Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB I

PENDAHULUAN
1

Pendahuluan
Tuberkulosis Paru (TB Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai

penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara
serius. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat
permanen. Di samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses
restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural
yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam
kelainan faal paru.
Penyakit Tuberkulosis paru (TB paru) sudah lebih dari 100 tahun yang lalu
ada dipermukaan bumi kita ini. Di dunia diperkirakan penyakit ini dapat
menyebabkan kematian kurang lebih 8.000 orang per hari terdaftar hampir 2400
kematian yang berhubungan dengan TB setiap harinya, atau 140.000 per tahun,
dan kurang lebih juta penduduk diduga terinfeksi TB setiap tahun.
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya
sangat mudah sekali, yaitu melalui batuk, bersin dan berbicara. Untuk mengurangi
bertambahnya TB paru dan masalah yang ditimbulkan oleh penyakit TB paru,
perlu dilakukan penanganan awal yang dapat dilakukan adalah dilingkungan
keluarga.
Penyebaran penyakit tuberkulosis paru yang sangat mudah ini, sangat rentan
pada keluarga yang anggota keluarganya sedang menderita penyakit tersebut.
Penyakit dapat menular pada anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu,
penyakit tuberkulosis harus mendapat penanganan yang tepat karena penyakit ini
menyerang tidak memandang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi lemah
dan berpendidikan rendah. Penyakit TB paru lebih banyak ditemukan di daerah
miskin. Karena faktor lingkungan yang kurang mendukung menjadi penyebab TB
paru. Beberapa faktor yang erat hubunganya dengan terjadinya infeksi basil
tuberkulosis yaitu adanya sumber penularan, jumlah basil yang cukup banyak dan
terus menerus memapar calon penderita, virulensi (keganasan basil serta daya
tahan tubuh dimana daya tahan tubuh ini mempunyai hubungan erat dengan faktor

lingkungan, misalnya perumahan dan pekerjaan, faktor imunologis. Keadaan


penyakit yang memudahkan infeksi seperti diabetes militus dan campak serta
faktor genetik. Melihat fenomena pada penyakit TB paru seperti yang tersebut
diatas perlu dilakukan pemahan lebih lanjut mengenai penyakit TB paru.
2

Tujuan
Adapun tujuan dari case ini adalah sebagai berikut.
Mengetahui faktor-faktor risiko penyebab TB paru
Menemukan gejala-gejalanya lebih awal sehingga para dokter dapat
memberikan pencegahan kepada pasien TB paru lebih awal melalui
edukasi.
Dapat memberikan pengobatan baik secara farmakologis maupun non
farmakologis dalam tatalaksana TB paru.
Menjadi dokter yang berwawasan dalam

melestarikan

ilmu

pengetahuan.
Menjadi dokter yang dapat melakukan tindakan preventif dan kuratif
lebih baik.

Qw`

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 STATUS PASIEN


2.1.1 Identifikasi Pasien
Nama

: Tn. JN

Umur

: 60 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

Pekerjaan

: Tani

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Cinta Kasih Muara Enim

Suku

: Sumatera

Kebangsaan

: Indonesia

No.Rek. Medik

: 150501

2.1.2 Anamnesis
a Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 3 hari SMRS
b Keluhan Tambahan : Batuk lama (+) sejak 1 bulan SMRS
c Riwayat Perjalanan Penyakit
1 bulan SMRS os mengeluh batuk, batuk berdahak (+), dahak
berwarna putih, banyak dahak sendok teh, batuk berdarah (-).
Sesak nafas (+), sesak tidak dipengaruhi posisi, cuaca, debu,
makanan dan aktivitas. Sesak berlangsung terus menerus dan
semakin hari makin bertambah, sesak bertambah hebat saat malam
hari (-), os terbangun saat malam hari karena sesak (-), sesak
berkurang saat setelah mengeluarkan dahak, saat bekerja
mencangkul sawah os sering merasakan sesak . Nyeri dada (-).
Demam (+), demam tidak terlalu tinggi, demam berlangsung terus
menerus, kejang (-), menggigil (-).Mual (-), muntah (-), BAB dan
BAK normal.
3 hari SMRS os mengeluh sesak nafas yang semakin berat,
sesak tidak dipengaruhi posisi, cuaca, debu, makanan dan aktivitas,
sesak bertambah hebat saat malam hari (-), os terbangun saat
malam hari karena sesak (-), sesak berkurang saat setelah

mengeluarkan dahak, saat bekerja mencangkul sawah os sering


merasakan sesak, Batuk (+), batuk berdahak (+), dahak berwarna
putih, banyak dahak sendok teh, batuk berdarah bercampur
dengan dahak (+), darah berwarna merah segar (+), berbusa (+),
sisa makanan

(-), banyak darah 2-3 tetes setiap kali batuk.

