Вы находитесь на странице: 1из 35

PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI PROTEIN

INSEKTISIDAL DARI BAKTERI ENTOMOPATOGEN


Serratia marcescens

PUTRI JUMIARTI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
PUTRI JUMIARTI. Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri
Entomopatogen Serratia marcescens. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan TRI
PUJI PRIYATNO.
Pengendalian serangga hama merupakan masalah utama yang dihadapi
olah para petani Indonesia, namun belum ada solusi tepat dalam penanganannya.
Penggunaan insektisida berbahan aktif kimia yang selama ini dilakukan
menimbulkan dampak negatif seperti resistensi, resurgensi, dan fenomena biotipe
pada hama. Selain itu juga timbul dampak negatif terhadap lingkungan serta
terhadap organisme bukan sasaran. Pemanfaatan protein insektisidal dari bakteri
entomopatogen Serratia marcescens berpotensi dalam menekan pertumbuhan
serangga hama. Penelitian ini bertujuan melakukan pemurnian protein insektisidal
dari S. marcescens dan mengetahui tingkat toksisitasnya terhadap larva serangga
hama Tenebrio molitor. Protein insektisidal dimurnikan dengan metode presipitasi
dengan ammonium sulfat, dialisis, dan kromatografi penukar ion. Selain itu juga
dilakukan uji toksisitas terhadap larva serangga T. molitor instar II-III serta
penentuan nilai LC50. Protein yang telah dimurnikan kemudian dianalisis bobot
molekulnya. Hasil menunjukkan adanya pita protein yang berukuran 30.42 KDa
sampai dengan 95.29 KDa. Berdasarkan hasil penelitian, protein insektisidal S.
marcescens merupakan protein toksin yang bersifat oral dengan nilai LC50
terendah yang ditunjukkan oleh protein insektisidal fraksi B, yaitu pada
konsentrasi 4.82 g/ml.
Kata kunci: bakteri entomopatogen, protein insektisidal, Serratia marcescens, dan
Tenebrio molitor.

ABSTRACT
PUTRI JUMIARTI. Purification and Characterization of Insecticidal Protein
Isolated from Entomopathogenous Bacteria Serratia marcescens. Under the
direction of I MADE ARTIKA and TRI PUJI PRIYATNO.
Insect pest control has been a major problem faced by farmers in Indonesia,
and there has been no perfect solution to handle it. The use of insecticides derived
from chemically active compound has made a negative impact such as the
emergence of resistant pest, pest resurgence, and phenomenon of biotype. In
addition, it has other negative impacts on the environment and on non-target
organisms. Use of insecticidal proteins from the bacterium Serratia marcescens
entomopathogenic is one potential solution in suppressing the growth of insect
pests. This study aims to isolate and purify the insecticidal protein from S.
marcescens and determine the level of toxicity against Tenebrio molitor larvae of
insect pests. After the isolation, the insecticidal protein was purified by the
method of precipitation with ammonium sulphate, dialysis, and ion exchange
chromatography. It was also subjected to toxicity test using insect larvae T.
molitor instar II-III as well as determination of LC50 values. The purified protein
was subjected to molecular weight analysis. Results showed that the protein bands
were 30.42 to 95.29 kDa. Based on the results of the study, the insecticidal protein
S. marcescens is a protein toxin that is active orally with the lowest LC50 value
indicated by the insecticidal protein fraction B, which is at a concentration of 4.82
ug / ml.
Key words: Entomopathogenic bacteria, insecticidal protein, Serratia marcescens,
and Tenebrio molitor.

PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI PROTEIN


INSEKTISIDAL DARI BAKTERI ENTOMOPATOGEN
Serratia marcescens

PUTRI JUMIARTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi : Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari Bakteri


Entomopatogen Serratia marcescens
Nama
: Putri Jumiarti
NIM
: G84080011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Made Artika, MApp. Sc.


Ketua

Dr. Tri Puji Priyatno


Anggota

Diketahui,
Ketua Departemen Biokimia

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc


NIP : 19630117 198903 1 000

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT atas segala berkah
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya
ilmiah yang berjudul Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal dari
Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens. Penelitian ini bertujuan
memurnikan protein insektisidal dari S. marcescens dan mengetahui tingkat
toksisitasnya terhadap larva serangga hama Tenebrio molitor. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 di Laboratorium Kimia dan Biokimia,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian (BB-Biogen). Melalui penelitian ini diharapkan dapat
dihasilkan protein insektisidal yang potensial untuk dikembangkan sebagai
biopestisida untuk pengendalian hama tanaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing utama Dr. Ir. I Made
Artika, MApp. Sc. serta pembimbing kedua Dr. Tri Puji Priyatno yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, saran, serta waktunya selama penelitian dan
penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan kepada orang tua tercinta dan keluarga atas doa, dukungan, dan kasih
sayang yang telah diberikan. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima
kasih kepada Ibu Ifa Mandzila, Mbak Pipiet, yang telah banyak membantu dalam
penelitian ini, Arena YP, Cinthya LHD, Daniel RSN, M Faris Fathin, temanteman Wisma Jelita, serta teman-teman Biokimia 45 yang telah banyak
memberikan dukungan. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan
dalam penyusunan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam penulisan selanjutnya.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.
.

Bogor, Juli 2012

Putri Jumiarti

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 4 Maret 1990 dari ayah Joko
Sumanto dan ibu Sumarni Parmi. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari TK Pewa Natar, SD Al-Kautsar
Bandar Lampung, kemudian melanjutkan ke SLTP Al-Kautsar Bandar Lampung.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Al-Kautsar Bandar Lampung dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis memilih program studi mayor Biokimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Profesi Mahasiswa Biokimia Community Research and Education of Biochemistry
(CREBs) pada tahun 2009/2010 sebagai staf Divisi Keilmuan Metabolisme.
Penulis pernah mendapatkan Beasiswa Penelusuran Prestasi Akademik (PPA)
(2009/2010). Prestasi yang didapat penulis saat kuliah antara lain, lolos seleksi
Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKMGT) Dikti dengan judul
karya ilmiah Biji Kelor (Moringa oleifera) sebagai Alternatif Penjernih Air yang
Alami dan Murah pada Daerah Rawan Banjir pada tahun 2010 dan mendapat
pendanaan dalam Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan
judul karya ilmiah Pengendalian Masa Pembungaan Padi Lokal Beaq Ganggas
Asal NTB dengan Mengekspresikan Gen Umur Genjah pada tahun 2011. Tahun
2011 penulis juga melakukan kegiatan praktik lapang di Laboratorium Genetika
Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Science Centre Cibinong Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri Entomopatogen ...........................................................................
Serratia marcescens .................................................................................
Protein Toksin (Insecticidal Toxin)..........................................................
Pemurnian dan Karakterisasi Protein Insektisidal....................................
Tenebrio molitor .......................................................................................

2
2
3
4
5

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat ........................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................

5
6

HASIL DAN PEMBAHASAN


Biakan Bakteri Serratia marcescens ....................................................... 8
Isolasi protein Insektisidal ...................................................................... 8
Hasil Presipitasi Protein Menggunakan Amonium Sulfat ...................... 8
Hasil Dialisis Protein Presipitat Amonium Sulfat ................................... 9
Hasil Pemurnian Protein Insektisidal Menggunakan Kromatografi Kolom
Penukar Ion ............................................................................................
9
Profil protein Insektisidal pada Natif Gel ...............................................
9
Profil Protein Insektisidal pada Elektroforegram SDS PAGE ................ 10
Toksisitas Protein Serratia marcescens ................................................... 11
Penentuan LC50 ...................................................................................... 13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................... 13
Saran ....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13
LAMPIRAN ...................................................................................................... 16

DAFTAR TABEL
1 Data mortalitas protein insektisidal terhadap larva T. molitor .....................

12

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Sel Bakteri Entomopatogen Serratia marcescens ........................................

2 Ilustrasi Metode kromatografi ......................................................................

3 Larva Tenebrio molitor .................................................................................

4 Kromatogram Protein Hasil Kromatografi Penukar Ion ................................

5 Hasil Natif PAGE Protein Insektisidal ........................................................

10

6 Hasil SDS PAGE Protein Insektisidal .......................................................... 11


7 Hasil SDS PAGE Protein Insektisidal dan Ukuran Pita ................................ 11
8 Gejala Toksisitas pada Larva Tenebrio molitor ............................................ 12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Alur metode penelitian ................................................................................

18

2 Bagan uji toksisitas protein Serratia marcescens terhadap larva Tenebrio


molitor. ........................................................................................................

19

3 Kurva pertumbuhan Serratia marcescens ....................................................

20

4 Data pengukuran konsentrasi protein hasil kromatografi penukar ion ........

20

5 Kurva standar protein ...................................................................................

21

6 Hasil penentuan konsentrasi protein dengan uji Bradford dan contoh


perhitungan .................................................................................................

21

7 Presentase mortalitas larva terhadap protein nondialisis ...........................

22

8 Presentase mortalitas larva terhadap protein dialisis. .................................

22

9 Presentase mortalitas larva terhadap protein fraksi A .................................

23

10 Presentase mortalitas larva terhadap protein Fraksi B ................................

23

11 Tabel transformasi persentase mortalitas ke nilai probit.............................

23

12 Hasil analisis probit protein insektisidal Nondialisis......................................

23

13 Hasil analisis probit protein insektisidal Dialisis............................................

24

14 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi A ......................................

24

15 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi B.......................................

