Вы находитесь на странице: 1из 12

A.

Pengertian Dan Ciri Pokok Hakikat HAM

1. Pengertian

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya
(Kaelan: 2002).

Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human
Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM
adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia.

John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan


bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia

2. Ciri Pokok Hakikat HAM


Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM yaitu:

HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.

HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.

HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat
hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).

B. Perkembangan Pemikiran HAM


- Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :

Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang
hukum dan politik.

Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hakhak sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga
menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam
suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan.

Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam
proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak
negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat.
C.

Ruang lingkup HAM

Ruang lingkup HAM meliputi;


1.

Hak milik pribadi

2.

Hak pribadi

3.

Hak yang berhubungan dengan masalah perekonomian dan sosial

4.

Hak sipil dan politik untuk ikut serta dalam masalah pemerintahan

Dan macam-macam hak asasi manusia yang pasti dimiliki oleh setiap manusia adalah
sebagai berikut;
1.

Hak untuk hidup

2.

Hak untuk mendapat pekerjaan

3.

Hak kemerdekaan dan keamanan

4.

Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum

5.

Hak untuk masuk atau keluar wilayah suatu negara

6.

Hak untuk memiliki suatu benda

7.

Hak untuk mengeluarkan pendapat

8.

Hak bebas dalam memeluk agama

9.

Hak untuk berdagang

10. Hak untuk mendapat pendidikan


11.

Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat


Dan masih banyak lagi.

D. Sejarah Internasional Hak Asasi Manusia

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan
bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia
sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai
pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi
dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja
melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya
kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan
bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa
itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi
sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai
timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before
the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of
rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak
persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan
baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka
lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan
Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke
di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan
yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American
Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih
dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka
sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.

Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang
lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah
dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula
presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan
dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of
expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik)
dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak,
meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asasasasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan
pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah
ini
The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is
freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third
is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings
which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in
the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a
worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no
nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighboranywhere in the world.
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta
manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal,
yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan
oleh PBB pada tahun 1948.

E. SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA


Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10
Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia
setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negaranegara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negaranegara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan
pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen
untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar
negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung
pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh
rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh
pemerintahnya.

Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian
setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota
PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan,
melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota
PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di
suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional
lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang
termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku
bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal
di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua.
F. Sejarah
LPHAM yang didirikan oleh H. J. C. Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April
1966sebenarnya dipersiapkan untuk menghadang upaya sporadik pemerintah orde baru yang
melakukan pembunuhan, penangkapan dan tindakan kejahatan HAM lainnya terhadap
simpatisan anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Salah satu dari kerja besar LPHAM
dalam mengkoreksi tindakan merendahkan manusia itu antara lain desakan untuk
menghentikan pembunuhan massal di Purwodadi,Jawa Tengah yang di instruksikan Presiden
Soeharto, M. Panggabean dan Surono tahun 1968. Walaupun protes ini berujung pada
penangkapan, Direktur LPHAM, Princen, oleh Kopkamtib dengan tuduhan komunis, namun
aksi pembantaian tersebut dihentikan.
Pada tahun yang sama LPHAM bersama Goenawan Muhammad, seorang wartawan
menginvestigasi dan membuat laporan tentang pelanggaran HAM diPulau Buru. Laporan
tersebut akhirnya menjadi bahan tulisan Amnesty Internasional. Selanjutnya untuk menangani
para korban PKI yang mengalami trauma kejiwaannya, di tahun 1967, LPHAM menggagas
berdirinya P3HB (Panitia Pusat Pemulihan Hidup Baru) yang dikelola Yap Thiam Hien.
Sempat berganti 2 hingga 3 kali pengurus, lembaga yang membidani lahirnyaYLBHI
(1970), INFIGHT (Indonesian Front for Defence of Human Rights, 1990),KontraS (1998)
dan beberapa lembaga advokasi lain, akhirnya dibadanhukumkan sekitar tahun 1988 seiring
dengan keinginan pemerintah mengendalikan LSM dengan mengeluarkan UU Ormas 1985.
Dalam perjalanan aktivitasnya, LPHAM merespon dan hampir terlibat seluruh isu dan
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus Timor Timur ditahun
1990, advokasi LPHAM membawa Princen untuk menjadi tamu kehormatan Presiden
Portugal Mario Soares dengan topik pembicaraan seputar 7 orang pemuda Tim-tim yang
mencari suaka dan masa depan Timor Timur. LPHAM juga melobi Y.P. Pronk, Ketua IGGI
untuk menghentikan hutang luar negeri yang cenderung disalahgunakan pemerintahan
Soeharto. Tak terelakan lagi, LPHAM tumbuh menjadi organisasi yang merekam hampir
seluruh kejahatan kemanusiaan rezim orde baru. Dari kasus tanah (1987-1996), buruh (19891990-an) hingga penangkapan mahasiswa (1988). Dari kasus Papua (1975), Timtim (1975),
Aceh (1989) hingga mendampingi para korban Peristiwa Priok yang di adili (1984-1986).

