Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kematian Maternal
2.1.1. Definisi
Pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10), WHO mendefinisikan kematian maternal
adalah kematian seorang wanita saat masa hamil atau dalam 42 hari setelah terminasi
kehamilan, terlepas dari durasi dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang
berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan
dari sebab-sebab kebetulan atau insidental (WHO, 2007).
Pregnancy-related death

Kematian

seorang

wanita

selama

kehamilan atau 42 hari setelah terminasi


kehamilan,
Late maternal death

tanpa

mempedulikan

penyebab kematiannya.
Kematian seorang wanita

karena

penyebab langsung atau tidak langsung


yang lebih dari 42 hari, namun kurang
dari

setahun

setelah

terminasi

kehamilan.
Tabel 2.1. Definisi alternatif kematian maternal pada ICD-10
2.1.2. Klasifikasi
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian
ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas,
dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian
ibu tidak langsung adalah merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit
yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya
malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008).
Klasifikasi kematian ibu ada tiga, yaitu kematian ibu langsung, kematian ibu
tidak langsung, dan kematian nonmaternal. Kematian ibu langsung mencakup kematian
ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan akibat dari
intervensi, kelalaian, kesalahan terapi, atau rangkaian kejadian yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut. Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena ruptur

uteri. Kematian ibu tidak langsung mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung
disebabkan oleh kausa obstetri, melainkan akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya,
atau suatu penyakit yang timbul saat hamil, melahirkan, atau masa nifas, tetapi
diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. Contohnya adalah
kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral. Kematian nonmaternal adalah kematian
ibu yang terjadi akibat kecelakaan atau kausa insidental yang tidak berkaitan dengan
kehamilan. Contohnya adalah kematian akibat kecelakaan lalu lintas (Cunningham,
2005).
2.1.3. Ukuran Kematian Maternal
Jumlah kematian maternal pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
risiko kematian yang berhubungan dengan kehamilan atau persalinan itu sendiri, dan
jumlah kehamilan atau persalinan yang dialami oleh wanita usia reproduktif (WHO,
2007).
Maternal Mortality Ratio

Jumlah kematian ibu selama satu


periode per 100.000 kelahiran hidup

Maternal Mortality Rate

Adult

Lifetime

Risk

of

Maternal

Mortality

selama periode yang sama.


Jumlah kematian ibu dalam

satu

periode

usia

per

100.000

wanita

reproduksi selama periode yang sama.


Kemungkinan
kematian
karena
penyebab

maternal

selama

usia

reproduksi seorang wanita.


Tabel 2.2. Ukuran statistik kematian maternal
2.1.4. Status Kematian Maternal
Meningkatkan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium
Development Goals (MDGs). Di bawah MDGs, negara-negara berkomitmen untuk
menurunkan angka kematian ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015.
Sejak tahun 1990, kematian ibu di seluruh dunia telah turun 47%. Berdasarkan data
Maternal Mortality 2005 yang dikeluarkan oleh WHO, UNICEF, UNFPA and The
World Bank (2007), diestimasi terjadi 536.000 kematian maternal di dunia setiap
tahunnya. Antara tahun 1990 dan 2010, rasio kematian ibu sedunia menurun hanya

