabetik.
Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j).
Fase IV, Difstick positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi
penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat.
Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.
Epidemiologi
Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45% penderita diabetes militus terutama pada DM
tipe I. Pada tahun 1981 Nefropati diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di
Negara barat dan saat ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh
karena Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh karena DM tipe ini lebih sering

dijumpai.Dibandingkan DM tipe II maka Nefropati Diabetika pada DM tipe I jauh lebih


progresif dan dramatis. Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa berkomplikasi ke
Nefropati diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria (MAPS), hampir 60% dari
penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita Nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri
atas 18,8 % dengan Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria.
Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM
dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika.
Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati
Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).
Patofisiologi
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter
(GLUT), terutama GLUT1, mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway,
hexoamine pathway, protein kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai
advanced glycation end-products (AGEs). Beberapa zat bilogis ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting dalam
perkembangan sel, diferensiasi sel, desintesis bahan matriks ekstraseluler. Diantara zat ini adalah
mitogen activated kinase(MAPKs), PKC- isoform dan extracellular regulated protein kinase
(ERK). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah terbukti
mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar perubahan ini
diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor (TGF-) dan penurunan
extracellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah
ditunjukkan pula oleh beberapa peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien
diabetes. Berbagai proses diatas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati
pada penderita DM akan tetapi dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan.
Penelitian dengan menggunakan micro-puncture menunjukkan bahwa tekanan intra
glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat.
Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif,

seperti angiotensin II (A II) dan endotelin.


Manifestasi klinis
Gejala umum :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Berkeringat di tangan, kaki dan muka


Bertambahnya berat badan
Gatal (pada penderita ginjal akut) dan kulit yang kering
Ngantuk (pada penderita ginjal akut)
Darah dalam urin (tidak sering)
Ketidaknormalan detak jantung karena meningkatnya kadar
potasium dalam darah

g.

Otot yang mengkerut-kerut

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap:
1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 2050% diatas niali normal menurut usia.
Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.
Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/m
2. Stadium II (Silent Stage)
Ditandai dengan:
Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal
kerusakan struktur ginjal
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun
Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-300mg/24j.
Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:

Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).
Hipertensi
Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis
ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun
kemudian akan sampai stadiumV.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara diabetes mellitus
tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada NIDDM saat
diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya.
Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan prognosis yang buruk.

Diagnosis
Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan visibilitas, diagnosis,
manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika
tahun 1983 yang praktis dan sederhana. Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila
dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:
a. DM
b. Retinopati Diabetika
c. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab
proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum
>2,5mg/dl.
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala
penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan.
Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit,
ginekomastia, impotens
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda

retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :


i. Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler
retina.
ii. Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler
vena.
iii. Eksudat berupa :
a) Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.
b) Cotton wool patches.Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan
dengan iskhemia retina.
iv. Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
kapiler.
v. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas
mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
vi. Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end
stage, didapatkan perubahan pada :
Cor, cardiomegali
Pulmo, oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa
ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
Penatalaksanaan
A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia
Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah/mengurangi
semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati.
a. Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi & Metabolisme,
misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan
pembatasan protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit penyerta :
Hiperkolesterolemia

Urolitiasis (misal batu kalsium)


Hiperurikemia dan artritis Gout
Hipertensi esensial
b. Pengendalian hiperglikemia
1) Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin
seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)
b) Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang dapat
menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya kemampuan untuk
seleksi protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity).
d) Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi glukosa
sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi urinary N-acetylDglucosaminidase (NAG) sebagai petanda hipertensi esensial dan
nefropati.
e) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau
insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.
f) Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
2) Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan tingkat
edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan (complience). Pemilihan
macam/tipe OADO harus diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik
antara lain :
a)
b)
c)
d)

Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.


Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell (ASMC).
Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian hipertensi
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan berhubungan dengan
banyak faktor antara lain :
(a) efikasi obat antihipertensi sering mengalami perubahan,
(b) kenaikan risiko efek samping,
(c) hiperglikemia sulit dikendalikan,
(d) Kenaikan lipid serum.

