Вы находитесь на странице: 1из 25

Etika Administrasi

01DES
Apakah Etika Administrasi itu?
Beberapa pengertian (teori) mengenai etika administrasi adalah sebagai berikut:
1.

Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan
tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan
administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get thejob
done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya,
bagaimana gagasan-gagasan administrasi seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas
dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasangagasan dasar etika
mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itudapat menjelaskan hakikat
administrasi. (Ginandjar Kartasasmita, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas; diambil dari http://www.ginandjar.com/public/01EtikaBirokrasi.pdf)
2.
Etika administrasi di kalangan pegawai negeri tertentu disebut dengan kode etik. Misal Pegawai
Negeri Sipil (PNS) memiliki kode etik KORPRI yang disebut dengan Sapta Prasetya Korps Pegawai
Republik Indonesia dan Doktrin Korps Pegawai Negara Indonesia.(Drs. AW. Widjaja: 1994 dalam
buku Etika Administrasi Negara)

Jika kita mempelajari Etika Administrasi, hal-hal apa sajakah yang perlu diketahui?
Yang perlu diketahui jika kita mempelajari Etika Administrasi adalah mengenai pengertian etika,
administrasi dan etika administrasi itu sendiri. Bila seseorang memahami pengertiannnya maka ia akan
berusaha untuk menjalankan apa yang sesuai dengan pengertian tersebut. Menjalankan mana yang baik
dan meninggalkan yang tidak baik. Pemahaman mengenai pentingnya mempelajari etika administrasi ini
juga tidak kalah penting, agar kita tidak salah melangkah.
Selain itu perlu dipelajari pula semua hal yang berhubungan etika administrasi, di antaranya ialah
mengenai sistematika etika, hubungan (pemahaman) etika, moral, dan nilai, hubungan antara etika dan
agama, kebebasan dan tanggung jawab, kode etik, etos kerja, serta suara hati.

Mengapa legitimasi perlu untuk menegakkan aturan moralitas?


Legitimasi = kewenangan/keabsahan
Di dalam suatu sistem sosial senantiasa terdapat orang-orang yang mempunyai hak dan tanggung jawab
yang lebih bebas dalam bertindak, termasuk untuk hal-hal yang menyangkut kehidupan orang-orang
yang lainnya. Orang seperti itu disebut orang yang mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mengambil
keputusan yang berpengaruh terhadap khalayak. Oleh karena itu, kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sehingga
tingkah laku itu menjadi sesuai dengan yang keinginan dan tujuan orang yang mempunyai kekuasaan.

Namun demikian, adanya kekuasaan belum berarti keabsahannya. Keabsahan/hak kekuasaan untuk
menuntut ketaatan perlu dibuktikan. Pembuktian itu disebut legitimasi.
Legitimasi ini diperlukan untuk menegakkan aturan moralitas. Hal ini dikarenakan dengan legitimasi,
orang cenderung akan menaati aturan tersebut. Legitimasi dapat sedikit memaksa orang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Bagaimana caranya untuk dapat menegakkan Clean Government dalam pemerintahan?


Clean government dalam Bahasa Indonesia berarti pemerintahan yang bersih. Bila suatu Negara
memiliki clean government, maka akan tercipta good governance (pemerintahan yang baik) sebagai pola
baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintahan yang bersih sendiri terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan
tugas, fungsi dan tanggung jawabnya. Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang
diberikan kepadanya, mereka melakukan tindakan yang menyimpang dari etika administrasi publik
ataukah tidak.
Menurut Miftah Thoha (Bappenas, 2004) ada bebarapa faktor yang sangat menentukan dalam upaya
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa:
1.

Pelaku-pelaku dari pemerintahan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
aparatur
2.
Kelembagaan yang dipergunakan oleh pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan
kinerjanya
3.
Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintahan itu harus
diberlakukan
4.
Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak(visionary), demokratis dan responsif
Eksistensi dan pelaksanaan atas faktor-faktor tersebut diyakini akan mampu mendorong terciptannya
pemerintahan yang bersih (clean government). Namun demikian, masih banyaknya kelemahankelemahan yang dimiliki organisasi publik atau birokrasi, seperti lemahnya law enforcement, ketidak
jelasan dan ketidaklengkapan peraturan (pemanfaatan celah hukum), masih adanya duplikasi aturan dan
kewenangan lembaga-lembaga pengawasan internal (BPKP, Itjen, Depdagri, Bawasda), tidak efektifnya
pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga penegak hukum, standar pengelolaan kebijakan dan pelayanan
publik yang belum jelas dan tidak transparan, serta masih lemahnya partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, menjadikan clean government masih sulit untuk diwujudkan.
Upaya mewujudkan clean government melalui instrumen dan perangkat hukum di atas juga harus
dibarengi dengan upaya mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada pada
birokrasi melalui beberapa tindakan.
Pertama, untuk mengatasi kelemahan law enforcement, secara kelembagaan dibentuk komisi-komisi
yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja lembaga-lembaga penegak
hukum yang dilakukan secara bertahap, konsisten dan berkelanjutan.

Kedua, melakukan review terhadap peraturan yang memungkinkan adanya celah hukum yang dapat
dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan KKN dan memperbaiki substansi peraturan
perundang-undangan tersebut terutama yang berpotensi menimbulkan multi interprestasi (ambiguitas).
Ketiga, melakukan perbaikan aparatur pengawasan internal yang meliputi hubungan kelembagaan,
sistem dan proses kerja internal, aplikasi standar akuntansi pemerintahan yang sesuai dengan standar
internasional, pengembangan e-audit, sertifikasi pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan dan
pemeriksaan, serta peningkatan disiplin, kompetensi dan kesejahteraan para penegak hukum.
Keempat, penyusunan standar opersional pelayanan (SOP) untuk memperbaiki citra dan mengukur
kinerja lembaga pelayanan. Dalam konteks ini perlu mempertegas institusi yang bertanggung jawab
untuk : (a). menyusun norma, standar dan prosedur pengelolaan pelayanan publik, (b). memperkuat
fungsi dan kewenangan unit yang mengelola informasi, mereview dan menganalisa, merumuskan dan
menetapkan indikator kinerja, (c) mensosialisasikan SOP pengelolaan pelayanan dan indikator kinerja
pada lembaga-lembaga terkait, dan (d) melakukan pemantauan dan penilaian atas capaian kinerja oleh
lembaga independen.
Kelima, melakukan pemberdayaan masyarakat terutama dengan menghidupkan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang memiliki fungsi pengawasan, memperkuat pemahaman dan menumbuhkan rasa
tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan disertai penyediaan fasilitas yang
menunjang proses pembelajaran mengenai civic education.
Keenam, mengadakan regulasi standar kinerja profesional individu dan institusi, memperkuat
kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan profesionalitas, melakukan review sistem dan proses
pengelolaan kebijakan remunerasi, menyusun dan menerapkan sistem reminsi yang sesuai standar hidup
layak serta penegakanreward and punishment.
Namun demikan, perlu ditekankan bahwa keberhasilan mewujudkan clean government tersebut hanya
dapat dicapai melalui keterlibatan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang memiliki kompetensi,
komitmen dan konsistensi serta memiliki peran yang seimbang (check and balances) dengan memelihara
nilai-nilai kemanusian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagaimana cara mengukur aparatur pemerintah yang accountable?


Berkaitan dengan standard yang digunakan dalam pengukuran akuntabilitas ada sepuluh komponen
pengukuran, yaitu mutu pekerjaan, kejujurna pegawai, inisiatif, kehadiran, sikap, kerja sama, keandalan,
pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab, serta penggunaan waktu. Faktor penting lainnya yang
perlu diperhatikan dalam penilaian dalam kaitannya dengan akuntabilitas yaitu verifikasi penggunaan
sumber daya yang tersedia, pencapaian target dan penilaian output yang dihasilkan.
Metode yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas aparatur pemerintah adalah sebagai berikut:
1.

Self appraisals; dilaksanakan sendiri oleh pegawai, terutama yang berkaitan dengan potensi
yang dimiliki untuk pelaksanaan kerja di masa mendatang
2.
Management by Objectives (MBO); intinya adalah tujuan kinerja yang terukur secara obyektif dan
disepakati bersama oleh pegawai dan atasannya
3.
Psycological appraisals; digunakan untuk mengukur potensi pegawai yang mencakup kondisi
psikologisnya bagi kepentingan organisasi pada masa mendatang

4.

Assement centre; untuk menilai potensi yang dimiliki pegawai yang potensial, pejabat atau
manajer yang prospektif terhadap penugasan pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar di
masa mendatang. Penilaian dilakukan dengan mengumpulkan mereka di satu tempat, kemudian
secara individual dilakukan teknik evaluasi potensi, seperti melalui wawancara secara komprehensif,
psikologi tes, penelusuran biodata, dll.

