Вы находитесь на странице: 1из 18

Pterigium pada Mata Kiri Laki laki yang Berusia 68 Tahun

Alfrida Ade Bunapa/10201137


Email: bunapa_ade@yahoo.co.id
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Pterigium merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi
fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan
menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Puncak
segitiga terletak di kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata. Apabila hal ini
mencapai pupil dapat mempengaruhi penglihatan. Penyebab dari penyakit ini adalah iritasi
kronik akibat debu, angin, paparan sinar UV atau mikrotrauma yang mengenai mata.
Pterigium banyak dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak
bersinggungan dengan udara, debu ataupun sinar matahari dalam jangka waktu yang
lama.Umumnya banyak muncul pada usia 20 30 tahun. Pemicu pterigium tidak hanya dari
etiologinya saja tetapi terdapat factor risiko yang mempengaruhinya antara lain faktor usia,
jenis kelamin, jenis pterigium, jenis pekerjaan (outdoor atau indoor ).
Berdasarkan letak Indonesia sebagai bagian negara beriklim tropis dan dengan paparan sinar
UV yang tinggi, angka kejadian Pterigium cukup tinggi. Tingkat kekambuhan pada pasca
ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % 52 %. Data di RSCM angka kekambuhan pterigium
mencapai 65,1 % pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun.
Kekambuhan pterigium merupakan pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskuler konjungtiva
ke kornea pada bekas pembedahan. Pterigium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan
operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterigium yang disertai
pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea.Jangka waktu terjadinya
kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan. Terapi
yang digunakan adalah berupa tindakan bedah atau ekstirpasi dengan berbagai macam
1

metode. Salah satu metode yang masih digunakan sampai saat ini adalah metode bare sclera.
Dalam penggunaannya metode bare sclera ternyata menunjukkan tingkat kekambuhan yang
tinggi, metode lain yang digunakan yaitu free conjunctival autograft (CAG).

Skenario

Seorang pria 68 tahun, nelayan, datang ke poliklinik dengan keluhan utama kedua mata
kiri merah sejak 2 minggu. Keluhan disertai mata sedikit berair, perih terasa seperti mata
berpasir. Keluhan ini sudah sering hilang timbul.

Identifikasi istilah

Tidak ada

Rumusan masalah

Seorang pria 68 tahun dengan keluhan utama kedua mata kiri merah , berair, perih terasa
seperti mata berpasir sejak 2 minggu yang lalu.

Analisis Masalah (Mind Map)


Pencegahan

anamnesis

epidemiologi

prognosis
Patogenesis

etiologi

Rumusan Masalah

Pemeriksaan Fisik & Penunjang

Gejala Klinik

Penanganan Terapi

Diagnosis Banding & Diagnosis kerja


Komplikasi

Hipotesis

laki laki usia 68 tahun dengan keluhan utama kedua mata kiri merah mengalami
pterigum

Anamnesis
Secara umum anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter
dengan cara melakukan serangkaian wawancara yang dapat langsung dilakukan terhadap
pasien

(auto-anamnesis)

atau

terhadap

keluarganya

atau

pengantarnya

(alo-

anamnesis).Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya


atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat
pelayanan kesehatan. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan,
obat-obatan dan lingkungan.2
Pada skenario ini di dapatkan :
-

Identitas : laki-laki 68 tahun, nelayan

Keluhan utama : mata kiri merah sejak 2 minggu yang lalu

Keluhan tambahan : mata sedikit berair, perih terasa seperti mata berpasir. Keluhan ini
sudah sering hilang timbul.

Riwayat penyakit sekarang (menggali keluhan utama) :


Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Riwayat lingkungan dan kebiasaan : lingkungan yang terpapar sinar UV dan kebiasaan
hidup karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang
mengenainya.

Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterygium yang avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal
dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal. Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang
menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka
bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan visus menggunakan snellen chart untuk
mengetahui ketajaman penglihatan apakah ada kelainan pada media refraksi atau pada
refraksi. Bila visus pasien tidak normal (6/6 atau 20/20), maka dilakukan pin hole untuk
melihat adanya perbaikan visus. Apabila pasien tidak dapat melihat snellen chart maka
dilakukan pemeriksaan finger counting test dengan meminta pasien menyebutkan jari yang
ditunjuk pemeriksa dengan latar belakang putih dengan jarak 1 meter 5 meter. Apabila tidak
ada perbaikan maka dilakukan dengan hand movement test (goyangan tangan) ke kiri ke
kanan/ ke atas ke bawah pada jarak 1 meter. Apabila tidak dapat melihat goyangan tangan
maka pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sinar lampu (senter/pen light) dari
superior, inferior, nasal dan temporal pasien diminta untuk menyebutkan arah sinar yang
datang.3
Pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat segmen anterior; palpebral, konjungtiva,
kornea, pupil, refleks cahaya, COA dan lensa, kemudian dilaporkan apabila tampak
kemerahan, benjolan,sekret, benda asing, pendarahan, dll dilaporkan pada salah satu mata/
kedua mata. Pada pemeriksaan segmen posterior (funduskopi) yang dilakukan pada ruangan
gelap/ setengah gelap dengan menggunakan oftalmoskop dilaporkan reflex fundus, vitreus,
papil, C/D ratio, rasio arteri: vena, makula lutea (refleks makula) dan retina. Pemeriksaan
bola mata untuk melihat pergerakan bola mata dan juga pemeriksaan pilihan yaitu test lapang
pandang dengan test konfrontasi dan pemeriksaan tekanan bola mata (tonometry).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea
untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh
pterygium.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi.
Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya
degenerasi hialin pada stromanya.

Anatomi & Fisiologi


Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva


bulbi 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di


bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

Gambar 1. Anatomi mata2


Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel

Tebalnya 550 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. 2

4. membrane descement

merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya.

bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.2

5. Endotel

berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi. 2Kornea merupakan bagian mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea
dilakukan oleh kornea.2

Gambar 2: lapisan kornea 2


Diagnosis banding
Pinguekulitis
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang
tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu dan angin
panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembulu darah
tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka
sekitar bercak degenersi ini akan terlihat pembulu darah yang melebar.
Pada pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanya tanda
peradangan (penguekulitis), dapat diberikan obat-obat antiradang.
Episkleritis
7

Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Radang episklera dan sklera mungkin disebabkan
reaksi hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik sepeti tuberkulosis, rematoid artritis,
lues, SLE, dan lainnya. Merupakan suatu reaksi toksik, alergik merupakan bagian dar pada
infeksi. Dapt saja kelainan ini terjadi spontan dan idiopatik.
Episkleritis umumnya mengena sutu mata dan terutama perempuan usia pertengahan
dengan penyakit bawaan reumatik.
Keluhan pasien dengan episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa sakit yang
kering,mengganjal, dengan konjungtiva yang kemotik.
Bentuk radang yang terjadi pada episkleritis mempunyai gambaran khusus, yaitu benjolan
setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu dibawah konjungtiva. Bila benjolan
ini ditekan dengan kapas dan ditekan pada kelopak di atas benjolan , akan memberikan
rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke sekitar mata. Pada episkleritis bila dilakukan
pengangkatan konjungtiva di atasnya, maka akan mudah terangkat atau di lepas dari
pembuluh darah yang meradang. Perjalanan penyakit mulai dengan episode akut dan
terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu minggu atau beberapa bulan.
Terlihat mata merah atu sektor yang disebabkan melebarnya pembulu darah di bawah
konjungtiva. Pembulu darah ini mengecil bila diberi fenil efrin 2,5% topikal.
Pngobatan yang diberikan pada episkleritis adalah vasokonstriktor. Pada keadaan yang
berat diberi kortikosteroid tetes mata, sistemik atau salisilat.Kadanga-kadang merupakan
kelainan berulang yang ringan. Pada episkleritis jarang terlibat kornea dan uvea,
penglihatan tetap normal.
Episkleritis dapat sembuh sempurnahatau bersifat residif yang dapat menyerang
tempat yang sama ataupun berbeda-beda dengan lama sakit umumnya berlangsung 4-5
minggu. Penyulit yang dapat timbul adalah terjadinya peradangan lebih dalam pada sklera
yang disebut sebagai skleritis.
Skleritis
Skleritis biasanya disebabkan kelainan atau peyakit sistemik. Lebih sering disebabkan
penyakit jaringan, pasca herpes, sifilis, dan gout. Kadang-kadang disebabkan tuberkulosis,
bakteri (pseudomonas), sakoidosis, hipertensi, benda asing, dan pasca bedah.Skleritis
dibedakan skleritis anterior difus dan nodular, dan skleritis posterior.
Skleritis terjadi bilateral pada wanita lebih banyak dibadingkan pria yang timbul pada
usia 50-60 tahun. Skleritis terjadinya tidak lebih sering dibandingkan episkleritis akan
tetapi penyebabnya hampir sama.
Terdapat perasaan sakit yang berat yang dapat menyebar ke dahi, alis dan dagu yang
kadang-kadang membangunkan sewaktur tidur akibat sakitnya yang sering kabuh. Mata
8

