Вы находитесь на странице: 1из 20

Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional, dalam rangka Dies Natalis XVI Unnes 2013

SENI REOG SEBAGAI MEDIA APRESIASI


DAN KREASI SISWA DALAM PELAJARAN SENI BUDAYA
YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL
DI SMK NEGERI PRINGAPUS KABUPATEN SEMARANG

dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan


oleh PPs Unnes tahun 2013

Oleh
Sri Ambarwangi

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI PRINGAPUS


JUNI 2013

SENI REOG SEBAGAI MEDIA APRESIASI DAN KREASI SISWA DALAM


PELAJARAN SENI BUDAYA YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL
DI SMK NEGERI PRINGAPUS KABUPATEN SEMARANG
Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil kajian dan pelaksanan pembelajaran di lapangan dari penulis
terutama dalam pelaksanaan pembelajaran Seni Budaya di SMK. Tujuan penulisan ini
untuk menunjukan bahwa dengan pembelajaran yang berbasis pada budaya lokal tujuan
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum dapat tercapai. Bahkan, budaya lokal yang
juga terkandung kearifan lokal lebih dirasakan secara langsung oleh siswa. Seni reog yang
dikenal di sekitar kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dapat digunakan sebagai
media untuk membelajarkan seni siswa terutama dalam kegiatan apresiasi dan ekspresi.
Nilai-nilai yang ada dalam seni reog dapat disampaikan secara konseptual di kelas, maupun
secara langsung melalui kegiatan
apresisi dan ekspresi oleh siswa berupa kegiatan
pertunjukan di lingkungan sekolah.
Siswa dapat dengan mudah menerima materi
pembelajaran dan dapat dengan ekspresif saat menyajikan pertunjukan itu. Nilai-nilai yang
ada dalam penyajian seni itu bersifat sosial, keagamaan, nasionalisme, maupun budaya.
Para siswa dapat menyajikan seni reog dengan antusias dan ekspresif karena permainan itu
sudah ada sejak lama di lingkungannya dan bahkan mereka sendiri banyak yang menjadi
pelaku seni/penari di lingkungan tempat tinggalnya. Seni reog sudah menjadi bagian
hidupnya yang memiliki peran sebagai aktualisasi diri, sarana ekspresi, sosial , dan budaya.
Sebagian di antara mereka merasa bangga menjadi salah satu bagian dalam pertunjukan di
tempat tinggalnya sehingga mereka pun tidak merasa malu menyajikan seni itu di sekolah.
1. Pendahuluan

Kurikulum KTSP Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Kejuruan non seni
sebenarnya sudah mengakomodasi pemberian kesenian lokal untuk bisa diberikan
dalam pembelajarannya. Pelaksanaannya pun sudah diberikan kebebasan bagi satuan
pendidikan untuk mengembangkan sesuai dengan keadaan, sarana, dan lingkungan
setempat. Dalam Standar Kompetensinya terutama dalam bidang seni musik dan tari
pun sudah mengakomodasi pembelajaran seni sebagai bagian dari pembelajaran
estetika yaitu

yang meliputi apresiasi, kreasi, dan ekspresi seni. Yang menjadi

masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah banyaknya guru yang menafsirkan


sendiri-sendiri pelaksanaannya. Bahkan banyak yang hanya memberikan konsepkonsep seni Barat yang disebabkan gurunya berlatar belakang seni Barat, tanpa ada

kesempatan bagi siswa untuk memahami konsep itu untuk apa dan bagaimana
mengekspresikannya. Sehingga, tujuan pembelajarannya pun tidak tercapai.
Kekurangpahaman dalam mengimplementasikan ditambah dengan latar
belakang pendidikan seni yang berbeda dengan konsep yang ingin dicapai dalam
kurikulum menyebabkan banyaknya penafsiran

yang berbeda tersebut. Bisa

dimaklumi jika guru yang berlatarbelakang pendidikan musik Barat yang sudah
tertanam sistem notasi Barat harus mengajarkan musik tradisi Jawa dengan sistem
notasi yang juga sangat berbeda. Namun demikian, bukan berarti guru harus berhenti
untuk mencari inovasi baru agar pelaksanaan pembelajaran seni tradisi setempat yang
memang harus diberikan berhenti pula. Karena, tujuan pembelajaran sesuai dengan
standar kompetensi di sekolah harus mencakup apresiasi, ekspresi dan kreasi. Dan,
untuk mencapai itu sebenarnya banyak cara bisa dilakukan oleh guru, baik yang
dilakukan di kelas maupun di luar kelas.
Pembelajaran seni tradisi yang berasal dari seni lokal adalah salah satu cara
yang bijak jika masyarakat sekitar memiliki seni tradisi tersebut. Sumber belajar yang
berupa seni tradisi lokal yang berlimpah di sekitar tempat belajar (sekolah) bisa
digunakan dalam pembelajaran.