Nyeri dada (+), nyeri dada menjalar sampai ke bagian belakang (-),
nyeri diseluruh bagian dada kanan dan kiri depan (+), nyeri dada
dirasakan terutama saat os batuk. Demam (+), demam tidak terlalu
tinggi, demam berlangsung terus menerus, kejang (-), menggigil (-)
Os mengaku sering berkeringat dimalam hari hingga 3 kali berganti
pakaian. Nafsu makan os berkurang, dan os merasakan berat badan
turun drastis dalam 1 bulan terakhir. Os mengaku badannya
semakin lemas (+), Semenjak sakit os tidak bekerja dan beristirahat
dirumah. Mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal. Namun Os
tidak pernah berobat.
R/ Mengalami penyakit yang sama sebelumnya (-). R/
Lingkungan kerja dengan penyakit yang sama (-). R/ Keluarga
dengan penyakit yang sama (+). Anak os menderita batuk lama,
selama 3 bulan. Dikatakan sakit paru dan minum obat lama. R/
merokok lama lebih kurang 40 tahun, dengan intensitas merokok 1
bungkus per hari.
Os mengaku tinggal di pinggir jalan raya, dengan rumah yang
terbuat dari papan dan berlantai semen, mempunyai 1 kamar tidur,
dan 2 jendela, dan terdapat 5 orang dalam 1 rumah. Jendela di
rumah os jarang dibuka.

2.1.3

Pemeriksaan Fisik
a

Status Umum Pasien


1 Keadaan Umum Pasien : Kompos Mentis
2 Berat Badan Sekarang: 45kg
3 Berat Badan 1 bulan yll: 60kg
4 Tinggi Badan : 165 cm
5 IMT
: 17,5

6
7

Keadaan Status Gizi: Gizi Kurang


Vital Sign
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 88x/menit, isi dan tegangan cukup
- RR : 24x/menit, ada retraksi dinding dada (retraksi
-

intercostal, Subclavicula, Epigastrium)


T : 37,00C (Suhu Axila)

b Pemeriksaan Spesifik
a Kepala
Mata

b
c

Hidung
Telinga
Mulut

: sklera ikterik (-)


Conjungtiva anemis (-)/(-)
Pupil isokor, ukuran 3 mm/3mm
Reflek cahaya +/+
: sekret (-), deviasi septum (-)
: sekret (-), dalam batas normal
: sianosis (-), sekret (-), dalam batas

normal
Leher
: pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
Thorax
Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis tidak teraba, Thrill (-)
Perkusi
: Batas jantung normal
Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung ICS IV linea
strenalis
Batas kiri jantung ICS V linea

Auskultasi
Paru
Inspeksi

midclavicularis
: BJI-II normal, murmur (-),gallop (-)
: simetris, barrel chest (-), venektasi

(-), statis dan dinamis: kanan = kiri


Palpasi
: stem fremitu (+): kanan=kiri
Perkusi
: Redup di bagian apeks lobus atas
sinistra dan dextra. Sonor di bagian lobus bawah
sinistra dan dextra, pekak hati (+) peranjakan hati 1
sela iga
Auskultasi

: Bronkovesikuler (+) , rhonki

basah kasar di daerah bronkial (+), ronkhi basah

halus di bagian alveoli (+), di apeks lobus sinistra


d

dan dextra, wheezing ekspirasi (-)


Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
: Lemas
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 2, edema
pretibia (-)

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboraturium
Hb
: 11,2 gr%
WBC
: 5600 mm3
Ht
: 38%. Hemokonsentrasi <20%
Trombosit : 297.000 mm3
Pemeriksaan BTA: BTA I (+++), BTA II (+++), BTA III (+++)

Rontgent Thorax
Kondisi foto baik
Tidak Simetris
Trachea tidak di tengah
Tulang-tulang baik
Sela iga melebar
Sinus kostofrenikus kanan tajam, kiri tajam
Diafragma tenting (-)
CTR tidak bisa dinilai
Parenkim paru: Bercak infiltrat bilateral apeks.
Kesan: TB Paru.

