Вы находитесь на странице: 1из 16

LAPORAN PENELITIAN

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TERAPI KOMPRES HANGAT DAN


PIJATAN DENGAN DAN TANPA TETES MATA AZITHROMISIN 1,5% PADA
DISFUNGSI KELENJAR MEIBOM STAGE I
Lilik Sujarwati, Eddyanto
Departemen Ilmu kesehatan Mata
Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
@liliksujarwati.yahoo.co.id
ABSTRACT
Objectives : to compare the effectiveness of therapeutic M eibomian Gland Dysfunction
(MGD) stage I between warm compresses and massage combination with and without
azithromycin 1,5% eye drops.
Methods : 116 eyes from 58 patients were participated in this study. 58 eyes (29
patients) gets warm compresses and massage therapy as the control group and 58 eyes
(29 patients) gets warm compresses, massage therapy and azithromycin 1,5% eye drops
as treatment group. All of participants answered the Symptom Score (SS) and had done
examination Lid Margin Abnormality Score (LMAS) and Meibo Score (MS).
Results : This subject of the study comprised of 8 men and 50 women, with ages in the
range of 26-82 years (56.54 14.05). In this study found differences in Total Symptom
Score (TSS) (p= 0.035) on day 1 and there are also differences in TSS on day 4
(p=0.010) and day 25 (p = 0.005). In addition there is a difference LMAS on
day 4 (p=0.014) and day 25 (p = 0.001). There is no difference in MS on day 4
(p=0.154) and 25 (p = 0.052), but MS has improved clinically with p values tend to
decrease.
Conclusion : The combination of warm compresses and massage with azithromycin
1.5% eye drops are effective in the treatment Meibomian Gland Dysfunction stage I.
Keywords : Meibomian Gland Dysfunction stage I, azithromycin 1.5% eye drops, warm
compresses and massage the eyelid.

PENDAHULUAN
Menurut The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction, DKM
didefinisikan suatu kelainan kelenjar meibom yang diffuse dan kronik, biasanya
mempunyai karakteristik penyumbatan pada muara kelenjar meibom dan atau
mengalami perubahan kualitatif/ kuantitatif pada sekresi kelenjar meibom. Hal ini
mengakibatkan perubahan lapisan air mata, gejala-gejala iritasi mata, secara klinis
menggambarkan inflamasi dan ocular surface disease.19
Ada beberapa evidence-based yang menerangkan untuk penggunaan istilah
pada definisi DKM. Istilah disfungsi digunakan karena fungsi kelenjar meibom
terganggu. Istilah diffuse digunakan karena penyakit ini melibatkan hampir semua
kelenjar meibom. Obstruksi pada muara kelenjar meibom dan perubahan kualitatif
dan atau kuantitatif pada sekresi kelenjar meibom merupakan aspek yang paling
1

nyata dari DKM. Sebagai tambahan, keluhan suyektif penderita berupa gejala iritasi
mata harus diperhatikan benar-benar karena perbaikan keluhan pasien merupakan
tujuan utama dari terapi DKM. Peran inflamasi pada penyebab DKM masih
kontroversial dan meragukan.19
Klasifikasi DKM dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan sekresi
kelenjar meibom, dimana dibagi menjadi dua yaitu low delivery dan high delivery.19
Low delivery dibagi lagi menjadi hiposkretori dan obstruksi, sedangkan
obstruksi dibagi lagi menjadi dua subkategori yaitu sikatrik dan non sikatrik. DKM
hiposekretori menggambarkan kondisi penurunan pengiriman meibom karena
kelainan kelenjar meibom tanpa obstruksi. Sedangkan DKM obstruksi terjadi karena
obstruksi muara kelenjar meibom. Pada DKM tipe obstruksi sikatrik, muara kelenjar
meibom tertarik dari posterior ke mukosa, dimana muara kelenjar meibom yang
tersisa pada posisi normal terdapat dapa DKM tipe obstruksi non sikatrik. High
delivery, DKM hipersekretori mempunyai karakteristik pengeluaran volume lipid
yang banyak pada lid margin sehingga nampak pada saat menekan tarsus selama
pemeriksaan. Setiap kategori DKM mempunyai penyebab primer yang mengacu
pada kondisi yang nampak yang mendasari atau menyebabkannya. Secara
keseluruhan, DKM dapat menimbulkan perubahan lapisan air mata, keluhankeluhan iritasi mata, inflamasi dan mata kering.19
Prevalensi DKM telah dilaporkan pada berbagai studi dimana mempunyai
variasi yang begitu luas, dari 3,5% sampai hampir 70%. Prevalensi DKM tampaknya
cenderung lebih tinggi dilaporkan pada populasi Asia. Studi di Bangkok disebutkan
prevalensi DKM di sana sekitar 46,2 %. Di Jepang dikatakan pada the Shihpai Eye
Study bahwa prevalensi DKM mencapai 60,8% dan di the Beijing Eye Study
mencapai 69,3%. Hal ini sangat kontras dengan laporan prevalensi DKM pada ras
Kaukasian dimana prevalensinya berkisar antara 3,5% pada the Salisbury Eye
Evaluation Study sampai 19,9% pada the Melbourne Visual Impairment Project.25
Di Poli Mata RSUD Dr. Soetomo sendiri antara bulan Juni 2011- April 2012
terdapat 46 penderita DKM yang terdiagnosis. Rata-rata 4-5 penderita/ bulan atau
sekitar 4,8 - 6 %/ tahun dari jumlah pasien yang datang di Poli Mata Divisi Eksterna.
Faktor yang berhubungan dengan DKM antara lain faktor resiko oftalmik
meliputi : aniridia, blefaritis kronik (anterior atau posterior), pemakaian lensa kontak,
demodex folliculorum, tato kelopak mata, floppy eyelid syndrome, Giant Papillary
Conjunctivitis (GPC), iktiosis, degenerasi kornea nodular
trakhoma.

