Вы находитесь на странице: 1из 12

II.

Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas
pemeriksaan kadarglukosa darah, tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuriasaja.
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan
asal bahan darahyang diambil dan cara pemeriksaan
yang dipakai. Untuk diagnosis DM,pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
caraenzimatik dengan bahan glukosa darah plasma
vena. Untuk memastikandiagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium
klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar
glukosa darahdapat dipakai bahan darah kapiler. Saat
ini banyak dipasarkan alatpengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya
sederhanadan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah memakaialat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan denganbaik dan
cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang
dianjurkan.Secara berkala , hasil pemantauan dengan
cara reagen kering perludibandingkan dengan cara
konvensional.
A. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaanpenyaring yang khusus ditujukan untuk
DM pada penduduk umumnya(mass-screening =
pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan
karenadisamping biaya yang mahal, rencana tindak
lanjut bagi mereka yangpositif belum ada. Bagi mereka
yang mendapat kesempatan untukpemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check up) ,
adanyapemeriksaan penyaring untuk DM dalam
rangkaian pemeriksaan tersebutsangat dianjurkan.

B. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis


Diabetes Melitus

Diagnosisklinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada


keluhan khas DM berupapoliuria, polidipsia, polifagia,
lemah, dan penurunan berat badan yangtidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakanpasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasienpria, serta pruritus
vulvae
pada pasien wanita.
Jika keluhan
khas,pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk
kelompoktanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satukali saja abnormal , belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinisDM.
Diperlukan
pemastian
lebih
lanjut
dengan
menddapatkan sekali lagiangka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil
tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)
-

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada


kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM,
yaitu :
- kelompok usia dewasa tua (>45 tahun )
- kegemukan {BB (kg)>120% BB idaman atau
IMT>27 (kg/m2)}
- tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
- riwayat keluarga DM
- riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi>4000 gram
- riwayat DM pada kehamilan
- dislipidemia
(HDL<35
mg/dl
dan
atau
Trigliserida>250 mg/dl
- pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa,


kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang
biasa dilakukan
puasa semalam, selama 10-12 jam
kadar glukosa darah puasa diperiksa
diberikan glukosa 75 gram atau 1,75
gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum selama/dalam waktu 5 menit
diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam
sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan
subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam pasca


pemberian pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu apabila
hasil glukosa darah < 140 mg/dl, maka dinyatakan
normal ; 140 - <200 mg/dl maka dinyatakan adanya
toleransi glukosa darah terganggu ; > 200 mg/dl
dinyatakan DM.

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*


1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma
vena)200 mg/dl , atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)126
mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori
sejak 10 jam terakhir ) atau Kadar glukosa
plasma200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harusdikonfirmasi ulang pada
hari yang lain, kecuali untuk keadaan
khashiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosisatau berat badan yang
menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin
diklinik.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua
individu dewasa dengan IMT > 25 kg/m2 dengan faktor
resiko lain sebagai berikut :
1) aktivitas fisik kurang,
2) riwayat keluarga mengidap DM pada keuturunan
pertama,
3) masuk kelompok etnik resiko tinggi,
4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan
berat >4000 gram awau riwayat diabetes melitus
gestasional,
5) Hipertensi,
6) Kolesterol HDL <35mg/dL dan atau trigliserida > 250
mg/dL,
7) Wanita dengan sindrom kistik ovarium,
8) riwayat Toleranesi glukosa terganggu atau glukosa
darah puasa terganggu,
9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi
insulin, dan
10) riwayat penyakit kardiovaskular.
Diagnosis Banding

