Вы находитесь на странице: 1из 36

CARA PANDANG DAN PERILAKU MASYARAKAT PESISIR

DALAM MENGHADAPI ABRASI: STUDI KASUS PADA KANTONG


PEMUKIMAN SEPANJANG PANTAI SARANG REMBANG JAWA
TENGAH

SUHADI

SMA NEGERI 1 PAMOTAN

PEMERINTAH KABUPATEN REMBANG


DINAS PENDIDIKAN
2009
ABSTRAK

Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak antara perumahan
dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir pantai itu tidak lagi berpasir, bibir
pantai itu telah penuh dengan jebakan, dan indahnya ombak berubah menjadi petanda
datangnya marabahaya, yaitu abrasi yang siap memporak-porandakan kantong pemukiman
pantai ini. Tidak satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan
pemukiman penduduk dengan pola pemukiman menjorok ke bibir pantai ini. Mereka para
nelayan Sarang sungguh sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi sebagai
penambang pasir laut dengan besar-besaran tanpa sentuhan aturan.
Penelitian ini mengabarkan temuan tentang bagaimana cara pandang dan perilaku
masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan dan perilaku masyarakat pesisir
dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Khususnya sebagai bahan untuk tinjauan
kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di kawasan kabuten Rembang Jawa Tengah
dan sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di kawasan
pemukiman nelayan, merupakan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah
Kecamatan Sarang meliputi desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa
Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak. Data penelitian yang digunakan
adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara,
pengamatan, dokumentasi. Selanjutnya teknik analisis yang pilih adalah dengan model
analisis interaktif deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebagai berikut. Nelayan di sepanjang pantai
Sarang berpandangan bahwa abrasi adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka
telah terbiasa akan abrasi. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang
musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi
merupakan sesuatu yang menakutkan dan kerapkali membuat mereka gelisah. Walaupun
demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. aspek ekonomi merupakan instrument utama
akan kenapa mereka tinggal di bibir pantai. sisi lain kegesisahan, mereka telah menemukan
kemudahan dalam hal kerja sebagai nelayan. Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di
situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah.
Membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan diletakkan di dekat rumah
para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak,
pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya,
membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul
terbuat dari tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan
tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai, merupakan beberapa temuan akan
perilaku pengendalian abrasi. Cara pandang perilaku dalam menghadapi abrasi di atas
merupakan hasil interaksi dan adaptasi dengan ekologi masyarakat kantong pesisir Sarang
ini.
Kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan kantong
pemukiman pesisir dan penting kiranya memperhatikan langkah strategis untuk menciptakan
lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, sebagai saran kami, bukan sebuah umpan
ekonomi yang siap merusak lingkungan yang dikenal indah ini.

Kata kunci: abrasi, cara pandang, perilaku, ekologi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang bercirikan benua maritim dengan
176 kabupaten dan 30 kota dari sekitar 368 kabupaten dan kota, yang mempunyai wilayah
pesisir dan laut (Sulasdi, 2001; 44). Kondisi ini dapat digunakan sebagai dasar kuat untuk
mengatakan bahwa Indonesia sesungguhnya merupakan negara maritim.
Dalam Sulasdi (2001; 44) memaparkan, selama ini kegiatan ekonomi yang
berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang
didukung Undang-Undang (UU) tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia
usaha terkait. Akibatnya pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif,
tidak efisien, dan tidak berkelanjutan. Ragam faktor yang menyebabkan ketidakefektifan
pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain; ambiguitas pemilikan dan penguasaan
sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Tampaknya ambiguitas
pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi. Sumberdaya pesisir
dianggap tanpa pemilik (open access property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dan
UU Pokok Perairan No. 6/1996 dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property).
Namun, ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan
pribadi (quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang
teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property).
Hal senada juga disampaikan Syarief (2001;25) Indonesia adalah negara maritim
dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun ironisnya lebih dari 32 tahun yang lalu
kebijakan pembangunan perikanan kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, menurut
Syarief, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya
abrasi wilayah pesisir dan pantai, perusakan ekosistem laut dan terumbuh karang, serta
belum optimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
Dalam catatan Mujiano, dkk (2009; 30), disepanjang pantai pantura dapat dilihat
fenomena pemukiman penduduk mengalami perluasan dengan perubahan tanah sawah
atau tegalan menjadi pemukiman, bahkan kawasan rawa-rawa di tepi danau telah berubah
menjadi pemukiman yang penuh dengan limbah industri. Hal senada juga terjadi di darat,
dimana lahan hutan telah terkonversi sehingga lahan pertanian menyusut. Hal ini terlihat dari
asal kepemilikan lahan rumah tangga saat ini yang sebagian besar bukan berasal dari
pembukaan lahan baru, namun dari warisan dan membeli. Pertumbuhan penduduk yang
terus meningkat berpengaruh terhadap kepemilikan lahan rumah tangga. Haning (2009;30)
menambahkan pada umumnya mereka menempati/tinggal di ruang hunian sempit dengan
tata permukiman tidak teratur. Sebagian lainnya menempati permukiman yang umumnya
berada di atas tanah pantai.
Kawasan pesisir telah menjadi kantong pemukiman. Menurut Dahuri (1998;61)
wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat
berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi kehidupan manusia dan
berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi
yang kuat diantaranya; wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif di bumi,
wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir
memiliki pesona yang menarik bagi obyek wisata. Hal tersebut menyebabkan kawasan
pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks
sehingga menjadi rusak.
Tampak bahwa di atas terdapat beberapa hal yang menyebabkan fenomena
abrasi, mulai dari: model pengelolaan sumber daya alam/laut (state property, open access
property, common property, dan quasi private property); perilaku eksploitasi laut oleh
pemerintah, adat, asing, dan nelayan; pola akses pembangunan nasional terpusat, termasuk
di pantura; kawasan pantai menjadi kantong pemukiman dengan ditandai terjadinya ledakan
pertumbuhan pendudukan; dan perilaku eksploitasi kawasan pantai dengan cara alih fungsi
lahan untuk industri dan perumahan masa kini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan-rumusan masalah dapat diajukan
sebagai berikut:
- Indonesia sebagai Negara maritime/ kepulauan;
- hidup di kawasan pantai terkena abrasi telah berlangsung;
- penguatan penduduk kawasan pantai adalah suatu keniscahyaan, sebagai solusi
jangka panjang, termasuk solusi jangka pendek; dan
- memanusiakan manusia (penduduk kawasan pantai), bukan mengutamakan proyek
nasional.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan yang di-angkat dalam
penelitian ini yaitu;
1. bagaimana cara pandang masyarakat pesisir perihal pengetahuan tentang fenomena
abrasi? dan,
2. bagaimana perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan;
1. mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan tentang fenomena abrasi
pada masyarakat pesisir, dan
2. mengetahui diversitas/ keanekaragaman perilaku masyarakat pesisir dalam
berinteraksi dengan fenomena abrasi.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dari sisi akademik dan praktik sebagai
berikut;
1. sebagai bahan untuk kajian kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di
kawasan Kabuten Rembang Provinsi Jawa Tengah, dan
2. sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di
kawasan pemukiman nelayan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Wilayah Pesisir


Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan
lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan ekologis yang unik
(Dahuri et al.;1996). Wilayah pesisir sampai saat belum ada definisi yang baku, namun
demikian terdapat kesepakatan umum di dunia, bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka
wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis
pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (cross shore).
Dahuri menambahkan, definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia
adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
daerah daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976
di dalam Sinurat RM, 2000). Dari definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu
pengertian bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang sangat beragam di darat dan di laut serta saling berintegrasi antara
habitat tersebut.
Pada suatu ekstrim, batas wilayah pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang
luas mulai dari batas lautan terluar ZEE sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim
laut. Pada ekstrim lainnya, suatu wilayah pesisir hanya meliputi suatu kawasan
peralihan antara ekosistem daratan yang sangat sempit yaitu dari garis rata-rata pasang
tertinggi sampai 200 meter ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang
terendah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir
dapat ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan
batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to
day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerat
daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan
dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan
lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.
Sementara itu menurut Bengen (2002), definsi wilayah pesisir memberikan suatu
pengertian bahwa ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan ekosistem yang
dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi
antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak
merugikan terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

B. Karakteristik, Kelompok, dan Pola Hidup Masyarakat Pesisir Indonesia


Perilaku ekonomi masyarakat nelayan berupa upaya atau kegiatan yang dilakukan
oleh nelayan dan keluarganya dalam menentukan berbagai kebutuhan (perilaku produksi)
dan kegiatan penggunaan berbagai jenis barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup
(perilaku konsumsi). (Biki, 2001;20).
Samori (2001;51) menambahkan dalam aktivitas kenelayanan mereka selalu
berpedoman pada aturan-aturan adat yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan adat
tersebut dijadikan sebagai pedoman dan tata cara tertentu terhadap lingkungan sosial
maupun lingkungan alam. Dengan demikian segala perilaku atau pola-pola adaptasi yang
berhubungan dengan proses penangkapan ikan, distribusi, dan konsumsi hasil tangkapan,
didasarkan pada norma-norma adat yang tercermin di dalam mitos. Kenyataan ini
memberikan identitas kepada pendukung dari kebudayaan masyarakat pesisir pantai, dan
merupakan nilai-nilai, yang telah diwariskan dan disosialisasikan dari leluhur mereka.
Dalam kerangka pemikiran Geertz tentang kebudayaan, manusia sebagai makhluk
sosial dan berbudaya yang menanggapi setiap proses kehidupannya dalam bentuk pola-
pola tingkah laku sesuai dengan kebudayaan yang dimilikinya. Sehingga dalam suatu
proses adaptasi, manusia selalu menggunakan kebudayaannya guna merespon perubahan-
perubahan yang terjadi. Menurut pemikirannya pula, kebudayaan paling baik dilihat sebagai
seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol atau rencana-rencana, resep-resep, aturan-
aturan, instruksi-instruksi, untuk mengatur tingkah laku manusia (Geertz, 1992:55).
Dalam kajian kelompok sosial masyarakat nelayan, menurut Syarief (2001;25)
habitat pesisir terdapat ragam kelompok kehidupan masyarakat nelayan diantaranya:
a) Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata
pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam
dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.
Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan
jangkauan wilayah tangkapannya.
b) Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja
disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-
ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang
yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal.
Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
c) Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak
dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari
kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal
atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai
buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang
minim.
d) Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat
nelayan buruh.

C. Abrasi/ Pengikisan Pantai


Di bawah ini paparan abrasi dari Pustekkom Depdiknas (2007). Abrasi yang
terjadi terus menerus akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan akibat abrasi itu
menyebabkan terkikisnya daratan dan semakin luas lautan gerusan air. Abrasi adalah suatu
proses perubahan bentuk pantai atau erosi pantai yang disebabkan oleh gelombang laut,
arus laut dan pasang surut laut. Abrasi yang terjadi terus menerus akan menimbulkan
kerusakan lingkungan.
Abrasi dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Proses terjadinya
abrasi karena faktor alam disebabkan oleh angin yang bertiup di atas lautan yang
menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis
daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan yang
lama kelamaan akan terlepas dari daratan.
Abrasi terjadi ketika angin yang bergerak di laut menimbulkan gelombang dan arus
menuju pantai. Arus dan angin tersebut lama kelamaan menggerus pinggir pantai.
Gelombang di sepanjang pantai menggetarkan tanah seperti gempa kecil. Kekuatan
gelombang terbesar terjadi pada waktu terjadi badai sehingga dapat mempercepat
terjadinya proses abrasi.
Selain faktor alam, abrasi juga disebabkan oleh faktor manusia, misalnya
penambangan pasir. Penambangan pasir sangat berperan banyak terhadap abrasi pantai,
baik di daerah tempat penambangan pasir maupun di daerah sekitarnya karena terkurasnya
pasir laut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan arah arus laut yang
menghantam pantai.
Dampak negatif yang diakibatkan oleh abrasi antara lain: penyusutan lebar pantai
sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di pinggir pantai; kerusakan
hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang didorong angin kencang
begitu besar; dan kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan pantai karena
terkikisnya hutan bakau
Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya abrasi,
diantaranya yaitu dengan penanaman kembali hutan bakau, pelarangan penggalian pasir
pantai, pembuatan pemecah gelombang, dan pelestarian terumbu karang.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang dianalisis di dalamnya
berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif
(Bogdan dan Tylor dalam Moleong, 2002:3). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
studi kasus, yaitu suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan dan menginterpretasi
suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar
(Salim, 2001:89).
Dalam melakukan penelitian di lapangan menggunakan desain prosedur penelitian.
Adapun desain prosedur penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu tahap
pralapangan, tahap pekerjaan dan tahap analisis data. Kegiatan dalam tahap pra lapangan
diantaranya; menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus
perijinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,
menyiapkan perlengkapan penelitian, dan hal tentang etika penelitian. Tahap kedua
merupakan pekerjaan lapangan meliputi tiga bagian, yaitu; memahami latar penelitian dan
persiapan diri, memasuki lapangan, dan berperan serta mengumpulkan data. Selanjutnya
tahap analisis data meliputi pengkajian konsep dasar, menemukan dan merumuskan tema
utama.
Penelitian dilakukan pada enam desa di Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang
Provinsi Jawa Tengah, yaitu desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa
Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak.
Gambar 1. Peta Kecamatan Sarang dan beberapa daerah sekitarnya. (Doc: Amagery ©
2009 TerraMetrick Map Data © 2009 AND, Tele Atlas Europa. Diunduh pada
tanggal 30 Juni 2009 di web google map)