Gambar Rontgen Thorax PA

2.1.5. Penegakkan Diagnosis


a. Diagnosis Banding
1. TB Paru
2. PPOK
3. Pneumonia
b. Diagnosis
c

TB Paru kasus baru


Tatalaksana
Non Farmakologis

Istirahat, namun boleh melakukan aktivitas ringan. Jika sesak


berkurang, boleh beraktivitas seperti biasa.
Edukasi
o Memakai Masker
o Membuang dahak & berludah tidak sembarangan
o Memakai alat makan sendiri, tidak digunakan oleh

orang lain
o Makan-makanan bergizi dan minum vitamin
o Minum obat secara teratur
Oksigenisasi 3 liter per menit
Farmakologis
IVFD RL gtt xx/menit
RHZE
Rimfapisin 450 mg 1 x 1 tablet
Ethambutol 500 mg 1 x 1 1/2 tablet
INH 300 mg 1 x 1 tabet
Pyrazinamide 500 mg 1 x 3 tablet
Vitamin B1B6B12 1x1 tablet
Ambroxol syr 3 x 1 cth

a. Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

2.1.6. Follow Up
16/1/2015

S: Nafsu makan berkurang, dan sesak (+)


O:
KU
TD:140/70

RR:28 x/menit

N:96 x/menit

T:36,5 C

KS:
Kepala: CA (-), SI (-)
Leher: JVP (5-2) CmH2O, Pem. KGB (-)
Thorax: Cor: BJ I-II normal, m (-), g (-)
Pulmo: Vesikuler (+) normal, Wh(-), Rh (+) dibagian apex
paru

Abd: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-), bising usus (+) normal
Eks: Edema pretibia (-), Akral hangat.
17/1/2015

S: Sesak makin bertambah hebat


O:KU
TD:150/90

RR:36x/menit

N:97x/menit

T:36C

KS:
Kepala: CA (-), SI (-)
Leher: JVP (5-2) CmH2O, Pem. KGB (-)
Thorax: Cor: BJ I-II normal, m (-), g (-)
Pulmo: Vesikuler (+) normal, Wh(-), Rh (+) dibagian apex
paru
Abd: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-), bising usus (+) normal
Eks: Edema pretibia (-), Akral hangat.
18/1/2015

S: Sesak, nafsu makan berkurang, susah tidur jika malam hari


O: KU
TD:130/80

RR:34x/menit

N:98 x/menit

T:36,5C

KS:
Kepala: CA (-), SI (-)
Leher: JVP (5-2) CmH2O, Pem. KGB (-)
Thorax: Cor: BJ I-II normal, m (-), g (-)
Pulmo: Vesikuler (+) normal, Wh(-), Rh (+) dibagian apex
paru
Abd: Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-), bising usus (+) normal
Eks: Edema pretibia (-), Akral hangat.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.1 Definisi TB Paru


Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan
menyerangvpada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar
getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru
merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah dan termasuk
penyakit infeksi terpenting setelah penyakit malaria.Tuberkulosis paru mencakup
80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya
merupakan tuberculosis ektrapulmonar. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) (2006), mengklasifikasikan tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil tahan asam (BTA) dan
berdasarkan golongan pasien. Klasifikasinya yaitu :
2.2.2 Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan
Radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan juga positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
Mikobakterium tuberkulosis.

2.2.3. Berdasarkan golongan pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif /perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :

Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll).


TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis.

c. Kasus defaulted atau drop out (lalai)


Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil
obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.

e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi.
Pembagian Tuberkulosis menurut WHO didasarkan pada terapi yang terbagi
menjadi 4
kategori yaitu :
Kategori I, ditujukan terhadap :

Kasus baru dengan dahak positif


Kasus baru dengan bentuk TB berat

Kategori II, ditujukan terhadap :


Kasus kambuh
Kasus gagal dengan dahak BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik
Patogenesis Tuberkulosis Paru
Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB
kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui
hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya
berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penderita penyakit TB
sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis (Djojodibraoto, 2009).
Sumber penularan adalah pasien dengan TB BTA (+) yang pada saat batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dahak (droplet nuclei).