25

Salzmanns dan

Selain faktor resiko oftalmik, DKM juga dapat disebabkan oleh faktor
2

resiko penuaan yang dapat mempengaruhi struktur dan atau fungsi kelenjar
meibom.

Faktor-fakotr

lingkungan,

termasuk

faktor

geografi,

temperatur,

kelembaban dan kerja visual.25 Obat-obatan yang kemungkinan berhubungan


dengan

DKM

antara

lain:

terapi

isotretionin,

antiandrogen,

antidepresan,

antihistamin, obat-obatan yang digunakan untuk Benign Prostate Hyperplasia


(BPH), terapi hormon paska menopause. 25
Patofisiologi penyakit ini belum sepenuhnya dapat dipahami namun
konsensus yang terbaru menyebutkan bahwa bakteri dan keradangan adalah dua
penyumbang utama terjadinya proses ini.8,13,24
Pada

DKM

terjadi

ketidakseimbangan

komposisi

lipid

sehingga

mengakibatkan perubahan lipid yang akan disekresi. Perubahan ini menyebabkan


lapisan lipid meleleh pada titik cair yang lebih tinggi sehingga adanya kondensasi
lipid membuat sumbatan pada muara kelenjar Meibom. Akibatnya sekresi lipid
dihambat dan memicu peradangan di sekitarnya. Gangguan komposisi lipid ini
mengakibatkan peningkatan evaporasi dan osmolaritas lapisan air mata (LAM).10
Modalitas terapi Disfungsi Kelenjar Meibom (DKM) terbaru meliputi lid
hygiene, kompres hangat, lid massage, antibiotik (tetrasiklin oral, doksisiklin atau
minosiklin,

eritromisin

topikal

atau

salep

basitrasin),

immunomodulator

(kortikosteroid topikal atau siklosporin A) atau beberapa kombinasi terapi di atas13


Eyelid hygiene merupakan initial treatment dari DKM meliputi kompres
hangat selama beberapa menit pada tepi palpebra untuk mencairkan sekret yang
mengental di kelenjar meibom dan mengurangi krusta yang tampak di tepi palpebra.
Selain itu juga perlu dilakukan masase secara gentle pada tepi palpebra untuk
memudahkan pengeluaran sekret yang tersumbat pada kelenjar meibom. Masase
tepi palpebra dapat diikuti dengan membersihkan tepi palpebra dalam kondisi mata
tertutup dengan lap badan yang bersih atau cotton buds maupun kertas tissu yang
bersih menggunakan shampo yang tidak mengirasi mata dicampur dengan air
hangat.28
Apabila dengan cara eyelid hygiene tersebut, DKM belum sembuh maka
pemberian tetrasiklin 4x 250 mg selama 3-4 minggu kemudian dosisnya diturunkan
secara bertahap sangat efektif untuk diberikan. Alternatif lain terapi MGD dapat
diberikan doksisiklin 2x 100mg atau minocyclin selama 3-4 minggu. Untuk penderita
yang hipersensitif terhadap tetrasiklin atau pada anak-anak dapat diberikan
eritromisin sebagai antibiotika sistemiknya. 28

Azithromisin 1,5% merupakan antibiotika golongan makrolid yang baru-baru


ini disebutkan dalam penelitian Luchs pada tahun 2008 berhasil digunakan sebagai
terapi konjungtivitis bakterial dan blefaritis. 16 Azithromisin sensitif terhadap kuman
haemophilus

