Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
30 Nov, 2012
Kajian
Pendahuluan
Hingga pada tahun 1963 dari sudut kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah
Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi
dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap
berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan
menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang
sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada
tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil
didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat
sosial daripada komersil. Sedang Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic
Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada
tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan
pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir.
Karena mesir telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada
tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian,
lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembagalembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti
Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan,
negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar
lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua
jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic
Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for
Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and
Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti
Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment
Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank
(Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Pada perjalanannya sistem perbankan berbasis Syariah, semakin hari semakin populer bukan
hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin
suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Perkembangan perbankan syariah atau
perbankan dengan konsep bagi hasil menandakan konsep syariah dalam pengelolaan kekayaan/
uang diterima kebiasaan umat manusia secara universal, karena jelas-jelas konsep riba atau
bunga dalam Islam sangat dilarang dan bertentangan dengan konsep kemanusiaan.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran
tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya
gagasan pemikiran perbankan berbasis syariah dalam sebuah seminar Hubungan IndonesiaTimur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK).
Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam
sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan
cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang
sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs
pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama sangat luar biasa, perbedaan
pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada
tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan
kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank
Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama
berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan.
Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih
kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga
bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau
sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan
kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini
bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi
sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia
memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau
sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut,
hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa
bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong
rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.
Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping
Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan
terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun,
meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masail memutuskan bahwa yang lebih
berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di
Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an,
melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang
terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba,
gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung
(Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M
Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai
konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi
kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya
secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni
mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam
di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 20 Agustus tahun tersebut, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi
pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud
disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi
dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah
berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada
tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45
outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS
lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun
1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan
berbasis syariah.
Deregulasi 1 Juni 1983 (dimungkinkan adanya bank tanpa bunga tapi belum ada izin
mengenai pendirian bank baru)
Pakto 1988 (dimungkinkan adanya bank tanpa bunga dan sudah terdapat ketentuan
mengenai izin pendirian bank baru)
Undang-undang No 7 Tahun 1992 (sudah diakomodasi adanya system bank tanpa bunga
dengan adanya system bagi hasil)
Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu.
Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara
bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Bagi hasil
Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture.
Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi
berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan
mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan
mudharabah tidak ada campur tangan
Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan
yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung
penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian
dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Al-Muzaraah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang
pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzaraah, di mana nasabah hanya
bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak
atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Jual beli
Bai Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan
barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan
harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya
angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin
bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur
selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
Bai As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan
spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang
yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank
melakukan akad bai as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk,
grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang
direkomendasikan penjual.
Bai Al-Istishna, merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat
kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing
kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat
secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang
bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang
timbul dari transaksi tersebut.
Sewa
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan
kepemilikan atas barang sewa.
Jasa
Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad
(perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan
tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai jaminan.
Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari
tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar
hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang
sesuai dengan syariah.
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain
adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan
atau bunga ( riba . secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial.
30 Nov, 2012
Kajian
Al-Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu;
2.
Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama.
Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama;
3.
Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang
dinamakan aqdu oleh Al-Quran yang terdapat dalam QS. Al-Maidah (5) : 1. Maka yang
mengikat masing-masing pihak sesudah melaksanakan perjanjian itu bukan lagi perjanjian
(ahdu) tetapi akad (aqdu).
Perbedaan dengan proses perikatan hukum perdata
Perbedaan ada pada tahap perjanjian
Hukum Perikatan Islam : 2 Tahap
Istishna
Merupakan akad jual beli yang dilakukan antara nasabah sebagai pemesan atau pembeli
(mustashni) dengan bank syariah sebagai produsen atau penjual (shani) dimana penjual (pihak
bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah. Bank untuk memenuhi pesanan nasabah
dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain dan barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Pada umumnya, pembiayaan istishna dilakukan
untuk pembiayaan konstruksi.
Prinsip Bagi Hasil
Mudharabah
Merupakan penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana
(mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode
bagi untung rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara
kedua belah pihak berdasarkan nisbah (bagian keuntungan usaha bagi masing-masing pihak yang
besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan) yang telah disepakati sebelumnya. Dalam
pembiayaan mudharabah, bank bertindak sebagai shahibul maal dan nasabah bertindak
sebagai mudharib.
Musyarakah
Merupakan penanaman dana dari pemilik dana untuk mencampurkan dana mereka pada suatu
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pemilik dana berdasarkan bagian dana
masing-masing. Bank syariah dan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, bersama-sama
membiayai dan mengelola suatu usaha atau proyek secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai
dengan penyertaannya, dimana keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional sebagaimana
kesepakatan awal.
Prinsip pinjam-meminjam (Qard)
Merupakan kontrak antara bank syariah dengan nasabahnya untuk memfasilitasi nasabah yang
membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek. Dalam hal ini, bank
menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang patut, dan nasabah hanya
berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman, sedangkan bank dilarang meminta imbalan
apapun dari nasabah, kecuali nasabah memberikan dengan suka rela.
Prinsip Sewa Menyewa (Ijarah)
Ijarah merupakan transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa sesuai dengan
kesepakatan dan setelah masa sewa berakhir maka barang dikembalikan kepada bank. Ijarah
tidak dapat dilakukan secara langsung oleh pihak bank, melainkan oleh anak perusahaan bank.
Bank syariah hanya wajib menyediakan barang yang disewakan, baik barang milik bank maupun
bukan milik bank untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan. Namun demikian, bank
mempunyai hak pemanfaatan atas barang yang disewakan.
Jasa Pelayanan
Wakalah
SKEMA MURABAHAH
Proses pembiayaan
Timbulnya saling percaya mempercayai diantara bank dengan nasabah. Memberikan kuasa
pada orang lain merupakan bukti adanya kepercayaan pada pihak lain.
Pembelokan atas prinsip murabahah yang sesungguhnya
walau memang pada dasarnya ia membeli barang tersebut atas nama bank, tetapi kesan yang
terlihat adalah bank memberikan pinjaman berupa dana segar kepada nasabah untuk kemudian
digunakan nasabah untuk membeli barang yang dikehendakinya. Sehingga seringkali orang
awam menyalahartikan konsep dari murabahahbil wakalah membelok dari ketentuan syariah
yang seharusnya ditegakkan oleh bank syariah.
Risiko yang akan dihadapi oleh bank.
Peristiwa penandatanganan akad wakalah sebagai pelengkap dari akad murabahah tidak
menjamin seluruh dari nasabah yang disetuji permohonannya akan menjalankan akad
sebagaimana mestinya, dalam artian, nasabah membelikan dana yang telah diberikan tersebut
untuk pembelian barang yang tidak sesuai dengan yang telah dperjanjikan sebelumnya. Kasus
seperti ini dikenal sebagai side streaming.
KESIMPULAN
Murabahah dengan akad pelengkap wakalah diperbolehkan oleh Fatwa DSN.
Dengan catatan: akad jual beli murabahah dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik
bank (melalui akad wakalah)
Tujuannya agar barang yang dibeli melalui uang yang diberikan oleh bank benar-benar
dibelikan sesuai dengan yang telah disepakati dalam akad. Barulah nantinya barang tersebut
dijual oleh bank kepada nasabah.