Вы находитесь на странице: 1из 16

To Love Him

By : Ray Ryo
Saya sangat menyesal tuan Hargian. Istri anda meninggal setengah jam
yang lalu, beberapa menit setelah melahirkan putri anda.
Rion setengah ternganga menatap dokter Javier dengan raut datar.
Keheningan seketika menyelemuti cakrawalanya, tak ada satu suara pun
yang dapat terngiang dalam mindanya. Beriring hatinya yang kian terasa
perih dan sesak, kalimat dokter Javier tadi perlahan memenuhi
pendengarannya.
Selanjutnya, dokter Javier dan beberapa perawat lainnya disitu harus
berusaha keras menangani Rion yang mengamuk tak terkendali. Meraung
histeris meneriakan nama istrinya berulang-ulang. Rion mengamuk sampai
kedua lututnya tak mampu menahan bobot tubuhnya untuk melangkah
memasuki ruang bersalin, tempat jasad mendiang sang istri masih di
baringkan. Butuh puluhan menit untuknya bangkit melangkah memasuki
ruangan itu.
Javier, dokter yang juga sahabat lamanya itu masih di samping Rion
menemaninya menengok sang istri.
Langkah gemetar Rion, terhenti di depan jasad sang istri. Di atas meja
besi dingin itu, telah terbujur kaku dengan mata terpejam yang takkan
mungkin terbuka lagi. Dilapisi selembar selimut kain. Beberapa perawat
menyambut kedatangan Rion dengan raut muram. Mereka gagal
menyelematkan ibu bayi yang baru saja lahir itu.
Luna Luna, sayang ini aku. Aku datang. Luna, aku mohon bangun. Jangan
lakukan ini padaku Luna, jangan aku tak bisa hidup tanpa kamu. Luna!!!
Aku mohon bangun! Luna!!!
Lelaki itu pingsan tak lama setelah raungan terakhirnya sembari
memeluk jasad sang istri.
*
Kemalangan belum berakhir menghujam kehidupan Rion. Sang putra
yang lahir terlampau premature hanya mampu bertahan tak lebih dari tiga
bulan di dalam incubator, jantungnya masih terlalu lemah untuk bertahan
hidup. Hari ini, Rion kembali harus ber-tuxedo hitam menghadiri pemakaman
putranya. Janus Kafka Hargian, di makamkan tepat di samping makam sang
bunda. Dalam waktu yang sangat singkat, Rion kehilangan dua orang
terpenting dalam hidupnya.
Hingga sore menjelang, Rion masih berdiri mematung di depan dua
buah nisan. Milik istri dan anaknya. Tak adalagi pelayat yang menemaninya.
Ia enggan beranjak dari sana. Meski saat ini hujan mengguyur ladang
pemakaman itu dengan begitu deras. Tatapannya kosong, seperti tak punya
asa lagi untuk melanjutkan hidupnya.

Lebih setahun lalu, Rion Hargian sepertinya mencapai satu titik


tertinggi dalam pencapaian hidupnya. Sukses luar biasa dalam karirnya
sebagai musisi, lalu akhirnya menikah dengan seorang istri yang begitu
cantik menawan pujaan hatinya. Hari-hari hidup pemuda itu terus
membuatnya merasa sebagai lelaki paling beruntung di dunia. Tak ada yang
kurang dalam hidupnya, sampai suatu ketika
Satu tahun yang lalu
Bulan ke dua kehamilan Luna
Dinihari itu Rion dengan semangat mengendarai mobil mengebut
pulang dari luar kota. Mobil itu melaju kencang menyusuri jalanan yang
belum di isi kepadatan kendaraan yang berarti. Penat dan lelah di mindanya
kalau kuat dengan rindu berkelebat dalam hati setelah hampir seminggu tak
bertemu Luna, sang istri.
Im coming home, Luna, Janus, tunggu ayah gumamnya, sembari
mengangkat sebuah kantung plastic berisi beberapa kilogram apel, apel
pesanan sang istri.
Tak berapa lama kemudian, tiba juga Rion di rumahnya. Bergegas ia
memarkir mobil lalu berlarian menuju pintu depan. Matahari bahkan baru
mulai bergegas keluar dari ufuk timur saat ia tiba.
Sweetheart! Aku pulang sayang, Luna? Tolong bukain pintunya? Serunya
tak sabar.
Luna? Sayang? Tolong buka pintunya, aku udah pulang nih Apa belum
bangun yah, ah ya aku lupa punya benda ini
Rion teringat kunci duplikat yang selalu mereka simpan di bawah pot
bonsai disamping pintu. Dengan gerakan cepat, ia masuklah sudah kedalam
rumah. Lalu mendapati hawa yang mulai asing dalam benaknya. Tak
biasanya Luna tidur tanpa memadamkan semua lampu yang menyala dalam
ruangan selain kamar tidurnya.
Luna? Sayang? sesegera mungkin ia menuju kamar, namun tak ditemuinya
sang istri di sana.
Perlahan perasaan cemas mulai menggelayuti pikirannya. Pandangannya
langsung tertuju pada pintu kamar mandi kamar mereka yang tak terkunci
dan lampu di dalamnya yang masih menyala.
Luna!!!
Rion terbelalak mendapati istrinya terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar
mandinya yang basah.
*