Diabetes melitus tipe lain selain tipe dua memiliki


banyak kesamaan dalam gejala-gejala yang timbul dan
manifestasi klinis. Manifestasi klinis setiap diabetes
melitus yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang
akan menyebabkan berbagai komplikasi akut dan
komplikasi kronis. Diabetes yang sering ditemukan
yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Meski samasama berhubungan dengan kelebihan gula di dalam
darah, diabetes tipe 1 dan 2 punya beberapa
perbedaan yang sangat mendasar. Penyebabnya
sangat berbeda, pengobatan dan cara pencegahannya
juga tidak bisa disamakan begitu saja. Perbedaan
pertama terletak pada usia pasien saat pertama kali
didiagnosis. Diabetes tipe 1 lebih banyak menyerang
pasien di bawah umur 20 tahun sehingga sering
disebut juvenile onset, sebaliknya tipe 2 menyerang
usia 35 tahun ke atas atau disebut adult onset.
Penggunaan istilah juvenile onset dan adult onset saat
ini sudah dihilangkan, sebab pada kenyataannya
diabetes tipe 1 dan 2 bisa menyerang usia berapapun.
Hanya saja, kecenderungannya masih sama yakni tipe
satu lebih banyak menyerang di usia muda dan tipe 2
di usia tua. Selanjutnya adalah postur dan perawakan
pengidapnya. Pasien diabetes tipe 1 umumnya
memiliki perawakan kurus, sedangkan diabetes tipe 2
lebih banyak menyerang orang-orang bertubuh besar
yang dikategorikan kelebihan berat badan (overweight)
maupun obesitas. Diabetes tipe 1 dan 2 juga dibedakan
berdasarkan penyebabnya. Diabetes tipe 1 disebabkan
oleh kerusakan pankreas sehingga produksi insulin
berkurang, sementara tipe 2 disebabkan oleh resistensi
insulin dalam arti insulinnya cukup tetapi tidak bekerja
dengan baik dalam mengontrol kadar gula darah.
Karena penyebabnya berbeda, pengobatan kedua tipe
diabetes ini juga tidak sama. Pengidap diabetes tipe 1
membutuhkan insulin dalam bentuk suntikan maupun
pompa insulin sedangkan pasien diabetes tipe 2 cukup
mengonsumsi obat oral atau obat telan. Diabetes tipe
1 susah diprediksi dan dicegah, sebab merupakan
kelainan genetik yang dibawa sejak lahir. Lain halnya
dengan diabetes tipe 2 yang sangat bisa dicegah,
karena biasanya menyerang orang-orang dengan pola
makan tidak sehat dan jarang berolahraga. Dilihat dari
perbandingan jumlah kasus, diabetes tipe 1 mencakup
10-15 persen dari jumlah seluruh pengidap diabetes.
Dikutip dari ABC News, Senin (20/2/2012), jumlah
kasus diabetes tipe 2 terutama di negara maju dan
berkembang mencapai 85-90 persen dari seluruh

pengidap diabetes semua tipe. Pada diabetes tipe 2


faktor predisposisi yang sangat mencolok adalah
adanya obesitas sedangkan hal terserbut tidak
ditemukan pada diabetes tipe 1. Komplikasi-komplikasi
akut seperti adanya koma ketoasidosis, koma
hiperosmolar lebih sering ditemukan pada diabetes
tipe 1. hal ini terjadi karena adanya kerusakan dari sel
beta pankreas. Kerusakan ini menyebabkan tidak
terkendalinya diabetes melitus dengan kadar gula
darah yang biasanya relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan diabetes tipe lainnya. Kerusakan ini biasanya
ditimbulkan oleh adanya antibodi terhadap sel beta
pankreas, dan tidak ditemukan pada diabetes tipe 2.

Etiologi & Klasifikasi Diabetes Melitus


Secara klinis terdapat duam macam diabetes
tetapi sebenarnya ada yang berpendapat diabetes
hanya merupakan spektrum defisiensi insulin. Indifidu
yang kekurangan insulin secara total atau hampir total
dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau
insulin dependent atau ketosis prone, karena
tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa
hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang
lain terdapat individu yang stable atau maturity
onset atau non insulin dependent. Orang-orang ini
hanya menunjukan defisiensi insulin yang relatif dan
walaupun banyak diantara mereka mungkon
memerlukan suplementasi insulin, tidak akan terjadi
kematian karena ketoasidosis walaupun insulin
eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin
terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila
dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya
berhubungan dengan obesitas dan atau inaktifitas fisik.
Kedua kelompok besar diatas dapat dibagi lagi
atas kelompok kecil. Pada satu kelompok besar IDDM:
atau Diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA
tertentu pada kromosom enam dan benerapa auto
imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus pada
atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut
berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada
percobaan binatang, virus dan toksin diduga
berpengaruh pada kerentanan proses auto-imunitas
ini. Kelompok besar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe
2) tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau
autoimunitas dan biasanya mempunyai sel beta yang
masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak
bergantung pada insulin seumur hidup.