influenzae,

streptococcus

aureous,

streptococcus

mitis

dan

streptococcus pneumoniae. Azithromisin menunjukkan poten sebagai anti radang


yang mana dapat menurunkan produksi proinflamatory sitokin oleh makrofag dan
sel-sel epitelial, selain itu juga menghambat aktifasi dan migrasi neutrofil secara
invitro dan invivo. Penelitian terbaru menduga bahwa azithromisin mempengaruhi
neutrofil secara invivo melalui cara biphasic. Pada awalnya neutrofil diaktifasi
kemudian memfasilitasi pembunuhan kuman lalu sekali kuman dibasmi, neutrofil
mengalami apoptosis, melemahkan respon peradangan. Pengaruh azithromisin
pada fungsi neutrofil ini menghasilkan kemampuannya yang unik pada konsentrasi
intraseluler yaitu sebagai antibacterial sekaligus anti inflammatory.5
Menurut terapi yang direkomendasikam The International Workshop on
Meibomian Gland Dysfunction (IWMGD) dijelaskan bahwa terapi DKM stage 1
berupa eyelid hygiene (kompres hangat/ pijatan), sedangkan terapi DKM stage 2
berupa kompres hangat eyelid hygiene (kompres hangat/ pijatan) dan lubrikan,
azithromisin topikal atau derivat tetrasiklin. Adapun terapi DKM stage 3 berupa
terapi DKM stage 2 ditambah oral tetrasiklin dan/ atau siklosporin/ steroid,
sedangkan untuk terapi DKM stage 4 berupa terapi DKM stage 3 ditambah terapi
anti inflamasi serta bila terdapat plus- disease dapat ditambahkan steroid, lensa
kontak maupun pembedahan.20
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian experimental design, dengan parameter
kuisioner keluhan subyektif Symptom Score (SS), hasil pemeriksaan Lid Margin
Abnormality Score (LMAS) dan hasil pemeriksaan Meibo Score (MS). Tujuan
penelitian ini adalah membandingkan efektifitas terapi DKM stage I antara
kombinasi kompres hangat dan pijatan dengan dan tanpa tetes mata azithromisin
1,5%

sebagai bahan pertimbangan protap terapi DKM di Poli Mata RSUD Dr.

Soetomo Surabaya.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan antara kelompok kontrol dan
perlakuan tentang perbedaan Symptom Score (SS), hasil Lid Margin Abnormality
Score (LMAS) dan hasil Meibo Score (MS) pada penderita DKM stage I antara
kombinasi kompres hangat dan pijatan dengan dan tanpa tetes mata azithromisin
1,5% pada hari ke-4 dan ke-25. Kemudian semua variabel yang berperan dilakukan
4

penghitungan dan dianalisis secara statistik menggunakan Uji T sampel bebas bila
data berdistribusi normal dan Uji Mann-Whitney bila data tidak berdistribusi normal
dengan tingkat kemaknaan p < 0,005. Normalitas distribusi data dites dengan Uji
Kolmogorov-Smirnov.
Symptom score adalah total penghitungan jumlah skor dari 14 pertanyaan
keluhan subyektif DKM yang memenuhi kriteria The International Workshop on
Meibomian Gland Dysfunction, yang terdiri dari skala memberatnya symptom score
mulai skala 0 (normal) sampai 4 (very severe).
Lid margin abnormality score

adalah total penghitungan jumlah skor

kelainan tepi kelopak mata yang memenuhi kriteria The International Workshop on
Meibomian Gland Dysfunction, meliputi irregular lid margin, vascular engorgement,
pembuntuan lubang kelenjar meibom (plugged meibomian gland orifices), dan
penggantian score mucocutaneus junction anterior atau posterior dari 0 sampai 4
menurut jumlah kelainan yang ada pada tiap mata.
Meibo-score adalah hasil meibografi non kontak yang berbentuk skor
semiquantitatif yang memenuhi kriteria The International Workshop on Meibomian
Gland Dysfunction. Meibo-score meliputi grade 0 sampai 3.
Adapun aspek etik penelitian diselesaikan sesuai dengan kaidah yang
berlaku melalui ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
HASIL
Penelitian ini dilakukan pada 116 mata dari 58 orang penderita. Sebanyak 29
penderita (58 mata) sebagai kontrol yaitu penderita yang mendapat terapi kompres
hangat dan pijatan kelopak mata. Sedangkan penderita yang mendapat perlakuan
berupa terapi kompres hangat dan pijatan kelopak mata serta tetes mata
azithromisin 1,5% sebanyak 29 penderita (58 mata).
Tabel 1 Distribusi subyek penelitian berdasarkan usia dan jenis kelamin

Jumlah penderita
Umur, tahun
Mean (SD)
Median
Minimum,maksimum
Jenis kelamin, n (%)**
Laki-laki

Kelompok
Kontrol
29

Kelompok
Perlakuan
29

Total

56,48 (13,87)
60,00
26, 77

56,59 (14,22)
56,00
29, 82

56,54 (14,05)
71
26, 82

7 (24,1%)

1 (3,4%)

8 (13,79%)

