Вы находитесь на странице: 1из 6

Kriteria Emergensi Bikin "Pusing Pala Berbi"

Salah satu keluhan paling banyak dari peserta program JKN adalah seringnya mereka
"ditolak" saat berkunjung ke UGD sebuah RS dengan alasan kasus atau penyakitnya tidak
termasuk dalam kriteria emergensi (Gawat Darurat) sehingga tidak dijamin oleh BPJSK. Jika
keluarga memaksa untuk tetap ditangani maka biasanya ditawarkan untuk menjadi pasien
umum (out of pocket).
Sejujurnya, jangankan masyarakat umum yang relatif awam terhadap dunia medis
(kedokteran), saya berkeyakinan bahwa dikalangan tenaga kesehatan pun masih banyak
silang pendapat terkait kriteria emergensi ini. Siapakah yang menentukan kriteria emergensi
ini dan atas dasar apa ?
Gawat Darurat (Emergensi)
Menurut Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, definisi Gawat Darurat adalah
keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa
dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Namun sayangnya, dalam UU RS tersebut tidak
dijabarkan secara jelas tentang kriteria gawat darurat (emergensi).
Pengaturan agak tegas terdapat pada Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
pada Pasal 40 Ayat (5) yang berbunyi : "Ketentuan lebih lanjut mengenai PENILAIAN
KEGAWATDARURATAN dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat diatur
dengan PERATURAN BPJS KESEHATAN". Akan tetapi ternyata dalam Peraturan BPJS
Nomor 1 Tahun 2014 juga tidak mengatur secara jelas kriteria diagnosa yang masuk
pelayanan kasus gawat darurat malah lebih membingungkan lagi karena Pasal 63 Ayat (2)
menyatakan bahwa Pelayanan gawat darurat merupakan pelayananan kesehatan yang
harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau kecacatan,
sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan dengan KRITERIA TERTENTU sesuai
dengan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN." Pertanyaannya, peraturan perundangundangan mana yang dimaksudkan ?
PMK Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN tidak mengatur secara
tegas kriteria diagnosa gawat darurat. Setali tiga uang, PMK Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Manlak JKN yang merupakan "kitab" nya pelayanan JKN oleh BPJSK pun tidak mengatur
jenis diagnosa yang termasuk pelayanan gawat darurat. Hanya mengatur tentang prosedur
pelayanan gawat darurat dan mekanisme klaim bagi faskes yang tidak bekerjasama dengan
BPJS namun melayani kasus gawat darurat peserta BPJSK.
Dalam kondisi masih simpang siurnya kriteria emergensi ini, program JKN harus tetap jalan
mulai 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan selaku operator pelaksana program ini secara
mengejutkan menerbitkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Nomor 38 Tahun 2014
tentang Juknis terhadap SE Menkes Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Bagi Peserta BPJS di FKTP dan FKRTL dalam Penyelenggaran Program JKN. Pada
edaran direktur pelayanan BPJS tersebut disebutkan di Angka 1 Huruf b : "Kriteria
kegawatdaruratan medis terlampir". Dan memang didalam lampiran surat edaran tersebut

terdapat tabel daftar penyakit yang termasuk kriteria emergensi. Terdapat 171 kasus
diagnosa kriteria emergensi yang dibagi dalam 9 bagian disiplin ilmu kedokteran (Anak,
Penyakit Dalam, Kardiovaskuler, Paru-Paru, Bedah, Kebidanan, Syaraf, Mata dan THT).
Belum juga mendapat jawaban atas "kejanggalan" aturan tentang kriteria emergensi pada
pelayanan JKN oleh BPJSK, tiba-tiba di medsos muncul gambar pengumunan yang ditempel
di sebuah RS tentang kriteria gawat darurat oleh sebuah Kantor Cabang BPJSK.

Adakah yang aneh dari pengumuman tersebut ? Sangat kasat mata terlihat bahwa yang
menjadi landasan hukum kriteria Gawat Darurat adalah Permenkes Nomor 416 Tahun 2011.
Tentang apakah peraturan menteri kesehatan ini ?
PMK Nomor 416 Tahun 2011 ini adalah tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta
PT. ASKES (Persero) yang merupakan revisi dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun 2009 tentang Pedoman Tarif Pelayanan
Kesehatan Bagi Peserta PT Askes (Persero) dan Anggota Keluarganya di Puskesmas, Balai
Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Daerah.
Konsideran PMK Nomor 416 Tahun 2011 huruf (b) ini berbunyi sebagai berikut : " bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengatur kembali
Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi PESERTA PT ASKES (PERSERO) dengan Peraturan
Menteri Kesehatan". Dalam lampiran kriteria gawat darurat Permenkes ini tercantum tabel
yang berisi jenis diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria emergensi persis seperti
yang tercantum dalam edaran direktur pelayanan BPJS pada Januari 2014. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa rujukan penentuan kriteria emergensi program JKN memang diambil dari
Permenkes Nomor 416 Tahun 2011 ini.