Patogenesis

Insulin sendiri memiliki beberapamekanisme


kerja dalam mengatur homeostatsis tubuh antara lain
yaitu pada sel lemak, otot dan hati. Pada jaringan
lemak akan meningkatkan uptake glukosa, lipogenesis
dan menurunkan lipolisis. Insulin pada sel otot akan
meningkatkan sintesis dari glikogen, ambilan glukosa
dan sintesis protein otot. Sedangkan pada hati akan
menurunkan glukoneogenesis, sintesis glikogen dan
penurunan lipogenesis. Keseluruhan mekanisme kerja
dari insulin ini menyebabkan penurunan kadar glukosa
darah.
Oleh karena itu apabila terjadi kerusakan dari sel
beta langerhans akan menyebabkan kekurangan
insulin dalam darah. Kekurangan insulin dalam darah
akan mempengaruhi sel otot, sel lemak dan sel hati
dengan efek yang terjadi merupakan kebalikan dari
efek kerja insulin seperti yang telah disebutkan diatas.
Kekurangan pembentukan sel otot, sel lemak dan
pemecahan glikogen hati akan menyebabkan polifagia.
Efek langsung dari insulin yaitu menyebabkan
hiperglikemia.
Ditambah
dengan
peningkatan
glukoneogenesis akan meningkatkan pembentukan
benda keton dari pemecahan lemak akan
menyebabkan kerusakan dari ginjal. Kerusakan ginjal
akan menyebabkan salah satu gejala khas dari DM
sendiri yaitu poliuria. Poliuria akan menyebabkan
kekurangan cairan tubuh yang hebat. Kekurangan ini
disertai dengan peningkatan ktekanan osmotik dari
darah akan menyebabkan rasa haus yang hebat.
Apabila jumlah intake cairan mencukupi dan ditambah
dengan ketosis maka akan menyebabkan koma
diabetes.

I.Hiperglikemia : pemicu progresi disfungsi sel beta


pankreas
Disfungsi sel beta tahap awal seperti telah
dikemukakan, didapatkan dalam bentuk abnormalitas
fase 1 dari sekresi insulin ( acute insulin responce = AIR
). Kelainan ini merupakan penyebab dari meningkatnya
kadar glukosa darah secara berlebihan segera sesudah
makan, yang disebut hiperglikemia akut postprandial (
HAP ). Perlu diingat bahwa disfungsi sel beta tidak
bekerja sendiri, tapi disertai defek genetik lainnya
yakni faktor insulin resistance, menyebabkan
terjadinya hiperglikemia.
Hiperglikemia sebagai manifestasi gangguan
metabolisme karbohidrat, bila tidak tertanggulangi,
segera akan diikuti pula oleh gangguan metabolisme
lainnya seperti lipid. Akibatnya, keadaan akan semakin
diperburuk oleh beban biokimiawi ganda yang merusak
kinerja sel beta. Hiperglikemia yang diikuti oleh
hiperlipidemia, dalam hal ini peningkatan asam
lemak bebas dalam darah, akan berakibat gangguan
fungsi sel beta. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
peningkatan kadar glukosa ataupun asam lemak bebas
secara berlebihan (excess fuel substrate) dalam sel
beta, suasana yang justru akan menjadi penghambat
proses sekresi insulin.

Secara pasti, bagaimana tahapan perjalanan penyakit


seseorang sampai diabetes muncull kepermukaan,
masih belum begitu jelas.Tidak dapat diramalkan
bahwa perjalanan diabetes seseorang akan persis sama
dengan yang lainnya dalam hal bentuk dan waktu
munculnya satu kelainan. Berbagai variasi perjalanan
penyakit justeru merupakan cerminan dari berbagai