24

16 Contoh perhitungan probit dan penentuan nilai LC50 .................................

24

PENDAHULUAN
Masalah hama sudah menjadi rutinitas
yang dihadapi oleh petani dalam budidaya
tanaman. Berbagai teknologi pengendalian
hama telah diaplikasikan tetapi persoalan
hama belum juga terselesaikan. Pengendalian
hama menggunakan insektisida berbahan
kimia, meskipun efektif tetapi juga memiliki
dampak negatif seperti timbulnya resistensi,
resurgensi, dan dampak negatif lainnya
terhadap lingkungan serta terhadap organisme
bukan sasaran (Arifin 2011). Munculnya
fenomena biotipe, yaitu berkembangnya strain
serangga baru yang mampu beradaptasi secara
fisiologis ataupun genetis terhadap tanaman
yang tahan, juga merupakan salah satu
persoalan pengendalian serangga hama
(Clarige & Hollander 1983).
Program pengendalian hama terpadu
merupakan strategi pengendalian yang
dianggap paling tepat dan efektif dalam
menekan pertumbuhan serangga hama
(Priyatno et al 2011). Strategi ini memerlukan
beberapa komponen pengendalian yang
kompatibel dan dapat diaplikasikan secara
terpadu, disamping kemampuan petani dalam
mengaplikasikannya. Selain itu komponen
pengendalian yang digunakan dalam program
pengendalian hama terpadu (PHT) juga harus
selalu dikembangkan untuk meningkatkan
efektivitasnya serta kemudahan dalam
pengaplikasiannya oleh petani.
Dalam
program
PHT,
agensia
pengendalian hayati, seperti Metarhizium
anisopliae, Beauveria bassiana, dan Bacillus
thuringiensis menjadi komponen utama
pengendalian (Iman & Priyatno 2001).
Pemanfaatan agensia hayati mempunyai
beberapa kelebihan terutama selektivitasnya,
meski harus diakui tidak seefektif insektisida
berbahan aktif kimia. Agensia hayati yang
sudah sangat umum digunakan untuk
pengendalian hama serangga salah satunya
adalah B. thuringiensis (Bt). Bakteri ini
menghasilkan protein insektisidal deltaendotoksin yang sudah dikembangkan
menjadi insektisida dan gen penyandi protein
insektisidalnya
dimanfaatkan
dalam
pengembangan tanaman transgenik (Iman &
Priyatno
2001).
Bakteri
lain
yang
menghasilkan protein insektisidal di antaranya
adalah
Photorhabdus
luminescens,
Xenorhabdus
nematophilus,
Serratia
entomophila and Serratia proteamaculans
(Binglin et al 2006).
Bakteri entomopatogen dari genus
Serratia, kecuali S. entomophila dan S.

proteamaculans, dikenal sebagai patogen


oportunistik atau fakultatif. Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan adanya tingkat
kematian wereng batang coklat yang tinggi
akibat terinfeksi bakteri merah. Tingkat
kematian wereng batang cokelat menjadi
tinggi ketika serangga terinfeksi dalam
keadaan mengalami tekanan kuat akibat suhu
lingkungan tinggi, kualitas pakan rendah,
populasi berlimpah, luka, atau faktor-faktor
lainnya (Mohan et al. 2011).
Bakteri merah yang diisolasi dari wereng
batang cokelat yang mati (isolat SM201102)
telah diidentifikasi dengan cara perbandingan
sekuen 16S rRNA isolat bakteri merah dengan
sekuen 16S rDNA bakteri lain yang terdapat
dalam database GeneBank, melalui analisis
Blastn menunjukkan bahwa bakteri merah
mempunyai tingkat kesamaan 99% dengan
Serratia sp. endosimbion WBC (No. aksesi
GU124498) dan S. marcescens (No. aksesi
HQ154570), serta 98% dengan S. entomophila
(Priyatno et al 2011).
Faktor virulensi S. entomophila dan S.
proteamaculans terletak dalam plasmid
pADAP (amber disease-associated plasmid)
yang berukuran 153 kb. Hurst et al (2000)
telah mengidentifikasi tiga gen toksin dalam
pADAP, yaitu sepABC (untuk patogenisitas
dari S. entomophila). Protein dari sepABC
mempunyai kesamaan sekuen asam aminonya
dengan toksin insektisidal yang dihasilkan
oleh Photorhabdus luminescens (Bowen et al.
1998) dan Xenorhabdus nematophilus
(Morgan et al. 2001), yang dikenal dengan
nama komplek toksin (TC). Namun pada
kedua bakteri tersebut, gen penyandi Tc ini
berada dalam DNA genomnya. Kompleks
toksin memiliki berat molekul tinggi (1
MDa) dan menunjukkan aktvitas insektisidal
terhadap serangga dari ordo Coleoptera,
Dictyoptera, Hymenoptera, dan Lepidoptera
(Bowen et al. 1998). Komplek toksin (TC) ini
memiliki potensi untuk menjadi salah satu
kandidat pengganti toksin B. thuringiensis
(Bt) dalam pengembangan tanaman transgenik
tahan hama serangga.
Serratia marcescens diduga memiliki gengen yang menyandikan komplek toksin yang
berpotensi sebagai salah satu penghasil
protein insektisidal. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemurnian serta karakterisasi
protein insektisidal dari S. marcescens.
Sementara itu, faktor-faktor virulensi S.
marcescens
terhadap
manusia
akan
dikendalikan oleh gen-gen yang menyandikan
nuklease, hemolisin, lipopolisakarida, dan
protease (Leopold Kurz et al. 2003). Belum

ada laporan yang menyatakan bahwa komplek


toksin insektisidal menjadi salah satu faktor
virulensi S. marcescens terhadap manusia.
Tujuan dari penelitian ini adalah
memurnikan protein insektisidal dari S.
marcescens
dan
mengetahui
tingkat
toksisitasnya terhadap larva serangga hama
Tenebrio molitor. Hipotesis dari penelitian ini
adalah protein insektisidal yang dimurnikan
dari bakteri entomopatogen S. marcescens
toksisitasnya bersifat oral dan dapat
dimanfaatkan sebagai biopestisida.

TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri Entomopatogen
Pengendalian
hama
serangga
menggunakan musuh alaminya merupakan hal
yang banyak dianjurkan oleh pakar
perlindungan tanaman saat ini dibandingkan
pengendalian dengan insektisida berbahan
aktif
kimia.
Musuh
alami
berupa
entomopatogen terdiri dari jamur, bakteri,
protozoa, dan virus, dapat menghasilkan suatu
metabolit yang bersifat toksin terhadap
serangga hama. Keunggulan entomopatogen
adalah kekhususan atau selektivitas inangnya
relatif tinggi, sehingga tidak menimbulkan
polusi dan kontaminasi pada lingkungan
hidup. Hal ini sangat selaras dengan tujuan
program pengendalian hama terpadu (PHT)
yang memperketat penggunaan insektisida
kimia ataupun program pertanian organik
(Iman & Priyatno 2001). Entomopatogen
potensial yang banyak dimanfaatkan dan
tersedia produk komersialnya adalah Bacillus
thuringiensis atau Bt, Nuclear Polyhedrosis
Virus (NPV), serta jamur entomopatogen
misalnya Metarizhium anisopliae dan
Beauveria bassiana.
Salah satu entomopatogen yang potensial
adalah bakteri. Bakteri entomopatogen
merupakan parasit atau bakteri patogen dari
serangga hama yang menghasilkan protein
toksin yang dapat mengendalikan populasi
serangga hama. (Akhdiya et al 2007). Bakteri
entomopatogen merupakan bakteri yang
menjadi musuh alami atau bakteri pengganggu
bagi serangga. Bakteri akan tumbuh pada
tubuh serangga yang mati, ketika berada pada
fase stasioner bakteri akan melepaskan
berbagai macam faktor virulensi seperti
kompleks protein toksin (Toxin complex)
dengan bobot molekul tinggi, lipopolisakarida
(LPS), lipase, protease, dan berbagai macam
antibodi (Forst & Nealson 1996).

Bakteri entomopatogen yang sampai


sekarang banyak dimanfaatkan adalah
Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan
B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah
kemampuan menginfeksi serangga hama yang
spesifik misalnya untuk mengendalikan
serangga hama dari golongan ordo
Lepidoptera, namun diketahui juga mampu
menginfeksi ordo yang lain seperti ordo
Diptera dan Coleoptera. Cara kerja bakteri B.
thuringiensis adalah kristal bakteri yang
berupa matriks protein di dalam saluran
makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga
yang rentan akan mengalami hidrolisis. Hasil
hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang
lebih kecil yang menimbulkan efek toksik
tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan
dinding saluran makanan mengakibatkan
serangga sakit dan dapat menyebabkan
kematian serangga.
Contoh lain bakteri entomopatogen lain
yang telah berhasil dikembangkan sebagai
biopestisida adalah bakteri entomopatogen
non-sporing forming dari genus Serratia,
yaitu S. entomophila dan S. proteamaculans.
Kedua bakteri entomopatogen tersebut telah
dimanfaatkan sebagai biopestisida yang
efektif untuk mengendalikan grass grub
(Costelytra zealandica) di New Zealand
(Priyatno et al 2011).
Serratia marcescens
Serratia marcescens merupakan bakteri
Gram
negatif
dari
keluarga
Enterobacteriaceae. Bakteri ini telah lama
dikenal dalam dunia penelitian, terutama pada
bidang kesehatan karena pernah menjadi
penyebab terjadinya infeksi pencernaan pada
manusia. Bakteri merah ini dikenal juga
dengan nama Chromobacterium prodigiosum,
karena memiliki kemampuan menghasilkan
pigmen merah yang disebut prodigiosin.
Habitat S. marcescens berada di air, tanah,
permukaan daun, dalam tubuh serangga,
hewan, dan manusia (Khanafari et al. 2006).
Bakteri ini dapat tumbuh dalam keadaan
anaerob. Berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan,
S.
marcescens
mengalami
pertumbuhan yang tinggi pada keadaan
anaerob. Bakteri ini memiliki kemampuan
hidup pada keadaan ekstrim misalnya pada
lingkungan
yang
terpapar
antiseptik,
desinfektan, dan pada air destilasi (Mame &
Costerton 1998).
Sel bakteri S. marcescens berbentuk basil
(bulat lonjong) dan beberapa galur
membentuk kapsul, Bakteri ini juga termasuk
organisme yang bergerak dengan cepat (motil)

karena memiliki flagela peritrik. Bakteri S.


marcescens dapat tumbuh dalam kisaran suhu
5oC sampai dengan 40oC dan dalam kisaran
pH antara 5 hingga 9. Serratia marcescens
dapat digambarkan secara detil karena
merupakan spesies yang sudah umum
ditemukan dalam spesimen ilmu pengobatan.
Sel bakteri S. marcescens ditunjukkan pada
Gambar 1. Salah satu karakteristik dari bakteri
ini dapat menghasilkan pigmen merah yang
disebut prodigiosin. Warna prodigiosin yang
dihasilkan bergantung pada umur biakan,
mulai dari warna merah muda hingga merah
tua. Berdasarkan penelitian, pigmen biologis
yang dihasilkan oleh bakteri ini ternyata
memiliki aktivitas antifungal, imunosupresi,
dan antiproliferasi (Lauzon et al 2003).
Serratia marcescens merupakan bakteri
yang patogen terhadap serangga karena dapat
menghasilkan beberapa enzim hidrolitik
seperti protease, kitinase, nuclease, dan lipase
yang bersifat toksin (Flyg et al 1983). Bakteri
ini juga dapat menghasilkan serrawetin,
senyawa surfaktan yang membantu dalam
proses kolonisasi (Hejazi &Falkiner 1997).
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Flyg pada tahun 1983 di
Universitas Stockholm, strain S. marcescens
yang diisolasi dari serangga sering kali
memproduksi protease dibandingkan tipe
liarnya. Protease ekstraseluler dari S.
marcescens yang telah dimurnikan bersifat
toksik pada serangga. Penelitian mengenai
efek virulensi strain Serratia terhadap larva
Costelytra zealandica (ulat rumput New
Zealand) juga membuktikan bahwa strain
Serratia memiliki efek toksik yang tinggi
terhadap serangga hama ketika protein
toksiknya diinjeksikan ke tubuh serangga
(Biglin et al 2006).
Marga Serratia terdiri atas bakteri patogen
serangga (Binglin et al 2006). Entomopatogen
dari marga Serratia, kecuali Serratia
entomophila dan Serratia proteamaculans,
dikenal sebagai patogen oportunistik atau
fakultatif karena tidak virulen ketika berada
dalam saluran pencernaan, tetapi menjadi
sangat virulen ketika masuk ke dalam
haemolim akibat serangga terluka atau dalam
keadaan stres (Mohan et al. 2011).
Entomopatogen Serratia entomophila dan
Serratia proteamaculans merupakan strain
Serratia yang telah diketahui secara pasti
merupakan bakteri entomopatogen yang
virulensinya tinggi terhadap serangga hama.
Kedua strain Serratia ini menghasilkan
kompleks toksin yang mekanisme toksinnya
mirip dengan kompleks toksin yang dihasilkan

oleh
Photorhabdus
luminescens
Xenorhabdus nematophila.