Ehm, Rion seriously, sebelumnya Luna nggak pernah ada keluhan apapun
tentang jantungnya sama kamu? Terlebih sampai kalian memutuskan
kehamilan pertama Luna ini?
Javier membetulkan letak kacamatanya, lalu bertanya dengan tatapan serius
pada Rion.
Maksud kamu? Aku nggak ngerti Jav, nggak ada kok, kami nyaman-nyaman
saja dengan rencana kehamilan Luna ini. dia nggak pernah ada keluhan
apapun.
Ehm, begini kawan. Simplenya, Luna punya kelainan bawaan pada
jantungnya. Jantungnya lemah. Dan
Dan apa, Jav? Rion mulai pucat, mendengar penjelasan Javier. Dokter,
sekaligus sahabatnya itu.
Kalau kalian memeriksakan kesehatan Luna padaku lebih dini. Aku akan
dengan tegas menyarankan Luna untuk program kehamilan bayi tabung saja,
kehamilan normal seperti ini, jantungnya takkan sanggup. Ini terlalu
berbahaya.
Rion terdiam kini dan setelahnya, Javier menjelaskan lebih rinci hasil
pengamatan dan pemeriksaannya pada istri sahabatnya itu. Dalam diam,
airmata Rion menetes perlahan.
Itu jalan satu-satunya, Ri! Nyawa Luna akan jadi taruhannya, kalau ini
diteruskan.
Luna Jav, dia sangat menginginkan
menggugurkannya.
Sergah Rion berurai airmata.

anak

ini.

Dia

takkan

mau

Cobalah yakinkan dia. Aku juga akan coba bantu, kita usaha dulu Ri.
*
Seperti yang di duga sebelumnya, Luna menentang keras ide menggugurkan
kandungan itu.
Kalian berdua gila! Nggak, nggak bisa! Aku kuat kok, sebelumnya juga
nggak ada masalah dengan kehamilanku. Kemarin Cuma karena aku
kecapean saja, waktu itu orderan bunga sedang banyak sekali. Aku kerja
sampai lupa makan. Javier, ayolah, pasti ada solusi lebih bijaksana dari ini
kan?
This is the wisest act I can advice to you, Luna. Aku tau ini berat, tapi ini
untuk kebaikan kamu juga Sahut Javier putus asa.
Ketenangan di restoran tempat pertemuannya dengan Luna dan Rion terusik
oleh nada bicara Luna yang meninggi.

No, nggak mungkin. Aku nggak bisa. Aku akan tetap pertahankan anak
ini.
***
Seperti itu Luna menemui akhirnya. Jantung Luna tak mampu menahan
gejolak yang muncul saat proses persalinan. Javier yang sedianya memang
memantau progress kehamilan Luna sejak awal dibuat terkejut dengan
pecahnya air ketuban Luna sebulan lebih awal sebelum waktu yang
seharusnya. Bayinya lahir prematur. Rion sedang dinas diluar kota saat hari
itu, laju mobilnya yang melesat sangat cepat tetap tak cukup untuk
memberinya kesempatan melihat sang istri di saat terakhir.
Dan kini, sepertinya satu alasan terakhir untuknya bertahan hidup pun kini di
ambil darinya. Putranya meninggal menyusul sang bunda. Adakah
kemalangan yang melebihi apa yang menimpa Rion saat ini?
Hampir gelap saat Rion beranjak dari ladang pemakaman itu. Hujan
menghujam dengan begitu deras.
Rion melangkahkan kakinya dengan gontai. Tatapannya datar, tak sanggup
lagi meneteskan airmata. Rasanya semua sudah habis terkuras dari dirinya.
Atas kemalangan yang menimpanya bulan-bulan terakhir ini. Hujan begitu
deras menghujam ribut dari segala arah, tapi Rion seperti terkurung dalam
keheningan begitu dalam. Terkurung dalam hening yang sepi dan menyiksa.
Rion terus melangkahkan kakinya tanpa arah, hingga ia tak tau lagi sudah
berapa jauh kaki itu membawanya.
Entah setelah berapa lama, langkah kakinya terhenti. Di hadapannya, sebuah
jembatan baja di atas ketinggian. Dibawahnya membentang sebuah sungai,
arusnya sedang sangat deras akibat hujan yang hingga detik itu masih deras
berjatuhan.
Tak ada gunanya lagi aku hidup
Tak ada gunanya
Tak ada gunanya
Kalimat-kalimat itu menuntun langkah Rion mendekati jembatan itu.
beberapa tapak saja, dan tibalah ia di salah satu sisi samping jembatan itu.
Rion sepertinya tak peduli apapun lagi, langit yang sudah gelap detik itu
sepersis hatinya yang tak memiliki cahaya lagi saat ini. Mati menjadi satusatunya hal yang terlintas dalam benaknya.
Perlahan kakinya menaiki satu per satu trali besi pembatas samping
jembatan itu. detik selanjutnya dalam mata terpejam Rion hanya dapat
merasakan tubuhnya melayang sebelum akhirnya membentur deras jeram
sungai yang menghantam dan membasahi tubuhnya.

