Вы находитесь на странице: 1из 31

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep Pneumonia
2.1.1

Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru;

peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar


membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan
dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. 1 Walaupun banyak pihak yang
sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun
sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal.
Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi
klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang
ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan
gambaran infiltrat pada foto rontgen toraks. Dikenal istilah lain yang mirip
yaitu pneumonitis yang maksudnya lebih kurang sama. Banyak yang
menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena
proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non-infeksi.
Namun hal inipun tidak sepenuhnya ditaati oleh para ahli.
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan
dengan adanya konsolidasi akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli.
(Axton & Fugate, 1993).
Pneumonia adalah keradangan dari parenkim paru di mana asinus
terisi dengan cairan radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel
radang ke dalam dinding alveoli dan rongga intestinum (Amin & Al sagaff,
1989).
Pneumonia adalah Suatu radang paru-paru yang ditandai oleh
adanya konsolidasi exudat yang mengisi alveoli dan bronchiolus ( Axton ).

2.1.2

Anatomi dan Fisiologi


Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang

selama neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas


pada setiap usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada
perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya.

Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang


berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga
menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata.
Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan
kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis
membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara
bertahap dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel
kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk
menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport
mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru.

Sel

goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum


endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya
pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi
hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory)

terdiri

dari

bronkhiolus distal sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus


alveolaris dan alveoli.
Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang
disebut incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo
dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius
Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal,
posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal
MEKANISME PERTAHANAN PARU
Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati

orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara


yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme
penyaringan dan pembersihan yang efektif.
1. PEMBERSIHAN UDARA
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi
hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar
dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati
area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan
pada temperatur tubuh dan dilembapkan.
2. PEMBAU
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan
dengan di trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk
mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan
berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat tersebut membawa
udara menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paru-paru.
3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh
bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat
dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat
gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut
terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas, trakhea,
bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan mencapai duktus
alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai
aerosol dan 80% nya dikeluarkan. 3
Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :
a. Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea,
laring, dan tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan
bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke
jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi
akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi
sebagai akibat stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam
demi mencapai kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan
glotis yang terutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari
100mmHg. Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka
dan tekanan di jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan
jalan nafas dan ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat

melewati jalan nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa


bersama-sama mukus keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin,
ekspirasi melewati hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut.
Kedua refleks tersebut juga membantu mengeluarkan mukus dari
b.

jalan nafas.
Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier
Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia
dimana terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. Eskalator
mukosilier adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan
dalam

menghilangkan

partikel

yang

terinhalasi.

Partikel

terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring.


Pergerakan tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus
yang mencapai faring dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut
atau hidung. Karenanya, pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret
trakheobronkial (misal tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret
yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas.
4.

MEKANISME

PERTAHANAN

DARI

UNIT

RESPIRASI

TERMINAL
a. Makrofag alveolar
b.

Pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan
unit-unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan
napas. Kurang lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di
bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner
dengan jumlah yang semakin berkurang pada jalan napas bagian
perifer. Masing-masing sel bersilia memiliki kira-kira 200 silia
yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi kira-kira
1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan
kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga
terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap
gelombang disebarkan ke arah orofaring. 3

c.

Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa


permukaan hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan

pada saat bersin, sementara partikel yang terkumpul pada


permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke
sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel
tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan glottis secara refleks
dan batuk akan melindungi saluran napas bagian bawah. Partikel
infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran napas dan
diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan
fagosit utama di dalam saluran napas bagian bawah. Makrofag
alveolar akan menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial
pada limfosit dan mensekresikan sitokin yang mengubah proses
imun dalam limfosit T dan B.

2.1.3 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih
relevan.
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru :
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi :
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab :
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia :
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit :
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tipe Klinis
Pneumonia Komunitas

Epidemiologi
Sporadis atau endemis; orang tua atau orang

muda
Pneumonia Nosokomial
Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens
Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi
Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan Pasien transplantasi, onkologi, AIDS
imun
2.1.4 Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen
penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : 5
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran
klinis dan strategi pengobatan.

Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di negara maju :
Usia
Lahir 20 hari

Etiologi tersering
Bakteri

Streptococcus

Etiologi terjarang
Bakteri : Bkateri anaerob,

E.colli,
grup

Listeria monocytogenes

B,

Streptococcus
Haemophilus

grup

D,

influenza,

Streptococcus pneumoniae
Virus : CMV, HMV

Bakteri
3 minggu 3
bulan

Clamydia Bakteri

Bordetella

trachomatis, Streptococcus

pertusis,

Haemophilus

pneumoniae

influenza tipe B, Moraxella


catharalis, Staphylococcus

Virus

Adenovirus,

aureus

Influenza, Parainfluenza 1,
2, 3
Bakteri
4 bulan 5 tahun

Clamydia

Virus : CMV
Bakteri : Haemophilus

pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella


pneumoniae, Streptococcus catharalis, Staphylococcus
pneumoniae

aureus,

Neisseria

meningitidis
Virus

Adenovirus,

Rinovirus,

Influenza, Virus : Varicela zoster

Parainfluenza
5 tahun - remaja

Bakteri

Clamydia Bakteri

Haemophilus

pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.


pneumoniae

2.1.5

Patofisiologi
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana

beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis
pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering
disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari
darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi
secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area
sublaring sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini
dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi
imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang

membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat


di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain.
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian
perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi
jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi
serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman
di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di
alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di
sepanjang jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius,
menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan
debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi
rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilationperfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai
obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat
meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu
mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan
memodifikasi flora bakterial.
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik
bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae
menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan
menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di
submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel
inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan
penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti
pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang
membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru
lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi
merata di seluruh lapangan paru.

Infeksi

streptokokus

grup A pada

saluran

napas

bawah

menyebabkan infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial.


Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa
trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan
sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini
dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika.
Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat
menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas
yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan
penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok
pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan
kaverna tidak teratur.

2.1.6 Web Of Caution (WOC)

10

Gambar 1. Bagan Patofisiologi Asfiksia

11

2.1.7 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari
kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya
penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat
juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda
pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),
gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi
demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala
napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai
pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.
Frekuensi napas merupakan indeks paling

sensitif

untuk

mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung


diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi
napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah
merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal
serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),
WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan
perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak
mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan patologinya
menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.
Ronkhi basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume
toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa
pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak
toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.

12

Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada


seluruh kasus.
1) Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibuanak yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui
aspirasi mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari
kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat
terjadi karena kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,
letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi
subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi.
Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan
meningitis.
2) Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita
dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit
kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal
(muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea,
retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan
sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis
media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal
di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri
dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan
berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia
lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini
dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai
appendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung
yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba
bila tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi
gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia.

13

3) Pneumonia atipik
Mikroorganisme
pneumoniae,

Chlamydia

penyebab
spp,

adalah

Legionnela

Mycoplasma

pneumofilia,

dan

Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia


pneumoniae merupakan penyebab potensial infeksi respiratori dan
pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan remaja.
Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi
akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal (proses
kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting.
Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang
dilaporkan menyebabkan ifeksi pada anak. 6
(a) Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae
Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama,
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak).
Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis
pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza
(influenza like flu syndrome) seperti demam (jarang lebih dari
380C), malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan
batuk. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat
seperti severe necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas
pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan. Kadang
dapat berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya
tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum
mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga
berminggu-minggu. Mengi dapat ditemukan pada 30-40% kasus
pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak
yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan waktu 2 minggu
dan uji serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan
antibodi (ketika penyakit telah sangat berkembang). Gambaran
foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi gambaran infiltrat
intersisial,

retikuler,

retikulonoduler,

bercak

konsolidasi,

pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi


pleura.
(b) Infeksi oleh Chlamydia penumoniae

14

Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk


kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang
tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan
kelainan. Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit
darah tepi biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks
menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal
yang jauh lebih berat daripada gejala klinis. Pneumonia
Klamidia lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat
endemik, dan epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi
Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma.
2.1.8

Pemeriksaan Penunjang
a) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000
40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( <
5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi
Chlamydia kadang kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi
pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih
rendah daripada glukosa darah. Kadang kadang terdapat
anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum hasil
peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan
antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
b) C- Reaktif Protein ( CRP )
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh
hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan,
produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP
sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau
sel rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus
dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi
superfisialis daripada profunda.

15

c) Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada
infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun
bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan anibodi IgM dan IgG.
d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari
usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
punksi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif
apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi
paru.
Kultur darah jarang positif pada infeksi

Mycoplasma dan

Chlamydia.
e) Pemeriksaan rontgen Thoraks
Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :
1) Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
2) Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus
( pneumonia lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu
tegas, menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round
pneumonia.
3) Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak bercak infiltrat yang
meluas hingga ke daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu
penelitian, ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak
terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus bawah, hal itu
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat
dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.

