Вы находитесь на странице: 1из 18

A.

PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing
sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota
memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan
daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala
Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga
legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya
dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU
No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya
pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di
era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih).
Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam
memilih kepala daerah.

B.

PEMBAHASAN
a. SengketaPemilu

Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan
penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan
dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu
pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan
yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu.
Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya
adalah:
a.penyelenggaraanpemilu
b. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan
Pimpinan

Tingkat

c.Peserta

Pemilu

Propinsi,

Dewan

perseorangan

Pimpinan
untuk

Tingkat

pemilihan

Kab/Kota,
anggota

dst.
DPD.

d. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.


e. warga negara yang mempunyai hak pilih
f. hak pantau.
Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai
berikut:
a. Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia
Pengawas

Penerima

Laporan.

b. Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu


penerima

laporan

kepada

Pengawas

Pemilu

yang

berwenang.

c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu


oleh

Pengawas

Pemilu

yang

berwenang.

d. Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang


berwenang.
Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat
tercapai, maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu
Secara Musyawarah dan Mufakat.
a. Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas
Pemilu yang berwenang menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak
yang bersengketa, dan apabila disetujui, maka dituangkan dalam Berita Acara
Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Alternatif Penyelesaian Pengawas Pemilu.
b. Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu
atau kedua belah pihak yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan
putusan final dan mengikat, yang dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian
Sengketa Pemilu Melalui Putusan Pengawas Pemilu.
Suatu sengketa pemilu yang ditangani oleh pengawas pemilu telah selesai,
apabila:
a. Dicapainya Musyawarah dan Mufakat sebagaimana dimaksud dalam
butir 5 (sebagaimana penjelasannya diatas) yang ditandai dengan
dibuatnya Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu secara Masyawarah
dan Mufakat.

b. Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihakpihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai
dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Alternatif
penyelesaian Pengawas Pemilu.
c. Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
angka 7 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui
Putusan Pengawas Pemilu.
Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini
adalah sebagai berikut:
a. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah laporan diterima.
b. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 1 (satu) dilakukan).
c. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3
(tiga) hari setelah angka 2 dilakukan.
d. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali
dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
e. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling
lama 3 (tiga) hari setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit

sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah angka 3 (tiga)


dilakukan).
f. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan paling
lama 14 (empat belas) hari setelah angka 5 dilakukan.
Permohonan sengketa penyelesaian sengketa pemilu gugur, apabila:
a. Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir
dalam pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh
Pengawas Pemilu yang berwenang dalam Berita Berita Acara Gugurnya
Sengketa.
b. Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali setelah
pertemuan pertama, yang dituangkan dalam Berita Acara Pencabutan
Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu.
c.Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh) hari
setelah terjadinya sengketa.
3. Sengketa Hasil Pemilu
Dalam sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah
melakukan 10 (sepuluh) kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan
umum itu merupakan salah bentuk dari pesta demokrasi. Dalam waktu yang relatif
cukup panjang tersebut, segala bentuk kecurangan dan/atau manipulasi yang
berujung pada sengketa Pemilu, yang merupakan persoalan yang cukup mendasar
dan menjadi perhatian serius kita semua, mengingat asas Pemilu yang Langsung,

Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja
diciderai dengan tindakan-tindakan curang oleh Partai Politik tertentu yang
menimbulkan pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu tersebut.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang
berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi
pada hasil pemilu
Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu
wewenang Mahkamah Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau
dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK
sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk
lembaga

ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 [3] menetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara
lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung
(MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY) [4]. Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah
Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan

peradilan

guna

menegakkan

hukum

dan

keadilan.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum


untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan
Negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan
kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa
pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola
secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara
hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai
Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of
The Constitution.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran


partai

politik,

dan

memutus

perselisihan

tentang

hasil

pemilu.

b. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan


Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal
10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut :

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun
1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk
dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan

mengeluarkan putusan selambat-lambatnya tiga hari setelah perkara tersebut


masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
5. Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan
penyusunan dengan segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi
yang mengatur hal-hal yang bersifat teknis, administratif yang meliputi antara
lain: prosedur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara
Mahkamah Konstitusi dan Ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
selengkapnya menyatakan sebagai berikut :
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya

tentang

Mahkamah

Konstitusi

diatur

dengan

Undang-undang.

Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1)
UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah

Konstitusi

No.

