Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan perpolitikan di Indonesia semakin menuju kearah tidak
beretika lagi, dengan berbagai manuver politik dilakukan dengan tujuan untuk
mencapai kemenangan. Hal ini dapat dilihat dari persaingan memperebutkan
R1 dalam Pilpres 2014.
Untuk memenangkan suatu pertarungan besar dana dunia perpolitikan,
kemampuan untuk menguasai komunikasi politik sangatlah diperlukan. Hal ini
sangat penting karena dengan menguasai komunikasi politik yang baik, maka
akan dapat tersampaikan segala program yang nantinya akan dijalankan
apabila terpilih menjadi presiden. Meski demikian penguasaan terhadap
komunikasi politik ini hendaknya dibarengi dengan sikap dan perilaku yang
baik serta tidak menyudutkan lawan politiknya.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan seorang capres
dalam memenangkan pemilu adalah kurangnya konsistensi terkait apa yang
dikomunikasikan untuk menekan lawan politiknya. Hal ini telihat dari kurang
konsistensinya Prabowo terkait kebijakan Subsidi BBM, yang mana
sebelumnya Pabowo begitu getol untuk menolak kenaikan BBM, yang pada
ujungnya perjalanannya justru mendukung kenaikan BBM.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin penulis
sampaikan dalam makalah ini yaitu Kegagalan Prabowo dalam pemilihan
Capres terkait issue kenaikan BBM

BAB II
PEMBAHASAN
A. Komunikasi Politik
Praktek politik jelang pilpres 2014 yang diperankan minimal oleh
Capres-Cawapres, partai koalisi, tim pemenangan/sukses, relawan dan
simpatisan lewat berbagai media komunikasi juga komunikasi secara lansung.
Dengan pemahaman tentang ilmu politik dan pemilu masih minim dan
lemah dari semua kalangan di negara ini. Hal ini terjadi karena
lembaga/institusi/partai

politik

yang

mestinya

menjalankan

fungsi

salahsatunya sebagai pendidikan politik bagi rakyat masih berjalan ditempat.


Kedua, akibat dari hal pertama, menyebabkan cara-cara menjalankan
politik dan pemilu termasuk jelang pilpres 2014, masih diwarnai tindak
kekerasan, kampanye hitam, propaganda negative, praktek arogansi dan
egoisme kubu yang berlebihan, kesombongan, keangkuhan, gaya komunikasi
top down dan sebagainya. Masih jauh dari praktik politik yang elegan,
bermartabat, penuh etika, nihil komunikasi efektif, bahkan masih jauh sikapsikap negarawan.
Lihat saja bagaimana gaya komunikasi dipraktekkan dihadapan rakyat.
Padahal gaya komunikasi dari masing-masing kubu merupakan jendela untuk
memahami bagaimana rakyat bahkan dunia memandang dirinya. Mestinya
calon pemimpin dan tim pemenangannya mampu mengkomunikasikan
programnya kepada rakyat pemilih dengan cara-cara elegan, beretika,
sehingga terbentuk kepercayaan (trust) rakyat sehingga dapat menumbuhkan
harapan rakyat.
Secara teoritis kita dapat melihat bagaimana gaya komunikasi atau
communication style yang dipraktekkan masing-masing kubu dalam pilpres
2014, sebagai bahan masukan bagi kita dalam menentukan pilihan dalam
Pilpres 2014. Gaya komunikasi merupakan seperangkat perilaku komunikasi
yang terspesialisasi dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi tentu ada
yang model pasif, agresif, penggabungan pasif-agresif dan ada yang tegas atau
asertif.

Masing-masing gaya komunikasi tersebut terdiri dari sekumpulan


perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respons atau tanggapan
tertentu dalam situasi yang tertentu terutama situasi menjelang pilpres.
Memang yang diharapkan terbentuk gaya komunikasi The Equalitarium style
dimana terjadi kesamaan dan kebersamaa dengan rakyat. Gaya komunikasi ini
ditandai dengan berlakunya arus penyebaran pesan-pesan politik verbal dan
nonverbal maupun tertulis yang bersifat dua arah atau two-way traffic of
communication. Dalam gaya ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka.
Artinya, setiap rakyat dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam
suasana rileks, santai dan informal. Dalam suasana yang demikian,
memungkinkan rakyat mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Gaya
komunikasi yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi serta kemampuan
membina hubungan baik dengan rakyat baik dalam konteks pribadi maupun
dalam lingkup hubungan politik. Gaya komunikasi yang jauh dari arogansi
dan egoism kubu-kubuan. Dengan gaya ini akan lebih memudahkan tindak
komunikasi dalam organisasi politik, gaya ini efektif dalam memelihara
empati dan kerja sama dengan semua kalangan juga rakyat. Gaya ini dalam
situasi apapun mudah mengambil keputusan terhadap permasalahan yang
dihadapi.
Atau minimal menggunakan, gaya komunikasi The Relinquishing
style; gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima
saran, pendapat ataupun gagasan dari rakyat, dari pada keinginan untuk
memberi perintah, meskipun sender mempunyai hak untuk memberi perintah
dan mengontrol rakyat. Pesan-pesan politik dalam gaya komunikasi ini akan
efektif ketika sender sedang bekerja sama dengan rakyat yang berpengetahuan
luas, berpengalaman, teliti, serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua
tugas atau pekerjaan yang dibebankannya.
Namun yang banyak terlihat adalah, gaya komunikasi yang bersifat
Controling Style; yang bersifat mengendalikan, di tandai dengan adanya satu
kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur perilaku,
pikiran dan tanggapan rakyat. Bisa disebut komunikator satu arah atau oneway communicators. Yang memakai controling style of communication ini,