*
Dia sudah sadar?
Kafka
tersentak,
buyar
dari
lamunannya.
Suara
Nenek
mengagetkannya yang sedang menatapi tubuh seorang pemuda yang
sedang terbaring di depannya. Rion.
Nenek ngagetin aja. Belum nek, dia masih belum sadar. Sepertinya benar
khasiat obat racikan Nenek mulai berkurang akhir-akhir ini, aww satu
jitakan sang Nenek bersarang di dahi Kafka.
Sembarangan kamu, seumur hidup belum ada yang gagal Nenekmu ini obati
dengan obat-obatku. Hmm, tapi kondisi pemuda ini memang sedang tak baik
bahkan sebelum ia jatuh ke sungai. Dia banyak dehidrasi dan kekurangan
nutrisi.
Dari rautnya dia seperti orang yang sedang depresi berat, nek.
Kamu benar, ya bisa kita lihat dari pakaian yang dia pakai. Baju setelah
hitam-hitam, serba hitam. Tentu dia habis menghadiri pemakaman. Si Nenek
beranjak menuju ruang obatnya. Kamu teruskan mengompres kepalanya
sampai demamnya reda, Nenek mau meracik satu obat lagi, untuk pemulihan
dia.
Oke.
Kafka bergerak mendekati Rion lalu meraih kain kompresan dari dahi
Rion. Memeras airnya lalu mencelupkan lagi kain itu ke dalam air dalam
baskom. Lalu dengan hati-hati meletakan kembali ke dahi Rion. Setelahnya,
Kafka membetulkan letak kacamata minusnya, lalu bergerak mundur sedikit.
Duduk sambil memeluk kedua lututnya, sambil terus menatap Rion yang
masih terlelap dengan raut suramnya.
Apa sebenarnya yang tejadi sama kamu sih?
Kafka sedang dalam hari liburnya kini, berkunjung ke rumah sang
Nenek menjadi pilihannya menghabiskan hari liburnya kali ini. Menghindar
dari kepekaan kota yang menyesakkan. Kafka menemukan Neneknya sedang
menggendong seorang pemuda berpakaian serba hitam yang basah dan
penuh bekas luka di sekujur tubuh. Kafka sempat terperangah dibuat
Neneknya kemarin.
Dari cerita sang Nenek, pemuda itu ditemukan sang Nenek pertama
kali di pinggir sungai saat sedang memeriksa perangkap udang yang di
lepasnya. Awalnya dikira sudah tewas. Neneknya bertindak cepat begitu
sadar kalau jantungnya masih berdetak.
Sepertinya hari libur Kafka kali ini akan memiliki warna yang berbeda
dari sebelum-sebelumnya. Tak dapat di pungkirinya, Kafka langsung jatuh
hati saat menatap wajah Rion untuk pertama kalinya. Hatinya tergerak untuk

tau lebih jauh tentang apa yang terjadi pada pemuda malang itu hingga
membuatnya seperti ini. Tanpa sadar jemari Kafka bergerak membelai
rambut Rion dengan penuh sayang.
As much I can, I want to be this guys sunshine from now
21 Maret 2015. Saya. Kafka Aditya. 25 Tahun, seorang Arsitek. Hari ini
resmi menyatakan diri, jatuh hati pada seorang pria. Pria. Pria yang bahkan
aku tak tau siapa, dari mana, dan bagaimana bisa ada disini bersamaku
sekarang. saat ini, dihadapanku, dia terbaring tak berdaya. Terlihat begitu
rapuh dan lemah. Tubuh kekarnya tak mampu menyembunyikan luka itu,
seolah jelas tergurat dari wajahnya. Aku lelaki sederhana, jatuh hati padanya
pun dengan sederhana. Tak ada alasan yang memberi jawaban sebuah
mengapa? Yang ada di benakku saat ini, adalah untuk memberinya
semangat untuk hidup lagi. Belum berani bermimpi lebih untuk memiliki
hatinya Belum, hahaha udah ah
Kafka selesai dengan voice recorder-nya untuk hari ini. Bagi sebagian besar
orang yang baru mengenal Kafka pasti akan berkata bahwa, Kafka seseorang
dengan omongan besar. Namun sejatinya, Kafka adalah orang yang sangat
konsekuen dengan perkataannya. Ia lebih baik tak pernah mengucapkannya
jika tak berniat menyanggupinya. Begitu prinsip hidupnya. Seperti kalimatkalimatnya dalam voice recorder barusan.
Emhh
Kafka buyar dari lamunannya saat tubuh Rion bergerak seiring erangan halus
dari bibirnya.
Dia udah sadar? Tanya Kafka dalam hatinya.
Hengkh sekali lagi tubuhnya bergerak kecil dengan erangan yang mulai
jelas terdengar.
Kek! Nenek!!! Nenek!!!
Ada apa kamu teriak-teriak? si Nenek tergopoh-gopoh menghampiri
mereka.
Nenek Kafka kemudian langsung dengan sigap menangani Rion yang mulai
menunjukan tanda-tanda kesadaran. Memeriksa dan memastikan benarbenar keadaan Rion, untuk tau tindakan yang harus dilakukan setelahnya.
Wah, syukurlah sudah sadar.
Segera Nenek Kafka memberinya obat ramuan yang sudah selesai diraciknya
sejak tadi. Rion masih terlalu lemah untuk menolak meminum obat itu dari
Nenek.
*