Menurut saudara isme atau landasan etika yang manakah yang sesuai untuk diterapkan di
Indonesia?
Terdapat beberapa landasan etika dalam menentukan baik dan buruk. Di antaranya adalah aliran
sosialisme, hedonisme, intuisisme, utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evoulusisme.
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Aliran sosialisme ; Menurut aliran ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat yang
berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat
dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan
kalau perlu dihukum secara adat.
Aliran hedonisme ; Inti dari paham ini yaitu perbutan yang baik adalah perbuatan yang banyak
mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan
bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan melainkan ada pula yang mendatangkan
kepedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang
dilakukan adalah mendatangkan kelezatan.
Aliran intuisisme ; Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan
insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini
terkadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungan, akan tetapi ia dasarnya tetap
sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat
semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan
buruknya.
Aliran utilitarianisme ; Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik
adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku
bagi masyarakat dan Negara disebut sosial.
Aliran vitalisme ; Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup
manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai
yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat
dan manag itulah yang baik.
Aliran religiusisme ; Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai
dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat
memegang peranan penting, karena tidak mungkin oaramng mau berbuat sesuai dengan kehendak
Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.
Aliran evoulusisme ; Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang
ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kesempurnaanya.
Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang,
manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga benda yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera,
seperti akhlak dan moral.
Aliran-aliran lainnya : (1) Humanisme, (2) Liberalisme, (3) Individualisme, dan (4) Idealisme; dari
bahasa Inggris yaitu Idealism dan kadang juga dipakai istilahnya mentalisme atau

imaterialism. Pengertian idealisme di antaranya adalah adanya suatu teori bahwa alam semesta
beserta isinya adalah suatu penjelmaan pikiran; untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung
pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran.
Dari berbagai paham tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan kebaikan mereka
mempunyai cara pandang yang beragam tolak ukurnya. Sosialisme standarisasinya adat istiadat,
hedonisme berdasarkan kelezatan, kenikmatan dan nafsu biologis, intuisisme merujuk pada insting batin,
utilitarianisme berpedoman pada berguna atau tidaknya suatu perbuatan, sedang religiousisme tolak
ukurnya kehendak Tuhan dan evoulusisme berpijak pada perkembangan dari biasa saja menuju
kesempurnaan.
Menurut saya, dari beberapa landasan etika di atas yang paling sesuai diterapkan di Indonesia
adalahrelegiusisme. Hal ini dikarenakan tolok ukur landasan tersebut adalah kehendah Tuhan. Dan saya
yakin, bahwa Tuhan menghendaki hal-hal yang baik. Hal baik dan buruk itu sudah benar-benar jelas,
mana yang baik (sesuai dengan kehendah Tuhan) dan mana yang buruk (tidak sesuai dengan kehendah
Tuhan). Tinggal apakah manusia tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan? Hal ini harus dipelajari agar
kita mengerti dan memahami sehingga dapat tahu mana yang baik dan buruk.
Bila menggunakan aliran ini sebagai landasan, maka tidak akan ada perbedaan pengertian di suatu
daerah dengan daerah lain. Hal ini dikarenakan landasan yang dipakai sama yaitu kehendak Tuhan, dan
kehendak Tuhan adalah sama di mana pun tempatnya.

Mengapa korupsi masih merajalela di Indonesia? Dari segi manakah yang salah?
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan
suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian
perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
hingga kinipemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat
Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari
banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang
sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga
bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Ada empat
faktor dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum yang masih
lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan `political will.`
Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi. Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono,
tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni (1) dorongan dari dalam diri sendiri
(keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya), dan (2) rangsangan dari luar (dorongan teman-teman,
adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul Strategi Pemberantasan Korupsi, antara lain:

Aspek Individu Pelaku

Sifat tamak manusia; Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin
atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya
hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari
dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

Moral yang kurang kuat; Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak
yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

Penghasilan yang kurang mencukupi; Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan
selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit
didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak
korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan
di luar pekerjaan yang seharusnya.

Kebutuhan hidup yang mendesak; Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang
mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang
untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

Gaya hidup yang konsumtif; Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup
seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang
memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi
hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

Malas atau tidak mau kerja; Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan
tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan
apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

Ajaran agama yang kurang diterapkan; Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu
akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama
kurang diterapkan dalam kehidupan.
Aspek Organisasi

Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan; Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal
maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar
bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
Tidak adanya kultur organisasi yang benar; Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat
terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan
berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan
negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai; Pada institusi
pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga
belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna
mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya
perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi
organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

Kelemahan sistim pengendalian manajemen; Pengendalian manajemen merupakan salah satu


syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota
atau pegawai di dalamnya.

Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi; Pada umumnya jajaran


manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi.
Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya
masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap
ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.

Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang
menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum
yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga
karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan
anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat
sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.

Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat
ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut
melakukannya.

Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di


dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik
yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan
yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan
pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Bila diperhatikan dari berbagai penyebab korupsi di atas kita dapat melihat bahwa semua pihak
mempunyai andil tersendiri terhadap merajalelanya korupsi. Jika ada pertanyaan mana yang salah?,
maka saya akan menjawab semua salah. Pemerintah, masyarakat serta yang paling kuat adalah setiap
individu itu sendiri.
Kita pasti pernah mendengar ungkapan ada niat dan kesempatan. Itu pula yang terjadi dengan kasuskasus korupsi yang ada di Negara kita. Ketika seseorang mempunyai niat untuk melakukan tindak
korupsi sekecil apapun, mungkin dengan alasan seperti yang telah disebutkan di atas, pasti ada saja cara
yang ia temukan untuk melakukan kejahatan tersebut. Begitu pula, ketika seseorang tidak memiliki niat
untuk berkorupsi tetapi lingkungan mendorongnya untuk melakukan hal tersebut; apabila tidak memiliki
iman yang kuat apa yang terjadi? Tentu ia juga akan terpengaruh dan terpancing untuk berkorupsi.
Adanya aturan-aturan yang sudah jelas dan sanksi yang diberikan tidak cukup untuk membuat orang
jera. Karena memang aturan-aturan tersebut belum dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Masih ada
saja pelaku korupsi yang berkeliaran di luar dan terus menggerogoti uang rakyat dan sebagainya.

Kesimpulannya adalah, semua salah (pemerintah, masyarakat, tiap individu). Semua pihak-pihak
tersebut mempunyai andil tersendiri terhadap merajalelanya korupsi di Indonesia.

Menurut saudara pendidikan moral yang bagaimanakah yang dapat diterapkan di lingkungan
pendidikan di Indonesia?
Terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain (1)
Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran
yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri,
ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan
hidup manusia; (2) Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan
proses belajar mengajar. (3) Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia,
khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar
pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan
beragama.
Pendidikan moral yang dapat diterapkan di Indonesia adalah pendidikan moral yang memberikan
pengetahuan tentang dasar-dasar konsep pendidikan moral pada umumnya dan dasar serta konsepkonsep pendidikan moral pancasila pada khususnya. Nilai-nilai yang dapat ditanamkan melalui
pendidikan moral di antaranya ialah sebagai berikut:
1.
2.
3.

Nilai sosial; kerja sama, kebersihan lingkungan, kebajikan, persaudaraan


Nilai personal; rendah hati, dapat dipercaya, disiplin, toleran, tertib, kebersihan
Nilai kenegaraan; kesadaran nasional, patriotisme, ketaatan pada pemerintah, suka damai,
persaudaraan
4.
Nilai prosedural; pendekatan ilmiah terhadap kenyataan, mencari kebenaran, dll.
Sedangkan materi yang dapat disampaikan adalah pedoman tingkah laku bagi seluruh warga negara
Republik Indonesia, pedoman formal dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, serta
pedoman dan petunjuk arah kebijaksanaan dan proses pembangunan di segala bidang.

Bagaimana hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab?


Kebebasan dan tanggung jawab tidak dapat dipisahkan. Orang yang dapat bertanggung jawab terhadap
tindakannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan
dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas.
Moralitas (kewajiban dan larangan) dibuat karena mengandaikan adanya kebebasan. Sebagai contoh
adalah seseorang membeli teh botol di warung seharga Rp. 1.500,-. Ia membayar dengan uang Rp.