variasii faktor etiologi ( poligenik ), serta faktor


lingkungan yang berperan. Namun satu hal disepakati,
bahwa gangguan sekresi dan gangguan aksi insulin
yang bersifat genetik telah harus diterima sebagaimana
adanya ( unmodifiable ), sedangkan faktor lingkungan (
acquired ) dapat diintervensi. Kombinasi kedua faktor
tersebut merupakan elemen yang penting dalam
patogenesis. Perjalanan penyakit ditentukan oleh
dampak interaksi antara faktor genetik dengan faktor
lingkungan. Intervensi terhadap life style, pola makan
yang kelebihan kalori, termasuk pengendalian glukosa
darah, terbukti memberi dampak positif terhadap
perjalanan penyakit. Dengan perkataan lain, hadirnya
faktor ini akan memperburuk toleransi tubuh terhadap
glukosa, yang berarti mempercepat laju perjalanan
penyakit
Apa yang terjadi akibat buruknya pola makan
ataupun faktor lingkungan lainnya, adalah perubahan
pada homeostasis terutama diawali oleh hiperglikemia.
Lingkungan ( homeostasis ) dengan kadar glukosa yang
tinggi bersifat toksik terhadap tubuh secara langsung
atau tidak langsung
Glucose toxicity merupakan faktor penting yang
berperan dalam proses kemunduran fungsi sell beta
dalam sekresi insulin. Pada keadaan normal, glukosa
diperlukan sebagai stimulator sel beta dalam produksi
insulin. Glukosa ekstraseluler dengan bantuan GLUT 2
akan berada didalam sel beta untuk kemudian akan
menjalani proses fosforilasi dan glikolisis. Proses yang
menghasilkan ATP ini yang nantinya menyebabkan
insulin disekresikan dari sel beta. Ini terjadi melalui
rangsangan yang menutup K channel , berlanjut
dengan depolarisasi membran sel, sehingga Ca channel
jadi membuka untuk memungkinkan masuknya Ca ++
yang berguna bagi pelepasan insulin keluar melewati
membran. Proses yang fisiologis ini tidaklah terjadi
seperti demikian pada mereka yang memiliki defek
genetik pada sel beta. Dimana persisnya lokasi defek
tersebut sampai saat ini belum dapt dipastikan.
Kemungkinan tempat terjadinya kelainan adalah pada
tahap glucose signaling atau pada tahap depolarisasi
membran atau mungkin juga pada tahap sintesis dari
insulin itu sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pada
tahap TGT, transportasi glukosa oleh GLUT 2 dan
ekspresi dari glukokinase masih berlangsung normal.
Kemungkinan kelainan terdapat pada proses
transkripsi dan translasi.

Telah dikemukakan diatas, bahwa defek yang terjadi


berjalan tahap demi tahap, sehingga dari waktu
kewaktu terjadi peningkatan intoleransi terhadap
glukosa. Meningkatnya kadar glukosa intrasel ( beta )
merupakan faktor yang menyebabkan proses
perburukan kinerja sel beta dalam sekresi insulin.
Kerusakan pada tahap permulaan masih sebatas tidak
adekuatnya fase 1, yang makin lama makin mengalami
defisiensi, namun masih diusahakan kompensasi pada
fase 2. Pada tahap lanjut bahkan fase 2 pun kepayahan
( exhausted ) sehingga terjadi defisiensi insulin secara
absolut. Kelainan metabolisme yang terlihat dimulai
dari toleransi glukosa normal, diikuti toleransi glukosa
terganggu, dan akhirnya diabetes.
Keadaan patologis diatas diperkirakan dapat
berlangsung secara cepat atau lambat tergantung pada
faktor pemicu ( trigger ) kerusakan, dalam hal ini
seberapa tinggi derajat hiperglikemia dan seberapa
lama keadaan tersebut dibiarkan berlangsung.
Disamping itu, terdapat satu hal penting lainnya, faktor
yang justru tidak dapat dikendalikan, yakni seberapa
besar faktor genetik yang melatar belakanginya.
Secara tidak langsung, akibat gangguan
metabolisme karbohidrat pada gilirannya akan
berpengaruh pada metabolisme lainnya termasuk lipid.
Gangguan pada metabolsme lipid akan meningkatkan
pelepasan asam lemak bebas kedalam darah.
Peningkatan asam lemak bebas ( free fatty acid = FFA )
dalam darah kemudian dalam sel beta, berdampak
sama dengan glukosa, yakni memperburuk fungsi sel
beta dalam sekresi insulin ( lipotoxicity )