dan

Gambar 1 Sel bakteri entomopatogen Serratia


marcescens (Singh et al 2008)
Protein Toksin (Insecticidal Toxin)
Protein toksin yang memiliki efek
insektisidal dapat diisolasi dari bakteri
entomopatogen. Protein toksin kompleks
dengan berat molekul tinggi mempunyai
spektrum toksin yang luas terhadap berbagai
kelas serangga (Bowen and Ensign 1998).
Terdapat dua bentuk toksin bakteri. Jenis
yang pertama adalah endotoksin. Endotoksin
merupakan komponen lipopolisakarida (LPS)
membran luar bakteri Gram negatif berikatan
dengan dinding sel bakteri sehingga bentuk
protein toksin ini tidak disekresikan ke
lingkungan ekstraseluler. Jenis protein toksin
yang kedua adalah eksotoksin. Eksotoksin
merupakan protein toksin yang disekresikan
oleh bakteri Gram negatif ataupun bakteri
Gram positif. Protein toksin pada umumnya
merupakan bentuk eksotoksin yang dapat
dilepaskan atau disekresikan ke lingkungan
ekstraseluler dari sel bakteri penghasilnya.
Gen penyandi protein toksik biasanya terdapat
pada plasmid bakteri. Protein toksin jenis
eksotoksin terdiri atas dua subunit. Unit yang
pertama merupakan unit yang berikatan pada
membran sel dan akan masuk ke dalam sel,
sementara unit yang kedua merupakan unit
yang memiliki aktivitas toksik. Eksotoksin
termasuk ke dalam substansi yang paling
toksik dan berperan dalam patogenesis
penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri
patogen (Muliawan 2009). Salah satu sub
kelas dari eksotoksin adalah enterotoksin,
yaitu protein toksin ekstraseluler bakteri yang
umumnya memberikan efek toksik pada
saluran pencernaan (Akhdiya et al 2007).
Hingga saat ini telah diketahui tiga
klasifikasi protein toksin insektisida. Kelas
yang pertama adalah kompleks toksin yang
aktif secara oral terhadap larva hama
serangga. Saat ini kompleks toksin jenis ini

banyak digunakan oleh peneliti di luar negeri


dalam perakitan tanaman transgenik (varietas
tahan) (Liu et al 2003). Kelas yang kedua
merupakan toksin Make Caterpillar Flopy
(Mcf toxin). Toksin jenis ini akan aktif ketika
diinjeksikan secara langsung ke dalam tubuh
larva serangga (Waterfield et al 2005). Kelas
yang ketiga merupakan toksin yang bersifat
biner. Protein toksin jenis ini dapat aktif baik
ketika diinjeksikan secara langsung ke tubuh
larva serangga (Waterfield et al 2005)
maupun secara oral dengan cara ditambahkan
ke dalam pakan larva serangga, contohnya
adalah toksin Photorhabdus insect-related
protein atau lebih dikenal sebagai toksin
pirAB (Duchaud et al 2003).
Salah satu contoh protein toksin yang
bersifat insektisidal adalah kristal protein Bt
yang dihasilkan oleh bakteri entomopatogen
serangga
penggerek
kapas
Bacillus
thuringiensis. Kristal protein Bt di alam
berupa protoksin, Bt-protoksin kemudian
dapat berubah menjadi polipeptida yang lebih
pendek dan bersifat toksin karena adanya
aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan
serangga. Toksin yang telah aktif dalam
sistem pencernaan serangga kemudian akan
berinteraksi dengan sel-sel epithelium di
midgut (usus tengah) serangga. Toksin Bt ini
menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang
yang sangat kecil) atau kebocoran pada sel
membran di saluran pencernaan dan
mengganggu keseimbangan osmotik dari selsel tersebut. Karena keseimbangan osmotik
terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan
menyebabkan matinya serangga (Hofte &
Whiteley 1989). Selain Kristal protein Bt,
terdapat juga contoh protein toksin
insektisidal yang memiliki mekanisme
toksisitas yang serupa. Misalnya protein
toksin Photorabdus luminescens.
Pemurnian dan Karakterisasi Protein
Terdapat banyak metode yang dapat
digunakan dalam pemurnian protein toksin.
Metode
pemurnian
dapat
ditentukan
berdasarkan jenis protein yang akan diisolasi
serta tingkat kemurnian protein yang
diinginkan. Tahap-tahap pemurnian yang akan
dilakukan harus disesuaikan dengan jenis
protein, maksudnya apakah protein tersebut
merupakan protein ekstraseluler atau protein
intraseluler (Scopes 1993).
Secara umum pemurnian protein selalu
diawali dengan tahap isolasi protein
(pemisahan sel) hingga dihasilkan ekstrak
kasar yang mengandung protein. Hal yang
membedakan pada protein intraseluler,

terdapat tahap perusakan sel terlebih dahulu


sebelum dilakukan isolasi protein. Perusakkan
sel dapat dilakukan secara kimia, fisika, dan
enzimatik (Koolman & Roehm 2005).
Isolasi protein dapat dilakukan dengan
cara sentrifugasi pada kecepatan yang tinggi
(5000-10000
rpm)
atau
presipitasi
menggunakan garam seperti ammonium sulfat
(Scopes 1993). Kedua metode tersebut
bertujuan menghilangkan molekul atau
partikel pengotor dari sel seperti organel sel,
karbohidrat atau lipid yang tidak diinginkan
agar didapat isolat protein yang murni. Tahap
yang selanjutnya adalah memisahkan protein
dari senyawa yang berbobot molekul rendah
yang berada dalam ekstrak sel dengan proses
dialisis. Protein merupakan molekul yang
berukuran besar, hal ini menyebabkan
molekul protein akan terjebak di dalam
kantong membran dialisis sementara molekulmolekul kecil akan berdifusi dengan
sendirinya keluar dari kantung membran.
Selanjutnya dapat dilakukan pemisahan
protein yang diinginkan berdasarkan ukuran
atau muatannya (Lehninger 1982). Metode
yang sudah umum digunakan dalam
pemisahan protein berdasarkan ukurannya
adalah filtrasi gel. Pada filtrasi gel protein
akan dialirkan pada butiran berpori kecil dari
polimer hidrofilik. Protein yang berukuran
kecil akan teradsorb pada pori sementara
protein yang berukuran besar akan keluar
lebih dulu. Sementara itu pemisahan
berdasarkan muatan protein dapat dilakukan
dengan metode kromatografi penukar ion.
Kromatografi penukar ion akan memisahkan
protein berdasar perbedaan densitas dan tanda
muatan listrik pada pH tertentu (Bollag et al
1996). Ilustrasi mengenai filtrasi gel dan
kromatografi penukar ion dapat diamati pada
Gambar 2.
Setelah proses permurnian protein, masih
harus dilakukan langkah untuk memastikan
apakah kemurnian protein sudah mencapai
tingkat kemurnian yang diinginkan atau
belum. Tingkat kemurnian protein yang
diinginkan umumnya dipastikan dengan
metode elektroforesis gel poliakrilamid
natrium dedosil sulfat (SDS PAGE). Protein
akan terdenaturasi menjadi subunitnya,
kemudian protein akan terpisah berdasarkan
ukurannya. Melalui metode elektroforesis
SDS PAGE ini dapat diketahui apakah protein
yang diisolasi merupakan protein dengan
bobot molekul yang diinginkan dan apakah
masih terdapat molekul protein nontarget
(Koolman & Roehm 2005).

yaitu dengan suhu lingkungan yang terkontrol


serta nutrisi yang baik membutuhkan waktu
kurang lebih sembilan bulan. Sementara jika
dibiakkan pada keadaan suboptimal atau
kondisi alaminya, serangga ini membutuhkan
waktu kurang lebih dua puluh bulan untuk
perkembangan dari telur hingga imago dengan
dua puluh fase instar. Umumnya serangga ini
memiliki fase instar yang cukup panjang,
serangga ini memiliki fase instar sebanyak 9
hingga 18 periode dan fase instar larva
serangga ini dapat bertahan selama 90 hingga
140 hari (Rand & Laing 2011). Larva
serangga T. molitor instar II-III yang
digunakan untuk uji toksisitas ditunjukkan
pada Gambar 3.
Gambar 2 Ilustrasi dua metode kromtografi.
(A) Kromatografi penukar ion:
muatan protein digunakan dalam
pemurnian protein. (B) Filtrasi
gel:
fraksinasi
protein
berdasarkan ukuran (Hedhammar
et al 2005).
Tenebrio molitor
Tenebrio molitor merupakan serangga
yang tergolong ke dalam ordo coleopteran dan
berasal dari famili Tenebrionidae. Tenebrio
molitor merupakan salah satu hama bagi dunia
agrikultur, biasanya serangga ini merupakan
hama perusak bagi produk pascapanen.
Serangga ini merupakan hama pada produk
biji-bijian atau serealia. Larva dari Tenebrio
molitor ini umumnya dikenal masyarakat
sebagai ulat hongkong atau yellow
mealworm yang sering digunakan sebagai
pakan burung ataupun ikan (Herman et al
2004).
Tenebrio molitor sudah sangat umum
digunakan sebagi hewan uji dalam penelitian
atau studi biokimia. Alasannya adalah ukuran
stadium larva dari serangga ini yang relatif
besar jika dibandingkan dengan serangga
coleopteran lainnya. Selain itu serangga ini
juga memiliki waktu generasi yang lambat
jika
dibandingkan
dengan
serangga
Tenebrionidae lainnya, sehingga serangga ini
dirasa lebih cocok digunakan sebagai hewan
uji pada penelitian atau studi yang
membutuhkan serangga dengan fase larva
dalam waktu yang cukup lama (Oppert 2010).
Tenebrio molitor merupakan serangga
yang sangat mudah proses pembiakannya. Hal
ini dikarenakan serangga ini memiliki daya
adaptasi terhadap lingkungan yang sangat
baik, serta tergolong mudah dalam hal
pemberian pakan. Larva serangga T. molitor
yang dibiakkan dalam keadaan optimum,