Lalu dimana persoalannya? Sangat jelas bahwasanya yang menjadi OBJEK HUKUM
peraturan ini adalah PESERTA PT. ASKES DAN KELUARGANYA. Artinya yang wajib tunduk
dan patuh serta terikat pada ketentuan ini adalah hanya peserta PT. ASKES dan
keluarganya. Diluar itu maka tidak memiliki legal standing yang harus mengikuti peraturan
ini.
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
Jika berkaca pada ketentuan tentang 144 diagnosa penyakit yang dapat ditangani oleh
dokter layanan primer, maka patut diduga bahwa rujukan akademis ketentuan kriteria
emergensi ini adalah Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang merupakan
revisi dari Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21a/KKI/Kep/IX/2006 Tentang
Pengesahan Standar Kompetensi Dokter. SKDI ini disusun oleh para pakar di bidang
pendidikan kedokteran di Indonesia melibatkan berbagai pihak dengan kontributor utama
para Guru Besar (Profesor) dari 73 Fakultas Kedokteran yang ada di Indonesia.
Dalam SKDI dikenal 7 (tujuh) area kompetensi inti dan pada area komptensi ke-5 yaitu
Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran ditetapkan 4 (empat) Tingkat Kemampuan yaitu :
1. Tingkat Kemampuan 1 : mengenali dan menjelaskan.
Mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara
yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut,
selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien.
2. Tingkat Kemampuan 2 : mendiagnosis dan merujuk.
Mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
3. Tingkat Kemampuan 3 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal dan merujuk.
a. 3A : Bukan Gawat Darurat
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
yang bukan gawat darurat. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya.
b. 3B : Gawat Darurat
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya.
4. Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan
tuntas.
Mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas. Kompetensi level 4A adalah Kompetensi yang dicapai pada
saat lulus dokter dan Kompetensi level 4B adalah Profisiensi (kemahiran) yang dicapai
setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB). Dengan
demikian didalam Daftar Penyakit ini level kompetensi tertinggi adalah 4A.

Daftar penyakit disusun berdasarkan sistim tubuh manusia disertai tingkat kemampuan yang
harus dicapai oleh para dokter di Indonesia. Terdapat 726 daftar penyakit yang terbagi
kedalam 13 sistem tubuh manusia. Diantara 726 daftar penyakit tersebut terdapat 144
daftar penyakit yang memiliki tingkat kemampuan level 4A yang artinya seluruh dokter
harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.
Meskipun telah ditegaskan bahwa SKDI merupakan standar minimal kompetensi lulusan
dokter dan BUKAN merupakan standar kewenangan dokter layanan primer, namun
Kemenkes tetap mengadopsi menjadi standar kompetensi dokter layanan primer dengan
keluarnya PMK Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Peraturan inilah yang kemudian menjadi dasar BPJSK
menerapkan ketentuan bahwa terdapat 144 diagnosa penyakit yang "seolah-olah" tidak
boleh dirujuk ke Rumah Sakit dan harus dituntaskan di faskes primer. Tentu saja ketentuan
ini menimbulkan pro dan kontra juga apalagi jika kembali pada filosofi dasar SKDI adalah
BUKAN menjadi standar kewenangan dokter layanan primer. Namun dari sisi legal aspect
ketentuan ini sudah sesuai karena fungsi regulator sistem dan prosedur layanan kesehatan
ada di Kemenkes dan BPJSK hanya sebagai pelaksana serta penyelenggara di lapangan.
Yang menarik dicermati adalah meskipun terdapat setidaknya 97 daftar penyakit dengan
tingkat kemampuan level 3B (kasus gawat darurat), namun ternyata TIDAK ditindaklanjuti
dengan terbitnya aturan tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Kasus Gawat Darurat di UGD
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Keluarnya PMK Nomor 416
Tahun 2011 secara logika seharusnya mengacu kepada SKDI Tahun 2006 yang juga sudah
terdapat daftar penyakit yang termasuk kriteria gawat darurat (Tingkat Kemampuan Level
3B). Dalam PMK tersebut, daftar penyakit disusun berdasarkan bidang ilmu kedokteran,
BUKAN berdasarkan sistem tubuh manusia.
Hasil analisa menunjukkan bahwa banyak penyakit yang dalam SKDI termasuk kriteria
gawat darurat namun tidak ada didalam PMK Nomor 416 Tahun 2011 tersebut. Sebagai
contoh adalah pada kasus Kebidanan hanya diagnosa EKLAMPSIA yang termasuk kriteria
emergensi padahal dalam SKDI diagnosa PRE-EKLAMPSI juga termasuk kriteria emergensi.
Apakah harus menunggu sampai pasien jatuh dalam kondisi kejang-kejang karena
Eklampsia baru boleh dirujuk ke IGD ? Contoh lain adalah pada penyakit sistem
kardiovaskuler yaitu diagnosis Takikardi Supraventrikuler (TSV), Fibrilasi Ventrikuler (FV)
dan Atrial Flutter (AF) merupakan trio penyebab kegawatan jantung sehingga dalam SKDI
TERMASUK dalam kriteria gawat darurat, namun dalam daftar penyakit emergensi PMK
Nomor 416 Tahun 2011 TIDAK termasuk kasus gawat darurat, yang ada hanyalah kasus
henti jantung dan aritmia. Apakah harus menunggu jantung berhenti dulu baru boleh
dirujuk ke IGD ? Bukankah kondisi Fibrilasi Ventrikuler (FV) itu jika tidak ditangani dengan
cepat dalam hitungan menit bisa jatuh dalam kondisi henti jantung (cardiac arrest) ?
Terlepas dari deviasi tersebut, yang masuh cukup membingungkan masyarakat adalah
terdapat beberapa perbedaan kriteria emergensi yang disosialisasikan ke publik. Sebagai
contoh adalah pada gambar dibawah ini. Gambar ini terdapat di salah satu leaflet yang
dibagikan oleh sebuah Kantor Cabang BPJS di Jawa Tengah. Kita bisa melihat bahwa kriteria
kasus emergensi untuk penyakit sistem syaraf ternyata ada 7 (termasuk vertigo dan migrain