58

Perempuan
22 (75,9%)
menggunakan Mann Whitney

28 (96,6%)
50 (86,21%)
** menggunakan Chi-Square

Tabel 1 menunjukkan secara umum rerata usia kelompok kontrol 56.48


tahun (13,87), dengan usia termuda 26 tahun dan usia tertua 77 tahun. Sedangkan
pada kelompok perlakuan, rerata usia adalah 56,59 tahun (14,22), dengan usia
termuda 29 tahun dan usia tertua 82 tahun. Total subyek penelitian sebanyak 8
subyek (13.79%) adalah pria dan 50 subyek (86.21%) adalah wanita.
Pada penelitian ini dibandingkan 14 keluhan subyektif menggunakan
Symptom Score antara kelompok kontrol berupa kompres hangat dan pijatan
dengan kelompok perlakuan berupa kompres hangat, pijatan dan tetes mata
azithromisin 1,5% pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25 (tabel 2).
Tabel 2 Hasil Symptom Score antara kelompok kontrol dan perlakuan
pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25

Keluhan
Subyektif

Kelompok

Terasa
lelah

Kontrol
Perlakuan

Terasa
keluar
kotoran/
belekan
Terasa ada
sensasi
benda
asing
Terasa
kering

Kontrol
Perlakuan

Terasa
tidak
nyaman

Kontrol
Perlakuan

Terasa
lengket

Kontrol
Perlakuan

Terasa
nyeri atau
kemeng

Kontrol
Perlakuan

Terasa
berair/
nrocoh

Kontrol
Perlakuan

Terasa
gatal

Kontrol
Perlakuan

Tampak
merah

Kontrol
Perlakuan

Terasa
berat/
mengganjal

Kontrol
Perlakuan

Sensitif
terhadap
cahaya

Kontrol
Perlakuan

Terasa
sering
berkedip

Kontrol
Perlakuan

Ada
riwayat
kalazion
atau
hordeolum
menahun

Kontrol
Perlakuan

Kontrol
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan

Severity score (mean(SD))


Hari ke-1
P
Hari ke-4
Med
Med
(maks(maksmin)
min)
2,0(3,00,0)
3,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(4,00,0)
3,0(3,01,0)
3,0(4,01,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(4,00,0)
2,0(4,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
2,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(0,00,0)
0,0(0,00,0)

0,02
4*
0,02
0*
0,30
9
0,41
2
0,69
2
0,44
5
0,36
0
0,36
9
0,78
3
0,65
8
0,27
7
0,72
8
0,00
8*
1,00

1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
2,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
3,0(3,01,0)
2,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
2,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
0,0(3,00,0)
0,0(0,00,0)
0,0(0,00,0)

0,044* #

0,002*
#

0,055

0,038

0,001*

0,127

0,022*

0,605

0,327

0,001*

0,247

0,117

0,032*
#

1,00

Hari ke25
Med
(maksmin)
1,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
1,0(2,00,0)
0,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
2,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(1,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(2,00,0)
0,0(1,00,0)
1,0(2,00,0)
0,0(2,00,0)
1,0(3,00,0)
1,0(3,00,0)
0,0(2,00,0)
0,0(2,00,0)
0,0(0,00,0)
0,0(0,00,0)

0,000* #

0,000* #

0,000*

0,000*

0,000*

0,008*

0,002*

0,010*

0,004*

0,002*

0,000*

0,031*

0,011* #

1,00

*: p < 0,05 (signifikan)

menggunakan Regresi Ordinal Ganda

Tabel 2 menunjukkan pada hari pertama terdapat hampir tidak ada


perbedaan dari 14 keluhan subyektif, dimana hanya terdapat 3 keluhan subyektif
yang mengalami perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan berupa mata
terasa lelah (p = 0,024), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,020) dan sering
berkedip (p = 0,008).
Pada hari ke-4 setelah kelompok perlakuan mendapat terapi tetes mata
azithromisin 1,5% selama 3 hari berturut-turut maka didapatkan perbedaan untuk 6
keluhan subyektif antara lain: mata terasa lelah (p = 0,044), terasa keluar kotoran/
belekan (p < 0,002), terasa tidak nyaman (p = 0,001), terasa nyeri/ kemeng (p =
0,022), tampak merah (p = 0,001) dan terasa sering berkedip (p = 0,032). Adapun
keluhan subyektif lainnya sama-sama mengalami perbaikan secara klinis namun
tidak ada perbedaan antara kedua kelompok.
Pada hari ke-25 dimana setelah hari ke-4 sampai hari ke-25, baik kelompok
kontrol maupun perlakuan sama-sama mendapat terapi kompres hangat dan pijatan
pada kedua kelopak mata maka didapatkan perbedaan untuk 13 keluhan subyektif
berupa mata terasa lelah (p = 0,000), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,000),
terasa ada sensasi benda asing (p = 0,000), terasa kering (p = 0,000), terasa tidak
nyaman (p = 0,000), terasa lengket (p = 0,008), terasa nyeri/ kemeng (p = 0,002),
terasa berair/ nrocoh (p = 0,010), terasa gatal (p = 0,004), tampak merah (p =
0,002), terasa berat/ mengganjal (p = 0,000), sensitif terhadap cahaya (p = 0,031)
dan terasa sering berkedip (p = 0,032).
Adapun untuk keluhan subyektif berupa riwayat kalazion atau hordeolum
menahun, baik kelompok kontrol maupun perlakuan tidak didapatkan riwayat
tersebut sehingga didapatkan distribusi yang homogen.
Pada penelitian ini dilakukan perbandingan Total Symptom Score (TSS)
dengan cara melakukan penjumlahan skor dari 14 keluhan subyektif yang terdapat
pada kuisioner symptom score pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25 pada kelompok
kontrol dan perlakuan.
Respon penderita terhadap keluhan subyektif baik pada kelompok kontrol
maupun perlakuan dapat dilihat dari nilai rerata TSS,dimana nilai rerata 0-11,2
menunjukkan respon baik sekali, 11,201-22,4 menunjukkan respon baik, 22,40133,6 menunjukkan respon cukup, 33,601-44,8 menunjukkan respon jelek dan
44,801-56 menunjukkan respon deteriorisasi.
Tabel 3 Hasil Total Symptom Score (TSS) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada hari
ke-1, ke-4 dan ke-25

