Вы находитесь на странице: 1из 9

Cara Penggunaan

Amphetaminee dan obat-obat variannya bisa diberikan secara oral,


suntikan, absorbsi melalui membran nasal dan bukal, atau melalui
pemanasan, uapnya dihirup dan diabsorbsi melalui alveoli. Sama halnya
dengan nikotin, opioid dan kokain , amphetamine atau methamphetamine
yang dihirup diserap dengan cepat dengan efek yang cepat muncul. Tidak
seperti kokain, garam amphetamine dan methamphetamine bisa diuapkan
tanpa banyak merusak bentuk molekulnya, sehingga dengan mudah bisa
dibuat bentukan bebas untuk dihisap.
Sama dengan opioid, efeknya amphetamine yang cepat muncul jika disuntik
atau dihirup menghasilkan sensasi yang menyenangkan yang disebut rush.
Waktu munculnya efek bergantung pada cara pemberian, mulai dari
beberapa detik jika dihisap atau disuntikan hingga beberapa menit jika
ditelan. Durasi efek dari amphetamine belum diteliti dilaboratorium, tapi
diasumsikan efeknya lebih pendek daripada lamanya durasi mood yang
meningkat. Efek maksimum mood dicapai kira-kira dalam 15 menit dan
bertahan selama 10-12 jam kemudian lalu diikuti efek lanjutan sekitar 48
jam. Meksipun efek amphetaminee cepat muncul jika dihisap, beberapa
pengguna, khususnya pengguna muda di Australia, Inggris dan Asia pasifik,
banyak yang berpindah dari penggunaan oral ke IV. Pengguna amphetamine
secara suntikan cenderung lebih mudah berbagi alat suntik dibandingkan
pengguna suntikan jenis lain.
Metabolisme
Meskipun amphetamine dan methamphetamine dimetabolisir di hati, tapi
banyak dari obat yang ditelan, bentuknya kimianya tidak berubah saat
dieksresikan melalui urin.Waktu paruh dari dosis terapi amphetamine sekitar
7 19 jam, sedangkan amphetamine nampaknya sedikit lebih lama.
Keduanya merupakan basa lemah dan waktu paruhnya diperkirakan lebih
pendek jika urin dalam keadaan asam. Setelah diberikan dengan dosis
toksik, amphetamine gejalanya bisa bertahan jauh lebih lama (hingga
beberapa hari) dibandingkan kokain, bergantung pada pH urin.
Toleransi dan sensitisasi
Kebanyakan pengguna yang ingin sembuh melaporkan bahwa mereka butuh
peningkatan dosis amphetamine dengan cepat untuk mendapatkan efek
euphoria yang sama; toleransi mereka terhadap dosis meningkat. Beberapa
toleransi juga terjadi pada efek kardiovaskular.

Pada binatang percobaan, pemberian amphetamine atau obat sejenisnya


secara berulang memberikan efek sensitisasi sebagai respons terhadap
suatu dosis semakin meningkat. Sensitisasi ini bisa bertahan lama. Status
paranoid dan psikosis toksik yang sering terjadi pada pengguna
amphetamine dipercaya sebagai akibat dari meningkatnya sensitisasi.
Mereka yang mengalami psikosis amphetamine bisa terjadi terjadi lebih
cepat pada pengurangan paparan dan bisa mengalami episode-episode
psikotik akibat dari stress.

Status Withdrawal
Efek withdrawal amphetaminee terbalik dengan efek intoksikasinya yang
sering kali tidak diketahui oleh penggunanya. Efek-efek tersebut antara lain
lemah badan, insomnia, mimpi yang tidak mengenakan, hiperfagi, agitasi
atau retardasi psikomotorik, disforia, anhedonia dan gangguan perhatian.
Gejala-gejala ini bisa semakin intense dan semakin lama. Sindrom
withdrawal amphetamine mempunyai efek yang menggangu kualitas
psikologi seseorang tetapi dianggap tidak meninmbulkan nyeri seperti pada
withdrawal opioid. Namun demikian, anhedonia akibat withdrawal dan
kelemahan badan bisa terjadi akibat adanya keinginan untuk menggunakan
amphetamine lagi setelah penghentian. Anhedonia dan disforia merupakan
hal penting bagi pengguna yang sudah ketergantungan obat agar bisa
bekerja dan percaya diri, karena mereka bisa tidak bekerja tanpa obat
tersebut. Bagi orang lain, disforia withdrawal juga bisa memicu terjadinya
gangguan mood. Penelitian-penelitian terakhir tidak medokumentasikan
adanya sindrom withdrawal amphetaminee yang memanjang yang bisa
dibandingkan dengan opioid lain.