5.000,- tetapi karena keliru, sang penjual memberi uang kembaliannya sebesar Rp. 8.500,-. Apa yang
akan ia lakukan? Setidaknya ada dua pilihan kebebasan, yaitu: (1) mengatakan kekeliruan sang penjual,
dan mengembalikan kelebihan uang itu; atau (2) mendiamkan kekeliruan sang penjual, dan mengambil
keuntungan dari situ.
Tanggungjawab berkaitan dengan penyebab. Yang bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau
yang melakukan tindakan. Tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan dan sebaliknya. Bahkan George
Bernard Shaw berpendapat bahwa Kebebasan berarti tanggung jawab. Itulah sebabnya mengapa
kebanyakan manusia takut terhadapnya. Hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab di antaranya
ialah:
1.
Ruang kebebasan harus diisi dengan sikap dan tindakan
2.
Kebebasan memungkinkan kita sendiri yang menentukan tindakan
3.
Tindakan yang diambil dalam kebebasan menjadi tanggungjawab kita

Sejauh mana faham liberalisme telah merasuk dalam kehidupan masyarakat kita?
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencitacitakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme
menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha
pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan
menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut
menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk
membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang
mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan
dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat
atau negara.
Liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial-politis yang mengajarkan kebebasan
masyarakat dalam berpendapat, berserikat, dan berkumpul serta menentukan nasib sendiri. Saat ini,
proses liberalisasi sosial-politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak.
Liberalisasi sosial-politik ini kemudian disusul dengan liberalisasi di bidang ekonomi. Setelah menyentuh
wilayah ekonomi, politik, dan sosial maka wilayah agama pun pada gilirannya dipaksa harus membuka
diri untuk diliberalisasikan.
Dengan prinsip menjunjung tinggi kebebasan individual, liberalisme memperbolehkan setiap orang
melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat aturanaturan agama. Bahkan, kalau memang aturan agama yang ada tidak sesuai dengan kehendak manusia,
maka yang dilakukan kemudian adalah menafsir ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan
prinsip-prinsip dasar liberalisme.

Wajar jika kemudian, berbagai tindakan amoral pun sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus
homoseksual, seks bebas, dan aborsi bisa dianggap legal karena telah mendapatkan justifikasi ayatayat Tuhan yang telah ditafsir ulang
itu. Ini merupakan berberapa akibat dari paham liberalisme ini.
Jika kita meneliti lebih jauh ide-ide liberalisme yang mewabah saat ini, tampak dengan jelas kehancuran
yang ditimbulkannya. Bagaimana jika seks bebas,
homoseksualitas/lesbianisme, aborsi, dan single parent telah menjadi budaya modern yang diadopsi oleh
banyak manusia? Apa bukan bencana dahsyat? Dapat kita bayangkan, `bom liberalisasi adalah `bom
yang bisa menghancurkan masa depan umat manusia.
Konspirasi Barat dalam mempropagandakan liberalisme sudah masuk pada tataran individu dan
keluarga. Ini berarti, individu dan keluarga, sadar atau tidak, telah dengan mudah bisa mengakses dan
mengadopsi pemikiran-pemikiran liberal. Tanpa dipaksa, mereka menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai gaya hidup modern. Lihatlah bagaimana media cetak, elektronik, dan maupun audio
visual yang dengan efektif dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya liberal kepada masyarakat.
Selain itu ada juga pengaruh di bidang ekonomi. Pengaruh liberalisme masuk ke dalam skenario
pembangunan nasional Indonesia melalui berbagai undang-undang tentang modal asing sejak tahun
1967. Bidang-bidang yang paling intensif terpengaruh oleh modal asing ini antara lain adalah sektor
industri, pertambangan, perkebunan, keuangan dan perbankan. Investasi dalam bidang pertambangan
dan perkebunan memerlukan penyediaan lahan yang amat luas, yang di beberapa daerah
mengakibatkan penggusuran rakyat setempat dari tanah yang sudah didiaminya selama berpuluh tahun.
Dalam dasawarsa 1990-an, pengaruh liberalisme ini semakin berkembang melalui faham neo-liberalisme,
yang bertujuan untuk mengkomersialkan seluruh barang dan jasa, jika perlu dengan meniadakan fungsi
pemerintah dalam bidang kesejahteraan rakyat. Privatisasi besar-besaran BUMN termasuk dalam
kerangka pengaruh liberalisme ini. Pengaruh lain liberalisme di Indonesia dapat dituliskan sebagai
berikut:
1.
2.

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang digunakan di Indonesia


Anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara,
kebebasan beragama dan kebebasan pers
3.
Pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat
hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri
4.
Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu,
pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah,
karena kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan sehingga perlu dibatasi

Menurut saudara di mana letak manfaat kode etik bagi kehidupan masyarakat?
Manfaat kode etik bagi masyarakat di antaranya adalah sebagai berikut:
1.

Memberikan patokan-patokan sikap mental yang ideal bagi segenap anggota masyarakat

2.

Mendorong keberhasilan masyarakat di mana anggota masyarakat memiliki inisiatif-inisiatif yang


baik, jujur, teliti
3.
Masyarakat akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya yang melihat
kedudukan tersebut sebagai alat, bukan tujuan hidupnya
4.
Anggota masyarakat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan
kewajibannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus mengabdi kepada-NYA

Coba jelaskan mengapa suara hati perlu diikuti?


Suara hati (conscience) adalah pusat kemandirian moral manusia. Ciri khas suara hati adalah tidak dapat
ditawar dengan pertimbangan untung-rugi, sengan-tidak senang.
Suara hati perlu diikuti karena suara hati merupakan suatu kekuatan yang selalu memperingatkan
perbuatan buruk dan usaha mencegah perbuatan itu serta memerintahkan untuk melaksanakan
kewajiban. Sebagai contoh adalah ketika kita pernah berbuat buruk, sebenarnya ada sesuatu yang
mengingatkan kita bahwa yang kita lakukan tidak benar. Hanya saja, terkadang manusia tidak mau
mendengar suara hatinya.
Suara hati cenderung benar. Hal ini berlaku bagi orang-orang yang memang biasa mengikuti kata hati
yang benar. Untuk itu, suara hati tetap perlu untuk dibina agar sesuai dengan kewajiban dan tanggung
jawab kita.
Tinggalkan komentar
Ditulis oleh zizer pada 1 Desember 2009 in Etika Administrasi

Etika sebagai Ilmu Pengetahuan


tentang Kesusilaan
01DES
Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar ke alam etika. Pertanyaan pertama yang muncul ialah Apa
itu etika?. Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak akan mengawali dari pembicaraan mengenai
sejarah kata serta pengertian etika. Tetapi sekedar menetapkan, seperti yang telah kita peroleh dari
orang-orang Yunani. Dan yang penting saat ini ialah mempertanyakan hal apakah yang ditunjuk oleh kata
tersebut.
Rumusan singkat dari kata etika ialah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Rumusan ini
memang sangat singkat, namun belum jelas. Ada dua pertanyaan yang ditimbulkan Apakah ilmu
pengetahuan itu, dan apakah kesusilaan itu?. Dua pertanyaan ini harus kita jawab lebih dulu sebelum
kita dapat memahami apakah yang terkandung dalam pernyataan bahwa etika ialah ilmu pengetahuan
tentang kesusilaan. Namun demikian, pertanyaan tersebut hanya akan kita jawab secara ringkas.

Ilmu Pengetahuan

Mengenai ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut: Seorang penyelidik ilmiah hendak
mengetahui kebenaran tentang sebagian kenyataan. Misalnya, ia hendak mengetahui bagaimanakah
kenyataan tadi dan mengapa demikian keadaanya. Jadi, tujuan yang hendak dicapainya ialah
pengetahuan yang benar. Untuk mencapai tujuan itu, ia memulai secara cermat, mengamati gejala-gejala
yang diselidikinya dan bila perlu menguraikannya ke bagian-bagian yang lebih terperinci. Dan dengan
demikian, ia memisah-misahkan berbagai aspek, faktor, unsur, komponen, dan sebagainya. Bila yang
hendak diketahuinya adalah adat kebiasaan suatu suku bangsa asing, maka secara berturut-turut
diselidikinya kebiasaan-kebiasaan suku bangsa yang bersangkutan dengan masalah pangannya,
perumahan, berburu, perkawinan, keagamaan, dan sebagainya.
Setelah melakukan observasi serta analisa, ia melakukan deskripsi dengan dicantumkan hasil
pengamatan yang telah dilakukan. Maka dengan sendirinya muncul berbagai masalah yang harus
diselesaikan (bahan-bahan tersebut menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab oleh penyelidik).
Misalnya, suku bangsa yang diselidiki memiliki kebiasaan perkawinan yang sangat menyimpang dari
kebiasaa suku-suku bangsa yang berdekatan. Pertanyaan yang timbul ialah Mengapa demikian?. Atau
yang diselidiki ialah sebuah suku bangsa pemenggal kepala, masalah yang menghendaki pemecahan
ialah Mengapa suku bangsa tersebut melakukannya?.
Manakala pertanyaan-pertanyaan tersebut telah dijawab dengan memuaskan, maka gejala yang
diselidikinya telah memperoleh penjelasan. Penjelasan itu dikatakan memuaskan bila mempunyai dasar
pembenaran, dan dikatakan mempunyai dasar pembenaran jika ditopang oleh alasan-alasan yang masuk
akal. Ini berarti di satu pihak penjelasan tersebut harus didasarkan fakta-fakta yang diamati dan di lain
pihak kesimpulan-kesimpulannya diambil melalui penalaran logik. Misalnya, dapat diajukan alasan-alasan
yang baik untuk mengaitkan pemenggalan kepala dengan sejumlah citra keagamaan ini, maka menilik
sifat-sifat yang dipunyai manusia, segera dapat dibayangkan atau masuk akal, suku tersebut sampai
melakukan pemenggalan kepala. Penjelasan yang demikian ini dapat bersifat tersusun dalam hal
semacam ini kita berbicara mengenai suatu teori.
Kiranya jelas, berbagai pernyataan yang menyusun teori tersebut harus saling berhubungan, atau
dengan kata lain, harus merupakan suatu system. Ilmu pengetahuan senantiasa merupakan suatu proses
sistematik, bahkan sesungguhnya juga dalam penyelidikan serta deskripsinya. Hendanya diingat pula,
sebuah terori selalu dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai fakta-fakta secara
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sementara itu, harus diperhatikan pula, bahwa gejala-gejala yang sangat berbeda, menghendaki caracara penyelidikan yang sangat berbeda pula. Sebuah bintik kabut diamati secara berbeda disbanding laju
suatu bagian yang bermuatan listrik, adat kebiasaan sebuah suku bangsa diamati secara berbeda
disbanding perilaku seekor sarcophaginae, dan sebagainya. Ini sekaligus menuntut deskripsi dan cara
menjelaskannya, juga berbeda. Dengan kata lain, setiap ilmu pengetahuan mempunyai metodenya
sendiri-sendiri. Kata ini merupakan hasil penjabaran kata Yunani hodos yang berarti jalan. Istilah ini
mengacu pada jalan yang harus dilalui untuk sampai pada objek tertentu.

