Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Kesehatan termasuk salah satu faktor yang menentukan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) serta merupakan hak dasar manusia. Definisi sehat menurut
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010,
diharapkan akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam
lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat. Indonesia sehat 2010 dimaksudkan
juga untuk mendorong agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu, adil dan merata guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang
jumlah penderitanya cenderung meningkat dan semakin luas penyebarannya sejak
ditemukan pada tahun 1968. Upaya penanggulangan yang dilaksanakan selama ini
belum berhasil menurunkan belum berhasil menurunkan angka kematian (CFR)
dan angka kesakitan seperti yang diharapkan serta penyebar luasan penyakit ini
belum berhasil dikendalikan (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2006). Penduduk
yang berisiko terkena DBD terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara
tropis dan subtropis (WHO, 1999). Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue
dan disebarkan oleh nyamuk (vektor) terutama Aedes aegypti. Aedes aegypti
tersebar luas kecuali pada tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter
(Parasitologi Kedokteran, 1988).

Upaya pemberantasan penyakit DBD dilakukan dengan mencegah


(preventive) penularan karena pengobatan penderita terbukti tidak efektif dan
memerlukan

biaya

mahal.

Pencegahan

penularan

antara

lain

dengan

pemberantasan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor dari DBD. Manajemen


penanggulangan DBD telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
dengan mengeluarkan berbagai bentuk kebijaksanaan paripurna mulai dari
perencanaan, penggerakan lembaga pelaksana, koordinasi maupun evaluasi
(Nurhadi, 1999)
Sejak awal hingga pertengahan tahun 2004, Indonesia menghadapi
Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah yang sangat meresahkan
masyarakat. Kejadian tersebut berdampak pada kepanikan petugas kesehatan di
rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain, karena terjadi lonjakan pasien
yang dirawat di sejumlah instansi kesehatan baik instansi pemerintah maupun
swasta. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia sejak Januari hingga
Mei 2004 mencapai 64.000 (Incidence Rate 29,7 per 100.000 penduduk) dengan
angka kematian mencapai 724 orang (Case Fatality Rate 1,1 %) (Departemen
Kesehatan RI, 2005).
Kota Surabaya merupakan kota tempat pertama kali ditemukan penderita DBD di
Indonesia selain kota Jakarta pada tahun 1968. Tabel 1.1. menunjukkan bahwa di
wilayah kota Surabaya selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2001-2005) kasus
DBD mengalami fluktuasi. Dimana antara tahun 2001 hingga 2003 angka
penderita DBD yang tercatat mengalami penurunan, namun kemudian mengalami
kenaikan lagi pada tahun 2004 dan 2005 (Incidence Rate tahun 2005 mencapai
92/100.000 penduduk) (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2005).

Tabel 1.1. Incidence Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota


Surabaya Tahun 2001 s/d 2006
Incidence Rate
Jumlah
Kematian
Tahun Kasus
Kematian
(per 100.000
Penduduk
(per 100 Kasus)
Penduduk)
(Juta)
2001

2143

0,23

83

2,58

2002

1913

13

4,03

77

2,47

2003

892

4,04

36

2,50

2004

1233

0,73

45

2,74

2005

2568

33

1,29

92

2,78

2006

4195

23

0,55

148,59

2,83

Sumber : Data Sekunder Subdin P2P Dinas Kesehatan Kota Surabaya 2007

Analisis epidemiologi menunjukkan pada skala kecamatan, dari total 31


kecamatan di kota Surabaya, seluruh kecamatan termasuk dalam kategori daerah
endemis, sedangkan menurut skala kelurahan, dari 163 kelurahan terdapat 123
kelurahan endemis, 33 kelurahan sporadis, dan hanya 7 kelurahan yang bebas
DBD. Untuk tahun 2005, kecamatan dengan jumlah penderita terbanyak adalah
Tambaksari dengan jumlah penderita 222, dan yang terendah adalah kecamatan
Pakal, dengan jumlah penderita 23 (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2005).
Melalui data Dinas Kesehatan Kota Surabaya sejak tahun 1973 sampai
dengan sekarang, jumlah penderita DBD di kota ini menunjukkan angka yang
fluktuatif setiap tahunnya, tetapi dengan trend yang terus meningkat. Upaya
pengasapan atau fogging saja tidak mampu mengendalikan penyakit yang
penularannya membutuhkan vektor Nyamuk Aedes Agepty ini. Fogging hanya
mampu membunuh nyamuk dewasa saja. Peran Masyarakat dalam kegiatan
surveillans penyakit, seperti pengenalan tanda-tanda dini penyakit DBD sangat
penting. Namun langkah utama yang harus dilakukan adalah melibatkan