Ehm. Kafka memasuki kamar dengan memegang sebuah nampan berisi


semangkuk bubur dan segelas susu.
Kesadaran Rion sudah pulih sepenuhnya, namun raut suram dari wajahnya
masih terlihat. Rion
masih tak terlihat memiliki semangat hidup. Nenek memutuskan
menginfusnya karena sejak sadar pemudia itu menolak untuk memakan
makanan apapun yang di sodorkan padanya.
Kafka tau tak akan mudah untuk membuat pemuda dihadapannya itu mau
makan.
Brother, ah nama kamu siapa sih? Aku jengah manggil brader terus dari
tadi.
Yang ditanyai hanya menatap Kafka dengan datar. Untuk kesekian kalinya,
Kafka dibuat kehabisan kata-kata untuk meladeni Rion yang tak bereaksi
sesuai harapan. Lalu kemudian hening menyelimuti ruangan itu untuk
beberapa saat.
Kenapa kalian menyelamatkanku? Tak ada lagi alasan untuk aku hidup.
Kafka terdiam, untuk pertama kalinya setelah hampir seharian. Rion
mengeluarkan suara. Perlahan Kafka tersenyum, sepertinya ada harapan.
Thats a nonsense, bro. Gak ada kalimat macam itu dalam hidup. Kamu
harus hidup, ya karena kamu masih hidup. Bahkan setelah kamu kehilangan
semua dalam hidupmu pun. Selama kamu masih bernafas, akan terus ada
alasan untuk kamu hidup. Kafka berujar panjang tanpa disadarinya.
Rion terdiam mencerna perkataan Kafka, masih tetap dengan tatapan
datarnya. Kali ini tak menatap muka Kafka. Hening kembali mengisi untuk
beberapa saat.
Kalian tidak akan mengerti apapun tentang perasaanku. Rion berujar lagi,
masih membuang pandangannya dari Kafka.
Ehm, kak. Buburnya, dimakan yah? Kakak belum makan apapun sejak
sadar. Kali ini ujaran Kafka tak terdengar mendikte lagi. Ia sepertinya sudah
benar-benar kehabisan akal untuk membujur Rion makan.
Kalimatnya terdengar sedikit melas. Tapi sepertinya sia-sia, Rion tak
bergeming sedikitpun. Tapi Kafka tak ingin cepat-cepat menunjukan
keputusasaannya di depan Rion.
Hmm, mungkin kakak memang sedang butuh sendiri. Aku bawa balik dulu
buburnya untuk di hangatkan lagi.
Ia lalu keluar ke dapur untuk menghangatkan buburnya lagi. Tak lama
kemudian ia kembali dengan bubur dalam termos kecil. Maksudnya agar