B. Nefropati Diabetik Nyata (Overt Diabetic Nephropathy)


Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak jarang
melibatkan disiplin ilmu lain.
Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah
retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi
yang lebih proten.
2) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan permasalahan tersendiri.
Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai penurunan faal ginjal, permasalahan
lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat antihipertensi
antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
Miokard iskemi/infark
Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.
b. Antiproteinuria
2) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk mencegah progresivitas
penurunan faal ginjal.
3) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik, tetapi tidak
semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk mengurangi ekskresi
proteinuria.
a) Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling efektif
untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat antihipertensi
lainnya.

b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium golongan
nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada nefropati diabetik
dan nefropati non-diabetik.
c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT) kombinasi
penghambar EAC dan antagonis kalsium non dihydropyridine mempunyai
efek.
4) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi normoglikemia dengan
parameter HbA1c dengan insulin atau obat antidiabetik oral (OADO).
2. Manajemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis lainnya yang
berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan mikroangiopati lainnya.
a) Retinopati diabetik
Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi kolesterolLDL.
C. Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage Diabetic Nephropathy)
Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal
sedikit berlainan pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks
komorbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung
dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas.

FARMAKOLOGI
DIURETIK
I.

TINJAUAN UMUM
Diuretic adalah Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi

air dan natrium klorida (meningkatkan aliran urin). Obat ini merupakan penghambat transport
ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya, Na+
dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam jumlah lebih banyak dibandingkan bila keadaan
normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbanagan
osmotic. Jadi, diuretic meningkatkan volume urin dan sering menubah pH-nya serta komposisi
ion didalam urin dan darah. Efektifitas berbagai kelas diuretic yang berbeda sangat bervariasi,
dengan peningkatan sekresi Na+ berfariasi dari kurang 2% untuk diuretic hemat kalium yang
lemah, sampai lebih dari 20% untuk loop diuretic yang poten. Penggunaan klinis utamanya
ialah dalam menangani kelaian yang meningkatkan retensi cairan (edem)atau dalam menobati
hipertensi dengan efek diuretiknya menyebabkan penurunan tekanan darah.
II. REGULASI NORMAL CAIRAN DAN ELEKTROLIT OLEH GINJAL
Sekitar 16-20% plasma darah yang masuk ke ginjal disaring dari kapiler glomerulus
kedalam kapsul bowman. Filtrasinya, walaupun dalam keadaan normal tidak mengandung
protein dan sel-sel darah, ternyata mengandung komponen plasma dengan berat molekul yang
paling rendah yang kira-kitra sama dengan yang dijumpai di plasma. Ini termasuk glukosa,
natrium bikarbonat, asam amino dan zar organic lain, plus elektrolit, seperti Na+,K+,CL-. Ginjal
mengatur komposisi ion dan volume urin dengan reabsorbsi atau sekresi ion dan atau air pada
lima daerah fungsional sepanjang nefron yaitu pada tubulus proksimal, ansa henle , tubulus distal
dan duktis renalis rektus.

A. Tubulus renalis kontortus proksimal


Dalam tubulus kontortus proksimal yang berada dalam korteks ginjal , hampir semua
glukosa, bikarbonat , asam amino, dan metabolit lain di ansorbsi. Sekitar 2/3 jumlah Na+ juga
direabsorbsi di tubulus proksimal, klorida dan air mengikuti dengan pasif untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit dan osmolaritas. Bila tidak untuk reabsorsi ekstensif air dan zat-zat yang
terlarut di dalamnya pada tubulus proksimal, maka mamalia akan segera mengalami dehidrasi
dan kehilangan osmolaritas normalnya.
Sistem sekresi asam : tubulus proksimal merupakan tempat sekresi asam asam basa
organic. System sekresi asam organic mensekresikan berbagai asam organic (seperti: asam urat,
beberapa antibiotic, diuretic) dari aliran darah kelumen tubulus proksimal. Kebanyakan obat
diuretic sampai ke cairan tubulus melalui system ini. System sekresi asam organic dapat menjadi
jenuh, dan obat-obat diuretic di aliran darah bersaing untuk disekresikan dengan asam organic
endogen, seperti asam urat. Hal ini menjelaskan terjadinya Hiperurisemia karena obat-obat
diuretic, seperti furosemid atau klorotiazid.
B. Ansa Henle Pars Desenden