Total Symptom Score (TSS)

Kelompok Kontrol

Kelompok
Perlakuan

Hari ke-1**
Mean (SD)
Median
Minimum, maksimum

20,44 (5,71)
19,00
12,00, 36,00

23,00 (4,68)
25,00
14,00, 31,00

0,035*

18,06 (5,55)
17,00
6,00, 28,00

0,010*

14,44 (6,63)
14,00
3,00, 28,00

0,005*

Hari ke-4
Mean (SD)
13,27 (5,42)
Median
13,00
Minimum, maksimum
3,00, 26,00
Hari ke-25
Mean (SD)
8,86 (5,99)
Median
9,00
Minimum, maksimum
0,00, 24,00
*: p < 0,05 (signifikan)
** menggunakan Mann Whitney
menggunakan Analisis Kovariansi

Tabel 3 menunjukkan pada hari ke-1 TSS didapatkan perbedaan (p = 0,035)


dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan ada perbedaan TSS pula pada hari
ke-4 (p = 0,010) dan hari ke-25 (p = 0,005) dengan menggunakan Uji Analisis
Kovariansi.
Respon penderita baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan terhadap
seluruh keluhan subyektif menunjukkan respon yang baik sampai baik sekali selama
25 hari observasi. Hal ini tampak dari nilai rerata baik dari kelompok kontrol maupun
perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-4 dan ke-25 yaitu di bawah 22,4.
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan Lid Margin Abnormality Score
(LMAS) meliputi irregular lid margin, vascular engorgement, sumbatan pada muara
kelenjar Meibom, anterior or posterior replacement of the mucocutaneus junction,
dimana jumlah kelainan yang ada pada tiap mata dijumlahkan dan diberi score dari
0-4 berdasarkan jumlah kelainan yang ada kemudian dibandingkan hasil
pemeriksaannya pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25.
Tabel 4 Hasil Lid Margin Abnormality Score (LMAS) antara kelompok kontrol dan perlakuan
pada hari ke-1, ke-4 dan ke-25
Lid Margin Abnormality Score
(LMAS)
Hari ke-1
Mean (SD)
Median
Minimum - maksimum

Kelompok Kontrol

Kelompok
Perlakuan

3,00 (1,00)
3,00
2,00 - 4,00

2,96 (1,01)
2,00
2,00 - 4,00

0,894

Hari ke-4
Mean (SD)
Median
Minimum - maksimum
Hari ke-25
Mean (SD)
Median
Minimum - maksimum
*: p < 0,05 (signifikan)
** menggunakan Mann Whitney

2,58 (1,23)
2,00
0,00 - 4,00

1,86 (0,87)
2,00
0,00 - 4,00

0,014*

1,96 (0,94)
2,00
0,00 - 4,00

1,00 (1,00)
1,00
0,00 - 2,00

0,001*

Tabel 4 menunjukkan pada hari ke-4 pemeriksaan LMAS

didapatkan

perbedaan (p = 0,014) dan hari ke-25 juga terdapat perbedaan (p = 0,001). Selain
itu nilai terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol maupun perlakuan
mempunyai persamaan skor pada hari ke-1 (2,00, 4,00) dan hari ke-4 (0,00, 4,00),
sedangkan untuk hari ke-25 mempunyai perbedaan skor terendah dan tertinggi
LMAS pada kelompok kontrol (0,00, 4,00) dibandingkan kelompok perlakuan (0,00,
2,00).
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan Meibo Score (MS) meliputi grade
0 sampai 3 berdasarkan besarnya jumlah area kelenjar Meibom yang hilang pada
kelopak atas maupun bawah kemudian skor dihitung dengan menjumlahkan grade
MS untuk kelopak mata atas (0-3) dan bawah (0-3) untuk memperoleh skor 0-6
untuk tiap mata kemudian dibandingkan hasil pemeriksaannya pada hari ke-1, ke-4
dan ke-25.
Tabel 5 Hasil Meibo Score (MS) antara kelompok kontrol dan perlakuan pada hari ke-1, ke-4
dan ke-25
Meibo Score (MS)