Data penelitian utama yang digunakan adalah data primer. Data sekunder juga
digunakan, namun hanya sebagai pembanding. Hal ini dilakukan karena permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, sepengetahuan penulis belum pernah dimuat di jurnal ilmiah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan
studi pustaka terdahulu. Dalam hal pengumpulan data utama dengan cara wawancara
dilakukan langsung dengan para nelayan yang bertempat tinggal di kawasan sekitar bibir
pantai kecamatan Sarang. Sesekali data hasil wawacara dari para nelaya tersebut penulis
cross check dengan Perangkat Desa, Staf Kantor Kecamatan Sarang, dan warga sekitar.
Selanjutnya dalam hal pengumpulan data sekunder, penulis melakukan searching di dunia
maya, dokumen kependudukan dan Data Laporan Peristiwa yang tersedia di Kantor
Kecamatan Sarang.
Keabsahan data pada penelitian ini digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong
(2004;178) teknik triangulasi digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan cara
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data. Teknik triangulasi yang digunakan terdiri dari lima tahap. Tahap
pertama, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara dari informan.
Tahap kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan pendukung dengan apa yang
dikatakan oleh informan utama. Tahap ketiga, membandingkan apa yang dikatakan oleh
informan saat penelitian. Pada tahap keempat, membandingkan keadaan dan perspektif
informan dengan konsep-konsep atau kerangka teoritis dari para ahli. Selanjutnya tahap
kelima, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait.
Teknik analisis yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah model analisis
interaktif deskriptif. Selanjutnya dalam melakukan analisis dilakukan beberapa tahapan yaitu
tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan terakhir tahap
penarikan kesimpulan atau verifikasi. Adapun ketiga alur di atas, bila digambarkan dengan
skema adalah sebagai berikut;
Pengumpulan
Pengumpulan
Data
Data

Penyajian
Penyajian
Data
Data Reduksi Data
Reduksi Data

Penafsiran
Penafsiran
Verifikasi &
Kesimpulan
Kesimpulan

Gambar 2. Komponen-komponen
Komponen-komponen Analisa
Analisa Data Model Data Model
Interaktif Interaktif
(Miles (Miles, 2000:20)
&Huberman dan Huberman,
2000:20)
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Secara administratif Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang terbagi dalam 23

desa. Dua puluh tiga desa tersebut adalah desa Lodankulon, Lodanwetan, Bonjor,

Tawangrejo, Sampung, Baturno, Babaktulung, Nglojo, Jambangan, Pelang, Gilis,

Gunungmulyo, Gonggang, Sumbermulyo, Kalipang, Dadapmulyo, Sendangmulyo,

Banowan, Temperak, Karangmangu, Bajingjowo, Bajingmeduro, dan Sarangmeduro

(Kantor Kecamatan Sarang, 2009, Peta Lokasi).

Gambar 3. Peta Kecamatan Sarang (Doc. Hasil Foto Ulang Tim Peneliti SMA Pamotan)

Dua puluh tiga desa se-Kecamatan Sarang berdasarkan hasil pengamatan

terdapat 6 desa yang memiliki pantai yaitu desa Temperak, Sarangmeduro,

Karangmangu, Bajingmeduro, Sendangmulyo, dan Kalipang. Dalam tahun 2007 hingga

2009, tercatat 1 kali abrasi di Temperak, 6 kali di Karangmangu, 3 kali di Sendangmulyo,

5 kali di Kalipang. Sedangkan abrasi di desa Sarangmeduro dan Bajingmeduro tidak

tersedia laporan tertulis. Berdasarkan tahun kejadian, tercatat sepuluh kali dalam tahun

2007, lima kali abrasi dalam tahun 2008, dan satu kali dalam tahun 2009.

Dalam tahun 2007, terlaporkan sebab-sebab abrasi diantaranya; abrasi laut

musim barat, abrasi laut musim timur, ombak besar, arus deras pada bulan Mei hingga

Juli, angin kencang dan arus deras, dan abrasi laut dengan gelombang pasang. Dalam

tahun berikutnya terlaporkan sebab-sebab abrasi adalah sebagai berikut; abrasi laut
musim barat dan abrasi laut musim timur. Kemudian pada awal tahun 2009, abrasi laut

musim barat.

Dampak abrasi tahun 2007 mengakibatkan dua puluh rumah warga rusak, tujuh

rumah warga rusak berat, satu kandang ternak rusak, jalan desa rusak 200 meter

dengan lebar 2,5 meter, hancunya jalan (aspal) desa 600 meter, 8 bidang tanah menjadi

lautan, perahu hanyut dan tenggelam, dan enam rumah warga roboh serta hanyut di

telan ombak. Selanjutnya tahun 2008 akibat abrasi; 12 rumah rusak kemudian pindah

rumah, 2 rumah hanyut, 32 rumah rusak berat, 8 rumah rusak ringgan, tiga belas rumah

rusak, satu rumah roboh. Sedangkan tahun 2009 hanya tercatat sekali kejadian abrasi

yang mengakibatkan tiga rumah rusak ringan.

Tercatat kurugian akibat abrasi; tedapat 134 juta rupiah jumlah kerugian dalam

tahun 2007. Pada tahun yang sama terdapat dua kali kejadian abrasi yang tidak

tersediakan data kerugiannya. Pada tahun 2008, tercacat kerugian sebesar 316,33 juta

rupiah dengan satu kali kejadian abrasi, juga tidak menyediakan data kerugiannya.

Kemudian pada awal tahun 2009 terjadi abrasi dengan taksiran jumlah kerugian sebesar

5 juta rupiah.

B. Abrasi di Kecamatan Sarang

1. Abrasi Pantai Karangmangu

Masyarakat pantai tanpa pesisir lagi, itulah kesan saat memasuki kawasan

kantong pemukiman Karangmangu. Dahulu wilayah pesisirnya luas (± 50 meter dari

pemukiman penduduk). Pesisir dengan hamparan pasir putih itu, seiring dengan

bertambahnya penduduk, berubah menjadi kantong pemukiman. Pada keadaan air

laut surut saja, jarak rumah penduduk dengan air laut berkisar satu meter.
Gambar 4. Kodisi Pemukiman Bibir Pantai yang tidak Berpantai (Doc. Tim Peneliti
SMA Pamotan, 2009)

Dikawasan ini pula berdiri pusat komplek pondok pesantren terbesar di

kabupaten Rembang dengan jangkauan santrinya dari semua wilayah di Indonesia.

Gambar. Komplek Pondok Pesantren di Karangmangu, Sarang Rembang (Doc. Tim


Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Dekatnya jarak rumah dengan air laut menyebabkan arus ombak air laut

merusak sepanjang rumah yang letaknya di bibir pantai. Setiap tahun dapat

dipastikan terdapat rumah warga rusak. Menurut warga setempat, dalam setiap

tahunnya kurang lebih sepuluh rumah warga rusak ringan hingga roboh. Akibat

abrasi, mereka kehilangan materi dan energi yang cukup besar.