Kesusilaan
Yang dinamakan kesusilaan ialah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar
dan larangan. Baik hukum sepuluh amar, maupun kitab hukum Hammurabi, serangkaian ajaran
kesusilaan yang berasal dari Jaman Kuno, ajaran moral yang diberikan kepada anak, senantiasa
mengatakan berbuatlah begini atau seharsnyalah berbuat begini atau hendalkah berbuat begini dan tidak
berbuat begitu atau singkirkanlah hal itu. Dengan kata lain kesusilaan menanamkan wajib dan darma.
Secara demikian kesusilaan mengatur perilaku manusia serta masyarakat, yang di dalamnya manusia
tersebut ada. Behubung dengan itu manusia tidak boleh semaunya sendiri berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Perilakunya diatur atau ditentukan oleh norma kesusilaan.
Dapat juga dikatakan bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan. Ini berarti bahwa kehidupan alaminya,
seperti nafsunya, kecenderungan, cita-cita, dan sebagainya, seolah-olah disalurkan atau tertuang ke
dalam bentuk tertentu. Demikianlah, umpananya, perwujudan seksualitas, suatu keadaan alami,
mendapatkan pembatasan, disalurkan atau dibentuk oleh aturan-aturan yang mengatakan bahwa
bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan yang sudah masak ditinjau dari segi seksual
berperilaku terhadap seseorang dari lawan jenisnya, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi yang
membolehkan wanita dan pria bergaul dan sebagainya. Aturan-aturan ini secara keseluruhan dinamakan
moral seksual.
Kumpulan aturan semacam ini berlaku juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Dengan demikian
aturan-aturan tersebur sudah mengandaikan suatu kehidupan alami atau katakanlah kehidupan hewani,
namun menetapkan syarat-syarat tertentu bagi perwujudannya. Manakala seseorang memenuhi syaratsyarat kesusilaan itu, maka perilakunya dan dia sendiri disebut baik (dari segi kesusilaan), dalam hal
yang sebaliknya dikatakan buruk (dari segi kesusilaan).
Norma-norma kesusilaan kadang- kadang bersifat tertulis dan kadang- kadang tidak. Di atas telah
diberikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan moral yang dikodifikasikan dan yang tidak
dikodifikasikan. Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau para
pembentuk hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu
bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum
keagamaan bersifat agak panjang lebar.
Norma-norma yang lebih terjabar misalnya tidak ditetapkan secara tertulis kecuali kadang-kadang dalam
buku-buku pegangan mengenai moral. Bahkan karya tulis yang paling panjang lebar sekalipun tidak akan
dapat memberikan segenap peraturan khusus. Dalam bidang kesusilaan banyak yang tetap dihayati di
dalam keinsyafan kesusilaan manusai-manusia yang bersangkutan. Jelaslah kiranya tidak ada moral
tunggal yang diterima oleh segenap manusia, melainkan terdapat banyak moral yang berbeda-beda
menurut waktu, tempat dan keadaan.

Etika
Kini dapatlah kita memahami secara lebih baik, apakah artinya bila dikatakan, etika ialah ilmu
pengetahuan mengenai kesusilaan. Ini berarti bahwa etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah.

Gejala atau lebih tepat kumpulan gejala yang dinamakan kesusilaan, moral atau ethos dapat juga ditinjau
secara lain. Setiap orang menghadapi masalah-masalah kesusilaan, yang barangkali direnungkannya.
Misalnya ia mendengar terjadinya suatu peristiwa bunuh diri yang sangat mengharukan, ia
merenungkannya dan mempertanyakannya dalam hati; apakah bunuh diri itu sesungguhnya
diperbolehkan. Jika ia melakukan hal semacam itu, maka ia telah berurusan dengan etika, meskipun
hanya secara kebetulan, secara sepotong-sepotong atau secara tidak sistemik, dengan demikian secara
prailmiah.
Juga masalah-masalah kesusilaan yang lain merangsangnya untuk merenungkannya, mungkin sekali ia
membandingkan kesimpulan yang ditariknya dengan kesimpulan orang lain. Dapat terjadi bahwa ia
menuliskan hasil pertimbangannya meskipun untuk sementara masih tidak begitu saling berhubungan
atau setidaknya saling berhubungan secara longgar sedikit banyak bersifat aforistik. Kita memiliki
berbagai kumpulan aforisma kesusilaan yang berasal dari Yunani Kuno. Ajaran-ajaran kesusilaan
tersebut tercampur dengan nasihat-nasihat bagaimana manusia dapat mencapai hidup yang
memuaskan, yang bahagia.
Mungkin juga orang meletakkan hubungan yang lebih besar antara ajaran-ajaran kesusilaan. Di dalam
sejarah kita dapati banyak kaum moralis. Salah seorang yang tertua ialah Theophrastus, seorang murid
dan pengganti Aristoteles sebagai pimpinan madzabnya, mewariskan sekumpulan apa yang
dinamakan perwatakan.
Yang terkenal dari abad 17 dan 18 di kemudian hari ialah para moralis La Rochefoucauld, La Bruyere dan
Vauvenar gues yang membuat catatan-catatan yang tajam mengenai perilaku orang-orang yang hidup
sejaman dengan mereka. Masyarakat pada jaman mereka hidup menaruh kebencian terhadap penyair
pengejek Inggris, Jonathan Swiff, yang menceritakan tentang kisah perjalanan Gulliver dan Mandeville
dalam Fabel Lebah. Dalam hubungan ini dapat juga kita ingat tokoh Belanda abad 18, Justus van Effen,
dan para pengikutnya. Hieronymus van Alphen memberikan ajaran kesusilaan bagi anak-anak dalam
bentuk syair.
Bentuk sastra yang berisi ajaran kesusilaan yang sangat disukai ialah bentuk fabel hewan, seperti Van de
Vos Reinaerde serta fable-fabel hasil karya La Fontaine. Yang menarik ialah bahwa upaya memberikan
ajaran kesusilaan sering berbentuk kebencian serta ejekan terhadap cela. Acap kali ternyata bahwa kaum
moralis memiliki banyak sekali pengetahuan tentang manusia.
Dengan menyebutkan sejumlah penulis di atas dan terutama dengan menyebutkan para penulis fable
hewan, sampailah kita pada bentuk pembicaraan yang lain mengenai masalah-masalah kesusilaan, yaitu
masalah seni sastra. Banyak roman drama serta syair membahas masalah-masalah kesusilaan yang
sering mendalam. Juga hasil-hasil karya sastra itu sering menunjukkan terdapatnya pengetahuan yang
dalam tentang manusia. Dalam hal ini kita lebih baik berbicara mengenai perenungan non-etik disbanding
perenungan pra-etik mengenai masalah-masalah kesusilaan. Perenungan pertama dapat beralih kepada
etika yang lebih ilmiah, perenungan terakhir dapat memberikan bahan bagi etika yang demikian itu,
namun tidak dapat beralih kepadanya.