tetap hangat untuk waktu yang cukup sampai Rion mau memakannya. Ia
juga datang dengan satu termos air berisi the hangat untuk diminum.
Makanlah kalau kakak sudah siap. Aku ada di kamar sebelah kalau kakak
perlu apa-apa. Aku tinggal yah. Ujarnya kemudian tersenyum manis pada
Rion.
Kafka berhenti sejenak sebelum keluar dan menutup pintu, Aku percaya,
kakak itu orang yang kuat. Percayalah kak, masih ada sangat banyak orang
yang sayang sama kamu. Masih banyak dari mereka juga yang
membutuhkan kakak. Dan mau memberi kakak semangat untuk tetap hidup.
Ujarnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, entah kenapa.
Sedetik kemudian Kafka berlalu dari balik pintu. Meninggalkan Rion di dalam
kamar Neneknya yang terdiam sedikit takjub melihat Kafka dengan
perkataannya tadi. Takjub, melihat betapa bersemangatnya anak muda itu
untuk menyemangatinya agar tetap hidup.
Sementara itu, Kafka sudah berada di kamarnya. Tepat di samping kamar
yang ditempati Rion sekarang. Ia menghidupkan computer lama miliknya
disitu, yang sudah disambungkan dengan kamera yang diam-diam ia pasang
didalam kamar Rion. Dia tau benar, mental pemuda itu belum benar-benar
stabil. Ia harus memantaunya untuk menghindari terjadi sesuatu yang tak
diinginkan.
Kafka nyaris tak tidur memantau kamar Rion lewat komputernya. Sayang
sekali, sampai subuh pun. Rion tak menyentuh termos bubur dan teh yang ia
bawa itu. Neneknya belum pulang dari perjalanannya membeli bahan obatobatan dan makanan di kota. Katanya ia menginap di rumah saudara karena
jalanan menuju kemari terhalang oleh pohon yang tumbang. Kafka akhirnya
memutuskan untuk tidur saat memastikan Rion sudah tertidur, sebelumnya
ia terlebih dulu mengganti bubur untuk Rion dengan yang baru dan masih
hangat.
Argh, aww aww punggungku. Oh Tuhan, hahaha. Erang Kafka saat
berusaha membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Ia siap terlelap segera setelah melepas dan meletakan kacamatanya ke atas
nakas. Tanpa sadar ia tersenyum, tekadnya kian kuat untuk menyemangati
Rion.
*
Aku terbangun oleh gemuruh petir yang menderu keras. Pagi yang dingin
dengan hujan dan petir menyambar sahut-menyahut. Ku pakai kacamataku,
lalu melirik arlojiku. Masih dua puluh menit lepas dari pukul enam pagi. Satusatunya penerangan yang mengisi kamarku hanya sinar langit pagi yang
mendung. Tersadar, segera aku menengok kearah layar komputerku.
Dia masih disana. Tertidur.

Sudah dimakan belum yah Gumam Kafka


Sudah kok... Nenek mengejutkan Kafka, tiba-tiba saja sudah di sampingnya
Nenek ngagetin aja, kapan tiba?
Belum lama. Diantar pamanmu Bachtiar pakai speed boatnya, ini di minum
dulu. Jawab nenek sambil menyerahkan segelas teh jahe susu pada Kafka.
Ya ampun, itu nggak deras arusnya nek? Kok lewat sungai?
Tidak, hujannya baru turun lagi beberapa menit lalu. Semalam sampai tadi
subuh sih tidak hujan. Jadi arusnya lumayan tenang.
. Kafka Cuma mengangguk.
Omong-omong, kamu jago juga bisa bikin pemuda itu makan. Bubur yang
kamu beri di habiskan sama dia.
Hah, serius nek? Kafka segera berbalik menatap layar komputernya.
Loh, kamu nggak tau?
Nggak, sampai tadi subuh aku nyerah tidur juga dia nggak nyentuh
termosnya.
Memang. Kakek masih sempat dapat lihat dia sedang menghabiskan suapan
terakhirnya di termos itu. Semoga saja masih hangat itu.
Kafka tersenyum agak haru, sangat senang dengan perkembangan Rion
walau sesedikit itu.
*
Rion.
Pemuda itu terduduk di puncak ranjang. Terdiam memandang kearah jendela
kaca yang basah bagian luarnya oleh embun dan percikan sisa air hujan.
Hujan sudah mulai mereda, hanya rintik kecil yang masih tersisa. Perlahan
langitnya mulai jadi cerah.
Pikiran pemuda itu kemudian memutar kembali memori-memori dalam kisah
hidupnya akhir-akhir ini. Semua berlalu begitu cepat. Dalam masa yang
singkat, Rion merasakan menjadi lelaki paling beruntung dan paling malang
di dunia. Entah bagaimana, beberapa kalimat sederhana yang beberapa
waktu lalu didengarnya dari seseorang yang baru di temuinya berputar-putar
dalam mindanya.
Gak ada kalimat macam itu dalam hidup. Kamu harus hidup, ya karena kamu
masih hidup. Bahkan setelah kamu kehilangan semua dalam hidupmu pun.
Selama kamu masih bernafas, akan terus ada alasan untuk kamu hidup.