Menurut masyarakat setempat, ombak besar dari arah barat terjadi saat

bulan Januari dan Februari. Ombak besar dari arah timur terjadi di bulan April dan

Mei dengan disertai angin kencang. Meskipun abrasi sering merusak dan
merobohkan rumah warga, mereka tetap saja bertahan hidup di bibir pantai. Mereka

berpandangan bahwa tinggal di bibir pantai akan mempermudah mereka dalam

melangsungkan pekerjaannya sebagai nelayan. Mayoritas penduduk Karangmangu

bermata pencaharian sebagai nelayan.

Lonjakan penduduk di Karangmangu relatif tinggi dan cepat, baik dari

penduduk pribumi maupun dari penduduk pendatang. Mungkin saja dari

penduduknya enggan menerapkan program KB (Keluarga Berencana). Akibatnya

dari lonjakan penduduk tersebut, pemukiman Karangmangu menjadi padat. Jarak

rumah penduduk dengan pantai kira-kira satu sampai dengan dua meter. Akibat dari

jarak rumah dengan pantai hanya beberapa meter saja, kemungkinan setiap

tahunnya terdapat rumah roboh. Warga desa Karangmangu berpedoman “dimana

dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi)

untuk pindah rumah.

Jika rumah hunian rusak atau roboh karena abrasi, mereka benahi tanpa

berfikir pindah. Warga berupaya menanggulangi abrasi dengan cara membuat

tanggul dari karung pasir serta membuat tanggul dari batu-batuan besar. Tanggul

yang mereka buat dibangun di sepanjang pesisir desa Karangmangu. Namun tidak

sedikit dari tanggul tersebut rusak akibat hantaman ombak besar.

Penduduk desa Karangmangu beranggapan bahwa abrasi adalah hal biasa

yang lazim terjadi di daerah pantai dan tidak merupakan suatu bencana. Abrasi

menurut pandangan warga setempat tidak lagi menjadi momok yang menakutkan,

walaupun pada kenyataannya rumah mereka sering rusak dan roboh.

Untuk menghadapi abrasi, dilakukan pengendalian abrasi secara manual dan

sederhana yaitu dengan membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan

tancapan bambu. Sedangkan pemerintah telah membuat tanggul penahan ombak

untuk mengendalikan terjadinya abrasi. Hingga saat ini proyek tanggul pemecah

ombak tersebut belum selesai. Masyarakat menaruh harap kepada pemerintah untuk

mengentaskan masalah abrasi di desa Karangmangu agar mereka dapat hidup

tenang dan sejahtera.


Gambar 5. Perilaku Pengendalian Abasi Secara Manual Proyek Swadaya (Doc. Tim
Peneliti SMA Pamotan, 2009)

2. Abrasi Pantai Sarangmeduro

Saat memasuki pantai di desa Sarang Meduro, kita disuguhkan tanggul

sepanjang bibir pantai sebagai pengendali ombak. Abrasi di Sarangmeduro telah

merusak dan merobahkan rumah warga.

Gambar 6. Perilaku Pengendalian Abrasi Pemecah Ombak di Desa Sarang Meduro


(Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai nelayan dengan pola

membangun rumah di atas tanah milik Negara yaitu disepanjang pesisir. Ketiadaan

dana telah memacu mereka menempati kawasan pesisir sebagai tempat tinggal.

Pilihan tersebut mengakibatkan jarak antara rumah mereka dengan laut lebih dekat.

Pengakuan dari penduduk setempat, jika warga disediakan lahan untuk tempat
tinggal dan diberi bantuan material mendirikan rumah, mereka akan bersiap untuk

pindah dari wilayah pesisir.

Abrasi menurut warga disebabkan gelombang musiman, ombak besar, angin

kencang, dan tidak tersedia pengendali. Gelombang yang bersifat merusak yaitu

gelombang barat yang terjadi pada bulan Januari dan Februari, serta gelombang

timur di bulan April dan Mei.

Abrasi menurut warga setempat merupakan hal yang menakutkan karena

abrasi (pengikisan daratan oleh air laut) menyebabkan rumah warga rusak dan

roboh. Walaupun pemerintah telah berupaya mengendalikan abrasi dengan tanggul

untuk pemecah ombak dan penahan ombak, tetap saja abrasi masih terjadi. Warga

juga berpandangan, lama-kelamaan abrasi akan merusak tanggul-tanggul yang ada.

Pemukiman penduduk di tepi pantai Sarangmeduro cukup padat. Tanah

untuk mendirikan rumahnya berstatus tanah Negara dan tanpa sertifikat. Mereka

tatap bertahan hidup di bibir pantai, menurut pengakuan mereka, dengan tinggal di

dekat pantai akan mempermudah bekerja di laut.

Gambar 7. Kawasan Pemukiman di Sarang Meduro yang Terkena Abrasi (Doc. Tim
Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Bekerja di laut tampaknya menjadi pilihan utama. Pendidikan formal warga

desa Sarangmeduro lebih dinomorduakan dan mereka lebih suka bekerja sebagai

nelayan dibandingkan sekolah. Kegiatan kesehariannya yaitu; menangkap ikan,

mengasap ikan, menjual ikan ke pasar dan tengkulak.


Pengendalian abrasi yang dilakukan warga setempat berupa pembuatan

tanggul dari karung pasir dan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya. Dengan

cara tersebut mereka rasa dapat menahan ombak yang setiap saat datang. Mereka

berharap agra pemerintah berperan membantu meningkatkan pengendalian abrasi

dalam jangka panjang.

3. Abrasi Pantai Bajingmeduro

Sepanjang pantai di desa Bajingmeduro terlihat padat penduduk dengan pola

pemukiman yang tampak melebar ke bibir pantai. Desa yang berdekatan dengan

desa Sarangmeduro dan Karangmangu ini nyaris tidak memiliki wilayah pesisir.

Pada saat berkunjung di pemukiman pantai desa ini, telah terdapat tanggul penahan

ombak hancur karena ombak besar.

Gambar 8. Masjid sebagai Fasilitas Ibadah Umat Islam Di Bajing Meduro Dibangun
di Dekat Bibir Pantai (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Sebelum adanya tanggul penahan ombak dari pemerintah, abrasi di desa

Bajingmeduro telah merusak dan merobohkan rumah warga. Abrasi itu telah

memaksa warga kehilangan harta benda. Minimnya ketersediaan lahan untuk pindah

rumah, terpaksa mereka tinggal di daerah pesisir. Mereka sebenarnya tahu jika

tanah tersebut milik Negara dan berkonsekwensi hal yang komplek. Namun mereka

tetap bersikukuh untuk tinggal di wilayah pesisir.