Tentu ini juga akan memudahakan guru dalam

memberikan materi karena biasanya siswa juga berasal dari daerah di sekitar tempat
belajar. Ini akan lebih baik dibandingkan memberikan materi belajar musik Barat
yang sulit dimengerti yang disebabkan prasarana maupun latar belakang siswa yang
mungin tidak homogen sehingga menyulitkan memberikan musik-musik Barat yang
sebenarnya asing bagi mereka.
SMK Negeri Pringapus adalah sebuah SMK yang terletak di desa Jatirunggo
Kecamatan Pringapus, yang wilayahnya berbatasan dengan

kabupaten Boyolali,

Kabupaten Grobogan dan Kota Salatiga. Selama beberapa tahun penulis mengalami
kesulitan dalam membelajarkan seni siswa. Siswa masih belum menerima secara
baik saat diberikan materi seni musik terutama dalam konsep-konsep seperti notasi
balok, harmoni, melodi dan sebagainya yang bergramatikal Barat. Demikian juga
dalam pengelolaan pembelajaran praktik musik. Mungkin ini disebabkan lingkungan

latar belakang siswa yang masih asing dengan materi tersebut. Sebaliknya, mereka
cukup antusias jika diajak diskusi tentang musik/seni tradisi daerah setempat seperti
reog.
Seni reog adalah jenis kesenian yang tumbuh subur sejak puluhan tahun lalu
sampai sekarang di daerah kabupaten Semarang yang berbatasan dengan Kabupaten
Boyolali, Kota Salatiga, dan kabupaten

Grobogan. Seni reog mirip dengan kuda

lumping, jaran kepang, dan jathilan. Reog di kabupaten Semarang tidak semegah
pertunjukan reog di Ponorogo, namun memiliki kekhasan sendiri, menyesuaikan
tradisi lokal yang ada di daerah tersebut. Sampai saat ini jika ada pertunjukan selalu
dipadati oleh ratusan penonton, bahkan ribuan.
Kesenian reog bisa tetap eksis dan tetap disukai masyarakat pendukungnya
karena ada penyebabnya. Penyebabnya bisa karena masih fungsional baik sebagai
hiburan maupun fungsi lain seperti keperluan sosial-budaya maupun ritual. Inilah
yang menggugah penulis untuk mengkaji untuk menjadikan seni reog ini sebagai
media untuk apresiasi dan ekspresi termasuk kreasi siswa SMK Pringapus. Keinginan
penulis untuk mengkaji karena selama reog ini disajikan di lingkungan sekolah selalu
diikuti secara antusias siswa baik sebagai pemain/penari maupun sebagai penonton.
Bahkan, menurut keterangan mereka, di antara mereka sudah menjadi pelaku seni
reog di daerah tempat tingalnya. Penulis pun menelusuri kegiatan kesenian mereka di
tempat tinggalnya terutama dalam kesenian reog. Sehingga bisa dipetik nilai-nilai
lokal yang bisa diberikan saat digunakan sebagai media pembelajaran. Kesenian reog
yang sudah lama tumbuh dan sudah menjadi bagian dari kehidupan berekspresi
masyarakat setempat, diyakini mengandung nilai-nilai positif yang bisa digunakan
dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai yang diyakini dan akhirnya menjadi bagian
bahkan pedoman dalam bermasyarakat ini yang sering disebut lokal wisdom (kearifan
lokal) akan memudahkan materi ini sebagai media dalam pembelajaran seni.
Sesuai dengan karakternya pelajaran Seni Budaya memiliki kekhasan sendiri
dan memiliki tujuan khusus. Pendidikan seni di sekolah (selain sekolah seni) bukan
untuk menciptakan seniman. Pelajaran seni juga bukan untuk mencerdasakan seperti

halnya pelajaran yang bersifat logika-matematika. Tujuan khusus itu seperti untuk
memperhalus rasa dan budi, moral, dan memperkuat rasa kebangsaan. Di samping itu
secara psikologis seni dapat membantu sifat lembut, halus dan rasa solidaritas
seseorang sesuai dengan sifat seni yang dimainkannya atau digelutinya (Dewantara,
1977; Ardipal, 2010; Cambell, 2001).
Nilai-nilai yang terkandung dalam seni tradisi yang diyakini baik karena telah
hidup puluhan tahun dapat menjadi media yang tepat bagi siswa untuk berekspresi
dan berkreasi jika bisa dikelola dengan baik dalam proses pembelajarannya.
Pengelolaan ini bisa menyangkut pemilihan waktu maupun pokok bahasan yang
tepat, penentuan strata/kelas, dan bagian-bagian materi pertunjukan yang sesuai.
Bagian-bagian yang kurang diterapkan di sekolah

bisa diseleksi tanpa

menghilangkan substansi utama dalam seni reog tersebut. Inilah yang terus penulis
kaji dalam pelaksanaan pembelajaran seni tradisi lokal khususnya seni reog di SMK
Negeri Pringapus.
2. Kajian Teori
2.1 Peran Pendidikan Seni di Sekolah
Seni musik dalam KTSP SMK adalah bagian dari

mata pelajaran Seni

Budaya termasuk seni lain seperti seni rupa, seni tari dan seni teater. Dalam latar
belakang pada standar kompetensinya pelajaran ini memiliki tujuan antara lain: (1)
Memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) Menampilkan sikap apresiasi
terhadap seni budaya, dan (3) Mengekspresikan kreativitas melalui seni budaya
(Depdiknas, 2006).
Seni Budaya memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri yang tidak dimiliki
mata pelajaran lain sehingga cara pembelajarannya pun berbeda dengan yang lain.
Pendidikan seni sangat bermanfaat bagi kebutuhan perkembangan siswa. Dalam
pendidikan seni, untuk mencapai kebermaknaan ini dikenal dengan pendekatan
belajar dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni. Kegiatan
dengan pendekatan ini adalah untuk memberikan pengalaman estetik dalam bentuk