G. Kewenangan Pengadilan HAM pada Kasus Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Lapas


Cebongan
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
H. Perkara Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Ham
Pengadilan Ham berkompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap perkara
terjadinya kejahatan ham berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (Vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM). Untuk kasus terjadinya pembantaian di Laps Cebongan merupakan suatu peristiwa
yang tergolong pada kejahatan terhadap kemanusiaan (Vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM). Adapun bunyi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM sebagai berikut :
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa :

a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang
setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan

lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid
I. Kronologis Pembantaian Di Lapas Cebongan

Sebanyak 12 anggota Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, yang menjadi terdakwa kasus
penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, memasuki Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, Kamis
(20/6/2014)

Pada hari sabtu tanggal 23 maret 2014 sekitar pukul 01.00 wib Sekelompok orang
yang tidak dikenal menemui sipir dengan membawa surat perintah yang berkop surat Polda
Yogyakarta akan bertemu dengan ke-empat korban, dimana pada saat itu ditolak oleh sipir
dengan alasan sudah malam, sehingga muncul kelompok bersenjata laras panjang memaksa
sipir Lembaga Pemasyarakat (Lapas) untuk membukakan pintu. Mereka membawa granat
dan mengancam hendak meledakkannya jika pintu tidak dibuka. Begitu sipir membuka pintu,
mereka kemudian menyerbu ke dalam area Lapas, melewati lima lapis pintu penjagaan dan
mencari empat tahanan di Blok Anggrek (http://www.voaindonesia.com/content/gerombolanbersenjata-serang-lapas-yogya-4-napi-tewas/ 1627158.html). Setelah menemukan ke-empat
korban, maka gerombolan orang yang tidak dikenal itu melakukan pembantaian dengan
melakukan penganiayaan serta penembakan yang menyebabkan ke-empat korban meninggal
dunia secara tragis.

J. Kewenangan Formil Penyelidikan Kasus

VIVAnews - Markas Besar Kepolisian RI memerintahkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal
(Kabareskrim), Komisaris Jenderal Polisi Sutarman, untuk memimpin penyelidikan kasus
penyerangan dan penembakan empat tahanan Lapas Cebongan, Yogyakarta.

Peristiwa pembantaian tersebut merupakan suatu kejahatan yang bersifat sistematis


karena dimungkinkan ada suatu perencanaan yang ditunjukan oleh adanya fakta hukum
terdapat dua orang oknum TNI AD yang berusaha melarang teman-temannya untuk
melakukan pembantaian tersebut. Dengan adanya pelarangan ini, maka kegiatan pembantaian
tahanan tersebut merupakan suatu kegiatan yang sudah direncanakan sedemikian rupa
sehingga adanya persiapan berupa pembagian tugas seperti :

adanya persiapan untuk memalsukan surat perintah tugas dengan membuat surat yang
seolah-olah berasal dari Polda Jogyakarta.

adanya persiapan senjata yang digunakan, karena senjata dan peluru dapat dipergunakan
hanya dalam pelaksanaan tugas, bukan digunakan di luar tugas dan apabila senjata tersebut
tidak digunakan, maka senjata harus disimpan pada suatu gudang senjata. Peluru pun
demikian, setiap menggunakan peluru harus ada suatu perintah dan setelah menggunakan
peluru harus ada suatu pelaporan tentang kegiatan apa yang sudah digunakan dan berapa
banyak peluru yang digunakan.

adanya perencanaan dalam pembagian tugas seperti adanya penunjukan seorang eksekutor
dan adanya penunjukan oknum anggota TNI AD yang melakukan penjagaan dan adanya
pembagian tugas dalam pengamanan terhadap CCTV.

Adanya persiapan kendaraan, dimana kendaraan yang digunakan ini merupakan salah satu
alat kejahatan yang dipergunakan untuk memudahkan terjadinya suatu kejahatan, sehingga
kendaraan yang digunakan merupakan barang bukti dalam kejahatan kemanusiaan ini.