Kelompok Kontrol

Kelompok
Perlakuan

Hari ke-1
Mean (SD)
Median
Minimum, maksimum

2,00 (0,00)
2,00
2,00, 2,00

2,06 (0,37)
2,00
2,00, 4,00

0,317

2,00 (0,00)
2,00
2,00, 2,00

1,89 (0,40)
2,00
0,00, 2,00

0,154

1.20 (0.97)
2.00
0.00, 2.00

1,65 (0,76)
2,00
0,00, 2,00

0,052

Hari ke-4
Mean (SD)
Median
Minimum, maksimum
Hari ke-25
Mean (SD)
Median
Minimum, maksimum
*: p < 0,05 (signifikan)
** menggunakan Mann Whitney

Tabel 5 menunjukkan tidak terdapat perbedaan secara statistik pada


pemeriksaan MS hari ke-1 (p = 0,317), hari ke-4 (p = 0,154) maupun hari ke-25 (p =
10

0,052). Namun ada kecenderungan penurunan nilai rerata pemeriksaan MS dari


hari ke-1, ke-4 dan ke-25. Hal ini menunjukkan perbaikan secara klinis meski secara
statistik tidak didapatkan perbedaan.
DISKUSI
Pada penelitian ini dibandingkan keluhan subyektif menggunakan hasil
penghitungan skor kuisioner Symptom Score (SS) antara kelompok yang mendapat
terapi kompres hangat dan pijatan kelopak mata serta tetes mata azithromisin
(perlakuan) dan yang tidak mendapat tetes mata azithromisin (kontrol).
Pada hari ke-1 baik kelompok kontrol maupun perlakuan, rerata SS nya
hampir sama antara kedua kelompok. Ada 3 keluhan subyektif yang menunjukkan
perbedaan antara keduanya, antara lain: mata terasa lelah (p = 0,024), terasa
keluar kotoran/ belekan (p = 0,020) dan sering berkedip (p = 0,008). Pada hari ke-4
terdapat 6 keluhan subyektif yang menunjukkan perbedaan antara kelompok kontrol
dibandingkan perlakuan. Keluhan subyektif yang mengalami perbedaan antara lain:
mata terasa lelah (p = 0,044), terasa keluar kotoran/ belekan (p = 0,002), terasa
tidak nyaman (p = 0,001), terasa nyeri/ kemeng (p = 0,022), tampak merah (p =
0,001) dan terasa sering berkedip (p = 0,032). Sedangkan keluhan subyektif lainnya
sama-sama mengalami perbaikan secara klinis namun tidak ada perbedaan antara
kedua kelompok. Pada hari ke-25 terdapat perbedaan yang signifikan untuk 13
keluhan subyektif. Hal ini menunjukkan respon yang baik terhadap keluhan
subyektif yang semakin menurun nilai reratanya setelah hari ke-25. Pada penelitian
ini didapatkan penurunan keluhan subyektif sebagaimana yang ditemukan pada
penelitian Jody Luchs (2008).
Respon penderita terhadap keluhan subyektif baik pada kelompok kontrol
maupun perlakuan dapat dilihat dari nilai rerata TSS, dimana nilai rerata 0-11,2
menunjukkan respon baik sekali, 11,201-22,4 menunjukkan respon baik, 22,40133,6 menunjukkan respon cukup, 33,601-44,8 menunjukkan respon jelek dan
44,801-56 menunjukkan respon deteriorisasi.
Dari hasil Total Symptom Score (TSS) hari ke-1 didapatkan perbedaan (p =
0,035) dengan menggunakan Uji Mann Whitney dimana nilai rerata TSS kelompok
kontrol 20,44 (5,71) menunjukkan keluhan subyektif awal kunjungan sudah baik
(keluhan subyektifnya ringan). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata
TSS 23,00 (4,68) sedikit lebih tinggi dari kelompok kontrol menunjukkan keluhan
subyektif awal kunjungan cukup (keluhan subyektifnya lebih berat dibandingkan
kelompok kontrol). Pada hari ke-4 hasil Total Symptom Score (TSS) didapatkan
11