kegiatan berkreasi atau berekspresi, dan berapresiasi. Belajar dengan seni


mengandung makna bahwa dalam aktivitas belajar apa pun kita bisa melibatkan seni
di dalamnya. Misalnya, belajar sambil mendengarakan musik. Belajar melalui seni
bermakna bahwa seni bisa digunakan sebagai sarana untuk mempelajari hal-hal atau
bidang yang lain. Misalnya, dalam mempelajari lagu, di samping belajar musik kita
juga bisa sambil mempelajari sastra, sejarah, nasionalisme, sosial, agama dan lainlain. Konsep ini menganut pendapat yang dipopulerkan oleh H. Read (1970) yang
dikenal dengan pendekatan education through art. Dan, belajar tentang seni
bermakna bahwa untuk mencapai tujuan estetis siswa bisa langsung belajar pada seni
tersebut yang meliputi segala aspek yang ada dalam seni tersebut. Misalnya, siswa
belajar musik diharapkan siswa mampu

menguasai musik atau tujuan dari

pembelajaran musik tersebut agar mampu menyanyikan atau memainkan musik


tersebut sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
Pendidikan Seni Budaya yang memiliki karakteristik sendiri inilah yang menjadikan
pendidikan seni budaya ini memiliki tujuan khusus dalam mencapai tujuan pendidikan secara
umum.

Ada tiga sifat yang dimiliki pendidikan Seni Budaya yaitu sifat multilingual,

multidimensional, dan multikultural. Multilingual artinya dalam pengembangannya bisa


dilakukan dengan berbagai cara dan media seperti seni rupa, bunyi, gerak, peran, dan
perpaduan dari media itu. Multidimensional bermakna pengembangan kompetensi yang
meliputi konsepsi, apresiasi, dan kreasi dengan memadukan secara harmonis unsur estetika,
logika, kinestetika, dan etika. Dan, multikultural bermakna bahwa pengembangan kompetensi
bisa melalui kegiatan yang menimbulkan apresiasi terhadap keragaman budaya Nusantara
dan mancanegara.
Pendidikan musik memiliki bidang garap sendiri yang tidak sama dengan bidang
lain seperti bidang matematika yang menggarap bidang logika. Bidang garap seni adalah rasa
dan sikap apresiatif yang bisa dicapai melalui kegiatan apresiasi dan kreasi untuk memenuhi
kebutuhan pribadi peserta didik yang harmonis. Seni Budaya merupakan kelompok mata
pelajaran estetika yang memiliki karakteristik pembelajaran yang khas dalam pencapaian
standar kompetensi dan kompetensi dasarnya (Sri Ambarwangi, 2013: 78).

Manusia pada hakekatnya memiliki multi kecerdasan yang tidak hanya berdasarkan
kecerdasan dan logika tetapi kecerdasan lainnya. Menurut Gardner (1993) manusia memiliki
multi kecerdasaan (multiple intelligences) antara lain (1) kecerdasan linguistik (kemampuan
berbahasa yang fungsional); (2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut); (3)
kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama); (4)
kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas); (5) kecerdasan
kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus); (6) kecerdasan
intra-personal (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri);
dan (7), kecerdasan interpersonal (social). Kemampuan bekerja secara efektif dengan orang
lain, berhubungan dengan orang lain dan memperlihatkan empati dan pengertian,
memeperhatikan motivasi dan tujuan mereka. kecerdasan antarpribadi (kemampuan
memahami orang lain). Guru seni musik bisa memanfaatkan sifat kecerdasan manusia ini
untuk mendapatkan konsep seni musik secara utuh dengan mengeksplorasi segala potensi
yang ada. Segala efek yang diakibatkan dalam pendidikan seni ini di sekolah akan mengarah
ke tujuan pendidikan secara umum. Siswa yang sudah mencapai taraf apresiasi dan kreasi
yang tinggi bisa menjadi anak yang suka menghargai orang lain, kreatif, berperasaan halus,
toleran, berani tampil dimuka umum, percaya diri, bahkan cerdas. Ciri-ciri manusia yang
memiliki sifat tersebut bukankah merupakan bagian dari tujuan pendidikan umum yang
meliputi berbagai macam jenis pendidkian? Tidak mungkin tujuan pendidikan umum hanya
bisa dicapai melalui jenis pendidikan yang melibatkan otak kiri yang meliputi logika, berpikir
analistik, sistematik, dan lain-lain tetapi juga melibatkan otak kanan yang meliputi intuisi,
fantasi, inovasi, sintesa (holistis), kreasi dan lain lain yang banyak didapat melalui kegiatan
seni seperti irama, nada, warna (DePorter dan Mike Hernacki, 2000:27). Siswa yang aktif
dalam kegiatan paduan suara, misalnya, akan terbiasa dengan sifat bekerjasama, suka
membantu, toleran dan suka menghargai orang lain, menyukai keharmonisan, memiliki rasa
musikal tinggi, berperasan halus, percaya diri dan disiplin. Itu semua akibat langsung yang
disebabkan dalam proses latihan sampai pada penampilannya. Dan, itulah yang diharapkan
dalam tujuan pendidikan umum.