Sisa filtrate yang isotonis, memasuki ansa henle pars decenden dan terus kedalam medulla
ginjal. Osmolaritas meningkat sepanjang bagian decenden dari ansa henle karena mekanisme
arus balik. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi garam tiga kali lipat dalam cairan
tubulus.
C. Ansa Henle Pars Asenden
Sel-sel tubulus asenden unik karena impermeable untuk air. Reabsorbsi aktif untuk ion-ion
Na+,K+ dan CL- dibantu oleh suatu kotransport Na+/K+/2Cl-. Mg++ dan Ca++ memasuki
cairan interstisial melalui cairan paraselular. Jadi, Pars asenden merupakan bagian pengencer dari
nefron. Kira-kira 25-30% NaCl ditubulus kembali ke cairan interstisial, dengan demikian
membantu mempertahankan osmolaritas tinggi dari cairan. Karena ansa henle merupakan bagian
terbesar untuk reabsorbsi garam, maka obat-obat yang bekerja ditempat ini, seperti loopdiuretik merupakankelompok diuretic yang paling efektif.
D. Tubulus renalis kontortus distall
Sel-sel tubulus distal juga impermeable terhadap air. Sekitar 10% dari Natrium Clorida yang
disaring direabsorbsi melalui suatu transporter Na+/Cl-, yang sensitive terhadap diuretic Tiazid.
Selain itu, eksresi Ca++ diatur olrh hormone paratiroid pada bagian tubulus ini.

E.

Tubulus duktus renalis rektus


Sel-sel utama dan sel-sel interkalasi dari tubulus renalis rektus bertanggung jawab untuk

pertukaran Na+ K+ dan untuk sekresi H+ dan reabsorbsi K+. stimulasi reseptor aldosteron pada
sel-sel utama menyebabkan reabsorbsi Na+ dan sekresi K+. Reseptor hormone antidiuretik
(ADH,Vasopresin) meningkatkan reabsorbsi air dari tibulus dan duktus renlis rektus. Aktifitas ini
dibantu CAMP.

III. FUNGSI GINJAL PADA PENYAKIT


Pada banyak penyakit jumlah natrium klorida yang direabsorbsi oleh tubulus ginjal tinggi
abnormal. Hal ini menyebabkan retensi air, suatu peningkatan dalam volume darah, dan ekspansi
keruang cairan ekstrasel, menyebabkan edema pada jaringan-jaringan. Beberapa penyebab yang
paling sering menybabkan edema adalah:
A. Gagal jantung kongestif
Turunya kemampuan jantung yang sakit untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat
menyebabkan ginjal beraksi seolah-olah ada penurunan volume darah. Ginjal sebagai bagian dari
mekanisme kompensasi normal, menahan lebih banyak garam dan air sebagai cara untuk
meningkatkan volume darah dan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung. Namun,
jantung yang sakit tidak dapat meningkatkan curah jantung, dan peningkatan volume vaskuler
menyebabkan edema
B. Asites karena penyakit hati
Asites, akumulasi cairan dirongga perut,merupakan komplikasi sirosis hati yang umum.
B1. Peningkatan tekanan darah portal: Aliran dalam system portal sering tersumbat pada
sirosis, yang menyebabkan peningkatan tekanan darah portal. Lebih lanjut, tekanan osmotic
koloid darah menurun sebagai akibat gangguan sintesis protein plasma karena hati yang sakit.
Peningkatan tekanan darah portal dan osmolaritas yang rendah menyebabkan cairan keluar dari
system saluran darah portal dan terkumpul di ronggaperut
B2. Hiperaldosteronisme sekunder: Retensi cairan juga diperberat oleh peningkatan kadar
aldosteron yang beredar. Hiperaldosteronisme sekunder ini disebabkan oleh penurunan
kemampuan hati untuk menginaktifkan hormone steroid dan menyebabkan peningkatan
reabsorbsi Na+ dan air,peningkatan volume vaskuler , dan munculnya kembali akumulasi cairan.
C. Sindrom Nefrotik
Bila dirusak oleh penyakit , membrane glomerulus dapat dilewati oleh protein plasma dan
memasuki ultrafiltrasi glomerulus. Hilangnya protein dari plasma mengurangi tekanan osmotic

