Вы находитесь на странице: 1из 5

RHINITIS ALERGI

Penatalaksanaan, Diagnosis, Komplikasi, Prognosis


Diagnosis
Diagnosis Rhinitis Alergi diteggakan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL
sebagai akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, atau livid, disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas ada. Gejala spesifik lain
pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan,
keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok
hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis

melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic


crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance) serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tounge).
3. Pemeriksaan Penunjang
In Vitro :
Hitung eosinophil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronkial
atau urtiaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna dengan pemeriksaan alergi spesifik
dengan RAST atau ELISA. Pemeriksaan sitologi hidung dari secret
hidung atau kerokan mukosa walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis tapi tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinophil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basophil (>5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET) SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun

sebagi baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test).
Alergen inegstan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2
minggu. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Tata Laksana
Penatalaksaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan


alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik. Sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan
cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons
fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk

mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non


sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai
efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik
dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk mengindari terjedinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topical
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinophil, mengurangi
aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hipperesponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada
respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja
menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifitas sel netrofil,
eosinophil dan monosit. Hasil terbaik dapaat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien


(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebgian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunotrapi adalah
pembentukan lgG blocking antibody dan penurunan lgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :


1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan
polip hidun
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Rinosinusitas

Prognosis
Sebanyak 98% rhinitis akibat viral akut akan sembuh sendiri, sementara
rhinitis akibat bakteri akan memiliki angka kekambuhan sekitar 5%. Namun
jika terjadi rhinitis akibat alergi makan akan lebih lama lagi waktu sembunya
kecuali apabila diberikan terapi yang adekuat serta pasien juga harus
menghindari hal-hal yang dapat memicu reaksi alergi.

Вам также может понравиться