Gambar 3 Larva Tenebrio molitor instar II-III


yang digunakan dalam bioasai

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah kultur sel bakteri S.
marcescens isolat SM201102 yang diisolasi
dari wereng batang cokelat koloni Sukamandi
yang mati dengan gejala tubuh berwarna
merah, larva serangga Tenebrio molitor instar
II-III (larva yang berumur 3-4 minggu)
(Prabhakar 2001), media Luria Bertani (LB)
cair, K2HPO4 50 mM dan 1 M, KOH 5 M,
KCl 150 mM pH 6.3, KCl 300 mM, akuades,
reagen Bradford, bufer salin fosfat (PBS) 1x,
poliakrilamid 10%, Tris HCl pH 6.8 dan 8.8,
ammonium persulfat 10%, serbuk ammonium
sulfat, suspensi DEAE-sepharos (Pharmacia
Biotech, Uppsala Swedia), kantong dialisis
(Sigma), kertas saring, dan pakan buatan
larva.
Sementara alat-alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah gelas plastik volume 50
ml, tabung vial 1.5 ml, kuvet 1 ml, pinset,
shaker, stirrer, pipet volumetrik, pipet mikro
Gilson Pipetman, alat-alat gelas (tabung
reaksi, gelas Erlenmeyer, gelas piala, gelas
ukur, dan labu ukur), sudip, neraca analitik,
sentrifus Hitachi CR-21F, spektrofotometer

UV Vis Hitachi U 2000, pH meter Thermo


Orion 410 A+, indikator universal, kolom
berukuran 2.6 x 40 cm, kolom sephacryl S400, laminar Hitachi Clear Bench, penangas
air, alat freeze drier, dan peralatan
elektroforesis SDS PAGE Biorad.
Metode Penelitian
Pembuatan Media Pertumbuhan S.
marcescens
Media yang digunakan dalam pembiakan
S. marcescens adalah media Luria Bertani.
Media dibuat dengan cara melarutkan 5 g
ekstrak yeast, 10 g tripton, dan 10 g NaCl
dalam 1L akuades. Larutan dihomogenkan
menggunakan pengaduk magnet selama
beberapa menit hingga benar-benar larut.
Setelah larut media tersebut diautoklaf selama
20 menit pada suhu 121oC dan pada tekanan 1
atm.
Pembiakan S. marcescens
Bakteri S. marcescens yang digunakan
pada penelitian ini adalah isolat SM201102
yang diisolasi dari wereng batang coklat
koloni Sukamandi. Bakteri dikulturkan pada
media Luria Bertani (LB) agar miring dalam
tabung
reaksi.
Kemudian
bakteri
diinokulasikan ke dalam 1 L media LB cair
dan diinkubasikan selama 48 jam dalam
orbital dengan kecepatan 75 rpm pada suhu
ruang (25oC).
Isolasi Protein Insektisidal S. marcescens
Pemisahan Sel Bakteri. Biakan bakteri S.
marcescens
yang
telah
diinkubasi,
disentifugasi dengan kecepatan 5000 rpm
selama 30 menit pada suhu 4oC untuk
memisahkan
sel
dari
supernatannya.
Supernatan yang didapat akan dipisahkan
dengan peletnya untuk kemudian dipurifikasi
proteinnya. Purifikasi protein dilakukan
dengan dua metode, yaitu purifikasi
menggunakan kromatografi kolom dan
purifikasi protein insektisidal dengan cara
presipitasi menggunakan amonium sulfat dan
dialisis.
Purifikasi
Protein
Insektisidal
Menggunakan
Metode
Presipitasi
Amonium Sulfat dan Dialisis. Fraksi
supernatan yang didapat setelah proses
pemisahan
sel
dengan
sentrifugasi,
ditambahkan dengan 307.17 g amonium sulfat
hingga fraksi supernatan menjadi jenuh 100%.
Penambahan amonium sulfat dilakukan
sedikit demi sedikit dengan cara ditunggu
hingga
larut
sebelum
penambahan

selanjutnya, larutan dihomogenkan dengan


menggunakan batang pengaduk magnetik.
Setelah fraksi supernatan mencapai 100%
jenuh,
fraksi
supernatan
diinkubasi
semalaman (18 jam) pada suhu 4oC.
Selanjutnya fraksi supernatan tersebut
disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm
selama 30 menit, pelet yang didapat dilarutkan
dengan bufer salin fosfat (PBS). Volume
protein yang didapat diukur, sebagian
didialisis menggunakan bufer salin fosfat
(PBS) dan sebagian lainnya disimpan dalam
tabung tersendiri pada suhu 4oC. Dialisis
dilakukan selama semalam, setelah didialisis
protein yang didapat disimpan dalam tabung
yang telah dilabel pada suhu 4oC. Selanjutnya
protein insektisidal hasil dialisis dan protein
nondialisis dipekatkan dengan cara freeze
drying. Protein insektisidal yang dihasilkan
juga diuji toksisitasnya dengan bioasai.
Purifikasi Protein Insektisidal dengan
Kromatografi Kolom. Fraksi supernatan dari
presipitasi amonium sulfat ditambah K2HPO4
1 M hingga konsentrasinya menjadi 50 mM
K2HPO4. Kemudian pH-nya diatur hingga
menjadi 8.6 dengan KOH 1 M.
Selanjutnya 200 ml suspensi DEAESepharos (Pharmacia Biotech, Uppsala,
Swedia) dicampurkan dengan K2HPO4 50
mM. Campuran resin ini kemudian dicuci
dengan 50 mM KH2PO4, melalui sentrifugasi
pada kecepatan 5000 rpm selama 10 menit
sebanyak lima kali. Penambahan K2HPO4
dilakukan pada pelet campuran resin setiap
kali selesai sentrifugasi hingga lima kali
sentrifugasi. Pencucian dihentikan ketika
etanol sudah hilang dari campuran resin.
Setelah etanol pada suspensi DEAESepharos hilang, resin ditambahkan ke dalam
supernatan dan dihomogen selama 15 menit
menggunakan pengaduk magnetik, lalu
diinkubasi
semalam
hingga
protein
insektisidal terabsorbsi pada resin. Setelah
inkubasi maka resin dan protein yang
terabsorbsi akan mengendap, sementara air
yang berada di permukaan atas dibuang.
Campuran protein yang telah terabsorsi pada
resin dituang ke dalam kolom berukuran 2.6 x
40 cm, harus dipastikan kandungan air pada
resin dalam jumlah paling minimal.
Selanjutnya resin dielusi menggunakan
KCl dengan konsentrasi 300 mM. Fraksi
ditampung berdasarkan volume, yaitu setiap
volume 2 ml. Setelah elusi setiap fraksi diukur
absorbannya pada panjang gelombang 280
nm. Fraksi-fraksi yang memiliki puncak yang
baik selanjutnya dipekatkan dengan metode
freeze dry. Fraksi hasil purifikasi yang

mengandung protein insektisidal akan


dimurnikan lebih lanjut dan akan diuji
toksisitasnya dengan bioasai.
Penentuan konsentrasi protein fraksi.
Uji Bradford. Sampel protein diencerkan
menjadi 5x, 10x, 50 x, 100x, 200x, 400x, dan
800x dengan PBS hingga volume akhir
mencapai 800 L. Kemudian ke dalam
campuran ditambahkan reagen Bradford
sebanyak 200 L dan dihomogenkan dengan
vorteks. Absorban diukur pada panjang
gelombang 595 nm setelah campuran
diinkubasi pada suhu ruang (25oC) selama
10 menit. Konsentrasi protein ditentukan
dengan persamaan kurva standar.
Pengukuran
Konsentrasi
Protein
dengan Spektrofotometer UV 280 nm.
Sampel protein dipipet hingga volume 200 l
ke
dalam
kuvet,
kemudian
diukur
absorbannya pada panjang gelombang 280 nm
dan konsentrasi protein ditentukan dengan
mengkonversi
bahwa
sampel
dengan
absorbansi 1.3 memiliki konsentrasi 1 mg/ml.
Perbandingannya adalah sebagai berikut :
1.3

Keterangan :
[X] : konsentrasi protein sampel
Ax : absorban sampel
(Grimsley & Pace 2003)
Analisis Natif Gel
Pembuatan natif gel 10%. Separation
gel dibuat dengan cara mencampurkan 1.95
L dH2O, buffer Tris HCl pH 8.6 1.3 ml, 1.7
mL 30% akrilamid (30:1), 50 L APS
(amonium persulfat) 10%, dan 2 L TEMED
(N,N,N,N-tetrametil-etilendiamin).
Campuran tersebut kemudian diaduk
dan dicetak ke dalam cetakan gel hingga
mencapai 2/3 bagian cetakan, kemudian 1/3
bagian diisi dengan akuades dan didiamkan
sampai gel mengeras. Selanjutnya stacking gel
dibuat dengan mencampurkan 1.4 mL dH2O,
250 L bufer Tris-HCl pH 6.8 1 M, 330 L
30% akrilamid, 20 L SDS 10%, 20 L APS
10%, dan 2 L TEMED. Selanjutnya
campuran tersebut diaduk, sementara itu
akuades dalam 1/3 bagian cetakan dibuang,
untuk kemudian diganti dengan campuran
stacking gel. Sisir pencetak sumur disisipkan
pada cetakan.
Preparasi dan running sampel.
Sampel protein ditambahkan dengan 2x SB
(sample buffer) dalam volume 30 L dengan
perbandingan 1:1. Gel dimasukkan ke dalam
bak elektroforesis yang telah diisi running

