Вы находитесь на странице: 1из 26

dr. David Santoso T.

SpKJ, MARS

Dalam menjalankan profesi dokter tidak jarang


kita mendengar pendapat bahwa pengetahuan
tentang psikiatrik hanyalah diperlukan apabila kita
berhadapan dengan penderita gangguan jiwa, dan
hanya penderita gangguan jiwa yang memerlukan
dokter yang berpengetahuan tentang psikiatri.
Namun demikian para dokter umum maupun ahli,
hampir semua telah menyadari bahwa kasus yang
bukan kasus psikiatri pun sering kali mempunyai
faktor psikologik yang memainkan peran dalam
terjadinya
penyakit,
walaupun
mereka
tetap
memandang sebagai primer adalah penyakit organ
tubuh.

Dengan pesatnya kemajuan teknologi khususnya


dalam bidang ilmu kedokteran serta penemuan-penemuan
obat modern yang ampuh untuk melawan penyakit, disertai
perkembangan ketrampilan yang diperlukan, namun
hubungan antara pasien dengan sang pengobat atau dokter
adalah hal yang khusus.
Hubungan antara dokter dengan pasien berbeda dengan
hubungan antara mesin dan ahli teknik atau pasien dengan
komputer.
Sebagai pasien tetap merupakan manusia yang holistik yang
mempunyai hidup perasaan misalnya perasaan khawatir dan
cemas, mempunyai harapan cinta kasih sedang dipihak lain
juga dokter yang juga mempunyai emosi.

Hubungan dokter dan pasien.


Dalam psikiatri modern manusia dipandang
sebagai satu kesatuan yang majemuk, karena padanya
mempunyai demikian banyak aspek.
Pasien yang kita hadapi adalah manusia dengan aspek
organobiologik, psikologik dan sosiobudaya secara
sekaligus yang sering dikatakan bahwa manusia
sebagai makhluk bio-psiko-sosial yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Pendekatan menyeluruh inilah yang
menjadi corak utama dari psikiatri modern yang dalam
kepustakaan kita sering jumpai istilah holistic yang
menyatakan hal ini.

Demikianlah untuk tujuan terapeutik setiap


waktu kita harus memperhatikan keseluruhan atau
unsur-unsur tadi sekaligus. Bila timbul suatu
gangguan atau penyakit pada seorang manusia,
bukan hanya jiwanya yang terganggu, bukan
badannya saja yang sakit, akan tetapi seluruh
manusia itulah yang menderita dan memerlukan
atau mencari pertolongan kepada siapapun yang
menurut
anggapannya
dapat
menolongnya,
sementara
ia
tetap
berinteraksi
dengan
lingkungannya.

Tujuan
pengobatan
kedokteran
ialah
menghilangkan penderitaan pasien/masyarakat dan
bila mungkin mengembalikannya ke keadaan sehat.
Seringkali adanya pandangan bahwa sesungguhnya
yang dipandang sebagai materi ilmu kedokteran
yang serius dan fundamental adalah struktur
fungsi-fungsi organ, perihal penyakit, serta terapi
yang spesifik untuk penyakit itu. Dan dalam hal ini
dapat
ditunjukkan
kemajuan-kemajuan
yang
menakjubkan
serta
penemuan-penemuan
pengobatan yang ampuh untuk melawan penyakit.

Kemudian menimbulkan bahwa penyembuhan terutama


adalah sebagai hasil obat-obatan, operasi atau
tindakan-tindakan super modern terhadap organ tubuh
pasien dan melupakan segi mental dan emosional.
Dasar pengertian dan keterampilan dalam
hubungan dokter-pasien menurut Lubis adalah prinsipprinsip psiko terapi. Perbedaan antara prinsip
psikoterapi dan hubungan sosial yang baik
diandaikan sebagai asepsis dan kebersihan atau
kerapihan biasa. Khususnya dalam tindakan operasi,
pasien dapat menjadi lebih sakit atau meninggal
sekalipun pemberian obat telah dilakukan secara tepat
dan bersih, tapi tanpa pemantapan konsep asepsis.