koloidal yang menyebabkan edema. Volume plasma yang rendah merangsang sekresi aldosteron
melalui system rennin-angiotensin-aldosteron. Hal ini menyebabkan retensi Na+ dan cairan,
yang meningkatkan edema lebih lanjut.
D. Edema Pramenstruasi
Edema yang menyertai menstruasi merupakan akibat ketidakseimbangan hormonal seperti
kelebihan esterogen, yang mempermudah cairan kerongga ekstraselular. Diuretic dapat
mengirangi edema ini.
IV. PENGHAMBAT KARBONIK ANHIDRASE
Asetazolamid ialah suatu sulfonamide tanpa aktifitas antibakteri. Efek utamanya ialah
menghambat enzim karbonik anhidrase pada sel epitel tubulus proksimal. Namun, penghambat
karbonik anhidrase lebih sering digunakan untuk efek farmakologis lainya dibanding efek
diuretiknya, karena obat-obat ini kurang efektif dibandingkan tiazid atau loop diuretic
A. Asetazolamid
1. Mekanisme kerja
Asetazolamid menghambat karbonik anhidrase yang terletak didalam sel dan membaran
apical epitel tubulus proksimal. (catatan: karbonik anhidrase mengkatalis reaksi CO2 dan H2O
menjadi H+ dan HCO3- (bikarbonat). Penurunan kemampuan untuk meukar Na+ untuk H+
dengan adanya asetazolamid menyebabkan dieresis ringan. Selain itu , HCO3- dipertahankan
dalam lumen yang ditandai dengan peningkatan pH urin. Hilangnya HCO3- menyebabkan
asidosis metabolism hiperkloremik dan penurunan kemampuan diuresis setelah beberapa hari
pengobatan. Perubahan komposisi elektrolit urin yang disebabkan oleh aserazolamid.
2. Penggunaan dalam terapi
a. Pengobatan glaucoma: penggunaan asetozolamid yang paling umum adalah untuk
menurunkan kenaikan tekanan dalam bola mata pada glaucoma sudut terbuka.
Asetazolamid menurunkan produksi aqeous humor, mungkin dengan menghambat
karbonik anhidrase pada korpus siliaris mata. Obat ini berguna untuk pengobatan kronis
glaucoma tetapi tidak digunakan untuk seranagn akut.
b. Epilepsi: Asetazolamid kadang-kadang digunakan pada pengobatan epilepsy baik yang
grand mal maupun petit mal. Obat ini mengurangi berat dan tingkat serangan kejang.
c. Mountain Sickness: Sedikit asetazolamid dapat digunakan untuk pencegahan
mountain sickness akut diantara individu yang secara fisik sehat yang dengan cepat
mendaki ketinggian lebih dari 10.000 kaki.
3. Farmakokinetik: Asetazolamid diberikan per oral setiap hari
4. Efek Samping: Asidosis Metabolik (ringan), penurunan kalium, pembentuk batu ginjal,
mengantuk dan parestesia
V. LOOP ATAU HIGH-CEILING DIURETIC