16

2.1.9 Pemeriksaan Diagnosis


Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan /
atau serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan
bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang
memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis,
dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas
cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh
gambaran radiologis.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada
balita, maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan
pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana.
Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman
tersebut :
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
a. Pneumonia sangat berat
i. Tidak dapat minum/makan
ii. Kejang
iii. Letargis
iv. Malnutrisi
b. Pneumonia berat
i. Bila ada sesak nafas, ada retraksi
ii. Harus dirawat dan diberikan antibiotik
c. Pneumonia
i. Bila tidak ada sesak nafas
ii. Ada nafas cepat dengan laju nafas
1. > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun

17

2. > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun


iii. Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
d. Bukan pneumonia
i. Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
ii. Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
2. Bayi berusia dibawah 2 bulan
a. Pneumonia sangat berat
i. Tidak mau menetek/minum
ii. Kejang
iii. Letargis
iv. Demam atau hipotermi
v. Bradipnea atau pernapasan ireguler
b. Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik

i. Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas


ii. Retraksi
iii. Harus dirawat dan diberikan antibiotik
c. Bukan pneumonia
i. Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
ii. Tidak

perlu

dirawat,

simptomatis
2.1.10 Penatalaksanaan dan Terapi

cukup

diberikan

pengobatan

18

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi


perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit
dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.
Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus
dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan
asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti
efektif.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada
anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan
bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis
15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari
pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam,
ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol.
Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB
setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan
seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan
selama 10 hari.

PREVENTIF
1.

Pencegahan Primer

19

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko


terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan
imunisasi DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan
ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan
makanan yang bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat
gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu
mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam

2.

ruangan dan polusi di luar ruangan.


d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit
dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan
antibiotik parenteral dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral,
ampisilin, atau amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan
terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol.
Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan
menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika
anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan

3.

dipantau selama 10 hari ke depan.


Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk
kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya.
Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses
penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang
dilakukan dapat berupa :

20

a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri


antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila
keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana
kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan
tidak menimbulkan kematian.

2.1.11 Komplikasi
a. Efusi pleura dan empiema.
b. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi bakterial
akut berupa efusi parapneumonik gram negatif sebesar 60%,
staphyloccocus aurens 50%, S. Pneumoniae 40-60%, kuman an
aerob 35%. Sedangkan pada mycoplasma pneumoniae sebesar
20%. Cairannya transudat dan steril, terkadang pada infeksi
bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.
c. Komplikasi sistemik.
Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriamia beurpa
meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia,
anemia pada infeksi kronik, peninggian ureum dan enzim hati.
Adang-kadang terjadi peninggian fosfatase alkali dan bilirubin
akibat adanya kolestatis intrahepatik.
d. Hopoksemia akibat gangguan disfusi.
e. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia pada
masa anak-anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang dilokasi
bronkus distal pada cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia.
Tuberkulosis atau pneumonia nekrotikan.

2.2

Konsep Dasar Proses Keperawatan

21

Proses keperawatan suatu modalitas pemecahan masalah yang didasari


oleh metode ilmiah, yang memerlukan pemeriksaan secara sistematis serta
identifikasi masalah dengan pengembangan strategi untuk memberikan hasil yang
diinginkan dan merupakan suatu alat bagi perawat untuk memecahkan masalah
yang terjadi pada pasien. Ada 5 (lima) proses keperawatan yaitu: pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Hidayat, 2003).
2.2.1

Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

suatu proses yang sistematika dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status status kesehatan klien (Nursalam,
2001).
Tahap proses keperawatan dimulai dengan pengkajian, menentukan
diagnosa, membuat perencanaan, melakukan tindakan atau implementasi dan
evaluasi.
1.

Pengumpulan Data
a. Identitas Klien
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,

agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa


medis, nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal pengkajian. Juga
identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan klien.

b. Riwayat Kesehatan
Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan
resusitasi meliputi (Carpenito, 2007 dan Mansjoer, 2000) :
1. Data dasar pengkajian pasien:
a.
Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b.
Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
c.
Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes
mellitus

22

Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan


kakeksia (malnutrisi)
Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
e.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia,
d.

artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk
membatasi gerakan)
Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda : sputum: merah muda, berkarat
perkusi: pekak datar area yang konsolidasi
premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
Bunyi nafas menurun
Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku
g.
Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid,
f.

demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
h.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas
pemeliharaan rumah.
Analisa Data