Adanya persiapan dalam penentuan waktu kegiatan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dengan adanya pembagian tugas dan persiapan sarana serta prasarana pendukung
inilah merupakan suatu rangkaian persiapan yang telah direncanakan dan sudah dipersiapkan
secara sistematis. Hanya saja dalam proses penyidikan juga masih banyak lagi yang harus
dikerjakan bukan hanya selesai pada suatu pengakuan. Masih banyak barang bukti dan
petunjuk yang harus diolah seperti bagaimana mekanisme komando dan pengendalian, yang
artinya perlu adanya pendalaman terhadap sistem pelaporan dan sarana pelaporan agar dapat
diungkap secara jelas kasusnya dan bukan hanya setengah-setengah. Sehingga perlu
dilakukan pendalaman terhadap alat komunikasi yang digunakan oleh Oknum pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Audit terhadap alat komunikasi ini amat penting di
dalam mengungkap jelas peristiwa pidana yang terjadi.

Berdasarkan atas uraian di atas maka Komnas Ham merupakan Leading sektor dalam
melakukan suatu penyelidikan hal ini disebabkankarena KOMNAS HAM merupakan
lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan
terhadap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi :

(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.

(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dan unsur masyarakat.

Dengan memahami peran, tugas dan tanggung jawab Lembaga Komnas HAM untuk
melakukan kegiatan penyelidikan ini, maka sudah seharusnya Lembaga Komnas HAM
melakukan tindakan penyelidikan berupa : (Vide Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)

a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam


masyarakatyang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat;

b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;

c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya;

d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;

e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu;

f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1) pemeriksaan surat;

2) penggeledahan dan penyitaan;

3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,

4) bangunan, dan tempat2 lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;

5) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan

Selain itu Komnas Ham pun memiliki kewenangan untuk pemberian saran kepada
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; penyampaian rekomendasi atas
suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya; dan penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi

manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti (Vide
Pasal 89 ayat (4) huruf (c), (d) dan (e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
L. Kewenangan Peradilan Sipil Dan Ham Pada Kasus Cebongan

Banyak tayangan di televisi yang menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di proses


melalui Peradilan Militer bukan peradilan sipil. Pendapat ini merupakan suatu pendapat yang
keliru, seharusnya kompetensi kewenangan mengadil berada pada kewenangan pengadilan
sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2) yang berbunyi :

PRAJURIT TUNDUK KEPADA KEKUASAAN PERADILAN MILITER DALAM HAL


PELANGGARAN HUKUM PIDANA MILITER DAN TUNDUK PADA KEKUASAAN
PERADILAN UMUM DALAM HAL PELANGGARAN HUKUM PIDANA UMUM YANG
DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG.

Pada ketentuan KUHPM yang tidak mengatur adanya ketentuan peristiwa terjadinya
pembunuhan berencana, adapun peristiwa pidana militer yang diatur pada KUHPM berupa :
a. kejahatan terhadap keamanan negara

b. kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa bermaksud untuk memberi


bantuan kepada musuh atau merugikan negara untuk kepentingan musuh

c. kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seseorang militer untuk


menarik diri dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinas.

d. kejahatan terhadap pengabdian

e. kejahatan tentang pelbagai keharusan dinas

f. pencurian dan penadahan

g. perusakan, pembinasaan atau penghilangan barang-barang keperluan angkatan perang

Untuk itu karena ketentuan hukum acaranya sudah sangat jelas maka terhadap seluruh
pelaku pembantaian di Lapas Cebongan sudah amat patut di proses melalui Peradilan sipil
bukan peradilan militer yaitu diproses melalui HUKUM PIDANA SIPIL (Vide UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Junto Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI) atau di Proses Melalui Peradilan HAM (Vide UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang PERADILAN HAM), karena ketentuan peradilan
sipil amatlah jelas sudah diatur dalm KUHAP, jadi tidaklah perlu adanya suatu persepsi dan
atau debat table yang menyatakan belum ada ketentuan hukumnya oknum anggota TNI di
Proses melalui Peradilan Sipil dalam rangka penghormatan terhadap hukum sebagaimana
sudah diatur dalam ketentuan asas hukum EQUALITY BEFORE THE LAW.
Proses hukum ini amatlah penting agar didapat suatu efek penjeraan/ Deterence,
supaya tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan berulang yang disebabkan
kurangnya efek penjeraan terhadap pelaku tindak pidana.

referensi:
http://hukum.kompasiana.com/2014/04/05/kewenangan-pengadilan-ham-pada-kasuskejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-lapas-cebongan-548614.html
http://www.voaindonesia.com/content/gerombolan-bersenjata-serang-lapas-yogya-4-napitewas/ 1627158.html
http://www.antaranews.com/berita/364891/sejumlah-sipir-cebongan-terluka-dalam-insidenpenyerangan
https://asmarohasma.wordpress.com/2013/04/19/artikel-tentang-ham/
(http://www.voaindonesia.com/content/gerombolan-bersenjata-serang-lapasyogya-4-napi-tewas/ 1627158.html).

Вам также может понравиться