buffer. Sampel yang telah disiapkan


dimasukkan sebanyak 10-20 L ke dalam
sumur. Elektroforesis dijalankan pada
tegangan listrik 110 V dengan arus 120 mA
hingga sampel mencapai batas bawah gel.
Pewarnaan gel. Gel SDS-PAGE
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
reagen pewarna (0.25 g Coomassie Brilliant
Blue R250, 125 mL metanol, 25 mL asam
asetat glasial, dan 100 mL akuades).
Pewarnaan dapat dilakukan selama 2-3 jam.
Pewarna yang tidak berikatan dengan sampel
dalam gel dicuci dengan proses destaining.
Gel dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
larutan pencuci (10 mL metanol, 100 mL
asam asetat glasial, dan 800 mL akuades).
Pencucian warna dilakukan sekitar 24 jam
pada orbital.
Analisis bobot molekul. Gel yang
telah diwarnai, kemudian didokumentasikan.
Bobot molekul dianalisis dengan perangkat
lunak Photocapt-MW.
Perkiraan Bobot Molekul dengan Analisis
SDS PAGE
Pembuatan Gel 10% SDS-PAGE.
Pembuatan gel SDS PAGE diawali dengan
pembuatan separation gel. Akuades sebanyak
1.9 mL ditambahkan dengan 1.3 mL
buferTris-HCl pH 8.8 1.5 M, 1.7 mL 30%
akrilamid (30:1), 50 L SDS 10%, 50 L APS
(amonium persulfat) 10%, dan 2 L TEMED
(N,N,N,N-tetrametil-etilendiamin).
Campuran tersebut kemudian diaduk dan
dicetak ke dalam cetakan gel hingga mencapai
2/3 bagian cetakan, kemudian 1/3 bagian diisi
dengan akuades dan didiamkan sampai gel
mengeras. Stacking gel dibuat dengan
campuran 1.4 mL akuades, 250 L buferTrisHCl pH 6.8 1 M, 330 L 30% akrilamid, 20
L SDS 10%, 20 L APS 10%, dan 2 L
TEMED. Selanjutnya campuran tersebut
diaduk, sementara itu akuades dalam 1/3
bagian cetakan dibuang, untuk kemudian
diganti dengan campuran stacking gel. Sisir
pencetak sumur disisipkan pada cetakan.
Preparasi dan Running Sampel. Sampel
protein ditambahkan dengan 2x SB (sample
buffer) dalam volume 30 L dengan
perbandingan 1:1. Campuran protein dan SB
dididihkan dalam tabung vial 1.5 mL selama
10 menit. Gel dimasukkan ke dalam bak
elektroforesis yang telah diisi running buffer.
Sampel yang telah disiapkan dimasukkan
sebanyak 10-20 L ke dalam sumur.
Elektroforesis dijalankan pada tegangan listrik
110 V dengan arus 120 mA hingga sampel
mencapai batas bawah gel.

Pewarnaan Gel. Gel SDS-PAGE


dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
reagen pewarna (0.25 g Coomassie Brilliant
Blue R250, 125 mL metanol, 25 mL asam
asetat glasial, dan 100 mL akuades).
Pewarnaan dapat dilakukan selama 2-3 jam.
Pewarna yang tidak berikatan dengan sampel
dalam gel dicuci dengan proses destaining.
Gel dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
larutan pencuci (10 mL metanol, 100 mL
asam asetat glasial, dan 800 mL akuades).
Pencucian warna dilakukan sekitar 24 jam
pada orbital.
Analisis Bobot Molekul. Gel yang telah
diwarnai, kemudian didokumentasikan. Bobot
molekul dianalisis dengan perangkat lunak
Photocapt-MW.
Bioasai
Sebanyak 100 l suspensi protein toksin
dengan konsentrasi 0.5, 1, 2.5, 5, 10, 20, dan
40 g/ml dicampur dengan 0.5 g pakan buatan
hingga merata. Kemudian pakan diletakkan
dalam gelas plastik (vol. 50 ml) lalu dikering
anginkan selama semalam (18 jam) pada
suhu ruang (25oC). Selanjutnya pada setiap
tabung diinfestasikan 5 ekor larva Tenebrio
molitor instar II-III. Mortalitas larva diamati
setiap hari selama 7 hari (Tan et al 2006).
Setelah dilakukan pengamatan tingkat
mortalitas pada larva, dilakukan pula
penentuan nilai LC50 untuk setiap protein
toksin.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Biakan Bakteri S. marcescens
Bakteri entomopatogen yang digunakan
pada penelitian ini adalah bakteri Serratia
marcescens isolat SM201102 yang diisolasi
dari wereng batang coklat koloni Sukamandi.
Setelah pengkulturan didapatkan biakan
bakteri yang berwarna merah. Hal ini
menandakan bakteri merah (S. marcescens)
benar-benar tumbuh pada media tersebut.
Pigmen
merah
tersebut
merupakan
prodigiosin, yaitu biopigmen yang dihasilkan
oleh bakteri ini ketika berada pada rentang
suhu 27oC-30oC (Sundaramoorthy et al 2009).
Pigmen
merah
yang
dihasilkan
menandakan bahwa bakteri merah sedang
berada pada fase stasioner, hal ini sesuai
dengan kurva pertumbuhan S. marcescens
yang menunjukkan terjadinya fase stasioner
pada jam ke 40-50 inkubasi (Hardjito et al
2002). Kurva pertumbuhan S. marcescens
dapat diamati pada Lampiran 3. Fase stasioner

ditandai dengan banyak dihasilkannya


produk-produk metabolit oleh sel bakteri.
Produk metabolisme yang dihasilkan tersebut
antara lain adalah fosfolipase, lipase, protease
dan beberapa antibiotik, kompleks protein
toksin (kompleks toksin) berberat molekul
tinggi, lipopolisakarida, serta berbagai macam
antibodi (Akhdiya et al 2007).
Hasil Isolasi Protein Insektisidal
Isolasi protein insektisidal dilakukan
menggunakan metode sentrifugasi dengan
kecepatan tinggi. Setelah proses sentrifugasi
dihasilkan supernatan yang merupakan
ekstrak bebas sel yang berwarna kuning
kemerahan (warna kuning berasal dari media
LB dan kemerahan merupakan pigmen
prodigiosin yang dihasilkan bakteri) serta
masih memiliki bau khas biakan S.
marcescens. Supernatan yang dihasilkan
tersebut merupakan ekstrak kasar yang
mengandung
protein
insektisidal
S.
marcescens. Protein insektisidal yang ada
dalam supernatan kemudian akan dimurnikan
lebih lanjut menggunakan metode presipitasi
ammonium sulfat, dialisis, dan kromaografi
kolom penukar ion.
Hasil Presipitasi Protein Insektisidal
Menggunakan Amonium Sulfat
Ekstrak kasar protein insektisidal yang
dihasilkan dari proses pemisahan sel
dipresipitasikan dengan ammonium sulfat
hingga mencapai konsentrasi ammonium
sulfat 100%. Setelah proses presipitasi
didapatkan endapan protein yang kemudian
diresuspensi menggunakan buffer salin fosfat
(PBS 1x) hingga didapat protein presipitat
sebanyak 10 ml. Protein presipitat yang
dihasilkan berwarna cokelat pekat dan berbau
sama dengan biakan awal bakteri S.
marcescens. Protein insektisidal yang
dihasilkan dari proses pengendapan dengan
ammonium sulfat ini (selanjutnya disebut
protein insektisidal nondialisis) ditentukan
konsentrasinya
menggunakan
metode
Bradford. Protein insektisidal nondialisis
memiliki konsentrasi sebesar 6415.909 g/ml.
Presipitasi dengan kejenuhan 100% ini
dimaksudkan agar protein insektisidal yang
terdapat pada ekstrak kasar tersebut dapat
terendapkan dengan sempurna.
Presipitasi menggunakan garam amoniun
sulfat dipilih karena umumnya presipitasi
menggunakan garam ini bersifat lebih dapat
balik dibandingkan presipitasi menggunakan
pelarut organik. Setelah proses presipitasi
dengan ammonium sulfat, protein presipitat

Hasil Dialisis Protein Insektisidal


Dialisis merupakan suatu metode yang
digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang berukuran lebih besar dari
molekul yang ukurannya lebih kecil dalam
suatu media. Dialisis dilakukan pada protein
insektisidal yang dihasilkan melalui proses
presipitasi menggunakan ammonium sulfat.
Protein presipitat diambil sebanyak 5 ml dan
dimasukkan ke dalam kantung membran
selofan. Proses dialisis dilakukan selama
semalam (18 jam) dalam bufer PBS. Setelah
proses dialisis didapat protein dialisat
sebanyak 3 ml yang berwarna cokelat tua dan
masih memiliki bau khas biakan S.
marcescens. Protein hasil dialisis kemudian
ditentukan konsentrasinya menggunakan uji
Bradford. Berdasarkan hasil uji, didapat
konsentrasi protein dialisis sebesar 2335.227
g/ml.
Dialisis yang dilakukan pada penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan kantung
membran
selofan
sebagai
membran
semipermiabel dengan ukuran porinya (cut
off) maksimal 12 KDa. Hal ini dimaksudkan
agar molekul protein yang memiliki ukuran
yang lebih kecil akan terdistribusi dengan
sendirinya keluar membran (ke larutan bufer)
semipermiabel hingga tercapai kesetimbangan
antara cairan di dalam dan di luar kantung.
Sementara molekul protein insektisidal yang
lebih besar dari 12 KDa akan tetap berada di
dalam kantung membran (Koolman & Roehm
2005). Ketepatan ukuran molekul protein
yang didapat pada proses dialisis akan terlihat
dari hasil analisis bobot molekul protein
menggunakan SDS PAGE. Protein hasil
dialisis ini (selanjutnya disebut protein
dialisis) selanjutnya akan diuji toksisitasnya
pada larva serangga T. molitor instar II-III.
Hasil Pemurnian Protein Insektisidal
menggunakan
Kromatografi
Kolom
Penukar Ion
Adanya variasi muatan pada kompleks
protein
yang
satu
dengan
lainnya
memungkinkan untuk digunakannnya metode

kromatografi
penukar
ion
dalam
pemurniannya. Protein insektisidal yang
terdapat dalam supernatan kultur dimurnikan
menggunakan metode kromatografi kolom
penukar ion. Elusi dilakukan menggunakan
KCl dengan konsentrasi 300 mM agar
menjaga aktivitas protein insektisidal serta
mereduksi adanya protein-protein lainnya
(Bowen & Esign 1998).
Setelah proses elusi, dihasilkan 35 fraksi
yang ditampung berdasarkan volumenya.
Setiap 2 ml fraksi yang dihasilkan ditampung.
Fraksi-fraksi yang dihasilkan kemudian
diukur
absorbansinya
pada
panjang
gelombang 280 nm dengan spektrofotometer
UV Vis. Hasil pembacaan absorban untuk 35
fraksi protein insektisidal disajikan pada
Lampiran
4.
Berdasarkan
pembacaan
absorban dari fraksi-fraksi yang ditampung
dihasilkan kromatogram pada Gambar 4.
Diambil dua fraksi protein yang masingmasing terletak pada titik A dan B.
Berdasarkan pembacaan absorban, diduga
pada titik tersebut terdapat protein insektisidal
yang memiliki aktivitas tosik. Kedua fraksi
tersebut dipekatkan dengan metode freeze dry,
kemudian diukur konsentrasinya dengan
metode Bradford. Setelah uji Bradford
diketahui bahwa protein insektisidal fraksi A
dan Fraksi B, masing-masing memilki
konsentrasi sebesar 2196.591 g/ml dan
76.222 g/ml. Keduanya memiliki konsentrasi
yang jauh berbeda. Efek toksik protein
insektisidal Fraksi A dan B akan ditentukan
melalui uji toksisitas terhadap serangga hama
T. molitor instar II-III.