2.2 Kearifan Lokal dalam Seni Tradisional


Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom atau local genious dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk

bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom
dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam
bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang

terjadi.

Sebagai

sebuah

istilah

wisdom

sering

diartikan

sebagai

kearifan/kebijaksanaan (Ridwan, 2007:27).


Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem
nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa
yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan
manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah
terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat
seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya.
Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi
nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau
menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Sebagai contoh local genius yang sampai sekarang masih bertahan dalam
kehidupan orang Jawa adalah gagasan psikologi Jawa. Psikologi Jawa adalah kawruh
kejiwaan Jawa. Di dalamnya akan meliputi gejolak nalar, rasa, dan keinginan orang
Jawa dalam melangsungkan hidup. Orang jawa umumnya

hidup dalam dunia

kejiwaan yang dalam (Endraswara, 2003: 211). Kawruh begja, watak nrima dan rasa
rumangsa adalah contoh kearifan lokal yang umumnya dianut masyarakat Jawa.
Seni tradisi adalah seni yang hidup di wilayah dengan tradisi dan kearifan
lokal yang melingkupinya. Nilai-nilai yang ada baik dalam latar belakang
penciptaannya maupun simbol-simbol yang ada dalam seni tradisi itu bersifat lokal
yang hidup turun temurun sehingga bisa menjadi pedoman dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai budaya di masyarakat tertentu memang seharusnya hanya bisa
diukur dengan budaya setempat bukan budaya lain. Sehingga, sesuatu yang dianggap
baik di masyarakat tertentu mungkin tidak baik di masyarakat lain. Karena nilai-nilai

ini hanya dihasilkan oleh sistem yang bersifat lokal maka suatu nilai budaya tertentu
tidak bisa diukur dengan sistem yang berasal dari sistem budaya lain walaupun
dianggap universal. Untuk hal ini kemudian munculah indigenous psychology yang
muncul pertama kali tahun 1970-an di kawasan Asia. Inti dari kajian ini adalah bahwa
teori psikologi yang berasal dari Barat tidak bisa digunakan sebagai dasar kajian bagi
masyarakat yang berasal dari masyarakat Timur yang bersifat lokal dan berasal dari
sistem budaya yang berbeda. Kim and Berry (1993) mendefinikan indigenous
psychology ini sebagai the scientific study of human behavior or mind that is native,
that is not transported from other regions, and that is dsigned for its people. Saat ini
banyak ilmuwan baik ahli antropologi maupun psikologi menggunakan ini sebagai
suatu studi sampai pada pendekatan penelitiannya.
2.3 Fungsi Seni Tradisional dalam Kehidupan Manusia
Kemunculan seni, baik seni yang non fisik dan fisik mempunyai fungsi bagi
manusia atau kehidupan manusia. Seni ikut berperan dalam progresi peradaban
manusia di dunia sejak zaman prasejarah sampai kontemporer. Dengan demikian
fungsi seni pun bisa beragam sejalan dengan peradaban manusia tersebut. Menurut
Chapman (dalam Setiawan, 2012) fungsi seni dibagi menjadi enam bagian, yaitu
fungsi pribadi, fungsi masyarakat (sosial), fungsi fisik, fungsi keagamaan, fungsi
pendidikan

dan

fungsi

ekonomi

(http://alixbumiartyou.blogspot.com/2012/01/

fungsi-seni-dalam-kehidupan-manusia.html).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan seni mempunyai fungsi sebagai acuan
dalam bertindak bagi pendukungnya. Sebagai sistem budaya, untuk memenuhi
kebutuhan estetiknya, seni dapat berfungsi sebagai pengatur, peata, atau pengendali
dalam kegiatan kesenian. Ini terdapat pada seni-seni tradisional. Sebagai suatu
sistem, dengan demikian, fungsi seni ini tidak sekedar keguanaan (use) tetapi fungsi
harus dimaknai sebagai sesuatu yang dapat disumbangkan oleh sesuatu pada pihak
tertentu dalam sebuah sistem. Seni berkembang dan dibakukan melalui seni-seni

tradisi sosial

suatu masyarakat (Parsons, 1951, Rondhi, 2002, Triyanto, 1994,

Rohidi, 1993).
Dengan demikian jelaslah bahwa sebuah kesenian akan hilang dengan
sendirinya jika sudah tidak lagi menjadi bagian dalam sistem budaya masyarakat
tertentu. Seni tradisi tertentu akan hilang jika tidak lagi fungsional karena tidak lagi
digunakan seperti misalnya untuk ritual, kegiatan sosial, maupun hiburan. Penyebab
tidak fungsionalnya sebuah seni bisa bermacam-macam, salah satunya adalah
pergeseran budaya yang ada dalam masyarakat seperti era globalisasi, sebuah era di
mana pengaruh teknologi begitu dahsyat yang dapat merubah tatanan masyarakat.
2.4 Kesenian Tradisional Reog
Kesenian reog atau sejenisnya seperti kuda lumping, ebeg, jatilan, dan kuda
kepang sudah dikenal di masyarakat Jawa. Kesenian ini sudah menjadi