2.2.2

Proses analisa adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan konsep,


teori, prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi klien (Hidayat,
2004).
1. Prioritas Masalah
Prioritas masalah dapat ditentukan dari berbagai cara. Cara yang
pertama adalah dengan melihat seberapa berbahayanya masalah yang
bersangkutan terhadap kelangsungan hidup pasien. Semakin masalah
tersebut mengancam nyawa pasien, maka semakin diprioritaskan masalah
tersebut untuk segera diselesaikan. Cara yang kedua yaitu dengan melihat
apakah masalah yang bersangkutan bersifat aktual atau potensial. Masalah
yang bersifat aktual akan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan masalah
yang bersifat potensial.
Cara selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu berdasarkan keluhan
yang paling sering dikeluhkan oleh pasien atau keluhan yang dianggap

23

paling mengganggu oleh pasien. Selain itu, melakukan prioritas masalah


juga dapat dilakukan berdasarkan Hierarki Keperluan Abraham Maslow dari
tingkat yang paling rendah, yaitu :
a. Kebutuhan fisiologis
b. Keselamatan dan rasa aman
c. Mencintai dan dicintai
d. Kebutuhan untuk dihargai
e. Aktualisasi diri
Pada bayi dengan asfiksia neonatorum, hal yang paling mengancam
keselamatan bayi yaitu terkait permasalahan pada sistem pernapasan yang
dapat menyebabkan kematian. Masalah ini juga merupakan permasalahan
yang aktual, dan berdasarkan hierarki Maslow termasuk dalam pemenuhan
kebutuhan fisiologis. Oleh karena itu, diagnosa prioritas yang diangkat
yaitu Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi
trachea bronchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.
2.2.3

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons

manusia dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status
kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu (Nurarif,
2013 dan NANDA, 2009) :
1. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea
bronchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan kapasitas pembawa
oksigen darah.
3. Resiko tinggi

terhadap

infeksi

(penyebaran)

berhubungan

dengan

ketidakadekuatan pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun),


penyakit kronis, malnutrisi.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
5. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk menetap.
6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
peningkatan

kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses

infeksi.
7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan berlebihan, penurunan masukan oral.

24

2.2.4

Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses

keperawatan yang meliputi tujuan perawatan, menetapkan masalah dan


menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah klien (Hidayat, 2003).
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat
perencanaan intervensi keperawatan berikut tujuan dan rasionalnya. Perencanaan
keperawatan pada tahap ini dibahas rencana tindakan keperawatan berikut
rasionalnya :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi
Tujuan : adanya pertukaran gas kembali norma dengan kriteria :
a. Mempertahankan kadar PO2 / PCO2 dalam batas normal ( pO2 : 80100mmHg, pCO2 : 35-45mmHg)
b. Klien tidak mengalami sesak napas
c. Suhu tubuh dalam keadaan normal ( S 36-37

1.

Intervensi
Berikan posisi yang nyaman
biasanya

dengan

1.

peninggian

Rasional
Meningkatkan
maksimal,

kepala pada tempat tidur.

inspirasi
meningkatkan

ekspansi paru dan ventilasi


pada sisi yang tidak sakit.

2.

Observasi fungsi pernapasan,


catat

frekuensi

2.

pernapasan,

Distress

pernapasan

perubahan

pada

tanda

dan
vital

dispnea atau perubahan tanda-

dapat terjadi sebagai akibat stres

tanda vital.

fisiologis dan nyeri atau dapat


menunjukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.

3.

Jelaskan kepada klien tentang


etiologi

adanya

sesak

3.

atau

Pengetahuan

ansietas dan mengembangkan


kepatuhan

Pertahankan

perilaku

tenang

bantu klien untuk kontrol diri


dengan

yang

diharapkan dapat mengurangi

kolaps paru-paru.
4.

apa

menggunakan

klien

terhadap

rencana terapeutik.
4.

Membantu

klien

mengalami

efek fisiologi hipoksia yang

25

5.

pernapasan lebih lambat dan

dapat dimanifestasikan sebagai

dalam.

ansietas.

Periksalah alarm pada ventilator

5.

Ventilator yang memiliki alarm

sebelum difungsikan. Jangan

yang bisa dilihat dan didengar

mematikan alarm.

misalnya alarm kadar oksigen,


tinggi

rendahnya

tekanan

oksigen.
6.

Letakkan kantung resusitasi di


samping

tempat

tidur

6.

Kantung

resusitasi

sangat

dan

berguna untuk mempertahankan

manual ventilasi untuk sewaktu-

fungsi pernapasan jika terjadi

waktu dapat digunakan.

gangguan pada alat ventilator


secara mendadak.