Para nelayan Bajingmeduro biasanya menangkap ikan dengan

menggunakan alat yang disebut kursin. Kursin adalah alat penangkap yang mampu
tangkap ikan dari berbagai ukuran. Saat ditanya tentang kondisi ikan di laut, mereka

menjawab sering kesulitan saat menangkap ikan.

Gambar 9. Perilaku Pengasapan Ikan Laut di Bibir Pantai dan Jenis Pekerjaan
Perempuan Nelayan Bajing Meduro (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Warga desa Bajingmeduro berpandangan, abrasi merupakan hal yang biasa

namun menjadi momok yang selalu membuat warga rugi harta dan benda. Dengan

swadaya warga setempat, mereka berusaha mengendalikan obak dengan cara

menumpuk karung pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak.

Mayoritas warga Bajingmeduro bermata pencaharian nelayan. Saat

wawancara dengan nelayan yang usianya separuh baya menyampaikan bahwa

tanpa sekolah mereka tetap bisa hidup dengan bekerja sebagai nelayan. Dalam hal

pekerjaan dan tempat tinggal, pada umumnya warga Bajingmeduro berpandangan

bahwa hidup di daerah pesisir akan memudahkan mereka dalam bekerja karena

lebih dekat dengan laut sebagai tempat bekerjanya. Mereka juga beranggapan

bahwa banyak anak banyak rezeki.

Saat ini terdapat tanggul penahan ombak dari proyek pemerintah. Ketakutan

warga Bajingmeduro agak terkurangi di banding ketakutan pada tahun-tahun

sebelumnya. Selain itu warga setempat aktif membuat tanggul swadaya dari batu

besar dan tumpukan karung berisi pasir. Pembangunan tanggul swadaya

dimaksudkan agar air laut tidak menerjang perumahan mereka. Dengan adanya
tanggul buatan tersebut, harapan penduduk, abrasi tidak akan merusak rumah

mereka lagi, sehingga mereka bisa hidup tenang.

Gambar 10. Keseharian Para Nelayan Desa Bajingeduro saat Memperbaiki Kusin/
Pukat, saat tidak Melaut (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

4. Abrasi Pantai Sendangmulyo

Semenjak pembuatan pemecah atau penangkis gelombang di pantai desa

Sendangmulyo, pengikisan daratan oleh air laut dapat terkendali. Sebelum adanya

pemecah gelombang, banyak rumah penduduk yang rusak dan hanyut karena

terjangan ombak besar akibat abrasi. Menurut penuturan warga, lebih dari 15 rumah

rusak/ roboh rusak karena terjangan ombak.

Menurut warga, bibir pantai Sendangmulyo pada saat dulu merupakan

sebuah hamparan pekarangan. Namun saat ini terlihat pemukiman penduduk

semakin padat, hal ini disebabkan bertambahnya penduduk pendatang dan

penduduk asli desa tersebut. Walaupun daerah pesisir adalah milik negara, mereka

tetap saja bersikukuh tinggal di tepi pantai, sekalipun berupa tanah tanpa sertifikat.

Hal itu dipengaruhi oleh dekatnya tempat mereka bekerja sebagai nelayan. Sebelum

padatnya pemukiman penduduk di desa Sendangmulyo, dahulu di wilayah pesisir

terdapat pepohonan sejenis mangrove yang berfungsi sebagai pengendali ombak

besar. Namun sekarang tidak ada satupun pohon mangrove yang tersisa, semua

dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk.


Mereka sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai

nelayan tangkap, nelayan pengumpul, maupun buruh nelayan. Bagi nelayan tangkap

mereka hanya menggunakan peralatan yang sederhana untuk menangkap ikan.

Gambar 11. Suasana pada Sore Hari di Bibir Pantai Sendangmulyo (Doc. Tim
Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Pemerintah dan penduduk mengupayakan agar abrasi tidak menghancurkan

rumah lagi dengan cara membangun tanggul-tanggul buatan dari tumpukan batu

besar dan pemecah gelombang. Pembuatan tanggul-tanggul tersebut dimaksudkan

sebagai penghalang air laut yang akan sampai ke perumahan. Sedangkan pemecah

gelombang berfungsi sebagai penghalau gelombang. Gelombang yang datang dari

laut pada mulanya besar, dengan tanggul pemecah gelombang, gelombang tersebut

akan lebih kecil.

Gambar 12. Tanggul pengendali ombak di Pantai Desa Sendangmulyo (Doc. Tim
Peneliti SMA Pamotan, 2009)
Abrasi di Sendangmulyo diharapkan tidak merusak rumah warga lagi, sehingga

warga akan hidup lebih tenang dan sejahtera.

5. Abrasi Pantai Temperak

Temperak merupakan desa di kabupaten Rembang yang letaknya di

kawasan pantai paling ujung timur. Temperak adalah desa yang letaknya

diperbatasan wilayah timur antara Jawa tengah dan Jawa timur, tepatnya perbatasan

antara kabupaten Rembang dengan kabupaten Tuban. Menurut warga setempat,

telah terjadi abrasi pada saat angin dari arah barat pada bulan Januari dan Februari.

Abrasi juga terjadi para saat gelombang timur yaitu terjadi pada bulan Maret dan

April.

Menurut warga, dahulu pantai Temperak merupakan area perladangan

dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Pesisir pantai

yang luas itu digunakan warga untuk area perladangan. Kepadatan penduduk di

desa Temperak kian-waktu kian-meningkat. Meningkatnya populasi dari penduduk

asli desa tersebut dan kedatangan penduduk dari luar desa Temperak. Perumahan

penduduk yang semakin berdekat-dekatan mendorong tindakan alih-fungsi pesisir

menjadi lahan pemukiman. Di dekat bibir pantai Temperak digunakan juga industri

ikan asin dan industri galang kapal nelayan.

Warga desa Temperak telah lama mengeluh karena telah lama belangsung

penambangan pasir laut. Penambangan pasir liar yang dilakukan tiap hari dan terus

menerus mencapai ratusan truck. Penambangan pasir laut tersebut dilakukan

beberapa gelintir warga setempat. Pasir laut tersebut dijual di luar desa Temperak

untuk bahan material bangunan. Menurut staf kantor desa Temperak, yang

melakukan penambangan pasir laut adalah orang-orang yang memiliki akses politik

di daerah setempat.

Abrasi telah terjadi disepanjang pesisir pantai desa Temperak. Berdasarkan

pengamatan dilapangan, jarak antara perumahan dengan laut kira-kira 10 meter.

Pada saat gelombang pasang, ombak laut sering masuk di perumahan warga.

Menurut pandangan warga, abrasi yang terjadi di desa Temperak dianggap suatu
fenomena yang biasa dan tidak dianggap suatu bencana yang akan berdampak

pada kehidupannya yang akan datang.