masyarakat dalam menjaga lingkungannya agar tetap bersih, dengan secara


mandiri melakukan pembersihan secara berkala terhadap lokasi-lokasi yang dapat
menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (republika.com, 2007 online).
Sejak tahun 1940-an bahan kimia (insektisida) telah dipergunakan untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti. Pada saat terjadi resistensi nyamuk terhadap
DDT awal tahun 1960-an, insektisida organofosfat seperti: fenthion ,malathion
dan temephos mulai digunakan untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti.
Insektisida sebenarnya berbahaya bagi manusia dan hewan, selain terjadi
resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida yang umum digunakan di beberapa
negara sehingga pemberantasan nyamuk dengan memodifikasi dan memanipulasi
lingkungan sangat penting untuk dilakukan termasuk 3M (menutup, menguras dan
mengubur (WHO, 1997).
Ada anggapan di masyarakat bahwa yang perlu dibasmi adalah nyamuk
dewasanya sedangkan jentiknya dianggap tidak berbahaya. Data menunjukan
Angka Bebas Jentik (ABJ) rata-rata masih rendah, ABJ rata-rata di Surabaya
82,47% (lebih rendah dari standard nasional 95%). Hal ini terjadi karena
masyarakat mengabaikan jentik, padahal jentik dalam waktu seminggu bisa
menjadi nyamuk yang dapat menggigit manusia dan menyebarkan penyakit.
Usaha memberantas nyamuk akan sia-sia bila jentiknya dibiarkan hidup terus.
Masyarakat jarang melaksanakan 3M di sekitar tempat tinggalnya.
Petugas yang menangani DBD di puskesmas di kota Surabaya adalah
petugas sanitasi, begitu juga petugas yang melakukan pemantauan jentik nyamuk
adalah Bumantik (Ibu Pemantau Jentik). Petugas sanitasi baru akan melakukan
pemeriksaan jentik bila ada laporan pasien DBD di wilayahnya dengan melakukan

Penyelidikan Epidemiologis. Petugas sanitasi juga memeriksa jentik di sekolah


yang siswanya menderita DBD. Mereka tidak melakukan pemeriksaan jentik rutin
ke rumah-rumah penduduk.
Petugas pemantau jentik di Surabaya adalah Bumantik. Bumantik biasanya
adalah ibu RW, ibu RT, atau kader kesehatan yang bersifat sukarela. Berdasarkan
informasi dari koordinator DBD di Dinas Kesehatan Kota Surabaya belum ada
rencana kerja bumantik. Bumantik melakukan pemeriksaan jentik berkala di
wilayahnya, lalu melaporkan hasil pemeriksaan ke kecamatan. Pihak kecamatan
tidak melaporkan hasil pemeriksaan jentik ke Puskesmas setempat, tetapi
langsung ke Sekda, dari sini laporan diteruskan pada Dinas Kesehatan Kota
Surabaya.
DBD tidak bisa diberantas dengan kegiatan individu saja. Kampanye 3M,
walaupun berskala nasional, tetap merupakan kegiatan individu. Dengan demikian
DBD merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya sektor kesehatan saja dan
perlu melibatkan masyarakat, sehingga penting untuk mengajak masyarakat
bekerja sama (bermitra) mengatasi DBD. Peran serta masyarakat diperlukan untuk
menciptakan lingkungan bersih dan sehat.
Partnership untuk mengatasi DBD salah satu contohnya dilakukan di
Bogor. Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS), Koalisis untuk Bogor Sehat (KBS)
dan Institut Pertanian Bogor mengembangkan program peran serta masyarakat
yang efektif bagi komunitas Indonesia. Pada kerja sama tersebut IPB menawarkan
suatu model gerakan peduli lingkungan sehat (GELIS) yang dilaksanakan oleh
Pokja PGKM-IPB yang didukung pendanaannya oleh KuIS dan IPB. GELIS
dilaksanakan oleh laboratorium Entomologi Kesehatan FKH IPB, mahasiswa,