perbedaan (p = 0,035) dan nilai rerata kelompok kontrol 13,27 (5,42) menunjukkan
respon yang baik (tidak jauh berbeda dengan keluhan subyektif awalnya yang
ringan). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata TSS 18,06 (5,55)
menunjukkan perbaikan terhadap keluhan subyektif hari ke-1, dimana respon
penderita yang cukup berubah menjadi baik setelah mendapat terapi perlakuan
dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi. Pada hari ke-25 nilai rerata kelompok
kontrol 8,86 (5,99) menunjukkan respon yang baik sekali (keluhan subyektif jauh
berkurang). Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai rerata TSS 14,44 (6,63)
menunjukkan respon yang baik (keluhan subyektif berkurang), dimana respon
penderita semakin baik setelah mendapat terapi perlakuan dengan menggunakan
Uji Analisis Kovariansi.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan (p = 0,035) pada hari ke-1 dengan
menggunakan Uji Mann Whitney dan ada perbedaan TSS pula pada hari ke-4 (p =
0,010) dan hari ke-25 (p = 0,005) dengan menggunakan Uji Analisis Kovariansi. Hal
ini menunjukkan respon yang semakin baik setelah mendapat terapi baik pada
kelompok kontrol maupun perlakuan, dimana tampak dari nilai rerata baik dari
kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-4 dan ke25 yaitu di bawah 22,4. Pada penelitian ini juga didapatkan respon penderita yang
baik terhadap terapi perlakuan sebagaimana yang ditemukan pada penelitian Jody
Luchs (2008).
Pada penelitian ini disebutkan nilai rerata LMAS hari ke-1 pada kelompok
kontrol 3,00 (1,00) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan
total 3 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata
LMAS 2,96 (1,01) yang menunjukkan total 2,96 kelainan LMAS. Hal ini
menunjukkan tidak ada perbedaan LMAS pada hari ke-1 (p = 0,894) dengan
menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-4 nilai rerata LMAS kelompok
kontrol 2,58 (1,23) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan
total 2,58 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai
rerata LMAS 1,86 (0,87) yang menunjukkan total 1,86 kelainan LMAS. Hal ini
menunjukkan ada perbedaan LMAS pada hari ke-4 (p = 0,014) dengan
menggunakan Uji Mann- Whitney. Pada hari ke-25 nilai rerata LMAS kelompok
kontrol 1,96 (0,94) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan
total 1,96 kelainan LMAS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai
rerata LMAS 1,00 (1,00) yang menunjukkan total 1 kelainan LMAS. Hal ini

12

menunjukkan ada perbedaan LMAS pada hari ke-25 (p = 0,001) dengan


menggunakan Uji Mann- Whitney.
Selain itu nilai terendah dan tertinggi LMAS pada kelompok kontrol maupun
perlakuan mempunyai persamaan skor pada hari ke-1 (2,00, 4,00) dan hari ke-4
(0,00, 4,00), sedangkan untuk hari ke-25 mempunyai perbedaan skor terendah dan
tertinggi LMAS pada kelompok kontrol (0,00, 4,00) dibandingkan kelompok
perlakuan (0,00, 2,00). Pada penelitian ini juga didapatkan perbedaan seperti yang
ditemukan pada penelitian Reiko Arita et al (2010).
Pada penelitian ini disebutkan nilai rerata MS hari ke-1 pada kelompok
kontrol 2,00 (0,00) menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan
total 2 kelainan MS, sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata
MS 2,06 (0,37) yang menunjukkan total 2,06 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai
rerata MS yang tidak signifikan pada hari ke-1 (p = 0,317) dengan menggunakan Uji
Mann- Whitney. Pada hari ke-4 nilai rerata MS pada kelompok kontrol 2,00 (0,00)
menunjukkan pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 2 kelainan MS,
sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata MS 1,89 (0,40) yang
menunjukkan total 1,89 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai rerata MS yang tidak
signifikan pada hari ke-4 (p = 0,154) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney.
Pada hari ke-25 nilai rerata MS pada kelompok kontrol 1,20 (0,97) menunjukkan
pada kedua mata kelompok kontrol didapatkan total 1,2 kelainan MS, sedangkan
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rerata MS 1,65 (0,76) yang menunjukkan
total 1,65 kelainan MS. Hal ini menunjukkan nilai rerata MS yang tidak signifikan
pada hari ke-25 (p = 0,052) dengan menggunakan Uji Mann- Whitney.
Dengan demikian, dipandang dari rerata MS, pada penelitian ini meski tidak
didapatkan perbedaan secara statistik seperti yang ditemukan pada penelitian Reiko
Arita et al (2010) namun nilai rerata MS dari hari ke-1, ke-4 dan ke-25 menunjukkan
kecenderungan mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan secara klinis hasil
MS mengalami perbaikan meskipun tidak ada perbedaan secara statistik dengan
menggunakan Uji Mann-Whitney.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan Symptom Score (SS), hasil Lid Margin Abnormality
Score (LMAS) dan tidak ada perbedaan secara statistik pada hasil Meibo
Score(MS) namun menunjukkan kecenderungan perbaikan secara klinis.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Eddyanto, dr., Sp.M(K) sebagai pembimbing sekaligus koordinator penelitian
13