kesenian

Nusantara yang berasal dari Jawa di masa silam yang pekat mistik (ndadi, atau
kesurupan) sebagai salah satu daya tariknya. Bahkan, bisa dikatakan di mana saja di
dunia, jika ada kelompok orang Jawa, hampir selalu ada grup kuda lumping (Suara
Merdeka, 15 September 2012).
Jika dilihat dari properti yang digunakan, bentuk pertunjukan, serta latar
belakang makna di balik kesenian reog dengan yang lainnya ada kemiripannya. Reog
dan jenis kesenian sejenis, para pemainnya/penarinya menggunakan kuda tiruan yang
terbuat dari anyaman bambu yang dikepang atau kulit binatang/lumping, kemudian
menari membentuk formasi tertentu seperti pasukan berkuda, dengan memberikan
unsur magis sebagai salah satu daya tariknya. Kadang di beberapa daerah seperti
Kebumen, Brebes, dan di tempat lain menambah barongan dan penthul sebagai
bagian yang tak terpisahkan. Di Ponorogo sudah menjadi pertunjukan megah dengan
properti yang sangat lengkap dengan nama Reog Ponorogo.
Kesenian ini sudah ada dan terus dilestarikan para pendukungnya secara turun
temurun tanpa diketahui siapa dan kapan pertama kali dimainkan. Namun demikian,
kesenian ini ada karena masyarakat pendukungnya menganggap kesenian ini adalah

bagian dari kehidupannya sebagai ekspresi estetis, ekspresi kegembiraan, kemarahan,


rasa gotong royong, bahkan rasa nasionalisme atau heroisme.
Dari bentuk pertunjukannya kesenian ini mencerminkan ekspresi masyarakat
yang egaliter namun juga berjiwa patriotis. Seperti juga kesenian rakyat lainnya
kesenian ini tidak bersifat feodal karena justru kesenian ini muncul sebagai
penghormatan dan pengabdian rakyat pada pimpinannya (raja). Kesenian ini muncul
seolah-olah

para pendukungnya sudah menyadari posisi mereka yang hanyalah

sebagai rakyat jelata. Ini bisa dilihat dari makna-makna di setiap bagian-bagian
pertunjukannya yang penuh dengan simbolik.

Peran barongan (atau Barong, di

Brebes) menyimbolkan seorang raja atau pemimpin yang punya hak untuk menerima
uang (upeti) dari para penonton, dan peran penthul sebagai simbol penasihat raja,
yang walaupun kecil orangnya tetapi sangat dihargai raja atau pemain lainnya.
Yang menarik dari seni pertunjukan ini adalah peristiwa ndadi setelah
dilakukan ritual bakar dupa. Orang yang melakukan ritual ini pun haruslah orang
yang dianggap mumpuni karena ritual ini dianggap para pendukungnya sebagai
bagian penting yang tidak main-main. Ritual bakar dupa ini menyimbolkan
keyakinan masyarakat Jawa yang dahulu masih percaya pada animisme dan
dinamisme serta pengaruh Hindu. Di daerah tertentu ini sebagai simbol bakti hamba
pada tuhannya sehingga harus berdoa untuk keselamatan. Bahkan, kuda lumping di
Brebes sebagai arena untuk memanggil arwah. Arwah itu bisa berupa arwah leluhur
maupun arwah binatang. Sementara di daerah yang masih dekat dengan keraton
Surakarta dan Yogyakarta, pembakaran dupa adalah

sebagai simbol

doa minta

bantuan pada jin atau mahluk halus (terutama yang dianggap baik) untuk membantu
perjuangan seperti dalam cerita pertunjukan itu. Pasukan kuda yang menggambarkan
pasukan tentara Mataran yang gagah berani masih harus mendapat bala bantuan dari
tentara yang tak terlihat dari

sahabatnya

Nyi Rara Kidul dalam setiap

pertempuran. Setidaknya itulah mitos yang diyakini masyarakat Jawa sehingga dalam
pertunjukan kesenian sejenis ini pun diekspresikan dalam adegan bakar dupa itu
(Ananda, 2011).

3. Pembahasan
3.1 Seni Reog Sebagai Ekspresi dan Apresiasi Seni Siswa SMK Pringapus
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Pringapus terletak kurang lebih
15 Km dari pusat kota kabupaten Semarang ke arah timur. Sekolah yang dibangun di
atas tanah perbukitan ini tidak jauh berbeda dengan lingkungan daerah sekitarnya
yang juga perbukitan. Sebagian besar siswa berasal dari daerah sekitar yang berasal
dari wilayah yang dekat dengan perbatasan kabupaten Boyolali, kabupaten Grobogan,
dan Salatiga. Sekolah ini terletak di pinggiran kota yang memang awalnya didirikan
untuk menampung masyarakat yang berasal dari pingiran kota tersebut di samping
untuk memenuhi kebutuhan tenaga industri garmen yang kebetulan banyak didirikan
di sekitar kawasan industri garmen. Jurusan yang ada di sekolah itu pun salah satunya
adalah Busana Butik, dan yang lainnya adalah Teknik Otomotif Sepeda Motor dan
Multi Media.
Pelajaran Seni Budaya adalah salah satu yang diberikan di setiap kelasnya
yang meliputi seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni teater. Namun demikian,
karena di sekolah hanya ada satu guru yang berlatar belakang pendidikan musik,
maka pelajaran musiklah yang lebih dominan walaupun ini hanya berlangsung
beberapa tahun. Selanjutnya guru melakukan inovasi pembelajaran setelah tanggapan
siswa terhadap pelajaran seni musik kurang menggembirakan. Kurangnya tanggapan
yang baik dari siswa

