Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing
sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota
memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan
daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala
Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga
legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya
dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU
No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya
pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di
era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih).
Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam
memilih kepala daerah.
B.
PEMBAHASAN
a. SengketaPemilu
Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan
penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan
dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu
pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan
yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu.
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya
adalah:
a.penyelenggaraanpemilu
b. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan
Pimpinan
Tingkat
c.Peserta
Pemilu
Propinsi,
Dewan
perseorangan
Pimpinan
untuk
Tingkat
pemilihan
Kab/Kota,
anggota
dst.
DPD.
Penerima
Laporan.
laporan
kepada
Pengawas
Pemilu
yang
berwenang.
Pengawas
Pemilu
yang
berwenang.
b. Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihakpihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai
dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Alternatif
penyelesaian Pengawas Pemilu.
c. Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
angka 7 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui
Putusan Pengawas Pemilu.
Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini
adalah sebagai berikut:
a. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah laporan diterima.
b. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
c. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 2 dilakukan.
d. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
e. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit
Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja
diciderai dengan tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik tertentu yang
menimbulkan pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang
berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi
pada hasil pemilu
Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu
wewenang Mahkamah Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau
dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK
sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk
lembaga
ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 [3] menetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara
lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung
(MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY) [4]. Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah
Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan.
politik,
dan
memutus
perselisihan
tentang
hasil
pemilu.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal
10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut :
tentang
Mahkamah
Konstitusi
diatur
dengan
Undang-undang.
Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1)
UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah
Konstitusi
No.
04/PMK/2004,
ditentukan
sebagai
berikut:
Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (iii)
partai politik peserta Pemilu Umum.
Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing
dan tentunya tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil
pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang
berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk dalam kewenangan
panitia pengawas pemilu.
Permohonan sengketa pemilu yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah
Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan penetapan hasil pemilihan umum yang
ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat
mempengaruhi; (i) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
(ii) Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada
putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden,
(iii) Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan
umum.
Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara
nasional diatas, merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh
setiap pemohon, sehingga sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa
kedepan persidangan Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut
Perselisihan
Hasil
Pemilihan
Umum
yang
menyatakan
bahwa:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya, (ii)
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan
kuasanya, (iii) Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari
pengurus pusat partai politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat diantaranya :
Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam
(tiga kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24
Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan permohonan yang sangat
singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat melalui
faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus
diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung
sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan
kelengkapannya
oleh
Panitera
Mahkamah
Konstitusi.
Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul
Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi
Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481
suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).
Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No
01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan
menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah
perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad
menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Ismail turun menjadi 204.828.
Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W
dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.
Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005.
Pada 8 September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara
sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya
memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan
putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari
permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan
MA ini berarti Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan
hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari
2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan
MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini merupakan
wewenang MA.
yakni
pelanggaran
pidana
dan
pelanggaran
administrasi.
Sengketa Pemilu Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya
Konstitusi
No.
04/PMK/2004,
ditentukan
sebagai
berikut:
Prosedur
Pengajuan
Perselisihan
di
Mahkamah
Konstitusi
rekapitulasi
hasil
penghitungan
suara
dalam
setiap
jenjang