Aku percaya, kakak itu orang yang kuat. Percayalah kak, masih ada sangat
banyak orang yang sayang sama kamu. Masih banyak dari mereka juga yang
membutuhkan kakak. Dan mau memberi kakak semangat untuk tetap hidup.
Seingatnya, bahkan sebelum ia mengalami petaka itu. Selain Luna istrinya,
belum ada orang-orang terdekatnya yang memberinya perhatian seperti itu,
dan menyemangatinya sekuat itu di saat-saat berat dalam hidupnya.
Mungkin Javier sahabat lamanya, kalau saja dia bisa punya frekuensi waktu
untuk bersamanya. Jarang baginya untuk tergerak oleh perkataan seseorang,
apalagi yang baru di kenalnya.
Diam-diam ia tersadar, kalau adalah sebuah keajaiban dan keberuntungan ia
masih bisa bernafas sekarang.
Ia ingin bangun, dan beranjak dari ranjangnya. Tapi tadi rasa nyeri hebat
menyerang tulang kering kaki sebelah kirinya. Barulah ia sadar kaki kirinya di
bebat dengan perban dan besi penopang. Tentulah terbentur sesuatu saat ia
hanyut di sungai. Pun ia masih tak tau, dimana ia berada kini.
Cklek
Ehm, cah bagus sudah bangun? Nenek itu datang lagi. Kali ini membawa
segelas susu dan beberapa roti tawar dan selai di nampannya.
Selamat pagi, kak. Ujar Kafka sambil tersenyum. Berjalan mengekor di
belakang neneknya.
Rion menatap canggung pada dua orang di hadapannya itu.
Ini roti sama susu jahe buatan nenek. Kamu nggak alergi jahe kan? Atau
tidak suka jahe? Nenek meletakan nampan itu di atas ranjang.
Teterima kasih. Ujar Rion canggung.
Nenek hanya tersenyum seraya tanpa di duga membelai rambut Rion dengan
sayang. Rion terpanah, tergugah oleh senyum tulus yang tergurat diwajah
wanita tua di hadapannya ini. Kafka dalam diam pun merasakan kehangatan
itu menelusup ke hati pemuda yang baru dikenalnya itu. Peka dengan situasi,
segera ia membereskan peralatan makan yang ia bawa semalam untuk
dibawa ke luar.
Menit selanjutnya, hanya ada Rion dan nenek menemaninya di dalam kamar
itu. Rion memakan roti buatan nenek itu perlahan.
Ah, iya. Nenek penasaran ini sejak menemukanmu di pinggir sungai hari itu.
Nama kamu?
Ehm nama saya Rion nek, Rion Hargian. Jawabnya sambil berusaha
tersenyum.

Rion, nama yang bagus. Hmm, tentunya kamu habis mengalami masa yang
sangat sukar ya.
Hening sejenak.
Istri dan anak saya meninggal, nek. Hanya berselang beberapa bulan. Luka
jelas masih tertinggal di sela-sela kalimat pendeknya ini.
Ya Tuhan. Kenapa bisa seperti itu, nak? Ah, tidak usah dijawab kalau masih
tak ingin mengingatnya, cah bagus.
Rion setengah tersenyum, Tak apa nek, mungkin sudah takdir saya. Hmm,
istri saya punya kelainan bawaan pada jantungnya. Dia meninggal saat
berjuang melahirkan anak pertama kami. Malangnya, putra kami yang
terlahir premature juga hanya mampu bertahan hidup tak sampai tiga bulan
penuh karena masih terlalu lemah.
Hmmh, nenek turut berduka nak Rion. Nenek kehabisan kata-kata, tanpa
sadar tangannya menggenggam erat jemari pemuda dihadapannya itu.
Rion hanya tersenyum dalam diam menjawab ujaran nenek itu. Perlahan ia
mengatur kembali nafasnya yang mulai tak beraturan, teringat hari-hari
sedih itu.
Sementara, di balik daun pintu. Tanpa sadar, Kafka meneteskan airmatanya.
Tak menyangka sebab yang ia ingin ketahui tentang mengapa sampai Rion
ingin mengakhiri hidupnya seperti itu adalah demikian menyakitkannya.
*
Sudah hari ke lima semenjak Rion dirawat nenek Maria di rumahnya.
Keadaannya semakin membaik. Hanya saja, ia masih butuh bantuan tongkat
untuk berjalan. Sepertinya cidera di kakinya cukup parah.
Hari ini adalah hari ulang tahun Kafka. Diam-diam nenek menyiapkan pesta
kejutan kecil untuk cucu kesayangannya itu. tanpa sepengetahuan Kafka,
nenek mengundang beberapa sahabat Kafka dari kota untuk hadir dan turut
serta dalam penjebakan yang siap di buat nenek malam nanti. Dan Rion,
juga akan turut di libatkan nenek dalam scenario ini.
Yudhi.
Rion.
Rega.
Rion.