ini karena materi yang disampaikan banyak musik Barat

termasuk notasi balok dan jenis musik diatonik lainnya. Padahal para siswa
kebanyakan dari lingkungan masyarakat yang menggeluti seni tradisi pentatonik
seperti seni reog. Akhirnya penulis, selaku guru bidang studi Seni Budaya tersebut
memanfaatkan seni reog ini sebagai salah satu media untuk menyampaikan materi
Seni Budaya, mulai dari kajian teoritis sampai penyajian pertunjukan reog di sekolah.
Reog adalah seni tradisonal yang eksis selama berpuluh-puluh tahun di
kawasan ini. Banyak

grup reog berdiri di wilayah ini dan sering melakukan

pementasan-pementasan baik oleh lembaga maupun perorangan. Seni reog yang


sejenis dengan kuda kepang, jathilan, ebeg, maupun reog di Ponorogo tetap menjadi

jenis kesenian yang sangat diminati oleh masyarakat setempat. Setiap pertunjukan
selalu dihadiri ratusan masyarakat sekitar.

Gambar 1. Pertujukan Reog yang selalu Dihadiri Banyak Penonton


(Photo: Sri Ambarwangi, Mei 2013)

Pertunjukan reog di sekolah adalah salah satu program yang selalu dilakukan
di SMK Pringapus. Di samping untuk menyalurkan minat dan sarana ekspresi siswa
pada seni ini juga sebagai media efektif dalam pembelajaran budaya, penanaman rasa
sosial, kebersamaan, dan persatuan bangsa. Pertunjukan reog yang dilakukan siswa di
sekolah diharapkan

dapat digunakan sebagai sarana menanamkan rasa solidaritas,

saling membantu, di samping nilai-nilai simbolik yang ada dalam seni reog yaitu
kepahlawanan. Karena,

reog adalah simbol kepahlawanan yang

menggambarkan

pasukan yang gagah berani yang berkendara kuda (Wawancara dengan Sunoto,
pimpinan Reog Turonggo Jati, tanggal 25 Mei 2013).
Pertunjukan seni tradisi di sekolah juga dapat menanamkan siswa secara
langsung dengan merasakan melalui kegiatan apresiasi dan ekspresi seperti reog.
Penanaman saling menghargai atas seni tradisi yang dimiliki siswa-siswa yang
dipertunjukan dan disaksikan banyak siswa adalah juga wujud nyata bentuk pelajaran
multikultur bagi siswa. Penanaman pendidikan multikultur yang sebenarnya sangat
cocok diberikan melalui seni ini bisa sangat efektif jika dapat dikelola dengan baik
(Sri Ambarwangi, 2013:78-85). Siswa yang memainkan maupun yang menonton
sama-sama belajar melalui pertunjukan seni tradisi seperti reog ini. Dengan

memainkan reog mereka dapat mengekspresikan secara langsung seni yang


dimainkan dan dapat merasakan rasa solidaritas dan kebersamaan, saling membantu,
saling menghargai saat mengkoordinir pertunjukan ini. Demikian juga siswa yang
menonton. Mereka dapat mengapresisasi kesenian ini, dan dapat menghargai temanteman yang dengan antusias mengekspresikan seni tradisinya.

Gambar 2. Siswa SMK Pringapus Sedang Bermain Reog di Halaman Sekolah


(Photo: Sri Ambarwangi, 2013)

Menjadi pemain reog bagi mereka di masyarakat di mana mereka tinggal adalah
sebuah kebanggaan, maka mereka pun dengan tidak ada rasa malu mempertunjukan
ekspresi itu di lingkungan sekolah. Dengan nilai-nilai yang diyakini baik dan terbukti
selama berpuluh-puluh tahun kesenian ini tetap eksis. Mereka pun menikmati
pertunjukan ini termasuk pertunjukan trance atau ndadi. Namun demikian
pertunjukan pada bagian ndadi ini tidak sefulgar yang ada di masyarakat karena
dipertunjukan di sekolah.