7.

Bantulah

klien

mengontrol

7.

Melatih klien untuk mengatur

pernasapan jika ventilator tiba-

napas

seperti

napas

dalam,

tiba berhenti.

napas

pelan,

napas

perut,

pengaturan posisi dan tekhnik


relaksasi napas dapat membantu
memaksimalkan

fungsi

dari

sistem resopiratoria.
8.
8.

Auskultasi

suara

nafas,

perhatikan daerah hipoventilasi


dan

adanya

suara-suara

tambahan yang tidak normal


(krekels, ronchi, mengi)

Untuk mengidentifikasi adanya


masalah paru seperti atelektasis,
kongesti, ata obstruksi jalan
napas

yang

oksigenasi

membahayakan
seebral

atau

menandakan terjadinya infeksi


paru

(umumnya

merupakan

komplikasi dari cedera kepal ).

2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan mucus lendir


Tujuan : jalan nafas lancar (efektif) dengan kriteria :
a. Rata-rata repirasi dalam batas normal (30-40x/menit)
b. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
c. Tidak ada suara nafas tambahan (ronchi/wheezing)

26

Intervensi
1. Mengauskultasi
suara

nafas

sebelum dan sesudah suction.

Rasional
1. Obstruksi jalan napas dapat
dimanefestasikan

dengan

adanya bunyi napas tambahan


seperti krekels, ronki,wheezing..
2. Memberitahu

keluarga

tentang

2. Sebelum melakukan tindakan


berikan penkes kepada keluarga

suction

agar tidak terjadi kepanikan/


kesalhpahaman. Dan agar ada
kerjasama dari keluarga pasien.

3. Mengobservasi adanya tanda-tanda

distres pernafasan.

4. Kolaborasi dengan dokter untuk

3. Untuk membersihkan sisa sisa


air ketuban

4. Alat untuk menurunkan spasme

pemberian obat sesuai indikasi:

bronkus

dengan

mukolitik, eks

sekret, analgetik diberikan untuk


memperbaiki
menurunkan

mobilisasi

batuk

dengan

ketidaknyamanan

tetapi harus digunakan secara


hati-hati,

karena

menurunkan

dapat
upaya

batuk/menekan pernafasan.

3.

Resiko

tinggi

terhadap

infeksi

(penyebaran)

berhubungan

dengan

ketidakadekuatan pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun),


penyakit kronis, malnutrisi
Tujuan : tidak terjadi infeksi pada klien dengan Kriteria Hasil :
a. Waktu perbaikan infeksi/kesembuhan cepat tanpa

27

b. Penularan penyakit ke orang lain tidak ada

Intervensi
1. Pantau tanda vital dengan ketat
khususnya selama awal terapi
2. Tunjukkan

teknik

mencuci

tangan yang baik


3. Batasi

Rasional
1. Selama awal periode ini, potensial
untuk fatal dapat terjadi.
2. Efektif

berarti

menurun

penyebaran/perubahan infeksi.

pengunjung

sesuai

indikasi.

3. Menurunkan penularan terhadap


patogen infeksi lain Menghindari
terjadinya hipitermia

4. Potong keseimbangan istirahat

adekuat

dengan

aktivitas

4. Memudahkan proses penyembuhan


dan meningkatkan tekanan alamiah

sedang. Tingkatkan masukan


nutrisi adekuat.
5. Berikan

antimikrobial

sesuai

indikasi dengan hasil kultur

5. Obat digunakan untuk membunuh


kebanyakan microbial pulmonia.

sputum/darah misal penicillin,


eritromisin,
amikalin,

tetrasiklin,
sepalosporin,

amantadin.

4.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


dan kebutuhan oksigen
Tujuan : intoleransi aktivitas dapat dicegah
Kriteria Hasil :
a. Nafas normal
b. Sianosis
c. Irama jantung

28

Intervensi
1. Evaluasi respon pasien terhadap

1.

aktivitas

Rasional
Merupakan
kebutuhan

kemampuan,

pasien

dan

memudahkan pilihan interan..


2. Berikan lingkungan tenang dan

2.

Menurunkan

stress

batasi pengunjung selama fase akut

rangsangan

sesuai indikasi.

meningkatkan istirahat.

3. Bantu

pasien

memilih

posisi

3.

nyaman untuk istirahat atau tidur.


4. Bantu aktivitas perawatan diri yang
diperlukan

dan

berlebihan,

Pasien mungkin nyaman dengan


kepala tinggi, tidur di kursi.