Mekanisme terjadinya perubahan pada sistem saraf pusat


Penggunaan amphetamine dalam waktu lama menyebabkan terjadinya
beberapa adaptasi pada otak. Contohnya, pelepasan dopamin yang
menyebabkan stimulasi pada reseptor dopamin yang mengaktifkan cyclic
Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam neuron pada nukleus akumben dan
stratum.Aktivasi ini memulai perubahan intraseluler yang menyebabkan
gangguan ekspresi pada beberapa gen, beberapa diantaranya dimediasi oleh

fosforilasi dari faktor transkripsi berupa CREB (cAMP response element


binding protein). Induksi dari CREB ini meningkatkan ekspresi adenylyl
siklase. Aksi lain dari CREB juga berupa peningkatan transkripsi dari
dynorphin dalam asam ribonukleat (RNA). Aksi ini sangat berdampak karena
dynorphin merupakan selektif -opioid agonis yang menghambat pelepasan
dopamin. Adanya beberapa akson kolateral dari neuron-neuron di dalam
nukleus akumbens dipercaya melepaskan dynorphin pada -reseptor di
terminal dopaminergik sehingga meningkatkan aktivitas dopaminergik
secara berlebihan. (Gambar 11.10-1). Apabila pemberian amphetaminee
dihentikan, pelepasan dopamin yang berlebihan berhenti, kadar dynorphin
yang tinggi akibat kompensasi menetap yang mengakibatkan hilangnya
aktivitas dopaminergik, sehingga muncul anhedonia dan disforia yang
berlebihan pada withdrawal amphetamine.
Sebagai tambahan, neuron pada nukleus akumben menunjukkan adanya
penurunan konsentrasi dari Gi protein (yang menghambat adenylyl cyclase)
dan meningkatkan kadar dari cAMP-dependent protein kinase. Kedua
perubahan ini bisa menetap selama beberapa minggu dan diharapkan
meningkatkan pengaturan jalur cAMP. Pada hewan percobaan, manipulasi
yang meningkatkan pengaturan jalur cAMP mengakibatkan konsumsi kokain
(mungkin juga amphetamine). Perubahan yang menetap pada jalur cAMP ini
merupakan salah satu mekanisme terjadinya toleransi atas peningkatan
efek stimulan. Mekanisme lain yang mungkin berperan dalam adaptasi
terhadap penggunaan amphetamine dan kokain adalah cocaine-and
amphetamine-regulated transcript (CART) peptides. Neurotransmitter ini
terpusat pada area ventral tegmental dan juga ditemukan dalam nukleus
akumbes. Neurotransmitter ini berperan dalam homeostatis , membalikan
atau membatasi efek dari kadar dopamin yang tinggi.
Sensitisasi yang terjadi akibat penggunaan amphetamine mungkin terjadi
akibat induksi dan akumulasi dari Fos-like protein, chronic fos-related antigen
(FRAs)(dimediasi oleh fosforilasi dari CREB). Akumulasi kronik FRAs sifatnya
bertahan lama, ini yang membedakannya dengan Protein Fos lain yang mulai
muncul saat pemaparan pertama obat. Akumulasi dari FRAs meningkatkan
lokomotor dan meningkatkan response terhadap kokain dan morfin serta
mungkin juga amphetamine. Mekanisme yang mungkin terlibat antara lain
adanya perubahan reseptor subunit glutamat (alpha-amino-3-hydroxy-5methyl-isoxazolepropionic acid (AMPA)). Ada hipotesis yang menyatakan
bahwa perlu adanya FRAs agar bisa terjadi terjadi suatu sensitisasi. Selain
perubahan yang menetap pada proses transkripsi gen, pengguaan