Gambar 13. Pemukiman Warga Nelayan Desa Temperak yang Berada di Bibir
Pantai (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Abrasi yang terjadi di desa Temperak ini, menurut warga setempat

disebabkan oleh penambangan pasir secara perorangan tanpa batas, angin kencang

yang membawa ombak besar dan gelombang musiman. Pengakuan warga,

terjangan ombak besar akibat abrasi sangat merugikan masyarakat setempat, baik

materi’il maupun spiritual. Abrasi sendiri menurut warga sekitar merupakan hal yang

lazim terjadi, karena setiap tahunnya pasti akan terjadi, dan mereka telah terbiasa

akan hal tersebut. Kebiasaan mereka terhadap terjadinya abrasi membuat mereka

mudah beradaptasi. Mereka tetap bertahan hidup walaupun sering terkena abrasi.
Gambar 14. Proses Perawatan Perahu Kecil Nelayan Temperak dengan Cara di
Lukis Pola Menarik untuk Penyemangat Kerja (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan,
2009)

Dalam hal menanggulangi abrasi, warga sekitar yang berada di tepi

melakukan cara manual maupun alami. Secara menual mereka membuat tanggul

dari batuan-batuan yang diberi tancapan bambu sebagai penahannya. Sedangkan

secara alami mereka membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup disekitar tepi pantai.

Beberapa pepohonnan yang dibiarkan hidup diantaranya pohon waru, katang,

weduri, dan lain-lain untuk menahan terjadinya abrasi. Dalam mengendalikan abrasi,

warga Temperak membangun tanggul dari anyaman bambu dan ditutup

menggunakan pohon katang (sejenis pohon berakar yang dahannya merambat)

serta membangun tanggul dari tumpukan batu. Abrasi yang ditanggulangi dengan

menggunakan tanggul diharapkan Abrasi tidak akan merusak rumah lagi sampai

kehidupannya yang akan mendatang.

Gambar 15. Pohon Katang yang Dibiarkan secara Alami untuk Tanggul Hidup saat
Abrasi (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Warga desa Temperak berharap akan adanya peran dan bantuan

pemerintah baik moral maupun material yang bisa meringankan beban mereka

dalam meghadapi abrasi yang terjadi setiap tahunnya.

6. Abrasi Pantai Kalipang

Jika Karangmangu merupakan kawasan pantai tanpa pesisir, Kalipang

sebaliknya, merupakan kawasan yang masih memiliki sudut pandang pantai yang
relative luas akan pesisir, walupun di salah satu ujung pantai desa ini juga tedapat

rumah-rumah di bibir pantai. Wilayah Kecamatan Sarang yang berpantai dan terletak

paling barat adalah desa Kalipang. Desa ini dulunya sering terjadi abrasi yang

meluluh-lantakkan beberapa rumah warga sekitar tepi pantai. Tetapi setelah dibuat

tanggul dari tumpukan batu-batu besar untuk menahan ombak, sekarang tidak lagi

terjadi rumah roboh.

Gambar 16. Bibir Pantai Kalipang yang Tampak Ekosistik (Doc. Tim Peneliti SMA
Pamotan, 2009)

Abrasi sendiri menurut warga setempat merupakan sesuatu yang

menakutkan. Karena abrasi selain akan membuat mereka kehilangan rumah, juga

akan kehilangan harta benda yang mereka miliki. Desa yang pemukiman

penduduknya relatif dekat dengan pantai, mayoritas penduduknya tidak bermata

pencaharian sebagai nelayan, melainkan sebagai petani.

Saat ini terlihat tetumbuhan di tepi pantai untuk pengendalian abrasi secara

alami. Terlihat pula masyarakat relatif tidak mendirikan rumah di tepian pantai.

Dengan pemukiman penduduk di desa kalipang yang tidak begitu padat,

rata-rata diantara mereka memiliki tanah yang cukup luas. Rumah satu dengan

rumah lainnya tidak berdempet-dempetan. Di desa ini telah berdiri industri galangan

kapal nelayan ukuran besar.


Gambar 17. Industri Galangan Kapal di Kalipang (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan,
2009)

Menurut penduduk Kalipang, abrasi disebabkan oleh gelombang musiman

ombak besar, dan angin besar. Mereka menganal dua macam gelombang musiman

yaitu gelombang barat yang terjadi pada bulan Januari dan Februari dan gelombang

timur yang terjadi pada bulan April dan Mei. Datangnya ombak besar dapat

mengekibatkan rusaknya apapun yang ada di depanya, termasuk rumah.

Selanjutnya abrasi yang disebabkan angina besar menurut mereka, karena angin

besar dapat mempengaruhi gerakan ombak dan membawa ombak yang besar, dan

ombak tersebut akan mempengaruhi terjadinya abrasi.

Dalam menanggulangi abrasi warga desa Kalipang, telah dibuatkan tanggul

progam pemerintah. Tanggul tersebut terbuat dari tumpukan batu besar yang

menyerupai tebing. Dengan demikian ombak tidak sampai ke perumahan.


Gambar 18. Proyek Tanggul Pemerintah untuk Penahan Ombak (Doc. Tim Peneliti
SMA Pamotan, 2009)

Pola hidup warga desa Kalipang terlihat sederhana. Dengan mata pencaharian

penduduk kalipang sebagian besar sebagai petani, walaupun perumahan mereka dekat

dengan laut. Penduduk di ini tampak belum padat, terlihat perumahan mereka masih

jarang yang berada bibir pantai. Pesisir di desa Kalipang dijadikan sebagai industri

galangan kapal. Baik kapal yang berukuran besar maupun kecil. Jarak antara

perumahan desa Kalipang dengan laut lumayan jauh, kira-kira 20 m, namun tidak

menutup kemungkinan abrasi di desa kalipang akan menerjang di perumahan warga

lagi. Abrasi telah tertanggulangi dengan tanggul program pemerintah. Warga desa

berharap ombak tidak merusak rumah dan menimbulkan bencana lagi. Dengan demikian

harapan warga desa setempat dapat menjalani hidup tentram dan sejahtera serta tidak

akan memiliki rasa kekhawatiran terhadap abrasi, terwujud.

C. Mengenal Sepanjang Bibir Pantai Sarang Rembang

Bagaimana kondisi di sepanjang bibir pantai kecamatan Sarang kabupaten

Rembang, pada bagian ini akan mengulas hal tersebut. Ulasan ini memuat enam kondisi

pantai Sarang, diantaranya; pantai Karangmangu, pantai Sarangmeduro, pantai

Bajingmeduro, pantai Temperak, pantai Sarangmeduro, pantai Sendangmulyo, dan

pantai Kalipang.

Masyarakat pantai tanpa pesisir lagi, itulah kesan saat memasuki kawasan

pemukiman di bibir pantai Karangmangu. Dikawasan ini pula berdiri pusat komplek
pondok pesantren terbesar di kabupaten Rembang. Dekatnya jarak rumah dengan air

laut menyebabkan arus ombak air laut merusak sepanjang rumah yang letaknya di bibir

pantai. Lonjakan penduduk relatif tinggi dan cepat, baik dari penduduk pribumi maupun

dari penduduk pendatang.