Bumetanid,furosemid,torsemid,asam ektakrinat merupakan empat diuretic yang efek


utamanya pada pars asenden ansa henle. Obat-obat ini memiliki efektivitas tertinggi dalam
memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh.
Bumetanid,furosemid,torsemid,asam ektakrinat
1. Mekanisme kerja
Loop diuretic menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membrane lumen pada pars
asenden ansa henle. Karena itu reabsorbsi Na+, K+, Cl- menurun. Loop diuretic merupakan obat
diuretic yang paling efektif, karena pars asenden bertanggung jawab untuk reabsorbsi 25-30%
NaCl yang disaring dan bagian distalnya tidak mampu untuk mengkompensasi kenaikan natrium.
2. Kerja
Loop diuretic bekerja cepat, bahkan diantara pasien dengan fungsi ginjal yang terganggu
atau yang tidak dapat bereaksi terhadap Tiazid atau diuretic lain. Perubahan diuretic yang
disebabkan oleh diuretic loop (diuretic loop meningkatkan kandungan Ca++ dalam urin,
sedangkan Tiazid menutunkan kadar Ca++ didlam urin. Diuretik loop menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler ginjal dan meningkatkan aliran darah ke ginjal.
3. Penggunaan Terapi
Diuretic loop merupakan obat pilihan utama untuk menurunkan edema paru akut pada gagal
jantung kongestif. Karena awitan cepat, obat ini berguna untuk untuk situasi darurat, seperti
edema paru-paru yang akut, yang memerlukan diuresis yang kuat dan cepat. loop diuretic juga
berguna dalam megobati hiperkalsemi karena obat-obat ini merangsangf Ca++ di tubulus.
4. Farmakokinetik
Diberikan per oral atau parenteral. Masa kerja relative singkat 1 sampai dengan 4 jam
5. Efek samping
a. Ototoksisitas
Pendengaran dapat terganggu karena loop diuretic, terutama bila digunakan bersamaan
dengan aminoglikosida.
b. Hiperurisemia
Furosemid dan asam etrakrinat bersaing dengan asam urat untuk system sekresi rena dan
empedu, jadi menghambat sekresinya dan dengan demikian menghambat munculnya
serangan pirai.
c. Hipovolemi akut
Loop diuretic dapat menyebabkan pengurangan volume darah yang cepat dan parah,
dengan kemungkinan hipotensi,syok dan aritmia jantung
d. Kekurangan kalium
Muatan Na+ yang besar yang terjadi di tubulus renalis rektus menyebabkan pertukaran
Na+ di tubulus dengan K+ dari sel, dengan kemungkinan menyebabkan hipokalemia.
Hilangny K+ dari sel dalam pertukaran dengan H+ menyebabkan alkalosis hipokalemia.
Penguranagn kalium dapat dicegah dengan diuretic hemat kalium diet dengan tambahan
K+.
VI. TIAZID DAN OBAT-OBAT YANG BERHUBUNGAN

Tiazid merupakan obat diuerik yang paling banyak digunakan. Semua tiazid mempengaruhi
tubulus distal, dan semuanya memiliki efek diuretic maksimum yang sama, berbeda hanya dalam
potensi,dinyatakan dalam permiligram basa.
A. Klorotiazid
Merupakan protipe diuretic golongan tiazid, merupakan diuretic modern yang aktif per oral
dan mampu mempengaruhi edema berat yang disebabkan oleh sirosis hati dan gagal jantung
kongestif dengan efek samping yang minimum.

a. Kehilangan kalium
Hipokalemi merupakan persoalan yang paling sering dijumpai dengan diuretic golongan
tiazid dan dapat menyebabkan aritmia ventricular pada pasien yang menggunakan
digitalis. Aktivasi Renin-angiotensin-aldosterondengan penurunan volume intravaskuler
menyebabkan kehilangan K+ yang bermakna melalui urin. Defisiensi K+ dapat diatasi
dengan spironolakton, yang menggangu efek aldosteron, atau dengan memberikan
triamteren yang bekerja untuk memperthankan K+. diet yang rendah garam mengaburkan
kehilangan kalium yang disebabkan oleh diuretic tiazid.
b. Hiperurisemia
Tiazid meningkatkan asam urat serum dengan menurunkan jumlah asa yang disekresi
oleh system sekresi asam organic. Karena tidak larut asam urat terkumpul didalam

c.
d.

e.

f.

persendian, dan sernagan pirai yang lengkap dapat terjadi pada individu dengan
predisposisi pirai. Karena itu adalah penting melakukan pemeriksaan darah berkala untuk
mengetahui kadar asam urat.
Pengurangan volume
Hal ini dapat menyebabkan hipertensi ortostatik atau merasa ringan kepala.
Hiperkalsemia
Tiazid menghambat sekresi Ca++ kadang-kadang menyebabkan peningkatan Ca++ dalam
darah
Hiperglikemia
Pasien Diabetes mellitus yang menffunakan tiazid untuk hipertensinya dapat mengalami
hiperglikemia dan mengalami kesulitan dalam mempertahankan kadar gula darah yang
tepat.
Hipersensitivitas
Penekanan sumsum tulang, dermatitis, vaskulitis nekrotikans dan nefritis interstisial
sangat jarang terjadi

KORTIKOSTEROID
Mekanisme kerja

Steroid terikat pada CBG (corticosteroid binding globulin), kemudian saat masuk ke
dalam sel, ikatan tersebut terlepas. Reseptor intraselular terikat dengan stabilisasi
protein, yaitu 2 molekul heat shock protein 90 (Hsp 90). Komplek reseptor ini tidak
dapat mengaktifasi transkripsi. Saat komplek ini terikat dengan molekul kortisol. Hsp
90 terlepas. Komplek reseptor-steroid dapat memasuki nucleus dan terikat pada
glukokortikoid response element (GRE) pada gen dan meregulasi transkripsi oleh RNA
polymerase II. Hasil dari mRNA kemdian dikeluarkan menuju sitoplasma kemudian
oleh ribosom akan diubah menjadi protein yang merupakan respon hormone akhir.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid adalah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti inflamasinya sedangkan pengaruhnya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah
kortisol. Golongan mineralokortikoid efek utamanya terhadap keseimbangan air dan

elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.