Aduh, kakak ini ganteng sekali. Perkenalankan, nama saya Renata Putri
Pangalila. Dipanggilnya bisa Rena atau putri aja kak.
Eh, hehe. iiya Rena, saya Rion.
Nenek Maria memperkenalkan Rion pada ke tiga sahabat dekat Kafka ini
sebagai pendaki yang ditemukan nenek tersesat di hutan dalam kondisi
terluka.
Hush, ganjen! Udah, jangan lama-lama pegang tangannya.
Nenek memukul tangan Renata yang tak mau melepaskan salaman dengan
Rion begitu lama.
Ah neneeek eh, tapi tapi Kafkanya sekarang lagi di mana?
Dia sedang ke rumah pamannya, ini scenario juga. Jadi nenek minta
pamannya untuk pura-pura sakit dan minta ditemani seharian oleh Kafka.
Wah, hebat euy. Nenek punya banyak backingan yah! Sahut Yudhi.
Oh jelas. Oke, jadi gini. Ehm Nenek kemudian membuka sebuah kotak
kardus berukuran besar yang baru dibawanya dari kota beberapa hari lalu.
Tadaaa!!!
Waaaaa!!! Waaaaa!!! Ya Tuhan itu apa??? teriak Rega tersentak kaget
ketakutan melihat sebuah topeng hantu yang di keluarkan nenek dari kotak.
HAHAHA, dasar penakut! Seru Renata dan Yudhi bersamaan.
Rega hanya meringis ngeri menanggapinya. Rion terbahak kecil melihat
tingkah pola orang-orang di sekitarnya itu.
Kalian tau kan, gimana reaksi Kafka dengan benda-benda yang kayak gini?
Waaaahh, nek! Dahsyat lah pokoknya. Kalian inget nggak, gimana mukanya
dia pas di kerjain waktu kelas dua SMA dulu. Sergah Renata bersemangat.
Hahahaha, bener-bener! Edan lah, dia sampe ngompol gara-gara di takutin
sama Hera yang dandan jadi kuntilanak. Hahahaha, aduh nek? Seriusan ini
mau ngerjain dia kayak gini? Kalau dia pingsan gimana?
Hehehe, seriuslah. Pokoknya pasti sukses deh, tenang aja! Kalo pingsan,
tinggal dibangunin kok pake ramuan.
Haduh, parah nenek ih! sahut Rega.
Hehehe, haaaaa!!!

Haaaaa! Rega kembali berteriak ketakutan di lempari topeng hantu tadi


oleh nenek.
Ya elah, gimana kamu mau nakutin Kafka kalo sendirinya juga ketakutan.
Sahut Yudhi.
Rion Cuma bisa menggeleng-geleng kepalanya melihat keseruan
dihadapannya.
*
Malam akhirnya tiba, hampir tengah malam mobil Kafka baru terdengar
memasuki halaman rumah. Ruslan, pamannya betul-betul mengerjainya
seharian.
Huah, betul-betul hari yang merepotkan. Ujarnya lalu menutup pintu mobil,
melangkah masuk menuju rumah.
Duh, listriknya padam? Damn. Ketusnya saat lampu ruang tengah tak
menyala ketika saklar dinyalakannya.
Nek, nenek?
Kafka melangkah masih kedalam setelah menyalakan flashlight ponselnya.
Mana sih? Masa sudah tidur. Kak Rion? Kak Rion?
Ia kemudian mendengus kecewa juga heran mendapati kamar Rion dalam
kondisi kosong.
Masa sih mereka keluar rumah semalam ini?
Keluar dari kamar Rion ia melangkah menuju ruang tengah, juga tak ada
tanda-tanda ada nenek dan Rion di sana. Diam-diam, perasaan cemas mulai
menghantuinya.
Ia berhenti kini. Duduk di atas sofa sembari mencoba menghubungi ponsel
neneknya. Tidak aktif. Bertambahlah kepanikannya perlahan.
Tanpa disadarinya. Kejutan buatnya sudah siap di eksekusi. Nenek, sahabatsahabat Kafka, ditambah Rion sudah siap di posisinya masing-masing.
Kejutan di mulai dengan nenek yang berpakaian jubah putih dengan make up
seram ala kuntilanak, memasuki ruang tengah tempat Kafka berada sekarang
dengan perlahan.
Benar-benar perlahan, tanpa sedikitpun membunyikan suara. Hingga hanya
berjarak dua langkah dibelakang.
Kafkaaaa.. Kafka. Nenek betul-betul mendalami perannya. Dengan
perlahan mendesiskan nama Kafka dari belakang orangnya.
Seketika bulu kuduk cucunya itu langsung melenting keras di tambah detak
jantung yang tiba-tiba berpacu sangat cepat.