II.Hiperglikemia : pemicu proses penurunan aksi


insulin
Seperti dikemukakan diatas, masih banyak yang
belum
begitu
jelas
mengenai
mekanisme
sesungguhnya dari insulin resistance. Bagian yang
paling rumit dan masih belum terungkap secara jelas
adalah pada fase 2 ( post signaling ) dari proses utilisasi
glukosa dalam sel ( Suryohudoyo, 2000 ) Insulin
resistance secara patogenesis mengalami peningkatan
oleh karena adanya interaksi faktor genetik dengan
faktor lingkungan ( enviromental factors ).Salah satu
faktor lingkungan yang berpengaruh adalah obesitas
yang terkait dengan kebiasaan makan berlebihan dan
kekurangan aktifitas fisik. Interaksi kedua faktor
tersebut secara klinis akan memberikan gejala
hiperglikemia yang terjadi secara langsung atau tidak
langsung Hiperglikemia yang kronis ( glucose toxicity ),
pada gilirannya akan memberi dampak desensitisasi
jaringan terhadap insulin ( insulin desensitisizer ).
Disamping peningkatan kadar glukosa plasma,
asam lemak bebas yang ditemukan dalam serum
dengan kadar tinggi juga berkaitan dengan insulin
resistance . Hiperlikemia kronis ( glucose toxicity ) akan
berakibat penurunan ambilan glukosa di otot oleh
karena terjadinya gangguan pada translokasi GLUT 4,
aktifasi protein kinase C yang pada gilirannya
meningkatkan fosforilasi dari serine dan menurunkan
aktifitas reseptor insulin dan juga IRS-1. Hiperglikemia
juga memberi peluang bagi peningkatan glucosamine
pathway sehingga meningkatkan resitensi insulin.
Seperti disinggung diatas, gejala ikutan atau
dampak tidak langsung dari gangguan metabolisme
karbohidrat, adalah gangguan metabolisme lemak yang
dapat memberikan gejala peningkatan kadar asam
lemak bebas serum. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan menurunnya transportasi glukosa
intrasel serta juga gangguan pada proses fosforilasi.
Kapasitas asam lemak bebas yang menghambat proses
glikolisis juga berperan dalam meningkatkan insulin
resistance. Obesitas sendiri diperkirakan menyebabkan
peningkatan resistensi insulin melalui jalur gangguan
pada aktifitas insulin reseptor kinase . Terdapat bukti
bahwa semakin tinggi indeks massa tubuh maka
semakin tinggi tingkat resistensi insulin.
Terdapat satu komponen metabolik lainnya
yang juga memberi dampak negatif terhadap
sensitifitas jaringan terhadap insulin yakni keadaan
hiperinsulinemia
itu
sendiri.
Hiperinsulinemia
merupakan bagian dari sindroma resistensi insulin, dan
sering ditemukan pada tahap pradiabetes atau
diabetes tahap awal. Hiperinsulinemia sesungguhnya
adalah bagian dari gangguan dinamika sekresi insulin,
diawali oleh tidak adekuatnya AIR, diikuti oleh HAP,
kemudian muncul mekanisme kompensasi pada fase 2
sekresi insulin sebagai antisipasi. Mekanisme

kompensasi inilah yang makin lama semakin menurun


sejalan dengan perjalanan penyakit DMT2 sampai
bahkan pada tahap hipoinsulinemia.
III. Hiperglikemia: pemicu kerusakan jaringan tubuh
Sel endotel kapiler retina, sel mesangial
glomerulus neuron dan sel Schwann saraf perifer
misalnya, rawan kerusakan. Sel sel tersebut tidak
mereduksi transportasi glukosa yang berlebihan dari
darah ke dalam sel, seperti yang dilakukan jaringan
lainnya yang tidak rentan.
Proses glikolisis didalam sel berlangsung secara
normal kalau enzim glyceraldehyde-3 phosphate
dehydrogenase (GADPH) cukup. Bila ada gangguan,
proses glikolisis macet dan mencari jalan hulu
(upstream) yang abnormal. Mekanisme tersebut
terjadi apabila enzim GADPH tidak mencukupi karena
proses glucotoxicity Kadar glukosa yang tinggi dalam
sel, produksi superoksida mitokhondria yang
berlebihan, kerusakan DNA, dan aktivasi PARP,
merupakan urutan proses yang menghambat GADPH (
9 ).