Jadi justru usaha atau tindakan, misalnya


pembersihan luka (mencuci suatu luka dengan
tujuan kebersihan) terjadi suatu kontaminasi yang
merupakan sebab kegagalan daripada pengobatan.
Demikian pula kekurangan ketrampilan dalam
pengelolaan hubungan dokter-pasien berdasarkan
prinsip-prinsip psikoterapi mengandung resiko,
hingga dapat mengakibatkan kerugian bagi pasien
dan bahkan dapat berpengaruh negatif pada efek
pengobatan.
Tidak jarang ditemukan penderita penyakit
iatrogenik khususnya iatrogenik mental atau
psikiatrogenik ialah penyakit yang disebabkan oleh
dokter.

Mungkin dokter tersebut kurang atau tanpa


menyadari
mengkontaminasi
usaha-usaha
pengobatannya karena ia kurang tepat mengelola
hubungan dokter-pasien.
Jadi tanpa disengaja dokter yang jujur dan dengan
kesungguhan
hati
beritikad
baik
untuk
mengamalkan ilmunya, merugikan pasien. Oleh
karena itu pendapat bahwa terapi lebih efektif
dan lebih komprehensif jika penanganan tidak
terbatas pada organ tapi juga meliputi pribadi
pasien itu ada benarnya.

Hubungan antara dokter dan pasien, sejak


dahulu kala merupakan hubungan yang khas. Yang
penting ialah terciptanya suasana terapi yang
diciptakan bersama antara dokter dan pasien.
Setidak-tidaknya suasana ini tidak dikontaminasi
atau diperhadapkan dengan hubungan dokterpasien yang kontra terapeutik. Hingga saat ini
masih merupakan faktor yang penting dalam
suasana terapi adalah keyakinan dan kepercayaan
pada dokternya dan faktor sugesti serta persuasi.

Untuk menciptakan suasana terapi perlu


diperhatikan a.l. :
Sikap : Dokter harus berusaha mengembangkan
hubungan dokter-pasien yang baik, untuk itu ia
harus mempunyai
kemampuan bersikap empati
ialah menghayati dengan penuh pengertian pada
emosi dan perilaku penderita yang dihadapi, yang
mana sidokter dapat mengekspresikan pada
gerak serta ucapan-ucapannya. Jadi dokter harus
menunjukan suatu perasaan simpati yang netral,
tanpa perasaan yang sentimentil atau simpati yang
berlebihan, oleh karena hal

ini dapat mengacau terapi ataupun


suasana rumah tangga dokter itu sendiri.
Sikap dokter yang acuh tak acuh, tidak sabar,
menyalahkan atau menakuti-nakuti, atau
melakukan pemeriksaan tambahan yang
berlebihan atau berulang-ulang, kurang
memberi keterangan pada pasien dan mungkin
melakukan
pemeriksaan laboratorium
yang
berkali-kali,
radiologik dsb, dapat
memperberat
atau
menimbulkan
kecemasan, depresi atau gangguan
psikosomatik.

Transference : Tidak jarang pula pasien


melakukan transferensi pada dokter ialah
memindahkan perasaan atau sikapnya secara
unconscious sebagaimana ia memperlakukan
seseorang yang berarti baginya.
Hal ini sangat berbeda pada tiap penderita dan
tergantung
pada
kepribadian
dan
gangguannya. Apabila emosi atau sikap yang
tidak enak dipindahkan misalnya rasa benci,
curiga, dsb.