Yang membedakan etika dari segenap cara pendekatan mengenai masalah kesusilaan ialah etika
membahas masalah kesusilaan serta ilmiah. Ungkapan ini nantu akan menjadi jelas. Pernyataan yang
menyebutkan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan membawa akibat bahwa hendaknya
dipilihkan antara etika dengan kesusilaan, yaitu sebagai objek ilmu pengetahuan tersebut.
Sering terjadi, orang memakai kata-kata etik dan susila secara saling dipertukarkan, yang satu
dijumbuhkan dengan yang lain. Sering kali juga orang mengatakan etik, sedangkan yang dimaksud ialah
susila atau bermoral. Orang berbicara mengenai manusia yang tinggi martabatnya ditinjau dari segi etik,
perilaku etik, motif-motif etik, sedangkan seharusnya yang dipakai ialah kata-kata susila.
Yang demikian ini seperti kerancuan yang terdapat antara pengertian psikologik (bersifat atau secara ilmu
jiwa) dengan pengertian psikik (bersifat atau secara kejiwaan). Psikologi ialah ilmu pengetahuan
mengenai hal-hal yang bersifat psikik, sehingga kita dapat berbicara mengenai hasil karya psikologik dan
penyelidikan psikologik, tetapi tidak dapat berbicara mengenai factor-faktor psikologik. Pemakaian
bahasa yang lurus, menghendaki agar dalam hal yang terakhir tadi orang mengatakan factor-faktor
psikik. Sesungguhnya kerancuan semacam itu dapat kita simak pula pada bidang-bidang yang lain.
Bukannya sesuatu yang tidak penting, bahwa seseorang menjaga kemurnian pemakaian bahasanya.
Pemakaian bahasa yang tidak murni mencerminkan pemikiran yang tidak murni atau setidaknya
pemikiran ceroboh, dan pada gilirannya menggalakkannya. Karena itulah hendaknya kita memilihkan
kata etik dari kata susila atau bermoral.
Etika Deskriptif
Sebenarnya tidak hanya terdapat satu ilmu pengetahuan tentang kesusilaan, melainkan banyak
macamnya. Pada garis besarnya dapat dibedakan ke dalam dua kelomopik besar. Kelompok yang
pertama semata-mata bekerja secara rasional-empirik seperti halnya terjadi pada ilmu pengetahuan lain
pada umumnya. Kelompok ini bertolak dari kenyataan adanya gejala-gejala kesusilaan yang dapat
dilukiskan serta dijelaskan secara ilmiah seperti halnya gejala-gejala kerohanian yang lain, misalnya seni,
hukum dan agama. Dengan demikian timbul etika deskriprif sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
kerohanian atau kebudayaan. Yang belakangan ini terbagi lagi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, yang
saling berhubungan karena punya kesamaan obyek, namun tidak sepenuhnya persis satu sama lainnya,
dan bahkan tidak dapat dipandang sebagai bagian-bagian suatu kebulatan.
Ada banyak ilmu pengetahuan deskriptif mengenai kesusilaan yang diakibatkan oleh kenyataan bahwa
bahan-bahan yang ada, dapat dibicarakan dengan berbagai cara ilmiah. Kesusilaan sebagai gejala
masyarakat dapat ditinjau secara sosiologik, dan dengan demikian menimbulkan sosiologi kesusilaan.
Karena kesusilaan merupakan keseluruhan gejala-gejala kesadaran, maka dapat juga muncul psikologi
kesusilaan, dan bahkan karena kesusilaan dapat juga menggambarkan gejala-gejala penyakit, maka kita
dapati pula psikopatologi kesusilaan serta psikiatri kesusilaan.
Etika deskriptif mempuyai dua bagian yang sangat penting. Yang pertama ialah sejarah kesusilaan.
Bagian ini timbul apabila orang menerapkan metode historik dalam etika deskriptif. Dalam hal ini yang
diselidiki ialah pendirian-pendirian mengenai baik dan buruk manakah, norma-norma kesusilaan yang

manakah yang pernah berlaku dan cita-cita kesusilaan yang manakah yang dianut oleh bangsa-bangsa
tertentu, apakah terjadi penerimaan norma-norma atau cita-cita kesusilaan oleh bangsa atau lingkungan
kebudayaan yang satu dari bangsa-bangsa atau lingkungan kebudayaan yang lain, dan seandainya
benar bagaimanakah terjadinya dan bagaimana cara mengolahnya. Perubahan-perubahan apakah yang
dialami oleh kesusilaan dalam perjalanan waktu, hal-hal apakah yang mempengaruhinya, dan
sebagainya.
Sejarawan kesusilaan mendasarkan diri pada aneka ragam dokume. Tujuannya akan lebih cepat tercapai
apabila ia mempunyai tulisan-tulisan kesusilaan yang berpengaruh pada suatu masa tertentu. Begitulah
hukum-hukum yang banyak terkandung dalam kitab-kitab Exodus sampai Deuteronomium dari Perjanjian
lama yang mencerminkan ukuran-ukuran kesusilaan yang dipakai bangsa Yahudi pada kurun waktu
tertentu dalam sejarah, dan tulisan-tulisan Homerus menggambarkan cita-cita kesusilaan pada suatu
masa tertentu di dalam sejarah Yunani.
Dalam hal ini hendaknya diingat bahwa dokumen-dokumen semacam ini tidak mengatakan segalagalanya mengenai kehidupan kesusilaan senyatanya dari manusia-manusia yang hidup pada kurunkurun waktu tersebut. Dokumen-dokumen tersebut lebih menggambarka cita-cita dibandingkan
kenyataan. Suatu hal yang memang agak sukar memahaminya; kadang-kadang secara tidak terduga
orang dapat mengetahui keadaan yang senyatanya berdasarkan atas bahan-bahan keterangan yang lain.
Namun adanya kenyataan bahwa setiap kali diperlukan lagi imbauan-imbauan kesusilaan yang keras
menunjukkan, secara umum orang tidak menepati norma-norma yang berlaku, meskipun harus juga
diingat bahwa para pengkhotbah kesusilaan sering menjadi orang-orang yang kerjanya semata-mata
mengeluh mengenai pencemaran kesusilaan dan gemar sekali mengakatakan yang buruk-buruk tentang
keadaan kesusilaan pada masa hidup mereka.
Dokumen-dokumen yang juga dipakai oleh para sejarawan, termasuk tulisan-tulisan para ahli etika yang
sangat banyak jumlahnya. Tetapi hendaknya diingat sejarah etika belum berarti sejarah kesusilaan, dan
bahkan antara etika dan kesusilaan terdapat dua macam perbedaan. Pertama, seperti telah dikatakan,
ada jarak pemisah antara yang diajarkan dengan kenyataan yang dihayati. Kedua, petunjuk-petunjuk
serta cita-cita kesusilaan diajarkan sering berbeda dengan petunjuk serta cita-cita kesusilaan yang
diterima secara umum. Kita melakukan kekeliruan apabila menjumbuhkan etika Aristoteles dengan
norma-norma kesusilaan yang berlaku pada masa hidupnya dan dalam lingkungan hidupnya, apabila kita
menjumbuhkan antara cita-cita pendidikan Van Alphen dengan cita-cita yang nyata-nyata dipunyai oleh
anak-anak yang hidup semasa dengan dia. Di lain pihak seorang ahli etika tidak pernah terlepas dari
masa hidupnya; ia berpengaruh dan pada gilirannya mempengaruhinya, sehingga bagaimanapun sejarah
etika penting juga bagi sejarah kesusilaan.
Ilmu pengetahuan kedua yang perlu disebut dalam hubungan ini ialah fenomenologi kesusilaan. Dalam
hal ini istilah fenomenologi dipergunakan dalam arti seperti yang dipunyai dalam ilmu pengetahuan
agama. Fenomologi agama mencari makna keagamaan dari gejala-gejala keagamaan, mencari logos,
susunan batiniah yang mempersatukan gejala-gejala ini dalam keselerasan tersembunyi dan penataan
yang mengandung makna. Demikian pula fenomologi kesusilaan mencari makna kesusilaan dari gejalagejala kesusilaan. Artinya, ilmu pengetahuan ini melukiskan kesusilaan sebagaimana adanya,