LSM dan masyarakat RW 6 Desa Babakan, Darmaga, Bogor. Secara mandiri


mereka membentuk kelompok untuk penyuluhan, survei lapangan dan
mengumpulkan jentik nyamuk secara periodik tiap minggu. Jentik itu lalu
diperiksa laboratorium untuk dilihat jenisnya. Setelah beberapa minggu terjadi
penurunan temuan jentik sebanyak 50 % (republika.com, 2007 online)
Masalah penelitian ini adalah masih tingginya Incidence Rate DBD di kota
Surabaya. Sehubungan dengan tingginya Incidence Rate DBD di kota Surabaya
diperlukan upaya-upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2. Kajian Masalah


Cara efektif pengendalian vektor DBD adalah penatalaksanaan manajemen
lingkungan, yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta
pemantauan aktivitas untuk memodifikasi faktor-faktor lingkungan sebagai upaya
mencegah perkembangan vektor DBD dengan kontak manusia, termasuk juga
mengoptimakan pelayanan kesehatan dan perubahan perilaku. Oleh karenanya
kajian masalah penelitian ini menggunakan teori Blum (1972). Blum menjelaskan
bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu genetic, environment,
health service, dan behavior. Dalam kajian ilmu epidemiologis sosial faktor
genetik bisa digantikan dengan faktor sosial demografi (menkokesra.go.id, 2007
online).
Pengaruh perilaku dan lingkungan terhadap derajat kesehatan sangat
dominan hingga mencapai 75%, sedangkan pengaruh pelayanan kesehatan hanya
sekitar 20%, sementara faktor genetik hanya memiliki pengaruh 5% (tempo
interaktif.com, 2007 online). Berdasarkan teori Blum maka faktor yang mungkin

dapat berpengaruh terhadap Incidence Rate DBD dan Angka Bebas Jentik (ABJ)
adalah sebagai berikut :
Sosial Demografi
pengetahuan spesifik
tingkat pendidikan masyarakat
tingkat pendapatan masyarakat

Agka Bebas Jentik


(ABJ)

Lingkungan (Fisik Biologis)


kondisi geografis
tempat penampungan air
tingkat kepadatan penduduk
faktor cuaca dan iklim
populasi vektor (nyamuk)

Incidence Rate
DBD

patogenitas virus (dengue)


Pelayanan Kesehatan
faktor kepemimpinan
perencanaan program
pola partnership
sistem kompensasi
supervisi dan koordinasi
pembiayaan (anggaran)
pengetahuan petugas kesehatan
faktor motivasi petugas
Perilaku (Masyarakat)
perilaku hidup bersih dan sehat
Gambar 1.1. Determinan Faktor
Incidence Rate DBD dan Angka Bebas Jentik (ABJ)

1. Sosial Demografi
a. Pengetahuan spesifik
Pengetahuan masyarakat mengenai pemberantasan nyamuk Aedes aegypti
masih kurang. Masyarakat di Surabaya masih beranggapan bahwa
pemberantasan

nyamuk

berarti

membunuh

nyamuk

dewasa

saja.