amphetaminee secara berulang menimbulkan perubahan morfologi yang


menetap dari neuron dan nukleus akumben.
Glutamat dan reseptor glutamat memainkan peranan penting dalam
perkembangan sensitisasi amphetaminee (dan kokain). Pada hewan coba,
sensitisasi menyebabkan peningkatan konsumsi kokain. Sensitisasi
amphetamine bisa dicegah dengan pemberian antagonis dopamin tipe 1
(D1), bukan dengan antagonis reseptor D2. Aktivasi reseptor D1 pada area
ventral tegmental (VTA)meningkatkan kadar glutamat ekstraseluler.
Selanjutnya, sensitisasi memerlukan aktivasi N-methyl-D-aspartate (NMDA),
AMPA/reseptor kainate dan reseptor metabotropic glutamat (mGlu).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menghubungkan hal-hal yang
diketahui tentang perubahan biologis yang terjadi akibat penggunaan obat
dan respons perilaku terhadap stimulus dalam kondisi yang dipengaruhi obat
agar kita bisa lebih memahami tentang fenomena adiksi, terutama
kemungkinan terjadinya relaps setelah abstinens sekian lama. Salah satu
contoh studi tentang itu menekankan pada interaksi antara penurunan
kapasitas fungsi sistem saraf yang mengatur tonus hedonic akibat
penggunaan obat jangka panjang dan ketidakstabilan dan peningkatan
sensitivitas aksis stres hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Adiksi diihat
sebagai suatu siklus gangguan pengaturan sistem ganjaran otak dan
sebuah kondisi dimana terdapat perubahan dari homestatis normal ke
abnormal, suatu keadaan alostatik. Peningkatan sensitivitas terhadap
stressor dari lingkungan dan pelepasan corticotropin releasing factor (CRF)
menghasilkan respons sistem dopaminergik yang secara fungsional setara
dengan dosis awal obat. Pandangan lainnya menekankan pada pentingnya
sensitisasi neuron akibat obat. Pandangan ini menyatakan bahwa terjadi juga
sensitisasi terhadap sistem saraf yang mengatur tugas-tugas khusus atas
stimulis lingkungan. Efek dari sensitisasi ini yaitu stimulus yang diinduksi
oleh obat sangatlah menonjol pada perilaku, digambarkan sebagai kondisi
sakau. Studi lain mencoba mempelajari data mengenai pencitraan otak
yang menunjukkan adanya penurunan volume korteks frontal otak pada
kebanyakan pecandu. Normalnya, korteks prefrontal berfungsi untuk
menghambat aktivitas di dalam amigdala yang merupakan area kunci yang
mengatur memori tentang suatu emosi, termasuk memori dari efek yang
timbul akibat obat. Hipotesis yang muncul pada studi ini yaitu, kondisi adiksi
tidak hanya berhubungan dengan stimulus yang timbul karena obat yang
kemudian memicu kondisi sakau tetapi juga berhubungan dengan penurunan

volume korteks frontal yang menghambat respons prilaku terhadap kondisi


sakau.
Aksi lainnya. Aksi dari amphetamine dan obat mirip amphetaminee tidak
hanya selektif pada dopamine. Obat mirip amphetaminee juga melepaskan
norepiefrin dan serotonin. Pelepasan dari transmter ini relevan dengan
terjadinya toksisitas amphetaminee, khususnya toksisitas pada sistem
kardiovaskuler.