Unifying mechanism menjelaskan aktivasi dari


keempat jalur kerusakan akibat hiperglikemia intra sel,
disebabkan inaktivasi GAPDH oleh aktivasi PARP yang
meningkat karena kerusakan DNA oleh ROS yang
dihasilkan mitokhondria. Jadi, dalam hal ini kerusakan
bermula dari hambatan yang terjadi pada jalur normal
glikolisis dimana enzim GAPDH berperan sebagai
katalisator.

PENGOBATAN DIABETES MELITUS SERTA


PENCEGAHANNYA
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan


makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat
segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi,
sesuai
indikasi.
Dalam
keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus.

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola
gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan
mapan.
Pemberdayaan
penyandang
diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi.

2. Terapi Gizi Medis


Terapi Gizi Medis merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci
keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,


petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat
terapi gizi medis sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi. Dengan prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
Asupan karbohidrat sangat berpengaruh
terhadap kadar gula dalam darah. Oleh karena itu
karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total
asupan energi. Pembatasan karbohidrat total <130
g/hari tidak dianjurkan dan makanan harus
mengandung karbohidrat haruslah yangberserat tinggi.
Pemberian gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga
penyandangdiabetes dapat makan sama dengan
makanan keluarga yang lain. Pemberian gula hanya
sebagai penyedap hanya dibatasi dan tidak boleh lebih
dari 5% total asupan energi. Oleh karena itu pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted
Daily Intake). Pemberian karbohidrat ini diberikan pada
saat makan yaitu tiga kali sehari untuk
mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan
buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan
kalori sehari.
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25%
kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30%
total asupan energi. Dimana lemak jenuh < 7 %
kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda < 10 %,
selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain :
daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Kolesterol tetap sangat dibutuhkan oleh tubuh dengan
anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Asupan protein dibutuhkan sebesar 10 20%
total asupan energi.dengan sumber protein yang baik
adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,

kacang-kacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan


nefropati perlu penurunan asupanprotein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhanenergi dan
65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis
bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk pemanis
bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Dimana gula
alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol. Dalam penggunaannya, pemanis
bergizi ini perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Sedangkan
pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, neotame. Pengunaan
pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman(Accepted Daily Intake / ADI )
Pada penderita diabetes melitus penting untuk
dilakukan penghitungan jumlah kaloriAda beberapa
cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan
berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1


kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm
dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi
menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
q BB Kurang <18,5
q BB Normal 18,5-22,9
q BB Lebih >23,0
v Dengan risiko 23,0-24,9
v Obes I 25,0-29,9
v Obes II >30

Faktor-faktor lain juga menentukan kebutuhan


kalori antara lain jenis kelamin, aktivitas fisik, umurdan
berat badan. Dimana kebutuhan kalori pada wanita
lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg

BB. Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan


kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59
tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas 70 tahun. Hal yang paling
penting yang mempengaruhi kebutuhan kalori yaitu
aktivitas fisik atau pekerjaan. Dimana penambahan
sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas
sangat
berat.
Berat
badan
juga
dipertimbangkan dalam mengatur jumlah kalori yang
dibutuhkan. Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30%
ber-gantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus
ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan
berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600
kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan
komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%)
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh
mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyertanya.

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih
30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun
harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang
sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.

4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika
sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
Obat pertama yang dapat digunakan adalah
obat hipoglikemik oral. Berdasarkan cara kerjanya,
OHO dibagi menjadi 4 golongan yaitu : A. pemicu
sekresi insulin (insulin secretagogue) antara lain
sulfonilurea dan glinid; B. penambah sensitivitas
terhadap insulin: metformin, tiazolidindion; C.
penghambat glukoneogenesis
(metformin); D.
penghambat
absorpsi
glukosa:
penghambat
glukosidase alfa.