Saat memasuki pantai di desa Sarangmeduro, kita akan disuguhkan tanggul

sepanjang bibir pantai sebagai pengendali ombak/ gelombang. Sebagian besar dari

mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakatnya lebih suka bekerja

sebagai nelayan. Pola membangun rumah cenderung di atas tanah milik Negara yaitu

disepanjang pesisir. Pemukiman penduduk di tepi pantai Sarangmeduro cukup padat.

Penangkapan ikan, pengasapan ikan hasil melaut, transaksi jual beli dengan menjual di

pasar dan tengkulak, merupakan keseharian warga Sarangmedur. Di desa ini juga

terdapat industri galang kapal tangkap ikan dengan ukuran besar, sedang dan kecil.

Sepanjang pantai di desa Bajingmeduro terlihat padat penduduk dengan pola

pemukiman yang tampak melebar ke bibir pantai. Abrasi telah merusak dan sering

merobohkan rumah warga dan memaksa warga kehilangan harta bendanya. Minimnya

ketersediaan lahan untuk pindah rumah, terpaksa mereka tinggal di daerah pesisir. Para

nelayan Bajingmeduro biasanya menangkap ikan dengan menggunakan alat yang

disebut kursin para nelayan sering kesulitan saat menangkap ikan.

Pada saat dahulu pantai Sendangmulyo adalah sebuah hamparan pekarangan

yang sangat luas, namun terlihat padat rumahnya seiring dengan bertambahnya

penduduk pendatang dan penduduk asli desa tersebut. Sebelum padatnya pemukiman

penduduk di desa Sendangmulyo, dahulu di wilayah pesisir terdapat pepohonan sejenis

mangrove yang berfungsi sebagai pengendali ombak besar. Namun sekarang tidak ada

satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman

penduduk.

Temperak merupakan desa di kabupaten Rembang yang letaknya di kawasan

pantai paling ujung timur. Temperak adalah desa yang letaknya diperbatasan wilayah

timur antara Jawa tengah dan Jawa timur, tepatnya perbatasan antara kabupaten

Rembang dengan kabupaten Tuban. Dahulu, pantai Temperak merupakan area

perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter.
Pesisir pantai yang luas itu digunakan warga untuk area perladangan. Perumahan

penduduk yang semakin berdekat-dekatan mendorong tindakan alih-fungsi pesisir

menjadi lahan pemukiman. Ditempat inilah berjalannya eksplorasi penambangan pasir

laut dengan besar-besaran. Kepadatan penduduk di desa Temperak kian-waktu kian-

meningkat. Meningkatnya populasi dari penduduk asli desa tersebut dan kedatangan

penduduk dari luar desa Temperak.

Pantai Kalipang merupakan kawasan yang masih memiliki sudut pandang pantai

yang relatif luas akan pesisir, walupun di salah satu ujung pantai desa ini juga tedapat

rumah-rumah di bibir pantai. Saat ini disepanjang pantai telah dibutkan tanggul dari

tumpukan batu-batu besar untuk menahan ombak. Di bibir pantai Kalipang berdiri inilah

industri galangan kapal nelayan ukuran besar. Desa yang pemukiman penduduknya

relatif dekat dengan pantai, dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian

petani.

D. Cara Pandang Masyarakat Pesisir Sarang Tentang Abrasi

Bagaimana cara pandang masyarakat pesisir di kawasan timur pantai Rembang,

tepatnya di kecamatan Sarang, perihal pengetahuan tentang fenomena abrasi,

selanjutnya akan di jawab pada bagian berikut ini.

Masyarakat Sarang mengenal dua macam gelombang musiman yaitu

gelombang barat dan gelombang timur. Gelombang barat (wayah baratan) terjadi pada

bulan Januari dan Februari. Selanjutnya gelombang timur (wayah timuran) terjadi pada

bulan April dan Mei. Pada waktu-waktu tersebutlah ombak datang setiap saat datang

dengan tidak pernah di sangka namun merusak rumah mereka, dan menghilangkan

harta benda-nya.

Abrasi dianggap suatu hal yang biasa, dan tidak merupakan suatu bencana

besar seperti semburan lumpur lapindo atau sejenis gempa bumi. Abrasi merupakan hal

yang lazim terjadi, karena setiap tahunnya pasti akan terjadi, dan mereka telah terbiasa

akan hal tersebut. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang

musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendalian ombak secara

alami seperti penanaman tumbuhan bakau. Abrasi menurut mereka juga disebabkan
oleh penambangan pasir secara perorangan tanpa batas. Abrasi sendiri menurut warga

setempat merupakan sesuatu yang menakutkan yang membuat mereka gelisah karena

sewaktu-waktu datang tanpa sepengetahuan.

Walaupun demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. Dengan tinggal di bibir

pantai akan mempermudah mereka dalam menjalankan pekerjaannya sebagai nelayan.

Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka

berkemampuan (materi) untuk pindah rumah. Mereka juga beranggapan bahwa banyak

anak banyak rezeki.

Dalam hal pandangan akan pengedalian abrasi, mereka tahu bahwa bahwa

pembuatan tanggul-tanggul sebagai penghalang air laut yang akan sampai ke

perumahan. Dengan membuat pemecah gelombang, berfungsi sebagai penghalau

gelombang. Menurut mereka gelombang yang datang dari laut pada mulanya besar,

dengan tanggul pemecah gelombang, gelombang tersebut akan lebih kecil. Namun

mereka juga tahu bahwa lama-kelamaan abrasi akan merusak tanggul-tanggul, sehingga

tidak ada penahan ombak lagi.

Berdasarkan hasil penelitian di atas tentang pandangan masyarakat pesisir

tentang abrasi, menurut pandangan penulis, cara pandang tersebut di atas merupakan

hasil adaptasi antara masyarakat dengan lingkungannya atau yang sering di sebut

dengan cara pandang ekologi. Cara pandang ekologi adalah segala pengetahuan yang

dimiliki suatu masyarakat bersumber dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat akan

bagaimana masyarakat mengenal tanda abrasi, kapan dan berapa besar abrasi terjadi,

dan bagaimana pula mengendalikan abrasi dengan cara alami.

Namun dalam beradaptasi, masyarakat nelayan telah berhadapan dengan cara

pandang fungsi yang tentan konflik. Hal ini dapat dilihat bagaimana nelayan mendirikan

rumah di saat tidak memiliki lahan, bagaimana nelayan memenuhi kebutuhan sehari-hari

saat ikan tangkapannya mulai sulit, dan bagaimana para nelayan bertindak dalam

pemenuhan kebutuhan ekonominya yang tanpa disadari telah mengundang abrasi itu

sendiri, contohnya adalah penambangan pasir laut dan pembabatan tetumbuhan di bibir

pantai.
Menurut penulis, cara pandang di atas merupakan hasil pikiran masyarakat yang

harus dihormati. Dengan sikap tersebut, keaneka-ragaman akan pengetahuan untuk

mengelola sumber daya pantai/ laut dapat dimulai dari sini. Di sisi lain, menurut penulis

juga terdapat masalah di balik cara pandang di atas, yaitu masalah kependudukan dan

perilaku untuk mencapai rasa aman dan nyaman.