Diagnosis dan keadaan klinis


Di dalam DSM-IV-TR, ada daftar kelainan-kelainan yang timbul akibat
amphetaminee atau obat mirip amphetamine,tetapi kriteria diagnosis yang
spesifik hanya ada untuk intoksikasi amphetaminee, amphetaminee
withdrawal dan kelainan nonspesifik yang berhubungan dengan
amphetaminee. Kriteria diagnosis untuk kelainan lain yang berhubungan
dengan amphetamine (atau obat mirip amphetamine) ada di dalam DSM-IVTR pada bagian tentang gejala fenomenologikal primer (misalnya pskosis).
KELAINAN-KELAINAN PADA PENGGUNAAN AMPHETAMINE. Kriteria dasar
dalam DSM-IV-TR untuk ketergantungan dipakai untuk penyalahgunaan
amphetamine dan zat-zat yang berhubungan. Bergantung pada dosis, cara
penggunaan dan model penggunaan, ketergantungan amphetamine
mempunyai beberapa variasi perilaku, kapasitas kerja dan konsekuensi
toksisitas. Dengan dosis oral ang relatif rendah, perilaku mungkin dalam
batasan normal, dan keterganungan mungkin terlihat hanya berupa lemah
badan, gejala depresi yang muncul jika penggunaan obat mulai terganggu.
Pada dosis yang lebih tinggi, yang disertai dengan keasyikan penggunanya,
sering muncul hiperaktivitas, kegelisahan, bruxism, banyak bicara, mudah
tersinggung, susah tidur dan penurunan nafsu makan yang sering disertai
dengan penurunan berat badan. Biasanya mood meninggi; pengguna
amphetamine biasanya mudah bergaul dan sangat percaya diri. Pada dosis
yang sangat tinggi dan pemberian IV atau diinhalasi, perilaku bisa menjadi
sangat kacau, ketergantungan bisa cepat terjadi dan kemungkinan terjadi
paranoid toksis sangat tinggi. Bisa juga muncul perilaku berulang-ulang
tanpa alasan yang jelas seperti memisahkan sesuatu atau menyusun suatu
obhjek berulang-ulang. Perilaku seperti ini juga nampak pada hewan uji yang
diberikan amphetamine secara berulang-ulang. Perilaku agresif tidak umum

terjadi, tapi mungkin terjadi pada intokskasi atau pada psikosis akibat
amphetamine.
KEMUNGKINAN PERJALANAN PENYAKIT pasien dengan narkolepsi dan anak
dengan ADHD mungkin menggunakan obat mirip amphetamine atau
methylphenidate setiap harinya selama bertahun-tahun tanpa terjadinya
toleransi yang signifikan terhadap efek terapi dengan peningkatan dosis
sedikit. Saat amphetamine dan obat seperti amphetamine semakin sering
digunakan untuk terapi obesitas, hanya sedikit dari pasien yang
mengkonsumsinya setiap hari yang menjadi ketergatungan. Walau ketika
obat mirip amphetamine digunakan tanpa alasan medis misalnya
mengurangi lemah badan atau untuk efek euforianya), tidak banyak
pengguna menjadi kecanduan. Meskipun resiko ke arah itu belum diketahui
dengan pasti, tapi banyak masukan agar dibuat sebuah aturan untuk
mencegah uji coba lebih lanjut. Contohnya pada penelitian lama pada tahun
1974 yang dipublikasikan pada tahun 1976, yang dilakukan pada
sekelompok anak muda. Hasilnya, 73% melaporkan tidak ada pengalaman
dengan amphetamine. Dari 27% sisanya, hampir 10% meggunakan
amphetamine setiap hari. Temuan dari NCS pada awal tahun 1990 juga
mirip. Sekitar 15% dari orang yang diwawancarai pernah menggunakan
stimulan selain kokain diluar alasan medis. Dari seluruh penggunanya, 11,2%
menjadi ketergantungan (DSM-III-R) selama waktu wawancara. Studi yang
lebih baru menemukan bahwa mereka yang menggunakan kokain, 15%
diantaranya bisa menjadi ketergantungan dalam 10 tahun pertama
pemakaian.
Variasi cara penggunaan. Ada beberapa macam pola penyalahgunaan
amphetamine dan sejenisnya. Sebagian orang menggunakannya sesekali
dengan dosis rendah, misalnya pengemudi truck atau siswa yang
menggunakannya untuk melawan lelah atau kantuk ataupun untuk
memperbaiki mood. Beberapa pengguna seperti ini menjadi kecanduan dan
sulit untuk berhenti, beberapa mungkin meningkatkan dosisnya. Karena saat
ini obat ini tidak bisa dibeli untuk tujuan ini maka beberapa penggunanya
mendapatkanya di pasar gelap. Sebagian orang meggunakan amphetamine
untuk memicu euforia. Pengguna seperti ini biasanya berlanjut ke dosis yang
lebih tinggi, terutama jika mereka menggunakannya seara intravena atau
melalui inhalasi. Ini merupakan cara penggunaan yang paling berbahay a
yang kemudian biasanya menjadi pengguna kompulsif. Meskipun pada
awalnya pengguna secara intravena biasanya intermiten, dalam hitungan
hari atau minggu pengguna jenis ini akan menjadi sangat progresif ke dosis