Prototip untuk golongan ini adalah desoksikortikosteron.
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh:
1. metabolisme
a. metabolisme karbohidrat dan protein
Glukokortikoid menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer
kortikosteroid menyebabkan mobilisasi asam amio dari beberapa jaringan., jadi
mempunyai efek katabolik. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan
sebagai subtrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
b. Metabolisme lemak
Glukokortikoid meningkatkan jumlah glukosa serum dan hal ini menstimulasi
pelepasan insulin dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel-sel otot.
Peningkatan pelepasan insulin menstimulasi lipogenesis dan dalam tingakatan
yang lebih rendah menghambat lipolisis, sehingga meningkatkan deposisi lemak
dikombinasi dengan meningkatnya pelepasan asam lemak dan gliserol ke dalam
sirkulasi.
2. efek anti-inflamasi dan imunosupresif.
Kortisol dan analog sistetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat
radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Hal ini dkarenakan efek glukokortikoid pada
kosentrsi, distribusi, dan fungsi dari leukosit dan efek supresif pada sitokin dan chemokin dan
mediator inflamasi lainnya. Glukokortikoid menghambat adesi leukosit dengan sel-sel endotel.
Terjadi peningkatan neutrofil karena terjadi peningkatan influk ke dalam darah dari sumsum
tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menurunkan jumlah sel-sel pada
tempat terjadinya inflamasi. Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag dan antigenpresenting cells lainnya. Glukokortikoid mengahmbat dan membatasi fungsi makrofag untuk
memfagosit dan membunuh mikroorganisme, serta untuk menghasilkan TNF, IL-1,
metalloproteinase, dan aktivator plasminogen. Karena memiliki efek terhadap fungsi leukosit,
glukokortikoid mempengaruhi respon inflamasi dengan menurunkan prostaglandin, leukotrien,
dan sintesis faktor pengaktifasi platelet. Glukokortikoid juga menurunkan siklooksigenase 2.
Farmakokinetik

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma:
globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tapi kapasitas
ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas iktanya relatif
tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagaian besar kortikosteroid
terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat
albumin dan yang bebas juga meningkat., sedangkan yang terikat globulin sedikit
mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi dengan sesamanya untuk
berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid, kortisol memiliki afinitas yang
tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukoronat dan
aldosteron afinitasnya rendah.
Biotranformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif
memilki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. reduksi
iktan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta
menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil
hanya terjadi di hati. Sebagian hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus
hidroksilnya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat
membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama
terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.
Indikasi klinis:
1. Digunakan untuk diagnosis dan terapi gangguan fungsi adrenal
a. Insufisiensi adrenokortikal
i. Kronis (penyakit addison)
ii. Insufisiensi adrenokortikal akut
b. Hiperplasia adrenokortikal kongenital
c. Sindrom Chusing
d. Aldosteronisme
2. Digunakan untuk terapi gangguan non adrenal
Table 392. Some Therapeutic Indications for the Use of Glucocorticoids in Nonadrenal
Disorders.

Disorder

Examples

Allergic reactions

Angioneurotic edema, asthma, bee stings, contact dermatitis, drug


reactions, allergic rhinitis, serum sickness, urticaria

Collagen-vascular

Giant cell arteritis, lupus erythematosus, mixed connective tissue

disorders

syndromes, polymyositis, polymyalgia rheumatica, rheumatoid


arthritis, temporal arteritis

Eye diseases

Acute uveitis, allergic conjunctivitis, choroiditis, optic neuritis

Gastrointestinal diseases Inflammatory bowel disease, nontropical sprue, subacute hepatic


necrosis
Hematologic disorders

Acquired hemolytic anemia, acute allergic purpura, leukemia,


autoimmune hemolytic anemia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
multiple myeloma