Masyarakat belum semuanya melaksanakan 3M dan pada beberapa


masyarakat di daerah tertentu bahkan menolak fogging.
b. Tingkat pendidikan masyarakat
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang seharusnya menyebabkan
mereka menjadi semakin menyadari pentingnya hidup sehat termasuk
pemberantasan nyamuk. Ironisnya pada daerah perumahan elit yang tingkat
pendidikannya relatif tinggi justru menolak fogging karena mereka merasa
bukan keluarganya yang sakit DBD.
c. Tingkat pendapatan masyarakat
Semakin tinggi tingkat pendapatan membuat orang lebih leluasa dalam
menggunakan uangnya untuk sektor kesehatan, termasuk dalam usaha
pemberantasan nyamuk sehingga sekarang DBD menyebar ke seluruh
penduduk, bukan hanya yang berpendapatan tinggi saja. Ironisnya penduduk
yang berpendapatan relatif tinggi justru malah menolak fogging dan kurang
berpartisipasi dalam program 3M.
2. Lingkungan (Fisik Biologis)
a. Kondisi geografis
Kota Surabaya adalah tempat ideal bagi penyebaran DBD karena ketinggian
kota kurang dari 1.000 meter, sehingga sesuai dengan habitat nyamuk Aedes
aegypti (Parasitologi Kedokteran, 1988).
b. Tempat penampungan air
Tempat penyimpanan air dan genangan air merupakan tempat bertelurnya
nyamuk

Aedes

aegypti

sehingga

perlu

dilakukan

kegiatan

PSN

(Pemberantasan Sarang Nyamuk) secara berkala. Kegiatan PSN di daerah


yang banyak masyarakat pendatang tidak selalu dilakukan.
c. Tingkat kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu daerah mempercepat penyebaran
DBD. Umur nyamuk betina Aedes aegypti kira-kira 10 hari dan jarak
terbangnya pendek yaitu kurang dari 40 meter. Rumah-rumah di perkotaan
yang padat sangat memungkinkan nyamuk Aedes aegypti menggigit
penghuni beberapa rumah dalam sehari sehingga mempercepat penyebaran
DBD. Di kota Surabaya ada dugaan bahwa kepadatan penduduk
mempengaruhi prevalensi, terbukti bahwa di Kecamatan Pakal yang
kepadatannya rendah jumlah penderita DBD hanya 23 orang.
d. Faktor cuaca dan iklim
Kasus DBD di kota Surabaya terjadi lebih banyak pada musim hujan. Hal
ini mungkin karena perubahan waktu gigitan nyamuk menjadi sore hari,
masyarakat lebih sering banyak berada di rumah pada saat musim hujan dan
banyaknya nyamuk yang berbiak pada musim hujan.
e. Populasi vektor (nyamuk)
Populasi nyamuk yang banyak akan menyebabkan naiknya peluang
penduduk untuk digigit nyamuk Aedes aegypti sehingga mempercepat
penyebaran penyakit DBD. Oleh karena itu penting untuk selalu
melaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
f. Patogenitas virus (dengue)
Virus Dengue serotipe 2 paling potensial menimbulkan DBD/DSS
dibandingkan serotipe lain. Infeksi kedua dengan serotipe 2 menyebabkan

10

DBD sebesar 60% dari semua kasus DBD (Harrison, 2005). Akan tetapi
pada KLB DBD tahun 2004, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Balitbang Depkes terhadap 65 sampel di 10 rumah sakit di Jakarta,
dilakukan pemeriksaan RT-PCR (%) dengan hasil serotipe 3 paling banyak
ditemukan pada pasien DBD sebanyak 37 % dan dari 3 kasus kematian 2
diantaranya penyebabnya adalah serotipe 4 (Anonim, 2005). Penulis tidak
mengetahui serotipe virus yang mana yang banyak didapat di kota Surabaya
dan karena penelitian ini bukan penelitian virologi maka serotipe virus tidak
diteliti.
3. Pelayanan Kesehatan
a. Faktor kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses yang mengarahkan dan mempengaruhi
kegiatan yang berhubungan dengan tugas dari anggota kelompok.
Pemberantasan DBD akan berjalan baik apabila ada koordinasi, supervisi
dan pembinaan dari pimpinan (Kepala Puskesmas) kepada anak buahnya.
Penulis mengamati bahwa pimpinan (Kepala Puskesmas) di Surabaya
melakukan

koordinasi,

supervisi

dan

pembinaan

dalam

program

pemberantasan sarang jentik dan nyamuk di wilayahnya.


b. Perencanaan program
Perencanaan adalah salah satu fungsi manajemen yang berguna untuk
memudahkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi (Koontz, 1984).
Program pemberantasan DBD perlu direncanakan dangan sebaik-baiknya
oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas supaya tercapai penurunan Incidence
Rate DBD dangan menggunakan sumber daya yang tersedia dan dana yang

11

ada. Perencanaan meliputi jadwal penyuluhan 3M, pelaksanaan kerja bakti


3M, memantau jentik, menghitung dan melaporkan angka bebas jentik,
penyelidikan epidemiologis dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam dan fogging
dilakukan

berdasarkan

hasil

laporan

penyelidikan

epidemiologis.

