Вы находитесь на странице: 1из 11

Menyoal Metode Hisab,..

ternyata metode hisab buat


menentukan dimulainya puasa, itu tidak diajarkan
oleh Nabi Muhammad
Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays

Assalamualaikum
Warahmatullah
Wabarakatuh,
Amma
Badu,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang
memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim.
Sebagaimana
firman-Nya:

Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS. An Naml: 6)
Dan
juga
firman-Nya:


Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS. Az Zukhruf: 84)
Allah
Taala
juga
berfirman:


Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (QS. At Tiin: 8)
yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun
demikian.
Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan
sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wataala.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair
Radhiallahuanhu,
Nabi
Shallallahualaihi
Wasallam
bersabda:

As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Taala
Dua Metode Yang Ditetapkan Syariat
Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan
masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
1.RUYATUL HILAL (MELIHAT HILAL DENGAN MATA)
Sebagaimana
firman
Allah
Taala:

Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahuanhu , Nabi
Shallallahualaihi
Wasallam
bersabda:

Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
2.JIKA HILAL TIDAK NAMPAK, MAKA BULAN SYABAN DIGENAPKAN
MENJADI 30 HARI
Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi
Shallallahualaihi
Wasallam
bersabda:

(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan syaban menjadi 30 hari
Para
Ulama
Telah
Ber-Ijma
Para ulama telah ber-ijma bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak
pernah memperselisihkan lagi.
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:


Ibnu
As
Sabbagh
berkata:
Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya
tanpa adanya perselisihan.
Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf:
Puasa di hari ketiga puluh bulan Syaban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika
cuaca cerah, menurut ijma para ulama

Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai
acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan.
Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru
yang bidah dan HARAM HUKUMNYA, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama,
metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan
masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas
Kedua,
Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabiin, tidak pernah
menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka.
Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi
Shallallahualaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum
memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bidah. Sebagaimana sudah dijelaskan
oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga,
para ulama telah ber-ijma untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam
menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan
Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu Abdil Barr, Abul Walid
Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu
Abdil
Barr
dalam
At
Tamhid
(14/325)
menuturkan:


: .
.

Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya
Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang
diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahualam.
Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutabaah karena syadz dan
bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai
lafadz hadits ( Perkirakanlah), maksudnya adalah perkirakanlah sekitar itu.
Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan).
Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna adalah perkirakanlah
orbit dan posisi bulan, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para
ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang
kompeten dalam masalah ini (fiqih).
Ibnu
Taimiyah
dalam
Majmu
Fatawa
(25/132)
berkata:

.
. .


.
. .
Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan
awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika
digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah
haram.
Banyak nash dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama
pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu
maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun
300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk
keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan
ruyah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya
digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan
pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma. Adapun
menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan
untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat
demikian.
Ibnu
Hajar
dalam
Fathul
Baari
(4/127)
berkata:
: .
.
Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah
ini, yaitu kaum syiah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada
mereka. Al Baaji berkata: Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi
mereka.
Beberapa Syubhat
Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak
tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas).
Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang
memiliki
penyakit
hati
di
dalamnya,
sebagaimana
firman
Allah:

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS. Al
Imran: 7)

Berkaitan
dengan
ayati
ini,
Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Ilaamul Muwaqqiin, memberikan 99 permisalan.
Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan
ini.
Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:
Syubhat
pertama,
metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ruyah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul
namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang
dikira sebagai hilal.
Jawaban
terhadap
syubhat
ini,
yang ditetapkan oleh Allah Taala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal,
bukan
posisi
aktual
(waqi
al
haal)
dari
hilal.
Sebagaimana
sabda
Nabi
Shallallahualaihi
Wasallam:

Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah
yang
diperintahkan.
Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu
yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun.
Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Taala
menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan
dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan
demikian.
Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul,
lalu
orang-orang
melihatnya
dan
mengira
itu
hilal.
Sesungguhnya Allah Taala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat
dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal
dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar
bintang, namun Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu
sebagai
patokan.
Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan
bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari, selesai.
Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?
Syubhat
kedua,
hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam
penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk
penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.
Jawabannya,
yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah
menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi al haal), misalnya maghrib adalah ketika

matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi
aktual (waqi al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam,
atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan
syariat kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi al
haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.
Syubhat
ketiga,
hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat
ataukah tidak
Jawabannya,
syariat hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita
puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah
kami jelaskan sebelumnya.
Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh
Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan
awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian
adalah
pendapat
yang
nyeleneh,
bertentangan
dengan
ijma
ulama.
Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma ulama.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta
memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syariyyah, agar terhindar dari budaya ikutikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.
Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syariyyah, manusia menjadi goncang.
Terkadang membuat mereka berbuat bidah dan terkadang membuat mereka berlebihlebihan dari syariat.
Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan
bertentangan
dengan
ijma.
Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa,
yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum
matahari
terbit
pada
tanggal
12
Dzulhijjah
di
Mina.
Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma, sebagaimana dikatakan oleh
sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahuanhuma.
Demikian
juga
pendapat
Imam Ahmad
dalam
salah
satu
riwayat.
Khilafiyah Seputar Ruyah Hilal
Adapun kaitannya dengan hukum seputar ruyah hilal, para ulama berselisih pendapat
mengenai apakah ruyah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri
yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri.
Yang lebih kuat, wallahualam, ruyah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri
saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib,

ia
berkata:

: : . : :
. : .
: :
Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami
melihat hilal itu pada malam Jumat. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan.
Ibnu Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: Kapan engkau melihat hilal?. Saya
katakan: Kami di Syam melihatnya pada malam Jumat. Ibnu Abbas berkata: Engkau
melihatnya malam Jumat?. Kujawab: Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa,
dan
Muawiyah
pun
berpuasa.
Ia
berkata
lagi:
Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga syaban
genap 30 hari atau karena kami melihatnya. Aku berkata kepadanya: Mengapa engkau
tidak mengikuti ruyah Muawiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?. Ia
menjawab: Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahualaihi
Wasallam.
Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah
mereka sendiri, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahuanhuma.
Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi
Thalin Radhiallahuanhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad,
Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.
Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ruyah masingmasing negerinya.
Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari.
Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan
awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap
tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan syaban menjadi 30 hari.
Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga
atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ruyah. Kemudian kaum muslimin di
sana beracuan pada ketetapan dan hasil ruyah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat
tim ini haruslah menggunakan ruyah syariyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga
semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan syaban menjadi 30 hari.
Beberapa Fatwa Ulama
Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:
Fatwa
Lajnah
Ad
Daimah
Saudi
Arabia
(10/104)
:

} :
} : {
: {






Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya
dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh
karena itu, dalil-dalil Al Quran dan sunnah menetapkan ruyah hilal sebagai pertanda
datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal
Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Taala
berfirman:

Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu (QS. Al Baqarah: 185)
Allah
Taala
juga
berfirman:


Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tandatanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji (QS. Al Baqarah: 189)
Nabi
Shallallahualaihi
Wasallam
juga
bersabda:

Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak
tampak, genapkanlah bulan syaban menjadi 30 hari
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahualaihi Wasallam telah menetapkan ruyah hilal sebagai
pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ruyah hilal
syawal. Beliau Shallallahualaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan
perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang.
Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahualaihi Wasallam, masa
khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah
sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang tentu lebih
utama dan lebih baik.
Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya
suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bidah yang sama sekali tidak memiliki
kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syariat
Juga
fatwa
Lajnah
Ad
Daimah
yang
lain
(3127):



Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan

Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ruyah
hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan syaban digenapkan
menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Syaban. Demikian juga jika hilal syawal tidak
terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari.
Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum
dalam
Majmu
Fatawa
beliau
(15/110),
berkata:

.

.
:
- :
:
.
.
.
} : {


.



Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa
dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ruyah. Sedangkan kemunculan bulan baru
secara aktual tanpa menggunakan ruyah syariyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan
ijma para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu
yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai
ruyah, ijma ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang
mendebat sunnah Nabi Shallallahualaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat
ijma
salaf.
Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami
sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:
Pertama,
Nabi Shallallahualaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan
berlebaran
jika
melihat
hilal,
dalam
sabda
beliau

Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya
Lalu
beliau
menafsirkan
sendiri
perkataan
beliau:

Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat
hilal

Kedua,
beliau Shallallahualaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada
malam ke 30 syaban, maka bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak
memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi.
Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan
puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain
selain ruyah, tentu Nabi Shallallahualaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya.
Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ruyah dan
penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syari. Karena aturan agama yang sudah
ada itu terus berlaku hingga hari kiamat.
Allah
Taala
berfirman:


Dan
Rabb-mu
itu
tidak
pernah
lupa
(QS.
Maryam:
64)
Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ruyah hilal dalam hadits di atas maknanya
adalah mengetahui hilal atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ruyah
(melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena
ruyah dalam hadits ini adalah fiil mutaaddi yang mengacu pada satu maful saja, yang
menunjukkan makna penglihatan bukan pengilmuan.
Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ruyah itu menggunakan
mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syariyyah
dibanding orang yang lain. Justru perintah ruyah hilal lebih pas dengan maqashid
syariyyah bahwa Islam itu agama yang mudah.
Karena ruyah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat
dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedunggedung.
Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan
dan bertentangan dengan maqashid syariyyah.
Karena
umumnya
manusia
tidak
paham
ilmu
astronomi.
Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu
astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim
Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami
bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat
menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.
Abdul
Pengasuh
28
Sumber:

Aziz
/

situs
8

Ar

Rays
http://islamancient.com/
/
1431
http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904


Penerjemah:
Artikel www.muslim.or.id

Yulian

Purnama

Вам также может понравиться