Gambar 3. Pemain yang Ndadi yang Dibuka Bajunya oleh Si Pawang dan Memakan Daun
(Photo: Sri Ambarwangi, 2013)

Ndadi atau trance atau kesurupan adalah atraksi yang sangat dinanti penonton di
setiap pertunjukan reog, kuda kepang atau sejenisnya. Menurut Sunoto, dan Parmin,
pawang reog Turonggo Jati dari Pringapus, jenis ndadi bisa bermacam-macam
tergantung arwah yang dipanggil. Arwah itu bisa arwah binatang, arwah jin/setan,
dan arwah leluhur. Jika arwah yang dipanggil oleh pawang adalah arwah binatang
maka si penari akan berprilaku seperti binatang sehingga bisa memakan daun-daun
atau memanjat pohon dengan sangat cepat seperti monyet. Penulis bisa menyaksikan
saat melihat pertunjukan grup reog Turonggo Jati. Seorang penari tiba-tiba menaiki
pohon kelapa yang ada di sekitar pertunjukan dengan sangat cepat seperti monyet.
Saat pertunjukan di sekolah, ndadi bisa

dikemas yang semata-mata untuk

hiburan dan sarana ekspresi seni siswa. Arwah yang dipanggil bisa binatang saja
sehingga hanya makan daun-daun. Namun demikian menurut salah satu penari, Faisal
(22), ndadi ini bisa berpura-pura jika niatnya hanya untuk menghibur. Jika tidak
percaya dengan kejadian ndadi maka tidak akan terjadi, yang terjadi adalah kepurapuraan. Namun jika pelaku percaya dan dimasukan dalam hati maka dia akan benarbenar kesurupan. Dan harus pawang yang profesional yang bisa melakukan itu, baik
saat menjadikan ndadi sampai menyembuhkan atau menyadarkannya.

3.2 Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Reog dan Fungsinya di Kecamatan
Pringapus
Ndadi di sebabkan karena arwah dipanggil dan memasuki jiwa pemain saat
pawang berdoa untuk memanggilnya. Memanggil arwah dengan cara berdoa sambil
membakar dupa adalah sebuah simbol keyakinan masyarakat untuk selalu berdoa
kepada Tuhan. Menurut salah satu tokoh agama, Qozin (35) sebagian besar
masyarakat di daerah kecamatan Pringapus adalah Islam Abangan. Animisme dan
dinamisme serta pengaruh Hindu sangat kuat dalam kehidupan spiritual mereka.

Gambar 4: Sunoto dan Parmin, dan Sugeng (Pawang Reog Turonggo Jati)
serta Sri Ambarwangi (Penulis). (Photo : Eko Widodo, 2013).

Ada nilai-nilai positif tersendiri dalam pertunjukan reog baik yang dilakukan
para siswa disekolah mapun di masyarakat di mana kesenian ini berasal. Nilai-nilai
positif di lingkungan sekolah telah dibahas pada butir (3.1) di atas. Nilai-nilai positif
yang ada di masyarakat bisa penulis rasakan saat melakukan observasi dan
wawancara pada para tokoh dan pelaku seni di lapangan. Sambutan yang sangat
ramah dan antusias sebagai salah satu bukti bahwa menghargai tamu adalah salah
satu yang harus dilakukan oleh setiap warga. Bahkan penulis diberi kebebasan untuk
meliput setiap pertunjukan tanpa ada gangguan dari para penari reog termasuk
menaiki panggung kapan pun. Nilai-nilai positif lain adalah para pemain (pendukung)
sebuah grup yang berjumlah 40 personil dengan sangat mudah dikoordinir oleh
pimpinan grup. Rasa kesetiakawanan mereka sangat tinggi. Mereka pun tidak pernah
bersaing masalah penghasilan. Sering uang tanggapan yang diterima grup yang

berkisar antara 3 sampai 4 jutaan sekali pentas ditabung untuk grup. Uang itu bisa
digunakan untuk kegiatan sosial masyarakat. Bahkan uang tanggapan bisa didapat
dengan cara iuran setiap warga terutama jika tanggapannya itu dalam rangka acara
perayaan bersama maupun ritual seperti merti desa.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa kesenian reog bagi masyarakat
pendukungnya di kecamatan Pringapus memiliki fungsi sosial. Mengumpulkan
masyarakat di mana mereka saling berinteraksi dalam satu wadah kegiatan seni yang
mereka sukai dan sebagian besar dari mereka tidak semata-mata mendapatkan
imbalan adalah suatu bukti kuat masyarakat setempat untuk berkomitmen
membangun masyarakat dan budayanya. Dan, ini akan menjadikan seni tradisi reog
akan terus eksis di daerah ini.
Masyarakat yang merasa memiliki dibuktikan dengan banyaknya remaja yang
terlibat menjadi penari membuktikan dukungan yang besar dari masyarakat agar
kesenian ini tetap lestari. Bukan hanya itu, pemain musik dan penari pun sebagian
besar berasal dari anak-anak yang berusia sekolah termasuk yang sedang dan lulus
dari SMK tempat penulis bertugas. Ini akan menjadi model pewarisan yang sangat
alami,

masih

ditambah

dengan

dukungan

dunia

pendidikan

yang

terus

menyelenggarakan pergelaran reog di lingkungan sekolah dengan kemasan khusus


untuk dunia pendidikan.