Perencanaan sudah dilaksanakan tetapi pada beberapa daerah masih belum


dilaksanakan dengan baik. Masyarakat pendatang (di daerah yang banyak
pendatang) sering enggan melaksanakan kerja bakti 3M dan memantau
jentik dibandingkan penduduk yang menetap karena mereka berpikir bahwa
mereka tidak menetap di Surabaya sehingga tidak peduli akan lingkungan
tempat tinggalnya. Fogging sering ditolak di daerah pemukiman elit karena
mereka berpendapat bahwa yang sakit DBD bukan keluarganya sehingga
rumahnya tidak perlu difogging. Mereka bahkan berani melakukan apa saja
supaya rumahnya jangan difogging. Fogging juga dianggap berakibat tidak
baik pada binatang peliharaannya. Apabila ada anggota keluarganya yang
terkena demam meskipun belum tentu DBD terkadang masyarakat memaksa
meminta fogging.
c. Pola partnership
Program pemberantasan DBD sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa
subsistem yang saling berhubungan, termasuk antara petugas P2P dengan
pihak luar puskesmas. Partnership dilakukan dengan mengajak tokoh
masyarakat untuk melakukan upaya PSN di lingkungannya dan bekerja
sama dengan pihak kelurahan dan kecamatan untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan ABJ dari bumantik. Partnership sudah dilaksanakan tetapi di
beberapa daerah tertentu perilaku masyarakat tetap tidak berubah.

12

d. Sistem kompensasi
Menurut Dessler (2005) kompensasi adalah suatu bentuk imbalan atau
pembayaran bagi pekerja yang muncul dari pekerjaannya. Petugas P2P,
promkes dan sanitasi semuanya adalah Pegawai Negri Sipil karena
sehubungan dengan kompensasi berupa gaji sudah ditentukan berdasarkan
jabatan, pangkat dan masa kerjanya bukan berdasarkan kinerjanya.
Kompensasi berupa gaji variabel yang didasarkan pada kinerja dipandang
perlu untuk ditambahkan dangan harapan akan meningkatkan motivasi dan
kinerja petugas. Kompensasi berupa gaji variabel sangat bervariasi di setiap
Puskesmas besarnya tidak sama dan berhubungan dengan pola penyakit
DBD di daerahnya.
e. Supervisi dan koordinasi
Supervisi adalah bentuk proses untuk memacu anggota unit kerja untuk
berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi tercapai. Supervisi perlu
dilakukan oleh Kepala Puskesmas supaya program PSN dapat berjalan
optimal. Pengamatan di lapangan menunjukan bahwa supervisi sudah
dilakukan oleh Kepala Puskesmas.
Koordinasi merupakan inti manajemen yang bertujuan untuk menjaga
keharmonisan berbagai individu ke arah tercapainya tujuan kelompok.
Koordinasi yang ada sekarang belum berjalan sempurna terutama koordinasi
internal lintas program di Puskesmas.
f. Pembiayaan (anggaran)
Untuk pemberantasan DBD seharusnya ada dana yang memadai terutama
untuk usaha kesehatan masyarakat. Komitmen dari stake holder diperlukan