berat) sedangkan dalam edaran BPJS untuk kriteria emergensi sistem syaraf hanya ada 3
yaitu Kejang, Stroke dan Meningo-Encephalitis. Nah yang mana yang benar kalau begitu ?

Kesimpulan
1. Belum ada ketentuan setingkat peraturan dari Kemenkes selaku regulator yang
menetapkan NSPK sistem prosedur pelayanan kesehatan dalam program JKN terkait
dengan diagnosis yang termasuk kriteria emergensi.
2. PMK Nomor 416 Tahun 2011 TIDAK BISA dijadikan dasar hukum penentuan kriteria
kasus emergensi karena objek hukum dan subjek nya sudah tidak ada secara
eksistensinya. PT. Askes sudah bubar dan peserta Askes juga sudah menjadi peserta
BPJSK.
3. Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS TIDAK BISA dijadikan dasar hukum karena ranah
kewenangan BPJSK adalah sebagai pelaksana dan penyelenggara di lapangan. Regulasi
yang menjadi kewenangan BPJSK hanya pada zona sistematika dan tata cara prosedur
pendaftaran peserta.
4. Masih adanya perbedaan kriteria kasus emergensi antar Kantor Cabang BPJS yang
membuktikan bahwa belum adanya aturan hukum yang legal formal sebagai acuan baku
(standar).
5. Kemenkes tidak konsisten dalam menggunakan SKDI sebagai referensi akademis
terbukti untuk 144 diagnosa yang memiliki tingkat kemampuan level 4A langsung
ditindaklanjuti dengan keluarnya PMK tentang PPK Dokter di FKTP namun untuk 97
diagnosa gawat darurat tidak dibuatkan PMK tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) di
UGD RS.
6. Pembuatan PPK kasus emergensi hendaknya mengikuti sistematika dalam SKDI yaitu
berdasarkan sistim tubuh manusia dan bukan berdasarkan disiplin ilmu kedokt
Rekomendasi
1. Kemenkes harus segera menyusun dan menetapkan Panduan Praktik Klinis (PPK)
terhadap 97 kasus-kasus emergensi sesuai dengan sistematika yang sudah ditetapkan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI).
2. BPJSK harus mengikuti ketentuan dari kemenkes tersebut dan tidak boleh lagi
menggunkan dasar hukum yang lain apalagi yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum
seperti PMK Nomor 416 Tahun 2011.

3. Kemenkes harus melakukan revisi jika terdapat SKDI baru dari KKI terkait jenis-jenis
penyakit yang masuk dalam kriteria emergensi mengingat dinamika ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran.
Membuat jelas tentang kasus-kasus emergensi disertai sosialisasi yang massif kepada
seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan program JKN ini diyakini akan mampu
menekan jumlah komplain masyarakat dan ketidaknyamanan petugas kesehatan di
lapangan. Memang seharusnya kriteria emergensi ini membuat kita "hepi", bukan malah
membuat "pusing pala berbi". Terimakasih.
Sekian,
Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta - Jawa Barat

Bahan Bacaan :
1. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Perpes Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
3. Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN
4. Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN
5. Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
6. Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Nomor 38 Tahun 2014 tentang Juknis terhadap
SE Menkes Nomor 32 Tahun 2014.
7. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan Tahun 2014
8. Permenkes Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Praktik Klinis (PPK) Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
9. SK Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21a Tahun 2006 Tentang Pengesahan Standar
Kompetensi Dokter.
10. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Вам также может понравиться