E. Perilaku Masyarakat Pesisir Sarang dalam Menghadapi Abrasi

Bagaimana perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena

abrasi, tepatnya di kecamatan Sarang, perihal pengetahuan tentang fenomena abrasi,

selanjutnya akan di jawab pada bagian berikut ini.

Nelayan sarang dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi telah menghasilkan

keragaman perilaku pengendalian abrasi. Keragaman perilaku pengendalian abrasi

tersebut dapat dilihat yaitu; membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan

diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai

sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan

bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan

dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari tumpukan batu besar yang

dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi

pantai. Jika perilaku pengendalian abrasi tersebut tetap diterjang ombak, maka rumah

para nelayan yang mereka tempati rusak ataupun roboh karena abrasi, secepatnya

mereka benahi tanpa berfikir pindah.

Menurut penulis, perilaku masyarakat nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan

abrasi perlu dihormati. Perilaku tersebut di atas merupakan hasil dari pengetahuan yang

dimiliki bersama, dan sekaligus sebagai cermin dari berapa kemampuan ekonomi yang

dimilikinya. Hal ini dapat dapat dilihat tentang seberapa besar mereka memiliki finansial/

uang untuk membuat tanggul dari batu-batu besar yang ditanam, karena datangnya batu

di kawasan pesisir telah melalui transaksi kegiatan ekonomi di luar sana.

Hingga saat ini, pemerintah masih dalam proses pembuatan tanggul penahan

dan pemecah ombak, namun disisi lain, abrasi setiap waktu datang seperti yang

diungkapan nelayan Sarang seperti yang terulas di atas.


BAB V
KESIMPULAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan sebagai
berikut ini;
1. Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak
antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir
pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai yang penuh dengan jebakan, dan
indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi.
Tidak ada satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti
dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman di bibir pantai. Para
nelayan Sarang sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi
sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran.
2. Nelayan di sepanjang pantai Sarang berpandangan bahwa abrasi
adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka telah terbiasa akan
abrasi. Abrasi disebabkan oleh adanya gelombang musiman, ombak besar,
angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi merupakan
sesuatu yang menakutkan dan membuat mereka gelisah. Walaupun demikian
mereka tetap tinggal di bibir pantai. Dengan tinggal di bibir pantai akan
mempermudah mereka dalam menjalankan pekerjaannya sebagai nelayan.
Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun
mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah. Mereka juga beranggapan
bahwa banyak anak banyak rezeki.
3. Perilaku pengendalian abrasi nelayan di sepanjang pantai Sarang
dapat dilihat yaitu; membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan
diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-
tepi pantai sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir
dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari
batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari
tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan
tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai.

B. Saran
Penelitian ini hanya bermaksud untuk mengabarkan akan cara pandang dan
perilaku masyarakat pesisir laut bagian timur Rembang, yaitu Sarang. Berdasarkan hasil
temuan di atas, menurut penulis terdapat beberapa masalah yang cukup penting untuk
diperhatikan, baik dalam sudut pandang akademik maupun pratik. Memberi saran akan
fenomena abrasi adalah komplek. Seperti yang diulas pada bab I bahwa fenomena
abrasi tidak hanya dipengaruhi dari satu atau dua faktor, terlebih abrasi telah berinteraksi
dengan masyarakat nelayan. Pada kesempatan ini penulis hanya memberikan isu
akademik dan praktik yang dianggap untuk diperhatikan perihal tentang abrasi: pertama;
penting kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan
kantong pemukiman pesisir, kedua; penting kiranya memperhatikan langkah strategis
untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, bukan sebaliknya,
sebuah umpan ekonomi yang merusak lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, Rokhmin. 1998. Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan


Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Dalam Jurnal pesisir dan lautan:
Volume 1, No. 2, 1998. hal: 61
Dahuri et al., 1996; Brown, 1997
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Miles, Mathew B. dan Huberman. 2000. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru (terjemahan: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mujiyani, at al. Penduduk, lingkungan, dan Kemiskinan: Kasus di Minahasa dan Lombok
Timur. Dalam http://www.ppk.lipi.go.id/informasi/penelitian/ Dpenelitian_detil2.asp?
Vnomo=108. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.
Rugaya. 2001. Perilaku Ekonomi Masyarakat Nelayan Pulau-Pulai Kecil Di Wilayah Kota
Manado. Pemda Kota Manado. Lingkungan Hidup
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin dan Egon
Guba dan Penerapannya. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana.
Samori, Agus. 2001. Peran Tabu dan Sasi dalam Aktifitas Kenelayanan. FISIP. IJPTUNCEN
Syarief, Efrizal. 2001. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Dalam Sumber: Majalah PP\Th 2001\Edisi-25
Tim. 2009. Analisis Kelembagaan Ekonomi yang Dibutuhkan Masyarakat Nelayan di
Provinsi Sulawesi Selatan. Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam
http://www.smecda.com/kajian/files/kjdaerah/Sulsel_1.htm. Diunduh pada tanggal 30
Juni 2009.
Tim. 2006. Mobilitas Penduduk. Dalam Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. I No. 1,
2006
UNESCO. 1993. COASTS : Managing Complex Systems. UNESCO Environment and
Developmetn Briefs. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.
Southern Cross University, 1997. Coastal Tourism: A Manual for Sustainable
Development. Department of the Environment. Camberra. Diunduh pada tanggal 30
Juni 2009.
Sulasdi, Widyo Nugroho. 2001. Aspek Geodetik Dalam Pembangunan Wilayah Pesisir Dan
Laut Secara Terpadu. Dalam Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XI, No.1, Januari
2001 ; hal: 44
LAMPIRAN
DAFTAR DAN BIODATA INFORMAN/ RESPONDEN

Masrikhin Sukarmi
45 th 29 th
Desa Kalipang Bajingmeduro

Kartini Sukarti
41 th 38 th
Desa Kalipang Bajingmeduro

Tidak tersedia Nama


Tidak tersedia Umur
Karangmangu Alamat

Edi Sarwono Khasanah


47 th 33 th
Desa Bajingmeduro
Karangmangu
Mahfudho Shohibul
59 th 40 th
Desa Sarangmeduro
Karangmangu
Tidak tersedia Tidak tersedia
Tidak tersedia Tidak tersedia
Karangmangu Sarangmeduro

Jamil Tidak tersedia


56 th Tidak tersedia
Desa Temperak Sarangmeduro

Syifak Kamsir
50 th 41 th
Desa Temperak Desa Temperak

Tarmuji Maskup
40 th 47 th
Desa Temperak Desa Temperak

Вам также может понравиться