Sekali batuk pasien tersebut dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan / partikel dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari dapat langsung membunuh kuman. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan
terdampar pada dinding saluran pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada
saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di
lobus mana pun; tidak ada prediksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat
terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu focus infeksi primer
berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan
memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan
perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung kepada pengalaman
tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau tidak pernah sama sekali.
Tuberkulosis Primer
Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya hanya memberikan reaksi
seperti jika terdapat benda asing di saluran pernapasan. Selama tiga minggu,
tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan,
tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed
hypersensitivity). Setelah 3 minggu terinfeksi basil TB, tubuh baru mengenal
seluk-beluk basil TB. Setelah 3-10 minggu, basil TB akan mendapat perlawanan
yang berarti dari mekanisme system pertahanan tubuh ditandai dnegan timbulnya
reaktivitas dan peradangan spesifik. Proses pembentukan pertahanan imunitas
selular akan lengkap setelah 10 minggu. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui
saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu
sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru, berbeda dengan sarang

reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis
lokal bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi beberapa pilihan sebagai berikut :
1

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum). Ini yang paling banyak terjadi.


Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman

yang dormant.
Menyebar dengan cara :
a Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
b Penyebaran secara bronkogen, penyebaran pada paru yang bersangkutan
maupun ke paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama dahak
dan ludah sehingaa menyebar ke usus.
c Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman Penyebaran ini
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran
ini mungkin berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang

pada

anak

setelah

mendapat

ensefalomeningitis,

tuberkuloma
Meninggal. Sebagian besar orang yang terkena infeksi basil
tuberkulosis dapat berhasil mengatasinya, hanya beberapa orang saja
(3-4% dari yang terinfeksi) yang tidak berhasil menanggulanginya
keganasan basil TB.

Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder)

TB post-primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen


setelah TB primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB post-primer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu TB bentuk dewasa, localized
tuberculosis, TB menahun, dan sebagainya. Bentuk TB inilah yang terutama
menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan.
TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit
malignan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal posterior lobus superior maupun
lobus inferior. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1
2

Dihisap / reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi
aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti

bila jaringan keju dibatukkan keluar.


Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik).

Manifestasi klinis dan penegakan diagnosis Tuberkulosis Paru.


Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif
merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang
sensitif untuk penyakit ini. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena

iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang
menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar.
Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses
penyakit. Demam dapat terjadi menetap dan naik turun sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan
makin kurus (berat badan turun),sakit kepala, ,meriang, nyeri otot, keringat malam
dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul
secara tidak teratur. Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis
tentang gejala gejala yang ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Setelah itu akan dilakukan pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman
TB dalam bentuk basil tahan asam (BTA). Untuk mendapatkan hasil yang akurat
diperlukan rangkaian kegiatan yang baik, mulai dari cara batuk untuk
mengumpulkan dahak, pemilihan bahan dahak yang akan diperiksa, teknik
pewarnaan dan pengolahan sediaan serta kemampuan membaca sediaan di bawah
mikroskop. Harus diketahui bahwa untuk mendapatkan BTA (+) di bawah
mikroskop diperlukan jumlah kuman yang tertentu, yaitu sekitar 5.000 kuman/ml
dahak. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan
konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB dating
berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak..
Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.
Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan dahak
pagi hari.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 kali berturut-turut untuk


menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 kali
positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru. Untuk interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) yaitu :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam


bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

Bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah.


Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan /

nodular.
Bayangan bercak milier.
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan


dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena pemeriksaan
mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (WHO, 2002) . Namun pada
kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Harus dilakukan
pemeriksaan foto toraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA

(+)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah diberi pengobatan dengan antibiotik non-OAT.


Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan

penanganan

khusus

(seperti:

pneumotorak,

pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang


mengalami hemoptisis berat.

Alur Penegakan diagnosis Paru

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

Rifampisin

INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan


Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid.400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT:

Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3 kali/ minggu


Atau BB > 60 kg : 600 mg, BB 40-60 kg : 450 mg, BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali.

INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15


mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten :

600 mg / kali
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50
mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg

Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi dosis tetap


Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum
obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat
menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini
telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat
obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus
dirujukke rumah sakit / fasilitas yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT :

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan. kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
1

Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin
B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain
ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat
dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita.
Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang


Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-

kadang diare.
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop

dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus


Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rimfasin harus segera dihentikan dan jangan diberikan

lagi walaupun gejalanya telah menghilang.


Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak
perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko
tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka

kerusakan

alat

keseimbangan

makin

parah

dan

menetap

(kehilangan

keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang
timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus
barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.

Panduan Obat anti Tuberkulosis.


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan :
2 RHZE / 4 RH Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk

a TB paru BTA (+), kasus baru


b TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
paru)
c TB di luar paru kasus berat Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat
diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif
2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
a
b

TB dengan lesi luas


Disertai penyakit

imunosupresi / kortikosteroid)
TB kasus berat (milier, dll)

komorbid

(Diabetes

Melitus,

Pemakaian

obat

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi.
TB Paru (kasus baru).
BTA negative Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif : 2 RHZ/
4R3H3 atau 6 RHE Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3
TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya
H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 2
tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk
kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan

paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)


Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang

optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :

Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT

dilanjutkan sesuai jadwal


Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu

1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan


OAT STOP
2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik
dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadwal.
TB Paru kasus kronik

Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitive dengan H
tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti

kuinolon, betalaktam, makrolid


Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
Pertimbangkan
pembedahan
untuk
meningkatkan

penyembuhan
Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru.

kemungkinan

Pengobatan Suportif /simptomatik


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

Batuk darah (profus)


Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :

TB paru milier
Meningitis TB
b Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikansesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawa
BAB IV
ANALISA KASUS

Laki-laki usia 60th datang ke Rumah Sakit dengan keluhan 1 bulan SMRS
os mengeluh batuk, batuk berdahak (+), dahak berwarna putih, banyak dahak
sendok teh, disertai Sesak nafas (+), sesak tidak dipengaruhi posisi, cuaca, debu,

makanan dan aktivitas. Demam (+), demam tidak terlalu tinggi, demam
berlangsung terus menerus. Tiga hari SMRS os mengeluh sesak nafas yang
semakin berat, sesak tidak dipengaruhi posisi, cuaca, debu, makanan dan aktivitas.
Batuk (+), batuk berdahak (+), dahak berwarna putih, banyak dahak sendok
teh, batuk berdarah bercampur dengan dahak (+), darah berwarna merah segar (+),
berbusa (+), banyak darah 2-3 tetes setiap kali batuk. Nyeri dada (+), nyeri
diseluruh bagian dada kanan dan kiri depan (+), nyeri dada dirasakan terutama
saat os batuk. Demam (+), demam tidak terlalu tinggi, demam berlangsung terus
menerus. Os mengaku sering berkeringat dimalam hari hingga 3 kali berganti
pakaian. Nafsu makan os berkurang, dan os merasakan berat badan turun drastis
dalam 1 bulan terakhir. Os mengaku badannya semakin lemas (+). Riwayat
Mengalami penyakit yang sama sebelumnya (-). Riwayat Lingkungan kerja
dengan penyakit yang sama (-). Riwayat Keluarga dengan penyakit yang sama
(+). Anak os menderita batuk lama, selama 3 bulan. Dikatakan sakit paru dan
minum obat lama. Os mengaku tinggal di pinggir jalan raya, dengan rumah yang
terbuat dari papan dan berlantai semen, mempunyai 1 kamar tidur, dan 2 jendela,
dan terdapat 5 orang dalam 1 rumah.
Menurut konsensus TB paru gejala TB yang timbul berupa gejala
respiratorik seperti batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri
dada, dan disertai juga dengan gejala seperti demam yang tidak terlalu tinggi
disertai gejala sistemik lain seperti malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun dan disertai dengan penurunan nafsu makan. Dari algoritma
penegakan diagnosis TB paru menurut Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
TB paru di Indonesia didapatkan jika hasil BTA +++ maka dapat langsung
ditegakkan diagnosis TB paru atau hasil BTA negatif dengan gambaran rontgen
dada mendukung TB juga dapat ditegakan diagnosis TB. Pada kasus ditemukan
hasil BTA +++, dan hasil rontgen mendukung TB, sehingga dapat segera
ditatalaksanai dengan pengobatan sesuai Konsesus TB paru.
Penatalaksanaan TB paru dibagi dua fase yaitu fase intensif dan fase
lanjutan, Fase intensif dimulai dari awal didiagnosis TB sampai 2 bulan dengan
pemberian obat anti tuberkulosis (rimfapisin, etambutol, INH, Pirazinamid) secara