13

untuk itu. Anggaran yang disediakan untuk pemberantasan DBD di kota


Surabaya sebesar kira-kira 6 milyar rupiah dan diberikan kepada Dinas
Kesehatan (Sub Dinas P2P). Dana tersebut akan diberikan kepada
Puskesmas sesuai dengan kebutuhannya dan dengan pertimbangan dari
Dinas Kesehatan.
g. Pengetahuan petugas kesehatan
Pengetahuan petugas kesehatan terhadap penyakit DBD dan penyebarannya
baik. Mereka pasti sudah mengetahui mengenai penyakit DBD dan
penularannya, tetapi pengetahuan masyarakat sebagian masih kurang
sehingga masyarakat hanya berusaha memberantas nyamuk dewasa saja.
h. Faktor motifasi petugas
Motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin, yaitu movere yang berarti
menggerakkan (to move) atau ada yang mengartikan sebagai sebab, alasan
dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk berbuat atau ide yang
selalu berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia.
Proses motivasional seperti ditafsirkan oleh kebanyakan teori diarahkan
pada pencapaian tujuan tertentu. Pencapaian tujuan-tujuan yang di inginkan
dapat menyebabkan penyusutan signifikan dalam kekurangan-kekurangan
kebutuhan (need deficiencies). Beberapa komponen penyusun motivasi
adalah kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi, komponen perilaku,
komponen tujuan dan harapan, serta komponen umpan balik (feedback).
Motivasi petugas kesehatan (petugas sanitasi) di kota Surabaya terhadap
program pemberantasan DBD sebenarnya baik. Mereka mengerjakan tugastugasnya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Motivasi Bumantik masih

14

kurang, hal ini bisa dilihat dari hasil pemantauan jentik yang belum rutin
diadakan.
4. Perilaku (Masyarakat)
a. Perilaku hidup bersih dan sehat
Masyarakat di kota Surabaya masih belum sepenuhnya melakukan perilaku
bersih dan sehat (PHBS), misalnya sampah masih dibuang sembarangan
yang bila menampung air hujan dapat menjadi sarang nyamuk. Masyarakat
jarang melakukan 3M dan hanya membasmi nyamuk dewasa saja. Padahal
jentik kelak akan menjadi nyamuk dewasa juga dalam jangka waktu
seminggu. Perilaku ini salah dan harus diluruskan, salah satu cara adalah
dengan upaya jejaring (partnership) antara petugas Puskesmas sanitasi
Puskesmas dengan pihak eksternal Puskesmas.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan selama periode bulan
April 2007 terhadap 5 orang petugas sanitasi pada 5 Puskesmas yang berbeda di
Surabaya, didapatkan informasi bahwa selama ini pihak Puskesmas telah
melakukan upaya kerja sama kemitraan (partnership) dengan beberapa pihak
terkait program pemberantasan DBD di wilayah kerja mereka. Berikut adalah data
awal yang berhasil dihimpun selama studi pendahuluan dilakukan.
Tabel 1.2. Studi Pendahuluan Penelitian
Puskesmas
Lontar
Asemrowo
Dupak
Wiyung
Rungkut

Pemahaman
Kemitraan
kurang
kurang
kurang
kurang
kurang

Penerapan
dilakukan
dilakukan
dilakukan
dilakukan
dilakukan

Jumlah
Mitra
2
2
1
1
1

Bentuk
Kemitraan
partnership model 1
partnership model 1
partnership model 1
partnership model 1
partnership model 1

Sumber : Data Primer Studi Pendahuluan 5 Puskesmas di Surabaya 2007

15

Untuk pemahaman konsep kemitraan (partnership) sendiri masih sangat


kurang, di mana mereka hanya memahami kemitraan sebagai bentuk kerja sama
teknis dengan pihak Puskesmas sebagai penanggung jawab tunggal dari
pelaksanaan program.
Kemitraan itu merupakan kerja sama antara pihak Puskesmas
dengan masyarakat, RT, atau RW setempat. Seperti kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan warga atau juga
pemeriksaan jentik nyamuk Demam Berdarah. Namun koordinasi
dengan warga masih sangat sulit karena sering kali biaya untuk
melaksanakan pertemuan tidak tersedia (Petugas Sanitasi Puskesmas
Wiyung, Surabaya).
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa program kemitraan bersifat
instruksional, yaitu menunggu adanya program kerja atau instruksi dari pusat
(Dinas Kesehatan), hal ini terkait juga dengan masalah beban pendanaan untuk
pelaksanaan kemitraan.