lebih memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan dibanding upaya


mereka untuk berbagi pesan dengan rakyat. Tidak mempunyai rasa
ketertarikan dan perhatian pada umpan balik, kecuali jika umpan balik atau
feedback tersebut digunakan untuk kepentingan kubunya. Para komunikator
satu arah ini tidak khawatir dengan pandangan negatif rakyat, tetapi justru
berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasan untuk memaksa rakyat
mematuhi pandangan-pandangannya.
Pesan-pesan politik yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak
berusaha menjual gagasan agar dibicarakan bersama, namun lebih pada usaha
menjelaskan kepada rakyat apa yang dilakukannya. The controling style of
communication ini sering dipakai untuk mempersuasi rakyat supaya bekerja
dan bertindak secara efektif, dan pada umumnya dalam bentuk kritik. Namun
demikian, gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, tidak jarang
bernada negatif dan arogan sehingga menyebabkan rakyat memberi respon
atau tanggapan yang negatif pula.
Selain itu, ada gaya komunikasi yang disebut dengan The dinamic
style; gaya ini memiliki kecenderungan agresif, yang berorientasi pada
tindakan atau action-oriented. Gaya ini juga banyak digunakan juru kampanye
selama kampanye pilpres 2014. Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif
ini adalah menstimulasi atau merangsang rakyat untuk merubah sikap lebih
cepat. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa
rakyat mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut.
Ada juga gaya komunikasi The withrawal style; gaya ini di gunakan
malah dapat melemahkan tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari
sender yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan rakyat, karena ada
beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi bahkan organisasi politik
yang dihadapi oleh sender tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang
mengatakan tidak ingin dilibatkan dalam persoalan yang sedang dihadapi.
Bahwa ia mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga
mengindikasikan sesuatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi dengan
rakyat dalam hal tema-tema tertentu.

Dari beberapa gaya komunikasi yang tergambarkan diatas, gaya


komunikasi the equalitarium style of communication, merupakan gaya
komunikasi yang ideal dalam proses politik jelang pilpres 2014. Karena salah
dalam menerapkan gaya komunikasi, dikhawatirkan tingkat partisipasi rakyat
dalam proses politik pilpres 2014 akan menurun, dan hal ini merupakan
cerminan atau gambaran kualitas demokrasi kita.
B. Kegagalan Prabowo dan Kenaikan BBM
Fenomena pemilu 2014, dengan rivalitas antara Prabowo (Partai
Gerindra) vs Jokowi (PDIP), seolah bisa kecenderungan untuk terulang
kembali seperti pada saat pemilu 2004 lalu. Dengan kata lain faktor Prabowo
effect lebih besar ketimbang Jokowi effect. Besarnya Prabowo effect ini
menunjukkan poin pertama kemenangan dari pergerakan politik kubu
Prabowo dan Partai Gerindra.
Perubahan perilaku pemilih yang akhirnya memenangkan Jokowi-JK
menjadi presiden adalah karena buruknya komunikasi politik yang dilakukan
oleh Prabowo. Pernyataan menentang kenaikan BBM pada masa kampanye
yang digembar-gemborkan Prabowo adalah salah satu cara untuk menarik
pemilih di pihak Jokowi. Namun hal ini nampaknya kurang memberikan hasil
yang maksimal.
Mensiasati

hal

tersebut

Prabowo

mencoba

untuk

mengubah

komunikasi politiknya dengan mendukung kebijakan kenaikan BBM. Hal ini


justru menjadi Boomerang bagi Prabowo, dimana masa pemilih yang
sebelumnya berada dibelakangnya, seolah tidak percaya dengan apa yang
telah disampaikan Prabowo. Untuk pemilih yang masuk dalam kategori
pemilih yang tidak militan, hal ini menjadikan mereka berubah penilaiannya
terhadap Prabowo.
Keliru apabila capres cenderung menggunakan pola komunikasi politik
yang instant, misalnya dengan hanya memasang iklan secara besar-besaran,
turun ke masyarakat dengan membagi-bagikan uang (money politics),
menggunakan fasilitas negara, pengaruh jabatan yang sebelumnya dipegang
(incumbent), dan bahkan pula dengan cara intimidasi maupun kekerasan.
Sejarah telah membuktikan, cara-cara seperti itu tidak akan berhasil di tengah-

tengah negara dan masyarakat yang demokratis, kecuali di negara-negara


yang totaliter.

Oleh karena itu, proses adaptasi, penyerapan dan komunikasi

terhadap dinamika perubahan di masyarakat tersebut harus melalui proses


yang terprogram dan berkelanjutan dengan aksi nyata di lapangan.
Hakekat para pemilih yang menilai bahwa komunikasi politik yang
dikembangkan Prabowo dengan mendukung kenaikan BBM adalah faktor
yang paling signifikan dalam menentukan beralihnya suara pilihannya.

BAB III
PE N UTU P
A. Kesimpulan
Konsistensi menjadi bagian dari komunikasi politik yang harus
dipegang oleh para politikus, dalam kasus ini adalah Prabowo, dengan tidak
konsistensinya Prabowo untuk menentang kemudian mendukung kenaikan
BBM menjadi salah satu faktor terpilihnya Jokowi menjadi presiden. Hal ini
terjadi karena dengan tidak konsistensinya materi komunikasi publik yang
dilakukan tersebut, menjadikan Prabowo kurang mendapat simpati di hati
pemilih.
B. Saran
Kemampuan menguasai komunikasi politik mutlak harus dikuasai oleh
Capres atau politikus lainnya demi tercapainya kemenangan. Dengan
komunikasi politik yang baik, maka program-program yang hendak
disampaikan dapat mengena di hati para pemilih.

Вам также может понравиться