dosis harian, dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan pemberian obat
anti tuberkulosis dengan dosis pemberian 3 kali dalam seminggu. Pada kasus ini
kami memberikan pengobatan fase intesif terlebih dahulu dengan penetapan dosis
diberikan sesuai berat badan penderita TB, yaitu sebagai berikut rimfapisin 450
mg 3x1 tablet, Etambutol 500 mg 1x 2 tablet, INH 300 mg 3 x1 tablet,
Pyrazinamid 500 mg 1 x 3 tablet, vitamin B complex 1 x1 tablet untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, serta pemberian obat demam, dan obat batuk
(Ambroxol syrup 3 x 1 cth) untuk memperbaiki gejala sistemik, jika diperlukan.
Selain pengobatan farmakologi diperlukan juga pencegahan penularan TB,
mengingat penularan TB sangat mudah untuk terjadi. Tindakan pencegahan yang
diperlukan menyuruh penderita TB untuk batuk dan membuang dahak tidak
disembarang tempat, jika memungkinkan penderita perlu ruang khusus agar jika
batuk atau bersin tidak menular ke lingkungan sekitar, dan penderita TB perlu
pendamping minum obat, mengingat kepatuhan meminum obat anti Tuberkulosis
sangat penting dalam kemajuan pengobatan, agar tidak terjadi resistensi obat anti
Tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ananya

Mandal,

MD,

History

of

Tuberculosis,

tersedia

http:news.medical.net
2. Global tuberculosis Institute, a history of Tubeculosis Treatment, New
Jersey Medical School, tersedia : http:globaltb.njms.rutgerse.edu

3. World Health Organization, a history of Tuberculosis Control in


Indonesia, WHO 2009, tersedia: http:whq.doc.WHO.int
4. Depkes RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, 2006;
tersedia: www.depkes.go.id
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Tuberkulosis (Pedoman diagnosis
dan

Penatalaksanaan)

di

Indonesia,

PDPI;

2006;

tersedia

http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
6. Gilang Bagus P, Musrichan A, Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya resistensi Rifampisin dan atau isoniazid pada pasien Tuberculosis paru
di BKPM Semarang, Universitas Diponogoro 2011
7. WHO, The Consolidated action plan to prevent and combat multidrugand extensively drug-resistant tuberculosis in the WHO European Region 2011
2015, WHO, 2011; tersedia : www.who/mdr
8. Dennis Falzon, Definitions and reporting framework for tuberculosis
2013 revision Global Forum of Xpert MTB/RIF Implementers Annecy 17 April
2013, tersedia : http:www.who/tb
9. Arif R, Mekanisme dan Diagnostik MDR TB, Departemen Pulmonologi
dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta, tersedia : http:
www.ppti.info
10. World Health Organization, Multidrug and Extensively Drug
Resistant-TB (M/XDR-TB), 2010
11. World Health Organization, Global Tuberculosis report 2012, WHO
2012, tersedia: www.whoint/tb
12.Marahatta SB et al, Risk factors of Multidrug Resistant Tuberculosis in
central Nepal: A pilot study,Kathmandu University Medical Journal

13. Muayad A Merza, Anti-tuberculosis drug resistance and associated risk


factors in a tertiary level TB centre in Iran: a retrospective analysis, J Infect Dev
Ctries 2011; 5(7):511-519.
14.

SelamawitHirpa.

et

al,Determinants

of

multidrug-resistant

tuberculosisin patients who underwent first-line treatment inAddis Ababa: a case


control

study,

BMC

Public

Health

2013,

13:782,

tersedia

http://www.biomedcentral.com/1471-2458/13/782
15. Centers for desease and preventive controls, TB Desease, CDC USA;
tersedia: http://www.cdc.gov/

Вам также может понравиться