memperlihatkan ciri-ciri pengenal, bagaimana hubungan yang terdapat antara ciri yang satu dengan yang
lain, atau singkatnya mempertanyakan apakah yang merupakan hakekat kesusilaan. Yang dilukiskan
dapat berupa kesusilaan tertentu, namun dapat juga berupa moral pada umumnya.
Ciri pokok fenomenologi, menghindari pemberian tanggapan mengenai kebenaran. Ia tidak
mempersoalkan apakah seyogyanya manusia dipimpin atau tidak dipimpin oleh petunjuk-petunjuk
kesusilaan tertentu. Ilmu pengetahuan ini menempatkan diri dalam kedudukan manusia-manusia yang
bersangkutan dalam pemberian tanggapana kesusilaan dan memandang obyeknya dari kedudukan tadi.
Berhubung fenomenologi hanya mencerminkan azas-azas serta susunan umum kesusilaan deskriptif,
maka ilmu pengetahuan ini masih tetap bersifat formal. Namun sesungguhnya, fenomenalog akan dapat
dengan mudah menggerakkan seorang penyelidik lebih jauh. Dan justru karena tidak mempersoalkan
masalah kebenaran, maka didalamnya tetap terdapat masalah-masalah yang bagaimanapun
memerlukan penyelesaian.
Masalah-masalah ini bersifat kefilsafatan. Pertanyaan utama ialah apakah kesusilaan harus dipahami dari
dirinya sendiri ataukah kesusilaan itu didasarkan atas sesuatu yang lain. Dengan kata lain, apakan
kesusilaan mengacu ataukah tidak mengacu kepada sesuatu yang terdapat di atas atau setidak-tidaknya
di luar dirinya sendiri. Munculnya pertanyaan mengenai dasar kesusilaan tidaklah mungkin dielakkan.
Etika Normatif
Kelompok ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan yang lain tidaklah mengandung watak deskriptif,
melainkan normatif. Kelompok ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di dalam perilaku
serta tanggapan-tanggapan kesusilaanya, manusia menjadikan norma-norma kesusilaan sebagai
panutannya. Setiap ilmu pengetahuan, tidak terkecuali juga ilmu pengetahuan deskriptif mengenai
kesusilaan yang beraneka ragam, mestinya memperhitungkan kenyataan ini; seharusnya ilmu-ilmu
pengetahuan itu memperhatikan hal tersebut ketika melukiskan objeknya. Tetapi ilmu pengetahuan ini
tidak lebih sekedar menetapkan faktanya, tanpa membicarakannya lebih lanjut. Ilmu-ilmu pengetahuan
tersebut semuanya tidak ada yang mempertanyakan benar tidaknya, melainkan mengambil kedudukan
yang tidak memihak.
Berdasarkan sudut pandang ilmiah, yaitu sudut pandangan seorang penonton, etika menetapkan bahwa
manusia memakai norma-norma sebagai panutannya, tetapi tidak memberikan tanggapan mengenai
kelayakan ukuran-ukuran kesusilaan. Sah tidaknya norma-norma tetap tidak dipersoalkan; yang
diperhatikan hanya berlakunya.
Kiranya sudah jelas, sikap tidak memihak yang diambil oleh seorang penyelidik tidaklah berarti bahwa
secara pribadi ia tidak mempunyai pertimbangan kesusilaan. Tidak seorang pun dapat terhindar dari
pertimbangan-pertimbangan semacam ini. Dan di samping itu, seorang penyelidik memerlukan
keinsyafan tentang baik dan buruk dan dengan demikian merupakan makhluk susila, justru mengingat
objek yang diselidikinya. Seorang manusia yang tidak susila tidak akan dapat memberikan pertimbangan
mengenai kesusilaan secara lebih lurus, bisa disebandingkan seorang buta yang memberikan
pertimbangan mengenai warna. Seorang yang sama sekali tidak punya rasa seni suara kiranya sukar

sekali dapat ditugasi menganalisa sebuah simfoni karya Beethoven. Bahkan seyogyanya seorang ahli
etika ketika melukiskan moral tertentu mempunyai pertalian sekadarnya dengan moral tersebut. Seorang
akan sulit sekali menghayati sesuatu, bila ia sama sekali tidak mendasarkan diri atas hal itu.
Itulah sebabnya mengapa kita sering menyaksikan adanya penggambaran yang salah, bila seseorang
dari luar lingkungan yang bersangkutan melukiskan gejala kesusilaan tertentu, meskipun ia sangat mahir
dan beriktikad baik. Memang dikehendaki agar seorang ahli etika tidak membiarkan penilaian-penilaian
pribadinya mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan ilmiahnya, bahkan diisyaratkan agar ia melakukan
epoche atau menghindari pemberian tanggapan. Tetapi seorang ahli etika dapat juga mengambil sikap
lain, dan meninggalkan pendirian yang netral, yaitu pendirian sebagai seorang pegamat.
Dalam hal ini ia bertolak dari pendirian bahwa moral tertentu benar. Artinya, norma-norma kesusilaan
tertentu dipandang tidak hanya merupakan fakta, melainkan juga bersifat layak, dan karenanya berlaku
sah. Dengan demikian ia telah berpihak, karena memberikan persetujuan kepada moral tertentu. Tetapi
berhubung ia hendak bekerja secara ilmiah, maka persetujuan yang telah diberikannya dipakai sekedar
sebagai titik tolaknya. Selanjutnya ia merenungkannya, melukiskan, menjelaskan serta memberikan
dasar-dasar terhadap moral tertentu ini, yang ia hayati serta ia jadikan pedoman hidupnya, dan
melakukan hal-hal lain sejauh yang dimungkinkan. Kiranya jelas, secara demikian akan muncul bentuk
etika yang lain dibanding yang disebut di atas.
Pada mulanya perbedaan tersebut belum tentu terlihat. Berdasarkan pendirian yang disebut belakangan
tati orang juga mengadakan analisa, melakukan penataan, menghubungkan bagian yang satu dengan
bagian yang lain, dan sebagainya. Namun segera akan tampak perbedaanya, di sini seorang ahli etika
tidak hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan ilmiah, melainkan juga pertimbangan-pertimbangan
kesusilaan. Umpamanya, ia tidak sekedar mengatakan bahwa dalam lingkungan moral tertentu poligami
dilarang, melainkan juga mengatakan bahwa larangan tersebut memang tepat. Mungkin saja ia tidak
secara tegas-tegas mengatakan hal itu, namun setiap kali penilaiannya tersebut dapat dibaca dalam apa
yang tersirat. Juga hal ini jelas tampak dalam sikap seorang ahli etika yang menolah pendapat-pendapat
kesusilaan yang lain daripada pendapat-pendapat yang dipandangnya layak.
Ini menunjukkan bahwa etika dalam arti yang demikian tadi tampil berdasar kewibawaan. Sesungguhnya
kewibawaan inibersifat derivatif, yaitu dijabarkan dari moral yang ia gambarkan, namun memang
keyakinan yang derivatif itulah yang ingin dimilikinya. Dengan kata lain etika semacam ini tidak hanya
sekedar bersifat deskriptif, melainkan juga bersifat normatif; ia tidak hanya melukiskan apa yang berlaku
melainkan mempertahankan berlakunya itu; ia tidak hanya mengatakan; demikianlah keadaannya,
melainkan juga demikianlah seharusnya; ia tidak hanya memberitahukan pengetahuan melainkan hendak
mewartakan suatu ajaran.
Oleh sebab itu, etika ini sekedar merupakan ilmu pengetahuan mengenai kehidupan praktik, melainkan
juga bersifat praktik, karena langsung tertuju pad praktek. Ia bertolak dari kehidupan dan secara demikian
sangat erat pertaliannya dengan kehidupan, barangkali lebih dekat dibanding ilmu pengetahuan lain yang
mana pun. Inilah yang merupakan daya tariknya, karena tidak sekedr merupakan graue theorie (teori
yang samar-samar). Tetapi juga membawa serta bahaya, hawa nafsu, pamrih, prasangka, dan

sebagainya lebih mudah mengeruhkannya dibanding yang dapat terjadi pada ilmu-ilmu pengetahuan
yang lain.
Kiranya jelas bahwa etika normative tidak dapat sekedar melukiskan susunan-susunan formal kesusilaan.
Ia menunjukkan perilaku manakah yang baik dan perilaku manakah yang buruk, yang demikian ini
kadang-kadang disebut ajaran kesusilaan, sedangkan etika deskriptif disebut juga ilmu kesusilaan. Yang
pertama senantiasa merupakan etika material.
Mungkin timbul pertanyaan apakah etika normative merupakan ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini lebih
mencekam lagi karena biasanya etika dibicarakan sebagai bagian filsafat atau teologi, orang dapat
mempertanyakan apakah filsafat dan teologi merupakan ilmu pengetahuan. Jawaban atas pertanyaan ini
tergantung pada isi yang diberikan kepada pengertian ilmu pengetahuan. Apabila yang dimaksudkan
sebagai ilmu pengetahuan ialah ilmu alam dan juga seandainya ilmu sejarah termasuk di dalamnya,
maka etika normative bukan merupakan ilmu pengetahuan. Teologi, filsafat dan juga etika normative
memperhatikan kenyataan-kenyataan, yang tidak dapat ditangkap dan diversifikasi secara empiric.
Namun masih menjadi tanda Tanya apakah kesulitan ini dijadikan keberatan yang tidak dapat diatasi,
sehigga pengertian ilmu pengetahuan hanya terbatas meliputi ilmu-ilmu pengetahuan empiric.
Mungkin juga ada pendirian yang lebih luas mengenai ilmu pengetahuan; menurut pendirian ini
sesungguhnya ilmu pengetahuan ialah kecenderungan akan kebenaran yang terlatih secara metodik.
Ilmu pengetahuan dapat dikatakan ada bila manusia berusaha untuk mengetahui kebenaran dengan
segenap tenaga serta sarana yang dipunyainya, serta terlatih dalam menggunakannya, menurut metodemetode yang khusus. Sudah tentu metode yang dipakai harus disesuaikan dengan objeknya. Apabila
etika normative mempunyai objek yang berjenis khusus, maka ia harus mengembangkan metode
tersendiri. Tetapi ia tetap merupakan ilmu pengetahuan, selama bertolak dari pengalaman, meskipun
pengalaman semacam ini berupa pengalaman khusus dan cara berpikir hendak menembus ke dalamnya.
Di dalam telaah-telaah berikut, sebagian besar kita berkecimpung dalam bidang etika deskriptif,
meskipun di sana sini dengan sendirinya akan tampak pendirian penulis. Dalam hal ini sikap menghindari
pemberian tanggapan dipermudah karena kita membicarakan sesuatu moral tertentu. Dengan demikian
kita melukiskan kesusilaan pada umumnya, setidaknya seperti yang dipahamkan orang dalam lingkungan
kebudayaan kita dan juga di luarnya. Maka kita tetap berada dalam bidang etika formal serta berada di
luar bidang etika material.
Manakala kita memasuki juga bidang etika material, akan jaul lebih sukar untuk tidak memberikan
pertimbangan dari sudut pangangan tertentu. Memang dalam bagian pertama yang bersifat
fenomenalogik dimungkinkan dan bahkan dperlukan untuk bersikap menghindari pemberian tanggapan,
karena yang menjadi masalah di sini ialah sekedar memberikan penggambaran secara tepat. Dalam
bagian kedua sikap yang demikian lebih sulit dan bahkan tidak mungkin diambil. Dalam bagian ini
ditunjukkan dengan cara bagaimanakah orang telah berusaha untuk memberikan dasar-dasar kebada
kesusilaan, dan dengan demikian dalam arti tertentu memberikan penjelasan mengenai kesusilaan.
Nampaklah di sini orang sulit untuk tetap merasa puas dengan menggambarkan belaka. Ketidakpuasan
ini dapat beralih menjadi kecaman. Kecaman ini bukan hanya bersumber pada keadaan-keadaan dari