merah berair, fotofobia, dengan penglihatan menurun.Terlihat konjungtiva kemotik dan


sakit sehingga sering diduga adanya selulitis orbita. Skleritis tidak mengeluarkan kotoran,
terlihat benjolan berwarna sedikit lebih biru jingga, megenai seluruh lingkaran kornea,
sehingga terlihat sebagai skleritis anular.
Skleritis dapat disertai iritis dengan iritis atau siklitis dan koroiditis anterior. Bila
terjadi penyembuhan, maka akan terjadi penipisan sklera yang tidak tahan terhadap
tekanan bola mata sehingga terjadi stafiloma sklera yang berwarna biru.Terdapat
peradangan sklera, episklera, dan konjungtiva dengan melebarnya pembulu besar yang
tidak kembali putih dengan pemberian fenilefrin. Pengobatan dengan antiinflamasi steroid
ataupun nonsteroid atau obat imunosupresif lainnya.
Penyulit skleritis berupa keratitis perifer, glukoma, granuloma subretina, uveitis,
ablasi retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Skleritis biasanya disertai
dengan peradangan di daerah sekitar uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat
terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera.
Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan , yaitu kekeruhan
kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotik adalah segitiga yang
terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat terjadi gangguan serat
kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak perna terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma
kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa, menjadi jernihnya kornea yang dimulai
dari bagian sentral.

Diagnosi kerja
Inflamasi pterygium OS
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.2

Gambar 3: Pterigium2
Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.Faktor yang sering mempengaruhi
adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator.
Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang
400.4
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di
Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9%
dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur. Jawa timur menduduki
peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu
mata.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.Insiden tinggi pada umur
antara 20-49 tahun.Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.5

Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma, radang
dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari,
lingkungan dengan angin yang banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik
dicurigai sebagai faktor predisposisi.4,5
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah
terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
10

2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.
Gejala klinik
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa
perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak
jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva
interpalpebrae sampai kornea, jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna
coklat kemerahan, umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari
apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium yang
mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng
oleh penderita.7,8,9
Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterigium progresif dan
pterygium regresif: 8

Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk
membran yang tidak hilang.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 9


-

Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.


Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.
Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)


Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Patofiologi

11

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan
dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan
vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat
pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 4,5
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung
terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4

Penatalaksanaan Pterigium
Non Farmakologi

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko


berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
12

radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.


Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu
resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja
bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
Farmakologi

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila
terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau pterigium yang

telah menutupi media penglihatan.


Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.

Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya
hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat.
Indikasi Operasi
Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

13

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan

pterigium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah


telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan
ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang
lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1
Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi
pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan
penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence
W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk
eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik
ini.1

(a) Pterygium
(b) Pterygium diangkat
(c) daerah yang diangkat
(d) Konjungtiva di daerah yang tidak
terkena sinar UV (misal dibawah
palpebra superior) diangkat
(e) konjungtiva tersebut ditransplant

14

GAMBAR 8. TEKNIK AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan

dari

teknik

ini

selama

autograft

konjungtiva

adalah

pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di


atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap
ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk
menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes

15

mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6
minggu.

Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.

Sinar Beta

Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6


minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.6

Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-

Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:


-

Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea 3

Prognosis dan pencegahan


16

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.6
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali. 6
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi. 6
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata, sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
Penutup
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan
visus, serta masalah kosmetik

Daftar Pustaka
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116
117.
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya
Medika. Jakarta. 2000;hal 120-25.
3. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J
Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.
17

4. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003;hal
150-57.
5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science
Course,section 8, External Disease and Corne. p:344,403.
6. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.p:
443-457
7. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective
Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. p: 207-214
8. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya
Medika. Jakarta. 2000.hal;76-9.
9. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta.2003;hal:80-9.
10. Suprapto novita. 2014. pterigium. In: Kapita Selekta Neurologi. Ed: ke-4. jakarta:
Media.Aesculapius. Hal : 370-1

18

Вам также может понравиться