3,1% per tahun. Ini jauh dari penurunan tahunan 5,5% yang dibutuhkan untuk mencapai
MDGs (WHO, 2012).
AKI menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2007, namun perlu kerja keras dan perhatian khusus untuk mencapai
target MDG sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (BAPPENAS,
2010). Dengan kata lain, kematian ibu masih tinggi. Sekitar 800 wanita di seluruh dunia
setiap hari meninggal karena kehamilan atau persalinan. Pada tahun 2010, 287.000
wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Hampir semua
kematian terjadi di negara berkembang, dan sebagian besar dapat dicegah. Tingginya
jumlah kematian ibu di beberapa wilayah di dunia mencerminkan ketidakadilan dalam
akses terhadap pelayanan kesehatan, dan menyoroti kesenjangan antara kaya dan
miskin. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang. Lebih dari
separuh kematian ini terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga terjadi di Asia Selatan
(WHO, 2012).
Rasio kematian ibu di negara berkembang adalah 240 per 100.000 kelahiran,
sedangkan di negara maju 16 per 100.000 kelahiran. Ada perbedaan besar dalam suatu
negara, antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah, serta perbedaan antara
orang yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (WHO, 2012).
Di negara berkembang jumlah rata-rata wanita hamil lebih banyak daripada di
negara maju, dan lifetime risk karena kehamilan yang juga lebih tinggi. Risiko kematian
ibu tertinggi adalah remaja perempuan di bawah 15 tahun, 1 dalam 3.800 di negara
maju, dibandingkan 1 dalam 150 di negara berkembang. Komplikasi pada kehamilan
dan persalinan merupakan penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan
(WHO, 2012).
2.1.5. Penyebab Kematian Maternal
Menurut Mochtar (1998), penyebab kematian maternal dapat dikelompokkan
menjadi :
A. Sebab Obstetri Langsung
Sebab obstetri langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung dari penyakit
penyulit pada kehamilan, persalinan, dan nifas; misalnya karena infeksi, eklampsi,
perdarahan, emboli air ketuban, trauma anastesi, trauma operasi, dan sebagainya.
B. Sebab Obstetri Tidak Langsung

Sebab obstetri tidak langsung adalah kematian ibu akibat penyakit yang timbul selama
kehamilan, persalinan, dan nifas. Misalnya anemia, penyakit kardiovaskular,
serebrovaskular, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan sebagainya. Termasuk juga
penyakit yang sudah ada dan bertambah berat selama kehamilan.
C. Sebab Bukan Obstetri
Sebab bukan obstetri adalah kematian ibu hamil, bersalin, dan nifas akibat kejadiankejadian yang tidak ada hubungannya dengan proses reproduksi dan penanganannya.
Misalnya karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri, dan sebagainya.
D. Sebab Tidak Jelas
Sebab tidak jelas adalah kematian ibu yang tidak dapat digolongkan pada salah satu
yang tersebut di atas. Dari penyebab-penyebab di atas, dapat pula dibagi dalam dua
golongan, yaitu:
1) Kematian yang dapat dicegah disebut juga preventable maternal death atau
avoidable factors, adalah kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah jika
penderita mendapat pertolongan atau datang pada saat yang tepat sehingga dapat
ditolong secara profesional dengan fasilitas dan sarana yang cukup.
2) Kematian yang tidak dapat dicegah atau unpreventable maternal death, adalah
kematian ibu yang tidak dapat dihindari walaupun telah dilakukan segala daya
upaya yang baik. Penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan, eklampsia
atau tekanan darah tinggi saat kehamilan, infeksi, partus lama, komplikasi aborsi
(Prawirohardjo, 2008).
2.1.6. Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Maternal
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah sebagi berikut (Mochtar,
1998).
Faktor Umum
Perkawinan, kehamilan, dan persalinan di luar kurun waktu reproduksi yang sehat,
terutama pada usia muda. Risiko kematian pada kelompok umur di bawah 20 tahun
dan pada kelompok di atas 35 tahun adalah tiga kali lebih tinggi dari kelompok umur
reproduksi sehat, yaitu 20-34 tahun.
Faktor Paritas

Ibu dengan riwayat hamil dan bersalin lebih dari enam kali (grandemultipara) berisiko
delapan kali lebih tinggi mengalami kematian.
Faktor Perawatan Antenatal
Kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kandungannya masih rendah. Hal ini
menyebabkan faktor risiko yang sebenarnya dapat dicegah menjadi meningkat atau
memperburuk keadaan ibu.
Faktor Penolong
Sekitar 70-80% persalinan masih ditolong oleh dukun beranak. Setelah persalinan
terlantar dan tidak dapat maju dengan disertai komplikasi kemudian dikirim ke
fasilitas kebidanan yang memadai
Faktor Sarana dan Fasilitas
Sarana dan fasilitas rumah sakit, penyediaan darah dan obat-obatan yang murah masih
ada yang belum terjangkau oleh masyarakat.
Faktor Sistem Rujukan
Agar pelayanan kebidanan mudah dicapai, pemerintah telah menetapkan seorang ahli
kebidanan di setiap ibu kota kabupaten, namun belum sempurna.
Faktor Lainnya
Yaitu faktor sosial ekonomi, kepercayaan, budaya. Pendidikan, ketidaktahuan, dan
sebagainya.
Faktor-faktor berpengaruh terhadap akses Yankes ibu dan reproduksi adalah
sebagai berikut:
o
o
o
o
o
o