Systemic inflammation

Acute respiratory distress syndrome (sustained therapy with moderate


dosage accelerates recovery and decreases mortality)

Infections

Acute respiratory distress syndrome, sepsis, systemic inflammatory


syndrome

Inflammatory conditions Arthritis, bursitis, tenosynovitis


of bones and joints
Neurologic disorders

Cerebral edema (large doses of dexamethasone are given to patients


following brain surgery to minimize cerebral edema in the
postoperative period), multiple sclerosis

Organ transplants

Prevention and treatment of rejection (immunosuppression)

Pulmonary diseases

Aspiration pneumonia, bronchial asthma, prevention of infant


respiratory distress syndrome, sarcoidosis

Renal disorders

Nephrotic syndrome

Skin diseases

Atopic dermatitis, dermatoses, lichen simplex chronicus (localized


neurodermatitis), mycosis fungoides, pemphigus, seborrheic
dermatitis, xerosis

Thyroid diseases

Malignant exophthalmos, subacute thyroiditis

Miscellaneous

Hypercalcemia, mountain sickness

Kontraindikasi

Agen-agen ini harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien dengan ulkus
peptikum, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung, penyakit infeksi
tertentu seperti varicella dan tuberculosis, psikosis, diabetes, osteoporosis, atau
glaukoma.

Efek samping

1. ulkus peptikum
2. hypomania atau psikosis akut
3. retensi natrium dan air, pada orang normal akan terjadi hipokalemi, alkalosis
hipokloremi, hipertensi. Pada pasien hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati
akan muncul edema
4. pada penyakit jantung, retensi natrium walaupun dalam tingkatan yang rendah dapat
menyebabkan gagal jantung.
5. jika pemberian kortikosteroid lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan penekanan

adrenal () menyebabkan insufisiensi adrenal. Oleh karena itu jika ingin


menurunkan dosis, maka penurunannya tidak boleh mendadak atau diturunkan secara
perlahan. Karena jika hal tersebut dilakukan akan mengakibatkan umpan balik positif
ke hypothalamic-pituitary-adrenal axis sekresi hormon meningkat.
Dehidrasi dan Penanganannya
Aspek paling penting dari terapi dehidrasi adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat
dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana
harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare
hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi
oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paketpaket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial
tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan sendok teh
garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan,

cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan
baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika
diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah cairan
yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan
dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)


Tabel 1. Skor Daldiyono
- rasa haus/muntah

- Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg

- Tekanan darah sistolik < 60 mmHg

- Frekwensi Nadi > 120 x/menit

- kesadaran apatis

- Kesadaran somnolen, sopor atau koma

- Frekwensi nafas > 30 x/menit

- Facies cholerica

- Vox cholerica

- Turgor kulit menurun

- Washers womans hand

- Ekstremitas dingin

- Sianosis

- Umur 50-60 tahun

-1

- Umur > 60 tahun

-2

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter


15
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan :
Cara I :
1

- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya,

maka kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.

- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari

berat badan saat itu.

- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas,

perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan

sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 7 liter pada orang dewasa dengan

berat badan 50 Kg.


Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4
Kg pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :
Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :
Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal,
biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na 2 =
Kadar natrium plasma sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang.

Keseimbangan Asam Basa


Asidosis metabolic
Asidosis metabolic ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3 diikuti dengan
penurunan tekanan parsil CO2 didalam arteri. Kadar ion HCO3 normal sebesar 24meq/L
dan kadar normal PCO2 adalah 40mmHg dengan kadar ion H sebesar 40 nanomol/L
Penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1meq/L akan diikuti penurunan PCO2 sebesar 1,2
mmHg.Penyebab asidosis metabolic dibagi menjadi 3 kelompok:

I. Pembentukan asam yang berlebihn didlam tubuh


II. Berkurangnya kadar ion HCO3 dalam tubuh
III. Adanya retensi ion H dalam tubuh
Kompensasi peru dengan hiperventilasi menurukan tekanan parsil CO2,dapat bersift
lengkap,sebagian, atau berlebihan .Berdasarkan kompensasi ini asidosis metabolic dibagi
menjadi 3 kelompok:
i.