Maka hal ini disebuttransference negative,


sedang apabila rasa kagum, cinta kasih dan
sikap bergantung yang nampak disebut
transference positive.
Pada setiap transference dokter harus waspada
agar
jangan
menimbulkan
counter
transference atau pemindahan balasan, karena
hal ini akan menghambat atau mengacaukan
suasana terapi. Misalnya dokter dengan mudah

timbul counter transference, si dokter menjadi


tidak sabar dan ikut marah bila pasiennya sinis
atau pasien marah-marah dan mengatakan
tidak percaya padanya, akibatnya pasien tidak
dapat ditolongnya dengan baik atau pasien
tidak mau datang lagi, dan pasien akan tetap
tegang dan cemas. Dengan demikian suasana
terapi rusak akibat counter transference
negative. Demikian pula halnya
dengan
counter transference

positive, si dokter akan terbawa-bawa oleh


perasaan terharu , membalas cinta kasih,
timbul simpati yang berlebihan, atau terbawa
perasaan sehingga dokter ikut menceriterakan
segala hal pribadinya sendiri yang telah dialami
atau yang sedang dihadapinya. Akibatnya
dokter sukar mempertahankan objektifitasnya.
Dan akibatnya pada pasien, mula-mula
mungkin pasien merasa baik karena dapat
saling menukar perasaan atau

saling
merayu,
tetapi
kemudian
pasien
mengharapkan lebih banyak dan lebih lanjut,
dan akan menjadi kecewa, tegang, cemas atau
depresi kembali bila harapannya tidak dapat
terpenuhi oleh dokter atau sebaliknya pasien
akan merasa bersalah karena perbuatannya.
Objektif : Sebaiknya dokter selalu berusaha
untuk menilai keadaan pasien secara objektif.
Kewaspadaan
akan
dinamika hubungan
dokter-

pasien merupakan faktor yang sangat penting


bagi dokter, agar tetap menilai secara objektif
dan mempunyai batasan diri, namun ia tetap
menunjukkan sikap empati, sehingga tidak
mudah hanyut dalam perasaan terhadap
pasiennya. Dengan demikian dokter akan tetap
sabar, toleran dan bebas daripada rasa cemas
pribadi untuk menghadapi pasiennya. Dan lebih
konkrit lagi dokter tidak
akan tertipu
oleh

seduksi atau bujukan, rasa bersalah atau benci


terhadap pasiennya sehingga ia tidak hanyut
dalam counter transference.
Tidak
kalah
pentingnya
mendapat
perhatian dokter ialah faktor sosio-budaya yang
dapat mempengaruhi suasana terapi.
Hal lain yang dapat menyukarkan suasana
terapi ialah suatu tahanan atau hambatan
pada pasien untuk mengungkapkan isi hati
yang

tidak enak, biasanya merupakan peristiwa atau


hal-hal yang telah menimbulkan stres baginya.
Dalam keadaan ini dokter harus bijaksana agar
pasien bersedia membuka isi hatinya, yang
kemudian dapat memberikan perasaan lega
pada pasiennya, dan dapat memungkinkan
timbulnya pengertian yang lebih baik mengenai
masalah itu.
Akan lebih membantu suasana
terapi
apabila

kita dapat mengadakan pendekatan pada pasien


dengan
memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku pasien.
Perilaku dapat ditimbulkan dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, misalnya :
- riwayat
persepsi
pasien
sejak
kecil
mengenai
penderitaan
- pengalaman tentang rasa nyeri dan sakit
- keadaan hidupnya saat itu
- harapan-harapan serta keinginan masa depannya

- asal genetik orang itu.

Ringkasan
- Telah dibicarakan secara singkat mengenai hubungan
dokter-pasien.
- Hubungan dokter-pasien tidak merupakan hubungan
sosial sehari-hari tapi merupakan hubungan yang
khusus dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip
psikoterapi.
- Agar suasana terapi berlangsung dengan baik dokter
harus mempunyai sikap dan perasaan empati, serta

bijaksana terhadap pasien, sadar akan adanya


transferensi dan tetap mempertahankan
objektifitasnya.

TERIMA KASIH

Вам также может понравиться