Kafkaaaa.
..
Kafka hanya menutup matanya, tak mampu bergerak atau beranjak dari
tempat ia berada kini. Lalu sedetik kemudian terasa usapan telapak tangan di
pundaknya. Sambil terus gumaman kecil namanya terdengar dari
belakangnya.
Kafkaaaa
Waaaaaa!!!
Ia tak bisa menahannya kini, segera melompat menjauh dari tempat ia duduk
tadi. Sayangnya begitu berlari ingin keluar ruang keluarga, sosok
menyeramkan menghalanginya. Kali ini ada Rega dan Yudhi yang berdandan
seperti tentara jepang dengan wajah yang dibuat sangat pucat dan penuh
luka, bergerak layaknya zombie mendekati Kafka. Kembali teriakan keras
Kafka memenuhi ruangan. Nenek juga bergerak cepat mengepung Kafka dari
tempat duduk tadi.
Aaaaaa!!! Pergi! Pergi! Jangan! Kafka berteriak histeris menghindar dari
sosok-sosok hantu yang mengerubunginya itu.
Ia akhirnya hanya bisa berjongkok menunduk sambil menutup kedua
matanya. Tubuhnya gemetaran dan basah dengan keringat.
Saat itulah, Rion muncul dengan kursi rodanya membawa kue ulang tahun
dengan lilin angka dua puluh satu tahun menyala di atasnya. Sejurus
kemudian, lampu rumah kembali menyala menerangi seluruh ruangan.
Kejutaaaaaan!!! Hahahahaha, happy birthday Kafka ganteng!!! We love
you!!! lengkingan suara Renata menyambut Kafka ketika lampu menyala.
Dengan masih takut takut Kafka membuka matanya lalu tersadar dengan apa
yang terjadi di sekitarnya. Ia Cuma bisa mendesah lemas, menyadari kalau
hantu-hantu itu ternyata hanya nenek, dan sahabat-sahabatnya yang di
dandani sedemikian rupa menyerupai hantu.
Ah kalian parah ah, nenek juga ih. Ia ingin marah, tapi tubuhnya terlanjur
lemas karena ketakutan sejak tadi.
Hahahaha. Semua terbahak keras melihat reaksi Kafka.
Kak Rion juga ih, ampun deh.
Hahaha, maafin kita yah Kaf. Anyway selamat ulang tahun yah. Ucap Kafka
sambil tersenyum.
Selanjutnya seisi rumah larut dalam kebahagiaan.

***
Sore yang hening. Dagu Kafka menyandar malas di atas meja belajarnya,
dengan Kelly Klarkson menyenandungkan The Trouble With Love Is dari
earphone yang terpasang di kedua telinganya. Sementara di atas ranjang,
Rion begitu asyik membaca sebuah novel terjemahan pemberian nenek Kafka
beberapa hari lalu. Sudah lebih seminggu semenjak ia tinggal bersama Kafka
dan neneknya.
Kak, lagi ngapain sih? Betah amat duduk-duduk disitu seharian. Kafka
beranjak dari meja belajarnya. Lalu beringsut membaringkan tubuhnya di
samping Rion.
Rion hanya tersenyum lalu menjawab tanya Kafka sambil matanya kembali
membaca, Novel nenek keren-keren, kamu belum pernah baca?
Huh, aku nggak suka baca. Kakak sama sama nenek ih, jadi autis begitu di
depan buku. Aku bosen nih Hmm, kak Rion suka pantai nggak?
Hmm, suka. Tapi pantai yang tenang, bukan yang terlalu ramai.
Pas banget kak! Ikut aku yuk! Kita ke pantai dekat sini, dijamin kakak suka.
Sergah Kafka bersemangat.
Hah? Memang ada?
Ada, nggak jauh dari sini. Rumah kita ini tuh udah masuk daerah muara
sungai kak. Kafka beranjak dari kasur lalu membantu Rion berdiri dari
ranjang.
Tapi, kaki kakak kan?
Udah tenang aja, kita ke sana pake motor aja kak. Aman.
Rion Cuma mengangkat bahu mengiyakan ide Kafka, ia juga sebenarnya
sedang jenuh menghabiskan harinya di rumah terus lebih dari seminggu.
*
Beberapa menit kemudian, Rion sudah duduk siap di boncengan Kafka. Kafka
mengendarai motor tua milik mendiang kakeknya menyusuri rerimbunan
hutan pinus menuju pantai.
Rion sesekali menghirup dalam-dalam udara hutan bersih yang menyejukkan.
Sudah lama ia tak bepergian ke tempat yang begitu alami seperti ini. Dengan
kecepatan sedang Kafka membawa motor menyusuri jalur-jalur sempit di
dalam hutan menuju daerah pantai.
Bermenit kemudian Rion dibuat terkagum-kagum saat mereka tiba di track
pasir putih pantai yang mereka tuju sejak tadi. Pantai yang sangat indah,

airnya tenang dengan sedikit saja riak ombak menyapu pasir putih bersih di
sepanjang garis pantai. Sinar mentari memantul indah di atas permukaan air
jernihnya.
Kafka membantu Rion turun dari motor dan melangkah lebih mendekat ke
pinggir pantai dengan bantuan tongkat.
Wah, indah sekali Kaf.
Hehe, iya dong. Ini tempat selalu jadi secret escape aku tiap lagi labil kak.
Tempat sebagus ini malah sepi sekali Kaf, tak ada yang tau kah?
Memang nggak banyak yang tau kak.

Вам также может понравиться