1.3. Rumusan Masalah


Penelitian ini dibatasi pada identifikasi tingkat pengetahuan petugas
sanitasi Puskesmas mengenai kemitraan (partnership), serta analisis pengaruh
kemitraan (partnership) yang telah terbentuk antara pihak internal (sanitarian) dan
eksternal Puskesmas terhadap angka Incidence Rate DBD dan Angka Bebas
Jentik (ABJ) di kota Surabaya.
Hasil identifikasi dan analisis pengaruh digunakan sebagai bahan
pertimbangan perumusan usulan kemitraan strategis dalam upaya untuk
menurunkan Incidence Rate DBD dan meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ)
di kota Surabaya.

16

Masalah penelitian dirumuskan dengan memperhatikan latar belakang


masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana tingkat pengetahuan petugas sanitasi Puskesmas di kota


Surabaya mengenai partnership?

2.

Bagaimana pola partnership yang selama ini telah dilaksanakan antara


pihak internal (sanitarian) dan eksternal Puskesmas terhadap penurunan
Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di kota
Surabaya?

3.

Bagaimana kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan partnership antara


pihak internal (sanitarian) dan eksternal Puskesmas dalam penurunan
Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di kota
Surabaya?

4.

Bagaimana bentuk partnership yang sesuai dan dapat dilaksanakan secara


berkesinambungan oleh pihak internal (sanitarian) dan eksternal Puskesmas
dalam upaya penurunan Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas
Jentik (ABJ) di kota Surabaya?
Program kemitraan strategis (partnership) dipandang penting karena

pemberantasan DBD idealnya merupakan program lintas sektoral yang melibatkan


berbagai pihak, baik kesehatan maupun non kesehatan.

1.4. Tujuan penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan bentuk
kemitraan strategis (partnership) antara pihak internal Puskesmas dengan pihak

17

eksternal Puskesmas sebagai upaya untuk menurunkan Incidence Rate DBD dan
meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ) di kota Surabaya.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan petugas sanitasi Puskesmas di kota
Surabaya mengenai kemitraan (partnership).
2. Menganalisis pola partnership yang selama ini telah terbentuk antara pihak
internal (sanitarian) dan eksternal Puskesmas terhadap penurunan Incidence
Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di kota Surabaya.
Analisis pola partnership ini meliputi unsur kemitraan (jumlah dan komponen
kemitraan), bentuk kemitraan, serta pelaksanaan kemitraan.
3. Menganalisis kendala yang ada dalam pelaksanaan kemitraan antara pihak
internal (sanitarian) dan eksternal Puskesmas sebagai upaya dalam penurunan
Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di kota
Surabaya.
4. Memberikan usulan mengenai bentuk kemitraan strategis antara pihak internal
(sanitarian) dan eksternal Puskesmas berdasarkan pada hasil identifikasi
pengetahuan petugas sanitasi, analisis unsur, bentuk, dan pelaksanaan
kemitraan, serta analisis kendala yang muncul dalam program kemitraan yang
telah dilakukan sebelumnya.

1.5. Manfaat Penelitian


Diharapkan dengan dilaksanakannya penelitian yang berjudul Usulan
Bentuk Kemitraan Strategis (Partnership) antara Pihak Internal dan Eksternal
Puskesmas sebagai Upaya Penurunan Incidence Rate DBD dan Peningkatan

18

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kota Surabaya ini dapat memberikan manfaat yang
berarti bagi berbagai pihak.
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan Puskesmas
Mendapat masukan mengenai perumusan bentuk partnership yang ideal
sebagai upaya penurunan Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas
Jentik (ABJ) di kota Surabaya.
2. Bagi Masyarakat
Dengan adanya partnership antara pihak internal dan eksternal Puskesmas
diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk berperan serta secara aktif
dalam penurunan Incidence Rate DBD dan peningkatan Angka Bebas Jentik
(ABJ) di kota Surabaya.
3. Bagi Peneliti
Memberi wawasan dan menambah pengalaman peneliti terutama dalam
perumusan usulan partnership antara pihak internal dan eksternal Puskesmas
guna menurunkan Incidence Rate DBD dan meningkatkan Angka Bebas Jentik
(ABJ) di kota Surabaya, dalam kaitannya dengan penerapan ilmu manajemen
pelayanan kesehatan.

Вам также может понравиться