Gambar 5: Para Pemain Musik Reog Yang terdiri dari Berbagai Usia
sebagai Model Pewarisan yang Baik
(Photo: Sri Ambarwangi, 2013)

4. Simpulan dan Saran


4.1 Simpulan
Seni reog yang ada di wilayah kabupaten Semarang tetap eksis sampai
sekarang karena ada dukungan dari semua unsur baik dari masyarakat pendukungnya,
pemerintah daerah, juga dunia pendidikan. Namun demikian ada unsur lain yang
menonjol yaitu karena fungsi kesenian ini bagi masyarakat pendukungnya. Fungsi
tersebut seperti
berinteraksi

untuk kebutuhan estetis pribadi, kebutuhan sosial

sebagi sarana

satu individu dengan yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan

sosial secara bersama, dan juga kebutuhan spiritual, dan fungsi budaya. Fungsi ini
bekerja secara sistematis membentuk sebuah sistem tersendiri sehingga membuat
keharmonisan di masyarakat di wilayah kecamatan Pringapus. Jika nilai-nilai
keharmonisan ini ditarik ke dunia pendidikan maka akan berefek positif. Pertunjukan
yang berjalan lancar karena terjaga oleh masyarakat pendukungnya, dapat menjadi
pelajaran dan pembelajaran tersendiri di sekolah. Nilai-nilai inilah, di samping nilai
lain yang positif, bisa dikemas menjadi salah satu media pembelajaran Seni Budaya,
di mana peran pelajaran Seni Budaya ini bisa menjadi sangat strategis untuk
membangun karakter siswa.
Pelaksanaan pembelajaran Seni Budaya dengan membawa seni lokal yang
diyakini mengandung kearifan lokal di SMK Pringapus adalah sebuah usaha yang
sinergis. Karena sebenarnya sebagian para pembelajar adalah juga pelaku kesenian di
daerah tempat tinggalnya. Tugas guru dan satuan pendidikan adalah mengemas agar
pengelolaan dan pemilihan materinya benar-benar sesuai dengan tujuan pendidikan
seni di sekolah umum yaitu sebagai sarana berapresiasi, berkreasi, dan berekspresi
seni siswa. Dengan demikian, pendidikan seni yang memiliki tujuan khusus itu benarbenar bermanfaat dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan secara umum.
4.2 Saran
Hasil kajian ini bisa digunakan sebagai masukan dalam rangka mencari model
pembelajaran Seni Budaya yang berbasis pada kearifan lokal sesui dengan daerah di

mana sekolah itu berada. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian secara
komprehensif yang mencakup seluruh aspek. Penelitian itu bisa berupa penelitian
tindakan kelas (PTK), Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) oleh para pengawas dan
kepala sekolah, mupun penelitian budaya. Hal ini agar hasil kajian yang
komprehensif ini dapat menemukan hasil

simpulan maupun model pembelajaran

yang cocok dalam pembelajaran Seni Budaya secara benar di sekolah.


Daftar Pustaka
Alik Setiawan. Fungsi Seni dalam Kehidupan Manusia artikel dalam http://alixbu
miartyou.blogspot.com/p/biografi.html, diakses 15 Mei 2013.
Ardipal. Kurikulum Pendidikan Seni Budaya yang Ideal bagi Peserta Didik di Masa
Depan Jurnal Bahasa dan Seni UM Malang Volume 11 No. 1 tahun 2010.

Ananda. 2011. Ebleg Akar Kesenian Kuda Lumping. Dalam


http://adisulistyo.wordpress. com/2011/05/06/ebleg-akar-kesenian-kudalumping-ebleg-the-root-of-traditional-kuda-lumping-dancing. Diakses
tanggal 16 Mei 2013.
Campbell, Don. 2001. Efek Mozart bagi Anak-anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning. Terjemahan Alwiyah
Abdurrahman. Jakarta: KAFIFA
Dewantara, Ki Hajar. 1977. Pendidikan Bagian Pertama. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Gardner, H. 1993. Multiple Intelligences: From Theory to Practice. New York: Basic Books
Kim and Berry. 2006. Indigenous and Cultural Psychology: Understanding People in
Context. New York: Springer.
Mack, Dieter. 2005. Musik di antara Seni dan Politik: sebuah Dilema Abadi. Pengantar
dalam buku Ismail Marzuki Musik, Tanah Air dan Cinta. Jakarta:LP3ES
Permendiknas, RI No 22 Tahun 2006. Tentang Standar Isi untuk Satiuan Pendidikan Dasar
dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Puskur Depdiknas. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Seni Budaya. Jakarta: Pusat
Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan.

Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda, Jurnal Studi
Islam dan Budaya, Vol 5 No 1 2007. Purwokerto: STAIN Purwokerto, 27-28.
Rohman, Arif. 2002. Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jurnal
Fondasia, Volume II No 2 2002.
Rondhi, M. 2002. Tinjauan Seni Rupa I . Paparan Perkuliahan Mahasiswa Jurusan Seni
Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Unnes.
Rohidi, T.R. 1993. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolok terhadap Kemiskinan
Disertasi Doktor Prodi Antropologi Pascasarjana Universitas Indonesia
Sprinthall, R.C dan N.A. Sprinthall. 1977 Educational Psychology: A Developmental
Approach, Sydney: Addison-Wesley Publishing Company.
Sri Ambarwangi. 2013. Pendidikan Multikultural di Sekolah melalui Pendidikan Seni
Tradisi Jurnal Harmonia Vol 13 No 1 2013, hal 78-85.
Triyanto. 1994. Seni sebagai Struktur Budaya: Bahasan Teoritis dalam Seni Tradisonal.
Jurnal Media, FPBS Tahun XVII. Semarang: IKIP Semarang Press.

Вам также может понравиться