yang lebih tinggi. Beberapa klinisi telah mempelajari bahwa berlawanan


dengan pengguna kokain yang biasanya menghisap kokain, pengguna
methamphetamine cenderung menggunakannya setiap hari dan merubahrubah cara pemakaian karena obat ini menyebabkan iritasi pada mukosa
nasal dan paru dan karena alasan ekonomis (jika dihisap diperlukan dosis
serbuk methamphetamine 2 kali lebih banyaj dibandingkan injeksi untuk
menghasilkan efek yang sama).
Pengguna amphetamine dosis tinggi biasanya mengkombinasikan
amphetamine dengan sedatif, berupa benzodiazepine, atau opioid untuk
mengatur efek stimulan. Penyalahgunaan alkohol juga sering terjadi pada
para pengguna amphetamine dosis tinggi. Methamphetamine juga kadang
digunakan untuk menurunkan efek sedasi dari alkohol dan memperpanjang
waktu bersosialisasi atau aktivitas seksual. Beberapa pengamat yakin bahwa
methamphetamine cenderung meningkatkan kecenderungan untuk memicu
hubungan seks dengan bayaj pasangan dan transmisi human
immunodeficiency virus (HIV). Pada penelitian terhadap gay dan lelaki
biseksual yang menggunakan amphetamine injeksi (yang tidak mencari
pengobatan), 54% melaporkan sering berbagi penggunaan jarum suntik
dalam 30 hari dan 74% melaporkan sering melakukan hubungan seks demi
uang atau obat-obatan. Saat ini penggunaan methamphetamine di california
dan di beberapa negara bagian area barat didominasi ras kulit putih yang
berusia 25 34 tahun.
KOMORBIDITAS. Frekuensi sering berulangnya kelainan psikiatrik lain dan
ketergantungan amphetamine pertama kali ditulis pada tahun 1950an.
Adanya kelainan psikiatrik yang timbul meningkatkan efek jelek akibat obat
karena orang-orang yang menggunakan obat-batan cenderung masuk dalam
kriteria kelainan psikiatrik tambahan dibandingkan orang-orang yang tidak
menggunakan obat-obatan. Pasien dengan skizofrenia umumnya
menggunakan amphetamine atau kokain yang kemudian menjadi
ketergantngan dan sindrom toksik. Beberapa pasien skizofrenia pernah
melaporkan bahwa mereka menggunakan stimulan untuk mengurangi gejala
negatif dari efek samping penggunaan antipsikotik. Faktanya, penggnaan
stimulan umumnya memicu efek samping negatif obat antipsikotik.
KELAINAN YANG DISEBABKAN OLEH AMPHETAMINE. Seluruh kelainan yang
ada dalam DSM-IV-TR untuk kokain (intoksikasi, kelainan psikiatrik,
intoksikasi delirium, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur
dan disfungsi seksual) bisa terjadi jika dihubungkan denga penggunaan