Geografi
Ekonomi keluarga
Health seeking care behaviour
SDM kesehatan
Ketersediaan obat & alat kesehatan
Kebijakan Pemda
Terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan penyebab

tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi
oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab
kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait
dengan faktor akses, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kasus 3 Terlambat
meliputi:

o Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan


o Terlambat dirujuk
o Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
Berdasarkan Riskesdas 2010, masih cukup banyak ibu hamil dengan faktor risiko 4
Terlalu, yaitu:
o Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun) sebanyak 27%
o Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6%
o Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8%
o Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun)
Hasil Riskesdas juga menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan ibu dan
reproduksi umumnya rendah pada ibu-ibu di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan
ekonomi rendah. Secara umum, posisi perempuan juga masih relatif kurang
menguntungkan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan untuk dirinya
sendiri dan anaknya. Ada budaya dan kepercayaan di daerah tertentu yang tidak
mendukung kesehatan ibu dan anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi
keluarga berpengaruh terhadap masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang
pada akhirnya terkait dengan kematian ibu dan bayi (Kemkes, 2011).
2.1.7. Identifikasi Kematian Maternal
Identifikasi kematian ibu adalah langkah awal proses surveilans. Ibu mungkin
meninggal di rumah, perjalanan, dan fasilitas kesehatan. Mereka meninggal sebelum,
selama, dan sesudah persalinan, bahkan di awal kehamilan (abortus dan kehamilan
ektopik). Untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang penyebab kematian
maternal, diperlukan kisah lengkap wanita yang meninggal (Hanum, 2008).

2.2 Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care = ANC)


2.2.1 Pengertian
Pemeriksaan kehamilan (ANC) merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan
mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas
sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan
kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Wiknjosastro, 2005.; Manuaba, 2008).

Kunjungan antenatal care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan
antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal (ANC), petugas mengumpulkan dan
menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau
komplikasi (Saifudin, 2005).
Menurut Henderson (2006), kunjungan antenatal care adalah kontak ibu hamil
dengan pemberi perawatan/asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan
bayi serta kesempatan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu
dan petugas kesehatan.
2.2.2 Tujuan Antenatal Care (ANC)
Tujuan utama antenatal care adalah untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan
positif bagi ibu maupun bayinya dengan membina hubungan saling percaya dengan ibu,
mendeteksi komplikasi-komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan
kelahiran, dan memberikan pendidikan. Antenatal care penting untuk menjamin agar
proses alamiah tetap berjalan selama kehamilan (Marmi, 2011)
A. Tujuan Umum
1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh
kembang janin.
2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan sosial ibu dan
bayi.
3. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar
dapat tumbuh kembang secara normal.
4. Mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik dan mental ibu dan bayi dengan
pendidikan, nutrisi, kebersihan diri, dan proses kelahiran.
5. Mendeteksi dan menatalaksanakan komplikasi medik, bedah, atau obstetrik
selama kehamilan.
6. Mengembangkan persiapan persalinan serta persiapan menghadapi komplikasi
7. Membantu menyiapkan ibu menyusui dengan sukses, menjalankan nifas normal
dan merawat anak secara fisik, psikologis dan sosial.
Tujuan dilakukannya ANC adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan
mental ibu selama dalam kehamilan dan untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui

masa kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat, sehingga ibu sehat
dan menghasilkan bayi yang sehat pula (Depkes RI, 2004.; Mochtar, 2005)
B. Tujuan Khusus
Menurut Manuaba (1998) sebagaimana yang dikutip oleh Marmi (2011),
menyatakan bahwa tujuan khusus antenatal care adalah :
1. Mengenal dan menangani sedini mungkin penyulit-penyulit yang terdapat saat
kehamilan, persalinan, dan nifas.
2. Mengenal dan menangani penyakit yang menyertai hamil, persalinan, nifas.
3. Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal.
Menurut Wiknjosastro (2005) tujuan ANC adalah menyiapkan wanita hamil
sebaik-baiknya fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka pada post partum sehat dan
normal, tidak hanya fisik tetapi juga mental.
2.2.3 Jadwal Pemeriksaan Kehamilan
Kunjungan antenatal untuk pemantauan dan pengawasan kesejahteraan ibu dan
anak minimal empat kali selama kehamilan dalam waktu sebagai berikut : sampai
dengan kehamilan trimester pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan
trimester kedua (14-28 minggu) satu kali kunjungan dan kehamilan trimester ketiga
(28-36 minggu dan sesudah minggu ke-36) dua kali kunjungan (Saifuddin, 2005).
2.2.4 Pemeriksaan Kehamilan
WHO dalam Marmi (2011) menganjurkan dalam masa kehamilan ibu harus
memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan paling sedikit 4 kali :
1. Trismester I : satu kali kunjungan (sebelum usia kehamilan 14 minggu)
2. Trismester II : satu kali kunjungan (usia kehamilan antara 14-28 minggu)
3. Trismester III : dua kali kunjungan (usia kehamilan antara 28-36 minggu dan
sesudah usia kehamilan 36 minggu).

2.2.5 Pelayanan Antenatal


1. Konsep Pemeriksaan Antenatal

Menurut Depkes RI (2002a), pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar


pelayanan antenatal dimulai dengan :
a) Anamnese : meliputi identitas ibu hamil, riwayat kontrasepsi/KB, kehamilan
sebelumnya dan kehamilan sekarang.
b) Pemeriksaan umum : meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus
kebidanan.
c) Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya atas indikasi/diagnosa
d) Pemberian obat-obatan, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan tablet besi (fe)
e) Penyuluhan tentang gizi, kebersihan, olah raga, pekerjaan dan perilaku seharihari, perawatan payu dara dan air susu ibu, tanda-tanda risiko, pentingnya
pemeriksaan kehamilan dan imunisasi selanjutnya, persalinan oleh tenaga
terlatih, KB setelah melahirkan serta pentingnya kunjungan pemeriksaan
kehamilan ulang.
2. Kunjungan Ibu Hamil
Menurut Depkes RI (2002a), kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu
hamil dengan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal standar untuk
mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Istilah kunjungan disini dapat diartikan ibu hamil
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan atau sebaliknya petugas kesehatan yang
mengunjungi ibu hamil di rumahnya atau posyandu. Kunjungan ibu hamil dilakukan
secara berkala yang dibagi menjadi beberapa tahap, seperti :
a) Kunjungan ibu hamil yang pertama
Kunjungan pertama adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan petugas
kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan
trimester I, dimana usia kehamilan 1 sampai 12 minggu.
b) Kunjungan ibu hamil yang keempat
Kunjungan keempat adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih dengan
petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan
kesehatan pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunjungan antenatal sebaiknya
dilakukan paling sedikit empat kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak
sebagai berikut :
a. Minimal 1 kali pada trimester I , usia kehamilan 1-12 minggu
b. Minimal 1 kali pada trimester II, usia kehamilan 13-24 minggu

c. Minimal 2 kali pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.