Absorban 280 nm

tidak terdenaturasi dan aktivitasnya dapat


diperbaiki selama pelarutan pelet kembali.
Selain
itu,
garam-garam
ini
dapat
menstabilkan protein melawan denaturasi,
proteolisis ataupun kontaminasi bakteri
(Mutiah 2005). Protein insektisidal presipitat
yang dihasilkan sebagian dimurnikan kembali
dengan metode dialisis. Protein insektisidal
nondialisis kemudian diuji toksisitasnya pada
larva Tenebrio molitor instar II-III secara oral.

1.400
1.200
1.000
0.800
0.600
0.400
0.200
0.000

A
B

50
Fraksi protein

100

Gambar 4 Kromatogram fraksi-fraksi hasil


pemurnian protein insektisidal
dengan
kromatografi
kolom
penukar ion.
Profil Protein Insektisidal pada Natif Gel
Analisis natif PAGE ini dilakukan untuk
mengetahui bobot molekul protein sebelum
terdenaturasi dan untuk mengetahui apakah

10

protein insektisidal terdiri atas satu kompleks


toksin atau beberapa kompleks toksin (Bollag
et al 1996).
Analisis natif PAGE dilakukan pada
sampel protein insektisidal yang masih berupa
protein hasil presipitasi ammonium sulfat.
Setelah dilakukan elektroforesis didapat
elektroforegram seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 5. Hasil natif PAGE tersebut
menunjukkan bahwa protein insektisidal
terdiri atas beberapa kompleks toksin dengan
ukuran yang berbeda. Protein insektisidal S.
marcescens terdiri atas tiga subkompleks
toksin yang ditandai dengan munculnya tiga
pita protein pada gel natif. Masing-masing
berukuran 87.50, 57.40, dan 53.21 KDa.
Sebagai perbandingan, hasil analisis natif gel
untuk protein insektisidal bakteri P.
luminescens menghasilkan tiga pita pula
dengan bobot molekul yang berkisar antara 55
hingga 66.2 KDa.
Berdasarkan hasil analisis natif PAGE
tersebut diduga bahwa protein insektisidal S.
marcescens merupakan protein yang bersifat
multimerik, artinya efek toksin baru akan
ditimbulkan ketika protein berada dalam
bentuk kompleks. Jika dilihat dari mekanisme
toksisitas dari penelitian mengenai protein
toksin P. luminescens, menyatakan pula
bahwa efek toksik baru akan muncul ketika
subkompleks protein toksin ini berinteraksi
dengan subkompleks protein lainnya (Binglin
et al 2007). Ketiga protein subkompleks yang
telah terseparasi tersebut diduga memiliki
perannya masing-masing dalam menimbulkan
efek toksin. Namun belum dapat dipastikan
apakah ketiga protein subkompleks tersebut
merupakan produk dari satu gen ataukan
produk dari gen yang berbeda (Bowen &
Esign 1998).

Gambar

Hasil natif PAGE protein


insektisidal : Marker protein
(M) dan protein sampel (S)

Profil
Protein
Insektisidal
pada
Elektroforegram SDS PAGE
Analisis bobot molekul keempat protein
insektisidal yang telah dimurnikan dilakukan
dengan SDS PAGE. Prinsip dasar metode ini
adalah pergerakan molekul protein pada
media yang dialiri arus listrik. Molekul
protein akan bergerak dari katoda ke anoda,
pergerakan molekul protein dipengaruhi oleh
ukuran, bentuk, dan muatan elektrik protein
tersebut (Koolman & Roehm 2005). Selain
analisis ukuran molekul dari protein, dengan
dilakukannya analisis SDS PAGE juga dapat
menunjukkan tingkat kemurnian protein yang
dihasilkan (Barker 1998).
Berdasarkan hasil SDS PAGE yang
ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7, terlihat
bahwa protein insektisidal fraksi A, fraksi B,
dialisis, dan nondialisis memiliki jumah pita
yang berbeda setelah diwarnai. Protein
insektisidal fraksi A (lajur 2) memperlihatkan
adanya 10 pita protein dengan bobot molekul
14.00 KDa hingga 95.29 KDa. Protein
insektisidal fraksi B (lajur 1) memperlihatkan
adanya 6 pita protein yang berbobot molekul
30.42 KDa hingga 95.29 KDa. Protein
insektidal dialisis (lajur 3) memperlihatkan
jumlah pita protein yang sama dengan protein
fraksi A, namun dengan rentang ukuran
molekul yang berbeda. Protein insektisidal
hasil dialisis memiliki rentang ukuran molekul
protein dari 12.75 KDa hingga 95.29 KDa.
Sementara protein nondialisis (lajur 4)
memiliki jumlah pita protein yang paling
banyak, yaitu 11 pita protein dengan rentang
ukuran molekul 12.25 KDa hingga 95.29
KDa. Perbedaan jumlah pita protein pada hasil
analisis SDS PAGE ini menandakan tingkat
kemurnian masing-masing protein insektisidal
yang juga berbeda. Terlihat pada Gambar 6
dan 7 protein insektisidal dengan tahap
pemurnian terendah, protein nondialisis (lajur
4) memiliki jumlah pita protein yang paling
banyak yaitu sebnayak 11 pita protein.
Berdasarkan hasil elektroforesis keempat
protein insektisidal tersebut, masing-masing
protein memiliki pita dengan ukuran yang
mirip. Terlihat pada Gambar 6 dan 7 masingmasing
protein
insektisidal
memiliki
kesamaan rentang bobot molekul dari 30 KDa
hingga yang tertinggi 95.29 KDa. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pita dengan ukuran
95.29 KDa dan 58~59 KDa pada masingmasing protein insektisidal. Hasil SDS PAGE
ini sesuai dengan penelitian mengenai protein
insektisidal
bakteri
entomopatogen
Photorabdus luminescens yang pernah
dilakukan oleh Bowen dan Esign pada tahun

11

1998, bahwa kompleks toksin bakteri


entomopatogen memiliki beberapa pita
protein dengan bobot molekul 30 KDa hingga
lebih dari 212 KDa. Jika dihubungkan dengan
hasil uji toksisitas, protein insektisidal fraksi
B memiliki efek toksin yang paling baik. Hal
ini ditunjukkan oleh grafik persentase
mortalitas larva serangga uji terhadap protein
insektisidal fraksi B (grafik terdapat pada
Lampiran 10) yang cenderung naik seiring
dengan naiknya dosis toksin yang diberikan.
Namun belum dapat dipastikan pita protein
mana yang memiliki efek toksin, karena
belum diketahui apakah pita-pita tersebut
merupakan suatu subunit yang berasal dari
satu protein insektisidal atau masing-masing
pita protein tersebut memiliki aktivitas
toksinnya sendiri (Akhdiya et al 2007). Oleh
karena itu diperlukan penelitian yang lebih
lanjut agar dapat diketahui apakah terdapat
aktivitas toksin pada masing-masing pita
protein atau apakah jenis protein insektisidal
S. marcescens bersifat multimerik.

Gambar

Gambar

Hasil SDS PAGE


insektisidal. Marker
(M), protein fraksi
protein fraksi A (2),
dialisis (3), dan
nondialisis (4)

protein
protein
B (1),
protein
protein

Hasil SDS PAGE protein


insektisidal dan ukuran masingmasing pita protein. Marker
protein (M), protein fraksi B
(1), protein fraksi A (2), protein
dialisis (3), dan protein
nondialisis (4)

Toksisitas Protein Insektisidal Serratia


marcescens
Biosai atau uji toksisitas dilakukan untuk
mengetahui dan membandingkan efek oral
yang dimiliki oleh protein toksin S.
marcescens yang dihasilkan pada setiap tahap
pemurnian. Tingkat mortalitas serta gejala
kematian diamati pada uji toksisitas ini. Uji
toksisitas ini dilakukan selama tujuh hari dan
diamati setiap harinya (Tan et al 2006).
Pengamatan tingkat mortalitas dilakukan
terhadap larva T. molitor instar II-III. Uji
toksisitas tidak dilakukan langsung pada
wereng, hal ini disebabkan tipe mulut wereng
merupakan mulut pencucuk dan penghisap
sehingga kurang cocok digunakan sebagai
hewan uji untuk protein insektisidal yang
bersifat oral (Prriyatno et al 2011). Larva
serangga T. molitor merupakan larva serangga

12

yang sudah umum digunakan sebagai hewan


uji protein insektisidal karena memiliki nafsu
makan yang cukup besar (mudah lapar),
mudah dibiakkan, serta memiliki fase instar
yang cukup lama sebelum berubah menjadi
serangga (Herman et al 2004).
Larva serangga yang diberi perlakuan
protein insektisidal baru menimbulkan gejala
keracunan setelah hari ke tiga uji toksisitas.
Gejala keracunan yang terjadi adalah mulai
timbulnya warna kehitaman pada bagian atas
tubuh larva, kemudian larva berhenti makan,
dan seluruh tubuh larva berubah warna hitam
ketika mati. Gejala toksisitas ini mirip dengan
gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh deltaendotoksin Bt. Gejala toksik yang dtimbulkan
pada larva serangga dapat diamati pada
Gambar 8.
Larva yang mati

Gambar 8 Gejala toksisitas pada larva T.


molitor
Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat
mortalitas yang ditimbulkan oleh setiap
protein insektisidal berbeda. Presentase
mortalitas masing-masing protein insektisidal
disajikan pada Tabel 1 dan presentase
mortalitas dalam bentuk grafik dapat diamati
pada Lampiran 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan
data bioasai pada Tabel 1 terlihat bahwa dari
keempat protein insektisidal yang diujikan
terhadap larva serangga hanya protein
insektisidal fraksi B yang menunjukkan
persentase mortalitas yang semakin tinggi
seiring dengan dinaikannya dosis protein
insektisidal. Sementara jika diperhatikan
tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh
ketiga protein insektisidal yang lainnya,
terjadi ketidaksesuaian antara mortalitas yang
terjadi dengan dosis yang diberikan.
Contohnya
pada
protein
insektisidal
nondialisis yang memberikan efek mortalitas
yang tinggi pada tingkat dosis terendah,
sementara ketika dosis dinaikkan mortalitas
yang terjadi justru menurun. Hal ini dapat
terjadi karena ketahanan individu larva yang
secara genetik berbeda terhadap protein
insektisidal. Selain itu diduga karena proses

makan oleh larva yang terhenti sebelum


protein insektisidal menimnbulkan efek
toksin. Namun tingkat mortalitas yang
ditimbulkan oleh setiap protein insektisidal
dapat dipastikan bukan terjadi karena
keracunan pelarut, hal ini terlihat dari tidak
adanya kematian pada setiap kontrol. Kontrol
yang digunakan adalah pakan buatan larva
yang dicampur dengan pelarut saja tanpa
protein insektisidal.
Tabel 1 Data mortalitas protein insektisidal
terhadap larva T. molitor
Protein
Konsentrasi % Mortalitas
g/ml
SE
Nondialisis
0
0
0.5
4020
1
26.711.5
2.5
33.323.1
5
4020
10
44.413.9
20
26.711.5
40
26.711.5
Dialisis
0
0
0.5
19.31.3
1
27.810.7
2.5
200
5
33.311.5
10
400
20
53.311.5
40
45.912.2
Fraksi A
0
0
0.5
4020
1
4020
2.5
25.910.3
5
4020
10
49.910
20
37.73.2
40
46.711.5
Fraksi B
0
0
0.5
26.711.5
1
26.711.5
2.5
4020
5
53.311.5
10
57.83.9
20
71.115.4
40
66.711.5
Keterangan: Standar deviasi (SE)