A. Pemicu Sekresi Insulin


Pemicu sekresi insulin yang pertama merupakan
obat golongan sulfonilurea. Obat golongan ini
mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang,
namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon)
berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma(PPAR-), suatu reseptor inti di sel
otot dan sel lemak.Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan
ambilan
glukosa
di
perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan


gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping
juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi
glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak
menimbulkan efek
samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Insulin dapat juga diberikan pada pasien


hiperglikemik yang disebabkan oleh diabetes melitus
tipe 2. Pemberian insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia
berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia
dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO
dosis hampir maksimal, Stres berat (infeksi sistemik,
operasi besar, IMA,stroke), kehamilan dengan
DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan atau alergi
terhadap OHO. Jenis dan lama kerja insulin dapat
dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid acting
insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin),
insulin kerja panjang (long acting insulin), insulin

campuran tetap, kerja pendek dan menengah


(premixed insulin). Efek samping utama terapi insulin
adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain
berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di
bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak
lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan
khusus diberikan intramuskular atau intravena secara
bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran
(mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja
menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu.
Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran
tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua
jenis insulin tersebut. Lokasi penyuntikan, cara
penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai
rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh
sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh
penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan
kesesuaian konsentrasi insulin (jumlah unit/mL)
dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari
semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap.
Saat ini yang tersedia hanya U100.
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan
jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian
OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik
di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai
dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal
(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan


sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan
diberikan insulin saja.

Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit diabetes melitus
dapat dilakukan dengan beberapa cara, dan terbagi
menjadi beberapa tipe.
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan
kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori
beresiko tinggi, yaitu orang-orang yang belum terkena
penyakit ini tapi berpotensi untuk mendapatkannya.
Untuk pencegahan secara primer, sangat perlu
diketahui terlebih dahulu faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap terjadinya diabetes melitus,
serta upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
faktor-faktor tersebut. Edukasi berperan penting dalam
pencegahan secara primer.
Pencegahan sekunder merupakan suatu upaya
pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit
dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak
awal. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan
penyaring. Hanya saja pemeriksaan tersebut
membutuhkan biayayang cukup besar. Pengobatan
penyakit sejak awal harus segera dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya penyakit menahun.
Edukasi
mengenai
diabetes
melitus
dan
pengelolaannya, akan mempengaruhi peningkatan
kepatuhan pasien untuk berobat.
Pencegahan tersier merupakan suatu
pencegahan dengan tujuan mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi penderita
sedini mungkin sebelum penderita mengalami
kecacatan yang menetap. Pencegahan semacam ini
yang disebut dengan pencegahan tersier. Contohnya
saja, acetosal dosis rendah (80 325 mg) dapat
diberikan secara rutin bagi pasien diabetes melitus
yang telah memiliki penyakit makroangiopati
(pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
pembuluh darah otak, pembuluh darah kapiler retina
mata, pembuluh darah kapiler ginjal). Pelayanan

kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin


terkait sangat diperlukan.

Prognosis
Diabetes melitus tipe 2 jarang menyebabkan
komplikasi akut yang menyebabkan kematian yang
mendadak. Sebagian besar kematian pada diabetes
melitus
tipe
dua
disebabkan
oleh
ketidakterkontrolannya gula darah. Oleh karena itu,
menjaga kadar gula darah plasma dalam batas normal
akan memperlambat timbulnya komplikasi kronis.
Sebagian besar komplikasi kronis baru akan terlihat
setelah 10-15 tahun apabila gula darah tidak dikontrol
dengan baik. Apabila kadar gula darah dikontrol
dengan baik, maka morbiditi dan mortaliti dari
diabetes melitus akan jauh berkurang dibandingkan
dengan pasien yang tidak terkontrol. Pencegahan dan
pencyuluhan juga menjadi sangat penting untuk
mengedukasi pasien tentang penyakit yang
dideritanya.

Kesimpulan
Diabetes Melitus menjadi masalah utama di
negara berkembang maupun negara maju karena
jumlahna yang terus meningkat, terutama dinegara
berkembang karena berubahnya pola hidup dan gaya
hidup. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes
melitus yang disebabkan oleh berkurangnya respon
jaringan terhadap insulin. Penatalaksanaan dibagi
menjadi 4 pilar utama yaitu olahraga, diet, edukasi,
dan pengungaan terapi farmakologis. Dengan
mengunakan
keemat
dasar
penatalaksanaan
diharapkan komplikasi baik akut maupun kronis dapat
berkurang secara signifikan

Вам также может понравиться