A. Jadwal Pemeriksaan
Menurut Depkes RI (2002a), pemeriksaan kehamilan berdasarkan kunjungan
antenatal dibagi atas :
1. Kunjungan Pertama, kedua dan ketiga
Meliputi : (1) Identitas/biodata, (2) Riwayat kehamilan, (3) Riwayat kebidanan,
(4) Riwayat kesehatan, (5) Riwayat sosial ekonomi, (6) Pemeriksaan kehamilan
dan pelayanan kesehatan, (7) Penyuluhan dan konsultasi.
2. Kunjungan Keempat
Meliputi : (1) Anamnese (keluhan/masalah) (2) Pemeriksaan kehamilan dan
pelayanan kesehatan, (3) Pemeriksaan psikologis, (4) Pemeriksaan laboratorium
bila ada indikasi/diperlukan, (5) Diagnosa akhir (kehamilan normal, terdapat
penyulit, terjadi komplikasi, atau tergolong kehamilan risiko tinggi (6) Sikap
dan rencana tindakan (persiapan persalinan dan rujukan). Menurut Mochtar
(2005) jadwal pemeriksaan antenatal yang dianjurkan adalah :
a. Pemeriksaan pertama kali yang ideal yaitu sedini mungkin ketika haid
terlambat satu bulan
b. Periksa ulang 1 kali sebulan sampai kehamilan 7 bulan
c. Periksa ulang 2 kali sebulan sampai kehamilan 9 bulan
d. Pemeriksaan ulang setiap minggu sesudah kehamilan 9 bulan
e. Periksa khusus bila ada keluhan atau masalah
B. Pelaksana Pelayanan Antenatal
Pelaksana pelayanan antenatal adalah dokter, bidan (bidan puskesmas, bidan di
desa, bidan di praktek swasta), pembantu bidan, perawat yang sudah dilatih dalam
pemeriksaan kehamilan (Depkes RI, 2002a).
2.2.6 Standar Pelayanan Kebidanan
Pertolongan

pertama/penanganan

kegawatdaruratan

obstetric

neonatal

merupakan komponen penting dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelayanan
kebidanan di setiap tingkat pelayanan. Standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar
yang dikelompokkan atas : (1) standar pelayanan umum terdiri dari 2 standar (standar 1
- 2), (2) standar pelayanan antenatal terdiri dari 6 standar (standar 3 8), (3) standar
pertolongan persalinan terdiri dari 4 standar (standar 9 12), (4) standar pelayanan

nifas terdiri dari 3 standar (standar 13 15) dan (5) standar penanganan
kegawatdaruratan obstetrik-neonatal terdiri dari 9 standar (standar 16 24).
Menurut Depkes RI (2005b) standar pelayanan antenatal terdiri atas 6 standar,
yakni :
1. Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Tujuannya adalah mengenali dan memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan
kehamilannya. Hasilnya :
a. Ibu memahami tanda dan gejala kehamilan
b. Ibu, suami, anggota masyarakat menyadari manfaat pemerikasaan kehamilan
secara dini dan teratur, serta mengetahui tempat pemeriksaan hamil
c. Meningkatkan cakupan ibu hamil yang memeriksakan diri sebelum kehamilan
16 minggu
2. Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Tujuannya adalah memberikan pelayanan antenatal berkualitas dan deteksi dini
komplikasi kehamilan. Hasilnya :
a. Ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 x selama kehamilan
b. Meningkatkan pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat
c. Deteksi dini dan pengananan komplikasi kehamilan
d. Ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat mengetahui tanda bahaya kehamilan
dan tahu apa yang harus dilakukan.
e. Mengurus transportasi rujukan jika sewaktu-waktu terjadi kedaruratan.
3. Standar 5 : Palpasi Abdominal
Tujuannya adalah memperkirakan usia kehamilan, pemantauan pertumbuhan janin,
penentu letak, posisi dan bagian bawah janin. Hasilnya :
a. Perkiraan usia kehamilan yang lebih baik
b. Diagnosis dini kelainan letak, dan merujuknya sesuai dengan kebutuhan
c. Diagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan lain serta merujuknya sesuai
dengan kebutuhan.
4. Standar 6 : Pengelolaan anemia pada kehamilan
Tujuannya adalah menemukan anemia pada kehamilan secara dini, dan melakukan
tindak lanjut yang memadai untuk mengatsi anemia sebelum persalinan
berlangsung. Hasilnya :
a. Ibu hamil dengan anemia berat segera dirujuk
b. Penurunan jumlah ibu melahirkan dengan anemia