amphetamine dan obat mirip amphetamine. Gambaran klinis mirip dengan


kriteria diagnosis dalam DSM-IV-TR.
Intoksikasi amphetamine. Intoksikasi amphetamine bisa terjadi akibat
penggunaan dosis tunggal pada orang yang nontoleran, tapi sering terlihat
pada mereka yang menyalahgunaka atau sudah ketergantungan
amphetamine. Gejala yang timbul antara lain euforia, percaya diri
berlebihan, kegelisahan, cerewet dan kecederungan perilaku berulang.
Pasien umumnya berorientasi pada waktu, tempat dan situasi. Intoksikasi
bisa diikuti dengan halusinasi visual, auditorik. Umumnya pasien mengenali
gejala yang timbul akibat obat. Gejala-gejala intoksikasi amphetamine
biasanya berkurang setelah obat dieksresikan melalui urin dalam 24 48 jam
kemudian. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk intoksikasi amphetamine dan
intoksikasi kokain, sangat identik.
Amphetamine withdrawal. Keparahan sindrom amphetamine withdrawal
dipekirakan berhubungan dengan intensitas dan durasi penggunaan obat
sebelumnya. Beberapa unsur seperti disforia dan kelemahan bisa dilihat.
Pada fase ini pengguna bisa mengalami depresi berat yang berkurang tanpa
terapi khusus jika siklus tidur kembali normal. Pada penelitian terhadap
pengguna amphetaminee terlihat bahwa adanya peendekan waktu REM-1
dan menurunnya total REM sleep. Perlu beberapa minggu untuk
memperbaiki kondisi seperti ini, Kriteria amfetin withdrawal identik dengan
DSM-IV-TR dan ICD-10.
Gangguan pskiatrik akibt amphetamine dan intoksikasi delirum. Meskipun
kelainan psikiatrik akibat amphetamine atau intoksikasi delirium biasanya
terlihat pada mereka yang menggunakan dosis tinggi dalam jangka waktu
lama. Haloperidol dan phenothiazine sudah lama digunakan untuk
menangani orang dengan sindrom psikiatrik. Sindrom delusional akibat
kokain biasanya hanya sebentar sehingga berbeda dengan akibat
amphetamine yang bertahan selama beberapa hari. Setelah pulih dari
psikotik atau delirium, mungkin penderita mengalami amnesia selama
periode tersebut atau beberapa saat. Psikiater di jepang melaporkan psikosis
akibat amphetamine bisa menetap selama beberapa tahun.
Gangguan mood akibat amphetamine. Berdasarkan DSM-IV-TR, gangguan
mood bisa terjadi diantara intoksikasi atau withdrawal. Pada umumnya
intoksikasi berhubungan dengan manic atau gangguan mood lain sedangkan
withdrawal berhubungan dengan mood yang depresif. Meskipun demikian
sulit untuk membedakan antara gangguan mood karena obat-obatan atau

gangguan mood primer, khususnya pada pasien dengan riwayat gejala


depresi dengan pengunaan amphetamine.
Gangguan kecemasan akibat amphetamine. Berdasarkan DSM-IV-TR,
gangguan kecemasan akibat amphetamine juga bisa muncul pada tahapan
withdrawal atau intoksikasi. Amphetamine sepeti kokain bisa memicu
terjadinya gangguan obsesif kompulsif (OCD), dengan repetitif, gangguan
stereotipe. Obat seperti amphetamine juga bisa memicu serangan panik
pada orang-orag tanpa riwayat serangan panik sebelumnya.
Disfungsi seksual akibat amphetamine. Meskipun amphetamine sering
digunakan untuk meninkatkan pengalaman seksual, penggunaan dosis tinggi
untuk jangka panjang berhubungan dengan impotensi dan disfungsi seksual
lainnya. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-IV-TR sebagai disfungsi
seksual akibat amphetamine.
Gangguan tidur akibat amphetamine. Penggunaan amphetamine bisa
menyebabkan insomnia dan penurunankualitas tidur. Orang dengan
amphetamine withdrawal bisa mengalami hipersomnolen dan mimpi buruk.
Kelainan non spesifik akibat amphetamine.Jika kelainan akibat amphetamine
(atau obat mirip amphetamine) tidak memenuhi salah satu kriteria diagnosis
maka bisa dikategorikan dalam kelainan non spesifik akibat amphetamine.
Dengan meningkatnya penyalahgunaan amphetamine, gejalanya makin
tidak spesifik dan tidak memenuhi kriteria seperti yang tercantum dalam
DSM-IV-TR.

Вам также может понравиться