13

Penentuan LC50
Lethal concentration (LC50) merupakan
konsentrasi toksin yang dapat membunuh 50%
dari populasi hewan uji. Setelah dilakukan
pengamatan selama 7 hari (Tan et al 2006),
didapatkan persentase kematian larva.
Kemudian dilakukan analisis probit untuk
menentukan nilai LC50 dari setiap protein
insektisidal yang diujikan.
Nilai probit didapat dengan cara
mentransformasikan persentase kematian ke
unit probit menggunakan tabel tranformasi
nilai probit yang terdapat pada Lampiran 11.
Nilai probit yang didapat kemudian
diregresikan terhadap Log konsentrasi protein
insektisidal yang diujikan. Selanjutnya didapat
grafik dan persamaan linier untuk masingmasing protein insektisidal. Grafik serta
persamaan linier untuk masing-masing protein
insektisidal dapat diamati pada Lampiran 12,
13, 14, dan 15. Penentuan LC50 dilakukan
dengan cara memasukkan nilai probit 5
sebagai nilai y pada persamaan grafik probit
hingga didapat nilai x. Nilai antiLog x
tersebut merupakan konsentrasi LC50 dari
protein insektisidal yang diujikan.
Setelah dilakukan analisis probit
persentase mortalitas dan perhitungan LC50
didapatkan konsentrasi LC50 untuk masingmasing
protein
insektisidal.
Protein
insektisidal fraksi A memiliki nilai LC50 pada
konsentrasi 9.33g/ml, protein insektisidal
fraksi B memiliki nilai LC50 pada konsentrasi
4.82g/ml, protein dialisis pada konsentrasi
23.44g/ml, dan protein nondialisis pada
konsentrasi 19.49g/ml. Hasil analisis probit
menunjukkan nilai LC50 yang berbeda-beda
antara keempat protein insektisidal yang
diujikan. Hal ini sesuai dengan tingkat
kematian yang juga sangat bervariasi di antara
keempat
protein
insektisidal.
Tingkat
kemurnian
protein
insektisidal
(tahap
pemurnian yang didapat) juga mempengaruhi
nilai LC50 setiap protein insektisidal. Hasil
analisis probit menunjukkan bahwa protein
fraksi B memiliki nilai LC50 yang paling kecil
dibandingkan
dengan
ketiga
protein
insektisidal lainnya. Telah diketahui bahwa
protein insektisidal Fraksi B merupakan
protein insektisidal yang diperoleh melalui
proses pemurnian hingga tahap kromatografi
penukar ion, sehingga dapat dikatakan protein
insektisidal yang melalui pemurnian dengan
kromatografi penukar ion ini merupakan
protein insektisidal yang memiliki tingkat
kemurnian paling tinggi pada penelitian ini.
Sementara itu protein insektisidal fraksi A
yang juga melewati proses pemurnian dengan

kromatografi penukar ion juga memiliki nilai


LC50 yang cukup rendah dibandingkan dengan
protein insektisidal yang hanya melewati
proses pemurnian presipitasi amonium sulfat
(nondialisis) dan dialisis.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Protein insektisidal yang diisolasi dari
bakteri entomopatogen Serratia marcescens
merupakan protein toksin yang bersifat oral.
Hasil natif PAGE dan SDS PAGE protein
toksin menunjukkan adanya kemungkinan
protein toksin bersifat multimerik dengan
bobot molekul protein yang diduga berkisar
antara 30.42 KDa sampai dengan 95.29 KDa.
Berdasarkan hasil analisis probit, protein
toksin fraksi B merupakan protein toksin
dengan nilai LC50 terendah, yaitu pada
konsentrasi 4.82 g/ml.

Saran
Penelitian protein insektisidal dari bakteri
entomopatogen Serratia marcescens ini perlu
dilanjutkan hingga jenis kompleks toksin
dapat diidentifikasi apakah merupakan toksin
TCa atau TCd. Teknik bioasai perlu diperbaiki
agar didapat hasil yang lebih maksimum dan
perlu juga dilakukan uji toksisitas lanjutan
untuk mengetahui apakah protein toksin ini
berspektrum luas atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA
Akhdiya A, Pratiwi E, dan Samudra I M.
2007. Protein toksin dari bakteri
pathogen serangga Photorjabdus
luminescens HJ. Berita Biologi 8 (6).
Arifin K. 2011. Penggunaan musuh alami
sebagai komponen pengendalian
hama
padi
berbasis
ekologi.
Pengembangan Inovasi Pertanian
4:29-46.
Barker K. 1998. At the Bench : A Laboratory
navigator. New York : Cold Spring
Harbor Laboratory Press.
Baskoro et al. 2002. Pengendalian serangga
hama dengan menggunakan bakteri
merah. Laporan Hasil Penelitian,
Balai Pengamatan dan Peramalan
Hama dan Penyakit Tanaman.

14

Binglin T, Trevor AJ, dan Mark RHH. 2006.


Virulence of Serratia strains against
Costelytra zealandica. Applied and
Environmental Microbiology 72:
6417-6418.
Blackburn M, Golubeva E, Bowen D, ffrenchConstant RH. 1998. A novel
insecticidal toxin from Photorhabdus
luminescens, Toxin complex a (Tca)
and its histopathological effects on
the midgut of Manduca sexta. Appl
Environ Microbiol64(8):3036-3041.
Bollag DM, Rozycki MD, Edelstein SJ. 1996.
Protein Methods. Ed ke 2. Michigan:
Willey-Liss.
Bowen DJ dan Ensign JC. 1998. Purification
and
characterization
of
high
molecular weight insecticidal protein
complex
produced
by
entomophatogenic
bacteriumPhotorabdus luminescens.
Appl. Environ Microbiol 64: 30293035.
Bowen D, Rocheleau T, Blackburn M,
Andreev O, Golubeva E, Bhartia R,
dan Ffrench-Constant RH. 1998.
Insecticidal
toxins
from
the
bacterium
Photorhabdus
luminescens. Science 280:2129-2132.
Buell CR, Joardar V, Lindeberg M et al. 2003.
The complete genome sequence of
the Arabidopsis and tomato pathogen
Pseudomonas syringae pv. tomato
DC3000. Proc Natl Acad Sci USA
100: 1018110186.
Claridge M F, J Den Hollander. 1983. The
biotype concept and itsapplication to
insect pests of agriculture.Crop
Protection 2:85-95.
Dodd SJ, Hurst MR, Glare TR, O'Callaghan
M, Ronson CW. 2006. Occurrence of
sep insecticidal toxin complex genes
in Serratia spp. and Yersinia
frederiksenii.
Appl
Environ
Microbiol 72:6584-6592.
Duchaud et al. 2003. The genome sequence of
the enthomopathogenic bacterium
Photorabdus
luminescens.
Nat.
Biotechnol 21: 1307-1313.

Finney DJ. 1952. Probit Analysis. Cambridge


: Cambridge University Press.
Flyg Casper dan Xanthopoulos G Kleanthis.
1983. Insect phatogenic properties of
S. marcescens passive and active
resistance to insect immunity studied
with protease-deficient and phage
resistance mutants. Journal of
General microbiology 129 :453-464.
Forst, S. and K. Nealson. 1996. Molecular
biology of the symbioticpathogenic
bacteria Xenorhabdus spp. and
Photorhabdus spp. Microbiological
Reviews 60:21-43.
Granados, G. 2000. Maize insects. Tropical
Maize. Improvement and production.
Food and Agriculture Organization
of the United Nations, Rome. p.
81349.
Hardjito L, Huq A, dan Colwell R R. 2002.
The influence of environmental
conditions on the production of
pigment by Serratia marcescens.
Biotech Bioprocess Eng 7:100-104.
Hedhammar M, Karlstrom AE, dan Hober S.
2005. Chromatographic Methods for
Protein Purification. Stockholm :
AlbaNova University Press.
Herman M, Kusumawati K, dan Diani D.
2004.
Perakitan
dan
Bioasai
Tanaman
Transgenik
Tahan
Serangga Hama. Balai Besar
Penelitian
dan
Pengembangan
Bioteknologi
dan
Sumberdaya
Genetik Pertanian.
Hofte H, Whitely HR. 1989. Insecticidal
crystal
protein
of
Bacillus
thuringiensis.
Microbiol.
Rev.
53:242255.
Hurst MRH, Glare TR, Jackson TA, dan
Ronson CW. 2000. Plasmid-located
pathogenicity
determination
of
Serratia entomophila, the causal
agent of amber diseases of grass
grub, showing similarity to the
insecticidal toxins of Photorhabdus
luminescens. J. Bacteriol. 182:5127
5138.