c. Penurunan jumlah bayi baru lahir dengan anemia/BBLR


5. Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Tujuannya adalah mengenali dan menemukan secara dini hepertensi pada kehamilan
dan memerlukan tindakan yang diperlukan. Hasilnya :
a. Ibu hamil dengan tanda preeklamsia mendapat perawatan yang memadai dan
tepat waktu
b. Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat eklamsia.
6. Standar 8 : Persiapan Persalinan
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa persalinan direncanakan dalam
lingkungan yang aman dan memadai dengan pertolongan bidan terampil. Hasilnya :
a. Ibu hamil, suami dan keluarga tergerak untuk merencanakan persalinan yang
bersih dan aman
b. Persalinan direncanakan ditempat yang aman dan memadai dengan pertolongan
bidan terampil.
c. Adanya persiapan sarana transportasi untuk merujuk ibu bersalin, jika perlu
d. Rujukan tepat waktu telah dipersiapkan bila perlu.
2.2.7 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loomba (1973), Depkes RI (2006) dalam Anisatullaila
(2010) menyatakan pemanfaatan adalah penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang
disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas
atau tenaga kesehatan maupun dalam bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan layanan
kesehatan tersebut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau bersama-sama, dalam suatu organisasi untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2.2.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Antenatal
Cukup

banyak

model-model

penggunaan

pelayanan

kesehatan

yang

dikembangkan seperti model kependudukan, model sumberdaya masyarakat, model


organisasi dan lain-lain sesuai dengan variabel-variabel yang digunakan dalam masingmasing model (Notoatmodjo, 2010).
Salah

satunya

menurut

Anderson

(1974),

sebagaimana

dikutip

oleh

Notoadmodjo (2010) menggambarkan model sistem kesehatan (health system model)

berupa model kepercayaan kesehatan (health belief model). Dalam model Anderson ini,
terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan yaitu :
1. Komponen predisposisi, menggambarkan kecenderungan individu yang berbedabeda dalam menggunakan pelayanan kesehatan seseorang. Komponen terdiri dari:
a. Faktor-faktor demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar keluarga
dan lain-lain)
b. Faktor struktural sosial (suku bangsa, pendidikan dan pekerjaan)
c. Faktor keyakinan/kepercayaan (pengetahuan, sikap dan persepsi)
2. Komponen enabling (pemungkin/pendorong), menunjukkan kemampuan individual
untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Di dalam komponen ini termasuk faktorfaktor yang berpengaruh dengan perilaku pencarian :
a. Sumber keluarga (pendapatan/penghasilan, kemampuan membayar pelayanan,
keikutsertaan dalam asuransi, dukungan suami, informasi pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan).
b. Sumber daya masyarakat (suatu pelayanan, lokasi/jarak transportasi dan
sebagainya).
3. Komponen need (kebutuhan), merupakan faktor yang mendasari dan merupakan
stimulus langsung bagi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan apabila
faktor-faktor predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan pelayanan kesehatan
dapat dikategorikan menjadi :
a. Kebutuhan yang dirasakan/persepsikan (seperti kondisi kesehatan, gejala sakit,
ketidakmampuan bekerja)
b. Evaluasi/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan
oleh petugas kesehatan (tingkat beratnya penyakit dan gejala penyakit menurut
diagnosis klinis dari dokter)
2.3 Pengetahuan
2.3.1 Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007 p:59-62). Proses
penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan
segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya
adalah ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung

turut memperkaya hidup kita. Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia
sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan diperoleh melalui kenyataan
(fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi
seperti membaca surat kabar, mendengarkan radio, melihat film atau televisi
(Soekanto,2000).
2.3.2 Pentingnya Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior ). Dari pengalaman penelitian ternyata
perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo ,2007). Penelitian Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
subyek mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan
dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

2.3.3 Tingkatan Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo 2003, membagi 6 tingkat pengetahuan. Ada 6 tingkat
pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif yaitu

1) Tahu (know). Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang, tabu
tentang

apa

yang

dipelajari

antara

lain

menyebutkan,

menguraikan,

mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.