bahan yang dibicarakan dan juga tidak semata-mata berdasarkan penggambaran yang diberikan
mengenai gejala kesusilaan pada umumnya, melainkan juga dilancarkan dari sudut pandang tertentu.
Dengan demikian, pendirian yang bersangkutan akan tampak dengan jelas. Namun sesungguhnya
adanya kecaman tersebut sudah mengandaikan bahwa sebelumnya telah terjadi penggambaran secara
orjektif mengenai system yang dikecam.

Faedah Etika
Sebelum kita membicarakan pokok masalah, masih ada satu pertanyaan yang harus dijawab, yaitu
pertanyaan menyangkut arti, makna atau nilai etika. Bagaimanapun kita ingin mengetahui mengapa
orang bersusah payah dan mengapa kita harus bersungguh-sungguh mendalami gejala kesusilaan. Di
sini muncul pertanyaan Apakah yang dapat kita harapkan dari etika? atau Apakah yang diberikan
kepada kita atau faedah apakah yang dapat kita peroleh darinya?. Pertama-tama jawabannya tentu
berbunyi Etika memberikan kita apa yang diberikan oleh setiap ilmu pengetahuan, etika memenuhi
keingintahuan manusia.
Manusia ingin tahu, ia ingin mendapatkan pengetahuan dan seyogyanya pengetahuan yang sistemik,
yang teratur, mengenai gejala-gejala yang bersangkutan dengan dirinya. Salah satu di antaranya ialah
kesusilaan. Ini merupakan gejala yang sangat penting dan menarik, karena ia menyebabkan kita
bersentuhan dengan segi hakiki kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA:
Devos, DR. H. 1990. Pengantar Etika. Jakarta: Tiara Wacana
Hazlitt, Henry. 2003. Dasar-Dasar Moralitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tinggalkan komentar
Ditulis oleh zizer pada 1 Desember 2009 in Etika Administrasi

Etika dan Karakter Aparatur Pemerintah


01DES
Sejatinya, setiap krisis merupakan momentum untuk melakukan reformasi. Penulis mendorong
pemerintah untuk menjadikan krisis ekonomi global ini pemacu sebagai upaya untuk membangun
aparatur pemerintah.
Harus disadari, keberhasilan pembangunan dan daya saing suatu negara amat ditentukan oleh komitmen
dan usaha sistematik untuk membenahi aparatur pemerintah. Tidak bisa tidak karena aparatur
pemerintah bukan saja pelaksana kebijakan, tetapi adalah juga fasilitator pembangunan bagi masyarakat.
Sudah banyak keluhan dan kritik terhadap kualitas aparatur negara dalam pemerintahan dan
pembangunan. Namun, rasanya tidak pernah ada upaya sungguh- sungguh dan sistematik untuk

meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun sebelumnya apa yang dimaksud dengan
aparatur pemerintah?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), yang dimaksud dengan aparat adalah badan
pemerintahan; instansi pemerintah; pegawai negeri; alat negara. Sedangkan istilah aparatur pemerintah
diartikan sebagai pegawai negeri; alat negara; aparatur negara.
Kata aparatur sendiri berarti perangkat, alat (negara, pemerintah); para pegawai (negeri). Aparatur
negara merupakan alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan,
dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta
undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya,
terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Sebagai
contoh: Republik, Monarki/Kerajaan, Persemakmuran(Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama
tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut /
Mutlak.
Aparat pemerintah adalah anggota masyarakat yang secara hukum dikukuhkan sebagai abdi negara
yang bertanggung jawab atas dasar tugas dan wewenang yang telah diberikan sesuai bidang
kemampuannya. Masyarakat sudah percaya sepenuhnya kepada aparat pemerintah yang ditunjuk untuk
melakukan tugas sehari-hari sehingga mampu menyediakan atau memberikan pelayanan yang
dibutuhkan atau diharapkan oleh masyarakat. Dengan demikian berarti aparat pemerintah berkewajiban
untuk selalu mengasah dan meningkatkan kemampuan di bidangnya agar dapat bekerja secara
profesional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Ukuran profesionalisme dari aparat adalah tingkat
efektivitas dan efesiensi produk yang mereka hasilkan. Dengan profesionalisme diharapkan mampu
memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan akurat sesuai target dan sasaran yang dicanangkan.
Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan
menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu bisa disebut sebagai birokrasi.
Aparatur pemerintah vs Aparatur Negara
Bila Negara dipandang sebagai sebuah organisasi, yang merupakan himpunan individu, maka di
Indonesia organ yang bertugas menyelenggarakan kegiatan Negara adalah MPR. Ini berarti bahwa pada
dasarnya individu-individu atau rakyatlah yang menyelenggarakan kegiatannya (Negara) sendiri.
Untuk menyelenggarakan kegiatan Negara itu, MPR merumuskan suatu kebijakan yang tertuang dalam
UUD maupun GBHN. Kebijakan punc ak nasional ini dilimpahkan atau dimandatkan kepada presiden
untuk diimplementaskan. Dalam pengertian ini, MPR disebut sebagai penyelenggara Negara tertinggi
(lihat UUD 1945), sedangkan presiden disebut peyelenggara pemerintahan tertinggi. Presiden bersamasama DPR (yang merupakan sebagian tubuh MPPR) membuat kebijakan yang lebih operasional berupa
undang-undang kemudian menjalankannya.

Dalam rangka menjalankan undang-undang presiden memerlukan pembantu, yakni menteri yang disebur
pemimipin Negara. Para menteri ini memimpin suatu organisasi departemen atau organisasi yang tidak
berupa departemen, untuk mencapai tujuan-tujuan Negara yang ditetapkan dalam suatu kebijakan secara
efisien. Aparatur Negara menunjuk pada kedua jenis organisasi yang dikelola oleh menteri itu. Lebih rinci
dapat disebut pula aparatur Negara menunjuk pada organisasi maupun pegawai negeri yang dipimpin
oleh seorang menteri.
Setiap aparatur pemerintah harus mempunyai etika yang dapat penjadi pedoman dalam tingkah lakunya.
Bila tidak mengerti dan memahami etika, maka aka ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
seorang aparatur pemerintah, misalnya korupsi, tidak disiplin, dan pelanggaran lainnya. Sebagai contoh
adalah kasus di bawah ini yang diambil dari sebuah berita di salah satu Koran lokal.
Sembilan Aparat Pajak Terlibat Kasus Akino
Dari contoh berita di atas dapat kita lihat bahwa masih ada saja aparatur pemerintah yang melanggar
aturan dengan membiarkan wajib pajak menunggak pembayaran pajak hingga kadaluarsa yang pada
khirnya merugikan Negara begitu besar.
Beberapa dasar hukum ditetapkannya etika aparatur pemerintah (khususnya Pegawai Negeri Sipil)
adalah sebagai berikut:
1.
2.

Pasal 5 ayat (2), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28 dalam Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
3.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN
4.
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No 20 tahun 2001
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil.
Ruang lingkup Pembangunan Karakter Aparatur Pemda meliputi penumbuhan dan pengembangan budi
pekerti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; penerapan dan penegakan etika kepemerintahan;
dan pembinaan kesadaran bela negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pertanyaannya, apa yang harus dibangun dari aparatur pemerintah ini?


Ada beberapa arah reformasi yang dapat menjadi pengungkit utama.
Pertama, pembangunan paradigma, budaya, dan mentalitas public entrepreneur, yaitu bagaimana
menjadikan aparatur negara yang selalu berpikir dan bertindak efisien serta menjadikan masyarakat
sebagai stakeholder sekaligus costumer yang harus dilayani dengan baik.