15

Iman M dan Priyatno TP. 2001. Paradigma


Baru Pengendalian Wereng Batang
Coklat. Buletin AgroBio 4:50-55.
Khanafari et al. 2006. Review of prodigiosin,
pigmentation in Serratia marcescens.
Biological Sciences 6 (1): 1-13.
Koolman J, Roehm KH. 2005. Atlas of
Biochemistry. Ed ke-2. New York :
Thieme.
Lauzon CR, Bussert TG, Sjogren RE, Prokopy
RJ. 2003. Serratia marcescens as a
bacterial pathogen of Rhagoletis
pomonella flies. J entomol 100:8792.
Leopold Kurz et al. 2003. Virulence factors of
the human opportunistic pathogen S.
marcescens identified by in vivo
screening. EMBO Journal 22(7):
1451-1460.
Liu D et al. 2003. Insect resistence conffered
by
283
kDa
Photorabdus
luminescens TcdA in Arabidopsis
thaliana. Nat. Biotechnol 21: 12221228.
Mame TJ, Costerton Jw. 1998. Prolonged
survival of S. marcescens in
chlorhexidine.
Appl
Envimn
Micmbiol 42:1093-1102.
Muliawan SY. 2009. Bakteri Anaerob yang
Erat Kaitannya dengan Problem di
Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mutiah D. 2005. Ultrafiltrasi, presipitasi
bertingkat dan kromatografi penukar
ion sebagai tahapan pemurnian
enzim proteaseBacillus megaterium
MS-961 [skripsi]. Bogor. Fakultas
Teknologi
Pertanian,
Institut
pertanian Bogor.
Mutuura A, and Munroe E, 1970. Taxonomy
and distribution of the European corn
borer and allied species: genus
Ostrinia
(Lepidoptera:Pyralidae).
Memoirs of the Entomological
Society of Canada No.71, 112 pp.
Mohan M, Selvakumar G, Sushil SN, Bhatt
JC
dan
Gupta
HS,
2011.
Entomopathogenicity of endophytic
S. marcescens strain SRM against

larvae of Helicoverpa armigera


(Noctuidae: Lepidoptera). World J.
Microbiol. Biotechnol. Published
online: 07 April 2011.
Morgan JA., M Sergeant, D Ellis, M Ousley,
and P Jarrett. 2001. Sequence
analysis of insecticidal genes from
Xenorhabdus
nematophilus
PMFI296. Appl. Environ. Microbiol.
67:20622069.
Oppert B. 2010. Rapi bioassay to screen
potential biopesticides in T. molitor
larvae. Biopesticide International. 6 :
67-73
Parkhill J et al. 2001. Genome sequence of
Yersinia pestis, the causative agent of
plague. Nature 413:523527.
Prabhakar S. 2006. Molecular characterization
of digestive proteases of the yellow
mealworm, Tenebrio molitor L.
[Disertasi].Manhattan : Kansas state
University.
Priyatno

TP et al. 2011. Identifikasi


Entomopatogen Bakteri Merah pada
Wereng Batang Coklat (Nilaparva
lugens Stl.). Jurnal AgroBiogen
7:85-95.

Rand & Laing. 2011. Determination of


insecticidal toxicity of three species
of entomopathogenic spore-forming
bacterial isolates against T. molitor.
African Journal of Microbiology
Research. 5:2222-2228.
Scopes RK. 1993. Protein Purification:
Principles and Practice. Ed ke-3.
New York: Springer Press.
Singh G, Sharma R Joginder, dan Hoondal S
Gurinder. 2008. Chitinase Production
by Serratia marcescens GG5. Turk J
Biol. 32: 231-236.
Simpson J R. 2002. Proteins and Proteomics :
A Laboratory Manual. New York :
Cold Spring Harbor Press.
Sundaramoorthy N, Yogesh P, Rhandapani R.
2009. Production of prodigiosin from
Serratia marcescens isolated from
soil. Indian Journal of Science and
Technology 2: 32-34.

16

Vasconcelos et al. 2003. The complete


genome
sequence
of
Chromobacterium violaceum reveals
remarkable and exploitable bacterial
adaptability. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA 100:1166011665.
Waterfield N, Dowling A, Sharma S, Daborn
PJ, Potter U, dan Ffrench CRH.
2001. Oral toxicity of Photorhabdus
luminescens W14 toxin complexes in
Escherichia coli. Appl. Environ.
Microbiol 67:50175024.
Waterfield N, Hares M, Yang G, Dowling A,
dan Ffrench-Constant R. 2005.
Potentiation and cellular phenotypes
of the insecticidal toxin complexes of
Photorhabdus
bacteria.
Cell
Microbiol 7: 373382.
Yuwono

Triwibowo.
2005.
Biologi
Molekular. Jakarta : Erlangga.

17

LAMPIRAN

18

Lampiran 1 Alur metode penelitian


Kultur bakteri
Serratia marcescens
Pemisahan sel bakteri

Supernatan yang
mengandung protein
insektisidal
Pengendapan
ammonium
sulfat

Protein
nondialisis

Fraksi
didialisis

Protein
dialisis

Kromatografi
kolom dengan eluen
KCl 300 mM

Fraksi dengan puncak


terbaik ditampung

protein Fraksi A dan B

SDS PAGE

Bioasai
menggunakan
serangga

19

Lampiran 2 Bagan uji toksisitas protein insektisidal Serratia marcescens terhadap


Larva Tenebrio molitor
Protein insektisidal
S. marcescens yang
telah dimurnikan

Protein
Nondialisis

Protein
Dialisis

Protein
Fraksi A

Protein
Fraksi B

Masing-masing protein di buat ke dalam 7 konsentrasi (dosis) :


0.5 g/ml, 1 g/ml, 2.5 g/ml, 5 g/ml, 10 g/ml, 20 g/ml, dan 40
g/ml.

Dilakukan tiga
ulangan untunk setiap
dosis
Protein
insektisidal S.
marcescens
Pakan buatan
luntuk larva
Lima ekor larva T.
molitor instar II-III
diinveskan pada
setiap ulangan dosis

Pengamatan
dilakukan selama 7
hari

20

Lampiran 3 Kurva pertumbuhan Serratia marcescens

(Hardjito et al 2002)
Lampiran 4 Data pengukuran konsentrasi protein insektisidal hasil kromatografi
penukar ion pada A280
Elusi
KCl
300 mM

No Fraksi

A280

[protein] (mg/ml)

[protein] (u/ml)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

1.206
1.195
1.139
1.101
1.060
1.035
1.019
1.232
1.243
0.950
0.924
1.012
1.188
1.252
1.250
1.232
1.225
1.212
1.226
1.224
1.229
1.235
1.216
1.238
1.226

0.928
0.919
0.876
0.847
0.815
0.796
0.784
0.948
0.956
0.731
0.711
0.778
0.914
0.963
0.962
0.948
0.942
0.932
0.943
0.942
0.945
0.950
0.935
0.952
0.943

927.692
919.231
876.154
846.923
815.385
796.154
783.846
947.692
956.154
730.769
710.769
778.462
913.846
963.077
961.538
947.692
942.308
932.308
943.077
941.538
945.385
950.000
935.385
952.308
943.077

21

Tabel lanjutan..
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

1.219
1.202
1.204
1.188
1.173
1.198
1.180
1.178
1.175
1.173

0.938
0.925
0.926
0.914
0.902
0.922
0.908
0.906
0.904
0.902

937.692
924.615
926.154
913.846
902.308
921.538
907.692
906.154
903.846
902.308

Lampiran 5 Kurva standar protein


0.300
0.250

Absorban

0.200
y = 0.0088x + 0.0729
R = 0.9458

0.150
0.100
0.050
0.000
0

10

15

20

25

konsentrasi albumin (g/ml)

Lampiran 6 Hasil penentuan konsentrasi protein insektisidal S. marcescens


dengan uji Bradford dan contoh perhitungan
Protein

FP

A595

A595
terkoreksi

[protein]
(mg/ml)

[protein] xFP
(ug/ml)

Dialisis

200
800
400
800
200
400
5
10

0.27
0.205
0.313
0.25
0.292
0.216
0.287
0.256

0.166
0.101
0.209
0.146
0.188
0.112
0.183
0.152

10.580
3.193
15.466
8.307
13.080
4.443
12.511
8.989

2115.909
2554.545
6186.364
6645.455
2615.909
1777.273
62.557
89.886

Nondialisis
Fraksi A
Fraksi B

Contoh perhitungan :
Protein Dialisis A595 terkoreksi = 0.166
Faktor pengenceran (FP) = 200x

y = 0.166 x = konsentrasi protein

[protein]
rata-rata
(ug/ml)
2335.227
6415.909
2196.591
76.222

22

Persamaan kurva standar y = 0.0088x + 0.0729


0.0729
0.0088
0.166 0.0729
0.0088
10.580
10.580 200
2115.909 /ml

Persentase mortalitas

Lampiran 7 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal nondialisis


100.0
80.0
44.413.9

60.0

40.020.0 26.711.5 33.323.1 40.020.0

40.0
20.0

26.711.5

26.711.5

0.0

0.0
0

0.5

2.5
5
Dosis g/ml

10

20

40

Persentase mortalitas

Lampiran 8 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal dialisis


100.0
80.0
60.0

19.31.3

27.810.7

20.00

2.5

33.311.5 40.00

53.311.5

45.912.2

40.0
20.0

0.0

0.0
0

0.5

10

20

40

Dosis g/ml

Persentase mortalitas

Lampiran 9 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal Fraksi A


100.0
80.0
40.020.0

60.0

40.020.0

25.910.3

2.5

40.020.0

49.910.0

10

37.73.2
46.711.5

40.0
20.0

0.0

0.0
0

0.5

Dosis g/ml

20

40

23

Lampiran 10 Persentase mortalitas larva terhadap protein insektisidal Fraksi B

Persentase mortalitas

100.0
80.0

26.711.5

26.711.5

0.5

40.020.0

53.311.5

57.83.9

71.115.4

10

20

66.711.5

60.0
40.0
20.0
0.0
0.0
0

2.5

Dosis g/ml

Lampiran 11 Transformasi presentase mortalitas ke nilai probit

(Finney DJ. 1952)

Probit mortalitas

Lampiran 12 Hasil analisis probit protein insektisidal Nondialisis


4.9
4.8
4.7
y = 0.4898x + 4.3678
R = 0.9565

4.6
4.5
4.4
4.3
0

(A)

0.2

0.4

0.6

0.8

Log konsentrasi dosis

1.2

40

24

Lampiran 13 Hasil analisis probit protein insektisidal Dialisis


Probit mortalitas

6
5
4

y = 0.508x + 4.3007
R = 0.8938

3
2
1
0

0.5

(B)

0.5
Log konsentrasi dosis

1.5

Lampiran 14 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi A


Probit mortalitas

5.2
5
4.8
4.6

y = 1.0478x + 3.9768
R = 0.9819

4.4
4.2
0

(C)

0.5

1.5

Log konsentrasi dosis

Lampiran 15 Hasil analisis probit protein insektisidal Fraksi B

Probit mortalitas

6
5
4
y = 0.8642x + 4.4098
R = 0.9852

3
2
1
0

(D)

0.5
1
Log konsentrasi dosis

1.5

Lampiran 16 Contoh perhitungan analisis probit dan penentuan nilai LC50 protein
insektisidal fraksi B
Persentase
mortalitas (%)
0
27
40
53
58
71

Nilai probit
4.39
4.75
5.08
5.20
5.55

Konsentrasi
protein (g/ml)
0
1
2.5
5
10
20

Log konsentrasi
protein
0
0.39
0.69
1
1.30

Persamaan kurva LC50 untuk protein fraksi B adalah y = 0.8642x + 4.4098

25

LC50 ditentukan dengan cara memasukkan nilai probit 5 ke persamaan


Y=5
5

X = Log konsentrasi protein untuk LC50

0.8642

4.4098

0.8642

4.4098

4.4098
0.8642

0.6829
4.8184

Вам также может понравиться