2. PT Kalbe Farma yang mensponsori produk untuk digunakan sebagai sarana


penelitian
3. Semua pihak yang membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonio, Matthias,Z. and Jeannette,G., 2010. Topical blepharitis therapy using the
anti-inflamatory macrolide antibiotic azithromycin 1,5%. WOC, Berlin.
2. Bajorf,A.M., 1994. Lid Inflamations. In: Albert,D.M., Jacobiee,F.A., 1994. eds.
Principles and practice of ophthalmology. Philadelphia : WB Saunders: 101-16.
3. Bowman,R.W., Dougherty,J.M. and Mc Culley,J.P., 1987. Chronic blepharitis and
dry eye. Int Ophthalmol Clin 27(1) :27-35.
4. Cicendo, 2006. Pedoman Terapi RS Mata Cicendo : Blefaritis/ Meibomianitis.
Bandung, 45-6.
5. Culic,O., Erakovic,V. and Cepelak,I. et al, 2002. Azithromycin modulates
neutrophil function and circulating inflammatory mediators in healthy human
subjects. Eur J Pharmacol. 450: 277-289.
6. Dougherty,J.M. and McCulley,J.P., 1984. Comparative bacteriology of chronic
blepharitis. Br J Ophyhalmol. 68: 524-528.
7. Ehlers Justis,P. and Shah Chirag,P., 2002. The Wills Eye Manual. Fifth edition,
Lippincot William & Wilkins.
8. Foulks,G.N. and Bron,A.J., 2003. Meibomian gland dysfunction: a clinical scheme
for description, diagnosis, classification and grading. Ocular Surface. 1: 107-126.
9. Girsang,W. and Gondhowiardjo,T.D., 1999. Efek sinergi golongan tetrasiklin pada
disfungsi kelenjar meibom. Penelitian Akhir

Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI/

RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta.


10. Gondhowiardjo,T.D., 1999. Qualities deterioration of lipid and mucous fraction of
the tear film. Understanding ocular infectionand inflamation. Recent concepts in
basic science, clinical aspect and didactic course. Jakarta, Department of
Ophthalmology. Faculty of Medicine University of Indonesia: 59-64.
11. Holly,F.J. and Lemp,M.A., 1997. Tear physiology and dry eye. Survey of
Ophthalmol 22 (2) : 69-87.
12. Ivetic Tkalcevic,V. et al., 2006. Anti-inflamatory activity of azithromycin at
enuates the effects of lipopolysaccharide administration in mice. Eur J Pharmacol
539: 131-138.

14

13. Jackson,W.B., 2008. Blepharitis: current strategies for diagnosis and


management. Can J Ophthalmol. 43: 170-179.
14. Kabat,A.G. and O.D., FAAO, 2011. MGD, NOMGD & EDE: MGD. International
Dry Eye Workshop. Ocul Surf (2007). 5(2): 75-92.
15. Knop,E. et al., 2011. The International Workshop on Meibomian Gland
Dysfunction

Report

of

the

Subcomittee

on

anatomy, physiology,

and

pathophysiology of the meibomian gland. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 19381978.
16. Luchs,J., 2008. Efficacy of topical azithromycin ophthalmic solution 1% in the
treatment of posterior blepharitis. Adv Ther. Springer Healthcare Communications.
25(9): 858-870.
17. Maus,M., 1994. Basic Eyelid Anatomy. In: Albert,D.M., Jacobiee,F.A. and
Robinson NL eds.1994. Clinical Practice. Principles and practice of ophthalmology.
Vol. 3. Philadelphia: WB Saunders : 1690-1.
18. McCulley,J.P. and Dougherty,J.M., 1986. Bacterial aspects of chronic blepharitis.
Trans Ophthalmol Soc UK. 105: 314-318.
19. Nelson,J.D., Shimazaki,J. and Benitez-Dell-Castillo,J.M. et al. The International
Workshop on Meibomian Gland Dysfunction : Introduction. Invest. Ophthalmol. Vis.
Sci. 52(4): 1930-1937.
20. Nichols,K.K., Foulks,G.N. and Bron,A.J. et al, 2011. The International Workshop
on Meibomian Gland Dysfunction: Executive Summary. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.
52(4): 1922-1929.
21. Opitz,D. and Tyler,K., 2011. Clinical and Experimental Optometry : Efficacy of
azithromycin 1% ophthalmic solution for treatment of ocular surface disease from
posterior blepharitis. Australia : 94 : 2 : 200-206
22. Raviola,E., 1994. The Eye. In: Bloom and Faweett, eds. 914. A textbook of
histiology, 12th ed.
23. Shimazaki,J., Goto,E. and Ono,M. et al, 1998. Meibomian gland dysfunction in
patient with Sjorgen syndrome. Ophthalmology. 105 : 1485-1488.
24. Smith,R.E., 1995. Flowers CW Jr. Chronic blepharitis: a review. CLAO J. 21:
200-207.
25. Schaumberg,D.A. et al, 2011. The International Workshop on Meibomian Gland
Dysfunction : Report of the Subcomittee on the Epidemiology of, and Associated
Risk Factors for MGD. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1994-2005.
26. Vaughan, 2008. General Ophthalmology. San Fransisco. California : 82-83.
15

27. Weingeist,T.A., 2011. The International Workshop on Meibomian Gland


Dysfunction. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 52(4): 1994-2005.
28. Zorab,R.A. et al., 2011. External Eye Disease and Cornea. Basic and Clinical
Science Course Section 9. San Fransisco, American Academy of Ophthalmology:
65-69.

16

Вам также может понравиться