Asidosis metabolic sederhana:


Penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar

1,2 mmHg
ii. Asidosis metabolic bercampur dengan asidosis respiratorik
Penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar
kurang dari 1,2mmHg
iii. Asidosis metabolic bercampur dengan alkalosis respiratorik
Penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1meq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar
lebih dari 1,2mmHg
Peran Ginjal
Dalam keadaan asidosis metabolic,kompensasi tubuh melalui ginjal adalah
meningkatkan sekresi dan ekskresi ion H sebanyak 50-100 meq/hari srta rearbsorbsi ion
HCO3 yang terdapat dalam cairan filtrate glomerulus.
Sekresi ion H ditubulus proksimal dan tubulus distal, setelah diekskresi ditubulus
proksimal akan bergabung dengan ion HCO3yang difiltrasi ke glomerulus membentuk
H2CO3. Kemudian terdisosiasi menjadi H2Odan CO2 denagn bantuan enzim karbonik
anihidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO2 dan H2Oakan direarbsorbsi
masuk ke dalam tubulus proksimal yang kemudian bereaksi denagn H2O memebentuk
ion HCO3.
Anion gap dalam plasma
Etiologi asidosis metabolic perlu diketahui besarnya anion gap.Ada anion kation
yang dapat dihitung ada juga yang tidak dapat dihitung. Selisih Na dengan HCO3
dan Cl atau selisih dari anion lain dan katio lain disebut sebagai anion gap Na(HCO3+CL).
Pada kelompok pembentukan asam organiknyang berlebihan sebagai penyebab
asidosis metabolic,besar anion gap meningkat karena penambahan anion lain,yang
berasal dari asam organic antara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis

diabetic,asam laktat pada asidosis laktat,asam salisilat pada intoksikasi salisilat atau
asam organic pada intoksikasi etanol.
Asidosis metabolic denagn anion gap yang normal selalu disertai dengan
peningkatan ion Cl dalam plasma sehingga disebut sebagai asidosis metabolic
hiperkloremi
Anion gap dalam urin
Pada keadaan asidosis metabolic dengan anion gap normal (hiperkloremik)ion Cl
yang berlebih akan segera diekskresikan oleh sel interklated duktus kolingentes
bersama dengan sekresi ion H. Ekskresi ion Cl dilakukan bersama dengan ion
NH3dalam bentuk NH4Cl,ion NH4 dibentuk dari ikatan ion NH3 dalam tubulus
denagn ion Hyang diekskresikan denagn tubulus distal anion gap dalam urin dihitung
denan rumus:
(Na-urin+K urin)-Cl urin
Bila positif terjadi gangguan ekskresi ion NH3 sehingga NH4Cl tidak terbentuk
akibat adanya gangguan ekskresi ion Hditubulus distal
Bila negative menunjukan adanya asidosis metabolic anion gap normal,dimana
ekskresi ion Cl dalam bentuk NH4Cl sebanding denagn ekskresi ion H ditubulus
distal
Tampilan klinik asidosis metabolic
pH lebih dari 7,1:
1.
2.
3.
4.
5.

Rasa lelah (fatigue)


Sesak nafas (kusmau)
Nyeri perut
Nyeri tulang
Mual/muntah

pH kurang dari atau sama dengan 7,1:

3.
4.
5.
6.
7.

1. Gejala pada pH >7,1


2. Efek inotropik negative,aritmia
Konstriksi vena perifer
Dilatasi arteri perifer
Peurunan tekana darah
Aliran darah kehati menurun
Konstriksi pembuluh darah paru

Konstriksi asidosis metabolic

Langkah pertama :menetapkan berat ringan gangguan asidosis,ganngauan tersebut


letal bila pH < 7 atau kadar ion lebih dari 100 nmol/L .Gangguan yang perlu mandapat
perhatian bila pH darah 7,1-7,3 atau kadar ion H antara 50-80nmol.
Langkah kedua: menetapkan anion gap atau anion gap urin denagn begitu kita
denagn mudah menetapkan etiologi.
Langkah Ketiga: Bila kita mencurigai adanya kemungkinan asidosis laktat, hitung
rasio delta anion gap dengan delta HCO3 . Bila rasio lebih dari 1,asidosis disebabkan leh
asidosis laktat .
Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan Na bikarbonat,setelah diketahui
kebutuhan bikarbonat pada pasien,untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang dituju.

Вам также может понравиться