4.

Meminimalkan

kelelahan

dan

membantu keseimbangan suplai


dan kebutuhan oksigen.

5. Nyeri (akut) berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk


menetap.
Tujuan : nyeri dapat teratasi
Kriteria Hasil :
a. Nyeri dada (-)
b. Sakit kepala (-)
c. Gelisah (-)

Intervensi
Rasional
1. Tentukan karakteristik nyeri, misal 1. Nyeri dada biasanya ada dalam

29

kejan, konstan ditusuk.

seberapa derajat pada pneumonia,


juga dapat timbul karena pneumonia
seperti perikarditis dan endokarditis

2. Pantau tanda vital

2. Perubahan FC jantung/TD menu


bawa Pc mengalami nyeri, khusus
bila alasan lain tanda perubahan
tanda vital telah terlihat.

3. Berikan tindakan nyaman pijatan 3. Tindakan non analgesik diberikan


punggung, perubahan posisi, musik

dengan

tenang / berbincangan.

menghilangkan
dan

sentuhan

lembut

dapat

ketidaknyamanan

memperbesar

efek

derajat

analgesik.
4. Aturkan dan bantu pasien dalam 4. Alat
teknik

menekan

dada

selama

episode batuk

untuk

mengontrol

ketidaknyamanan dada sementara


meningkat keefektifan upaya batuk.

5. Kolaborasi : Berikan analgesik dan 5. Obat


antitusik sesuai indikasi

dapat

digunakan

untuk

menekan batuk non produktif atau


menurunkan
meningkat

mukosa
kenyamanan

berlebihan
istirahat

umum.

6. Resiko tinggi terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan
proses inflamasi ditandai dengan tujuan: Nutrisi teratasi dengan kriteria
hasil :
- Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan
- Pasien mempertahankan meningkat BB

Intervensi
1. Identifikasi
faktor
menimbulkan

Rasional
yang 1. Pilihan intervensi tergantung pada

mual/muntah,

misalnya: sputum, banyak nyeri.

penyebab masalah

30

2. Jadwalkan

atau

pernafasan 2. Menurun

sedikitnya 1 jam sebelum makan

efek

manual

yang

berhubungan dengan penyakit ini

3. Berikan makan porsi kecil dan 3. Tindakan

ini

dapat

meningkat

sering termasuk makanan kering

masukan meskipun nafsu makan

(roti panggang) makanan yang

mungkin lambat untuk kembali.

menarik oleh pasien.


4. Evaluasi status nutrisi umum, ukur 4. Adanya kondisi kronis keterbatasan
berat badan dasar.

ruangan

dapat

menimbulkan

malnutrisi,rendahnya

tahanan

terhadap inflamasi/lambatnya respon


terhadap terapi.

7. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan


dengan kehilangan cairan berlebihan, demam, berkeringat banyak,
nafas mulut, penurunan masukan oral.
Tujuan : Kekurangan volume cairan tidak terjadi dengan kriteria:
Pasien menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikan dengan
parameter individual yang tepat misalnya membran mukosa lembab,
turgor kulit baik, tanda vital stabil.

Intervensi
Rasional
1. Kaji perubahan tanda vital contoh 1. Peningkatan
suhu/memanjangnya
peningkatan

suhu

demam

memanjang, takikardia.
2. Kaji

turgor

kulit,

demam meningkat laju metabolik


dan kehilangan cairan evaporasi

kelembapan 2. Indikator

membran mukosa (bibir, lidah)

langsung

keadekuatan

volume cairan, meskipun membran


mukosa

mulut

karena

nafas

mungkin
mulut

kering

dan

O2

tambahan.
3. Catat laporan mual/muntah

3. adanya

gejala

ini

menurunkan

masukan oral
4. Pantau masukan dan keluaran catat 4. Memberikan
warna,

karakter

urine.

Hitung

informasi

tentang

keadekuatan volume cairan dan

31

keseimbangan cairan. Ukur

keseluruhan penggantian

berat badan sesuai indikasi.


5. Tekankan
mL/hari

cairan
atau

sedikit
sesuai

2400 5. Pemenuhan kebutuhan dasar cairan


kondisi

menurunkan resiko dehidrasi.

individual
6. Beri

obat

indikasi

antipiretik, antimitik.

misalnya 6. Berguna

menurunkan

kehilangan

cairan

7. Berikan cairan tambahan IV sesuai 7. Pada adanya penurunan masukan


keperluan

banyak

kehilangan

dapat
kekurangan

penggunaan

memperbaiki/mencegah

Вам также может понравиться