2) Memahami (Comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (Application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya
(real), aplikasi ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunaan hukumhukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain, misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah
(problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan bagi kasuskasus yang ada.
4) Analisis (Analysys). Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan (membuat
bagan) membedakan, mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis
merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan sebagainya.
5) Sintesa (Syntesis). Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menggabungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
dengan kata lain sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun
informasi baru misalnya dapat menyusun, menggunakan, meringkaskan dan
menyesuaikan suatu teori dan rumusan yang ada.
6) Evaluasi (Evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian
itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan krteria
yang telah ada. Misalnya dapat menanggapi terjadinya kematian ibu dan
kematian bayi disuatu wilayah.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawan cara atau angket.


Pengukuran dengan menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur,
dengan demikian dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut di atas.
2.3.4 Pengkategorian Pengetahuan
Tujuan pengkategorian adalah menempatkan individu kedalam kelompokkelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut
yang diukur. Kontinum jenjang ini misalnya dari tinggi ke rendah karena
pengkategorian bersifat relatif, maka kita tidak bolrh menerapkan secara subyektif
luasnya interval yang mencakup setiap kategori yang kita inginkan. Penyusunan skala
boleh membuat skor dari jawaban-jawaban pertanyaan dan membuat beberapa kategori
sesuai dengan tingkat deferensiasi yang dikehendaki, akan tetapi ditetapkan lebih
dahulu batasannya. Setelah jumlah skor jawaban benar dari keseluruhan pernyataan
yang diketahui, didasari asumsi bahwa skor subyek dalam kelompok mempunyai
estimasi terhadap skor subyek dalam populasi, maka kita akan dapat membuat skor
teoritis menurut model norma (Notoatmodjo,2003).
2.3.5 Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara

memperoleh

kebenaran

pengetahuan

sepanjang

sejarah,

dapat

dikelompokkan menjadi 2 yaitu :


1) Cara Tradisional. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain :
a) Cara coba-coba, ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut
tidak berhasil dicoba kemungkinan yang lama.
b) Cara kekuasaan (otoritas), dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada
kekuasaan, baik otoritas tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin, maupun
otoritas ilmu pengetahuan.
c) Berdasarkan pengalaman, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
pada masa yang lalu.
d) Melalui jalan pikiran, manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam
memperoleh pengetahuan.
2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan. Cara baru atau modern dalam
memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah, cara ini

disebut dengan metode penelitian ilmiah atau lebih popular lagi metodologi penelitian
(Notoatmodjo, 2002).
2.3.6 Cara Pengukuran Pengetahuans
Cara mengukur pengetahuan seseorang menggunakan alat bantu kuesioner
dengan cara menilainya dengan dikategorikan baik, cukup, dan kurang. Pengetahuan
dinyatakan baik bila 76-100% pertanyaan dijawab benar, cukup bila 56-75% pertanyaan
dijawab benar dan kurang bila pertanyaan dijawab benar >56% (Arikunto,2006 p:49).
2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Sukmadinata (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang adalah sebagai berikut :
1) Faktor Internal
a) Pendidikan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan
manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal
yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Menurut Yb Mantra yang dikutip notoadmojo (2003), pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang yang akan pola
hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam
pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah meneriam informasi.
b) Pekerjaan. Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan
adalah

keburukan

yang

harus

dilakukan

terutama

untuk

menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan,


tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membonsankan,
berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan
kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan keluarga.
c) Umur. Menurut elizabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan samapi berulang tahun. Sedangkan
menurut Huolok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang
belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan
kematangan jiwa.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor Lingkungan. Menurut Ann. Mariner yang dikutip dari Nursalam
lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok.
b) Sosial Budaya. Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi (A. Wawan dan Dewi M,
2010 p.16 ).

Вам также может понравиться