04/PMK/2004,

ditentukan

sebagai

berikut:

Pemohon adalah: (i) Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, (ii) Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, (iii)
partai politik peserta Pemilu Umum.
Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing
dan tentunya tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil
pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang
berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk dalam kewenangan
panitia pengawas pemilu.
Permohonan sengketa pemilu yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah
Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan penetapan hasil pemilihan umum yang
ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat
mempengaruhi; (i) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
(ii) Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada
putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden,
(iii) Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan
umum.
Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara
nasional diatas, merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh
setiap pemohon, sehingga sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa
kedepan persidangan Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut

tidak terpenuhi, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah


Konstitusi. Adapun posisi Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi
pihak termohon.
6. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi
Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuanketentuan sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan
permohonan tersebut yang secara administrasi ditujukan kepada bagian
kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa kelengkapan administrasi,
misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang ditulis dalam bahasa Indonesia,
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap,
menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal
lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4)
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara
dalam

Perselisihan

Hasil

Pemilihan

Umum

yang

menyatakan

bahwa:

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya, (ii)
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan
kuasanya, (iii) Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari
pengurus pusat partai politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat diantaranya :

a. Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama,


pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon
seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain
meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu
pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai politik dan
perseorangan calon anggota DPD).
b. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli
sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
c. Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
d. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat
hasil penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen
tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi
materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi
dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama
permohonan.

Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam
(tiga kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24
Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan permohonan yang sangat
singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat melalui
faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus
diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung
sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan
kelengkapannya

oleh

Panitera

Mahkamah

Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003,


dimana dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah
Konstitusi dan bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin
mengajukan permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun
kasus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan
perkara ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan
mengikat, Mahkamah Konstitusi.
.

Penyelesaian Sengketa Pilkada


Putusan sengketa Pilkada akan diselesaikan di meja Mahkamah Agung (MA).
Akan tetapi, setelah ada amandemen Undang-undang Dasar 1945 dan sudah
beberapakali dilakukan amandemen tersebut. Maka secara tidak langsung
memberikan legitimasi kuat terhadap Mahkamah Konstitusi untuk mengadili
setiap perkara ketatanegaraan yang mengalami sengketa diwilayah Negara

Indonesia, Indonesia memiliki jendela hukum yang bikameral bukan unikameral


dan lebih kepada multirateral.
Banyak kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Indonesia baru-baru ini,
misalnya yang terjadi di Sulawesi Selatan.[9] Sengketa yang berujung pada
putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di
daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA
menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut.
Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam
sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan
dilakukan perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih
kecamatan (PPK), penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya
menjadi wewenang Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA
memutuskan menolak keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur
Amin Syam dan calon wakil gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan
melalui rapat permusyawaratan MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir
Manan, tertanggal 18 Maret 2008. Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada
Sulsel ditetapkan kepada Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang)
yang terpilih pada November 2007.
Berbeda dengan sengketa pilkada Depok. Awal konflik pilkada Depok ketika
salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad
mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan
menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara
sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil
perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun

Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul
Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi
Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481
suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).
Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No
01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan
menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah
perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad
menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Ismail turun menjadi 204.828.
Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W
dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.
Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005.
Pada 8 September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara
sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya
memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan
putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari
permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan
MA ini berarti Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan
hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari
2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan
MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini merupakan
wewenang MA.

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan


bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di
Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan
kepala daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi.
Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku
Utara (Malut) dan pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut
menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan penyelesaian
terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak
yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang
memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya
digugat lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak
orang yang menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat
kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang
berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah
Konstitusi.
BAB III
KESIMPULAN

Pelanggaran Pemilu Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran


terhadap Undang-undang Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)
pelanggaran

yakni

pelanggaran

pidana

dan

pelanggaran

administrasi.

Sengketa Pemilu Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya

perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang


berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana
suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan,
pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pemilu.
Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang
berkaitan dengan hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi
pada hasil pemilu.
Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum
untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara
dan kehidupan politik.
Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1)
UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah

Konstitusi

No.

04/PMK/2004,

ditentukan

sebagai

berikut:

Pemohon adalah: Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan


Perwakilan Daerah (DPD) Peserta Pemilihan Umum, Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Partai
politik peserta pemilu umum.

Prosedur

Pengajuan

Perselisihan

di

Mahkamah

Konstitusi

permohonan diataas harus memuat diantaranya :


Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon
seluler/email.
b. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli
sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
c. Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut penonton. Pengajuan permohonan harus
disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut, antara lain alat
bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan suara, foto copy
sertifikat

rekapitulasi

hasil

penghitungan

suara

dalam

setiap

jenjang

penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap


12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasi.

Вам также может понравиться