Memang tidak mudah untuk melakukan perubahan budaya aparatur negara, tetapi sejumlah daerah,
seperti Sragen, Yogyakarta, Kebumen, Tarakan, Jembrana, dan Gorontalo, telah membuktikan mampu
menjadikan aparatur negara yang berbudaya entrepreneur dan melayani. Perlu dicatat, daerah-daerah itu
yang mampu melakukan perubahan budaya bagi aparatur negara ternyata memiliki korelasi positif
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kualitas pelayanan publik.
Kedua, pembangunan aparatur negara adalah penerapan sistem merit dalam birokrasi. Selama ini,
administrasi aparatur pemerintah dilakukan secara apa adanya, tidak berbasis kompetensi. Membangun
sistem merit berarti menjadikan kompetensi dan kinerja sebagai ukuran utama penilaian aparatur
pemerintah. Ukuran ini harus dijadikan sebagai dasar dalam proses seleksi dan rekrutmen, remunerasi,
dan promosi jabatan. Bukan sebaliknya berdasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan, pertemanan,
dan afiliasi politik. Aparatur pemerintah hanya akan berfungsi secara profesional dan independen jika
kompetensi dan kinerja menjadi dasar dalam semua proses pengukuran. Ini berarti, pemerintah harus
melakukan perombakan secara fundamental terhadap sistem kepegawaian negara.
Ketiga, pengungkit pembangunan aparatur pemerintah juga terletak pada penguatan pengawasan etika
dan perilaku aparatur. Tidak terkontrolnya etika aparatur pemerintah selama ini ditengarai telah menjadi
penyebab penyalahgunaan wewenang dalam pemerintahan dan pembangunan. Esensi etika adalah
pengawasan moral terhadap setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
yang terikat dengan mandat kedaulatan rakyat.
Tentu saja masih banyak pengungkit lain dalam upaya membangun aparatur negara untuk menghadapi
krisis ekonomi global. Namun, lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah kesadaran dan komitmen politik
untuk melakukan reformasi aparatur pemerintah.
Pembangunan nasional menuntut aparatur pemerintah memainkan peran yang dominan. Untuk itu, para
pakar administrasi pembangunan telah mengembangkan sejumlah paradigma baru administrasi negara.
Paradigma ini merupakan kondisi ideal dan oleh karena itu tidak serta merta terpenuhi, akan tetapi tidak
ada pilihan lain kecuali berupaya untuk mewujudkannya. Paradigma baru tersebut yaitu:
1.

Aparatur yang berdaya guna; Pemerintah selalu dihadapkan pada situasi kelangkaan karena
keterbatasan kemampuan menyediakan dana, daya, sarana dan prasarana, sumber daya manusia
yang ahli, terampil, dan waktu. Karena itu tidak ada alasan bagi aparatur pemerintah untuk tidak
bekerja efisien. Inefisien dapat timbul karena faktor kelembagaan (struktur yang dipakai tidak tepat),
kekurangan keahlian dan keterampilan serta perilaku negatif para pelaksana (seperti tidak peduli,
apatismen, tidak ada rasa memiliki, dll.)
2.
Aparatur yang berhasil guna; Yaitu aparatur yang mampu memanfaatkan dana, daya, sarana dan
prasarana, sumber daya manusia yang telah ditentukan dengan hasil yang optimal bahkan jika
mungkin maksimal dalam batas waktu yang telah ditetapkan pula.
3.
Aparatur yang produktif; Berarti perolehan hasi (output) yang maksimal dengan menggunakan
masukan (input) yang minimal. Masukan menjadi hasil setelah melalui proses tertentu. Agar bekerja
secara produktif, proses yang terjadi harus efektif dan efisien. Dengan kata lain, produktivitas
merupakan hasil perkalian antara efisien dan efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain
latar belakang hidup para pelaksana (umur, jenis kelamin, status, tanggungan, masa kerja),

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.
12.

13.

kemampuan baik fisik maupun intelektual, tipe kepribadian yang bersangkutan, persepsi tentang
kehidupan organisasi, sistem dan peringkat nilai yang dianut, motivasi berkarya, dan penugasan
yang tepat (sesuai dengan pengetahuan, ketrampilan).
Aparatur yang bersih; Pemerintah yang demokratis tidak pernah ingin ada aparatur yang tidak
bersih. Mewujudkan aparatur yang bersih merupakan bagian integral dari kebijakan umum yang
ditempuh oleh pemerintah suatu negara dalam menjalankan roda pemerintahan.
Aparatur yang berwibawa; Wibawa tidak bersumber dari kekuasaan yang dimilikinya. Wibawa
timbul karena: (a) kemampuan memberikan pelayanan yang cepat, aman, dengan prosedur
sederhana tetapi bersahabat, (b) pengetahuan yang mendalam tentang bidang tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, (c) ketrampilan dan kemahiran yang tinggi dalam menyelesaikan fungsinya, (d)
disegani tapi tidak ditakuti oleh masyarakat, dan (e) pemilikan informasi yang tidak dimiliki oleh pihak
manapun di masyarakat tetapi dengan mudah dapat diakses oleh yang membutuhkan, kecuali
informasi yang memang rahasia
Aparatur yang profesional; Profesional merupakan keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga
terlaksana dengan mutu yang tinggi, waktu yang tepat, cermat dan prosedur yang mudah dipahami
dan diikuti oleh para pelanggan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang seluk beluk tugas
dengan segala penerapannya dan ketrampilan yang diperlukan serta pengetahuan yang bersifat
umum dan khusus.
Aparatur yang kreatif; Kreativitas bukanlah kepatuhan yang bersifat robotik akan tetapi yang
situasional dan penuh dengan dinamika. Kreativitas tidak hanya dalam ketaatan pada peraturan
perundang-undangan, akan tetapi dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan karena selalu ada
cara yang lebih baik, produktivitas masih selalu dapat ditingkatkan, tingkat efisiensi dan efektivitas
tidak pernah mencapai titik jenuh, serta selalu ada tempat bagi penyempurnaan mekanisme kerja.
Peningkatan kreatifitas kerja hanya mungkin terjadi apabila terdapat iklim yang mendorong para
anggota birokrasi pemerintah untuk mencari ide baru dan konsep baru serta menerapkannya secara
inovatif. Selain itu juga harus terdapat kesediaan pimpinan untuk memberdayakan bawahannya.
Aparatur yang inovatif; Perwujudannya bisa berupa hasrat dan tekat untuk selalu mencari,
menemukan dan menggunakan cara kerja baru, metode kerja baru dan teknik kerja baru dalam
pelaksanaan tugas pekerjaan.
Aparatur yang transparan; Transparasi harus terjadi karena dengan demikian masyarakat akan
mengetahui beberapa hal berikut: (a) tidak adanya tindakan pemerintah yang merugikan rakyat
banyak, (b) oknum-oknum dalam birokrasi yang menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya,
(c) prosedur perolehan haknya, (d) penegakan hukum yang tidak pandang bulu, dan (e) segi-segi
kehidupan bernegara lainnya yang benar-benar tertuju untuk peningkatan mutu hidup
Aparatur yang tanggap; Karena dinamika masyarakat dan kemajuan yang dicapai oleh suatu
negara melalui pembangunan dalam berbagai segi kehidupan dan pengidupan, akan timbul berbagai
aspirasi baru, harapan baru, kebutuhan baru dan tuntutan baru. Untuk itu diperlukan aparatur yang
responsif dan tanggap. Tidak tanggap berarti kekecewaan rakyat yang pada akhirnya mungkin
berakibat timbulnya krisis kepercayaan kepada pemerintah.
Aparatur yang peka; Kepekaan berarti kemampuan melakukan deteksi secara dini terhadap
berbagai hal yang terjadi dan memberikan respon yang sesuai.
Aparatur yang antisipatif dan proaktif; Adalah yang mampu mengenali sifat, jenis dan bentuk
perubahan yang terjadi, dan mengantisipasinya secara dini. Artinya tidak menunggu sampai terjadi
sesuatu baru memberikan reaksi yang dianggapnya perlu.
Aparatur yang mempunyai visi; Visi adalah pernyataan tentang kondisi masa depan
yang diinginkan.visibiasanya dinyatakan secara formal tetapi umum dalam arti tidak rinci. Manajer

puncak biasanyalah yang menentukan visi yang dimaksud. Namun demikian visi tersebut harus
menjadi milik setiap orang dalam organisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
P. Siagian, Sondang. 2005. Administrasi Pembangunan; Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Wibawa. Samodra. 2005. Reformasi Administrasi; Bunga Rampai Pemikiran. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
http://www.bantulkab.go.id/web.php?baca=102&menu=berita
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpegawai/index.php?
option=com_docman&task=cat_view&gid=53&Itemid=61
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/855-aparatur-dalam-krisis-ekonomi.html
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=128&q=inspektur&hlm=3

Вам также может понравиться