Вы находитесь на странице: 1из 3

Demokrasi Dalam Politik Dinasti

Oleh: Andrie Herlina Riza


Menurut Wikipedia, Oligarki atau yang dalam Bahasa Yunani: , Oligarkha adalah
bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil
dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Kata ini berasal dari
kata bahasa Yunani untuk "sedikit" ( ligon) dan "memerintah" ( arkho).
Dalam konteks demokratisasi, fenomena "Banten" sekarang ini dinilai oleh beberapa pengamat
politik sebagai indikasi menguatnya politik kekerabatan. Gejala itu justru menjadi kendala dalam
proses transformasi demokrasi prosedural ke demokrasi esensial.
Demokrasi esensial seharusnya berkorelasi positif terhadap terciptanya pluralisme aktor. Dalam
politik kekerabatan, yang terjadi justru sebaliknya. Artinya, aktor yang mwa uncul dalam proses
demokrasi ini berputar di sekitar itu-itu saja. Tidak muncul variasi aktor. Sudah bisa dipastikan
bahwa pola politik kekerabatan sebenarnya telah membajak demokrasi.
Para elite itu "menunggangi" prinsip demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya
kepada setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau memilih.
Mereka berperilaku seolah-olah mengikuti proses demokrasi. Padahal, mereka membajak
demokrasi itu sendiri.
Mengentalnya politik kekerabatan itu, dikhawatirkan akan membawa banyak efek negatif. Yang
paling utama adalah menghambat semangat transparansi dan akuntabilitas. Politik kekerabatan
ini memberi peluang menguatnya nepotisme, patron klien, patrimonalisme, dan sistem rekrutmen
yang tidak transparan dengan berbagai turunannya.
Bahkan, politik kekerabatan merupakan bahaya laten terhadap demokrasi. Kunci untuk
memangkas politik kekerabatan adalah berjalannya secara optimal mekanisme check balances.
Bukan saja antar lembaga daerah, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melainkan
mencakup juga semua lembaga non-pemerintah di daerah. Termasuk juga pers lokal, LSM lokal,
harus berperan sebagai watch dog
Parpol sebagai pilar utama demokrasi juga penting untuk dibenahi. Apalagi, rekrutmen
kepemimpinan daerah dan nasional dimulai dari parpol. Bagaimanapun, aktor dan elite parpol ini
mendinamisasi demokrasi melalui perilakunya. Kalau perilakunya sudah bagus, kompatibel
dengan demokrasi universal, demokrasi tidak akan dibajak lagi.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat, menuturkan penegakan hukum yang
lemah membuat demokrasi dibajak oleh kekuatan oligarki. Ia menanggapi tren pelanggaran
pemilukada yang terjadi sehingga beberapa pemilukada harus diulang. Komarudin mengatakan
setiap pemilukada yang diulang tak hanya menghabiskan biaya, namun juga dapat membuat
konflik masyarakat terjadi. Ia mencontohkan terdapat 24 pemilukada yang diulang pada 2010,
dan jika satu pemilukada menghabiskan Rp 10 miliar, berarti biaya yang keluar Rp 240 miliar.
Itu dari segi biaya, belum lagi birokrasi juga belum mantap dan ada konflik masyarakat yang
terjadi. Betapa mahalnya demokrasi kalau tidak dikawal hukum.

Pelanggaran pemilu pun sekarang ini dilakukan secara kasat mata, seperti misalnya ada
keterlibatan PNS atau politik uang yang seringkali terjadi saat pemilukada. Sayangnya hukum
lemah sehingga demokrasi dibajak kekuatan oligarki, seperti didukung oleh orang yang
mempunyai uang, popularitas, lewat jaringan emosi agama, kekerabatan keluarga maupun
interest kelompok. Untuk itu, peran pengawas untuk mengawal pemilu penting untuk mencegah
konflik sosial muncul.
Terkadang juga sulit memprediksi kejadian pelanggaran akan muncul dimana karena luasnya
wilayah dan terbatasnya petugas panwas. Belum lagi semakin berkembangnya modus
pelanggaran dalam pemilukada dengan melakukan modifikasi terhadap pola pelanggaran. Ia
mencontohkan jika sebelumnya politik uang dilakukan dengan memberikan uang langsung
kepada pemilih, saat ini uang tersebut diberikan kepada pemilih sejak setahun sebelumnya. Atau
dengan memasukkan pemilih ke dalam daftar tim sukses.
Saat ini Kementrian Dalam Negeri terus berupaya memperketat syarat calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Melalui revisi UU nomor 32 tahun 2004, Kemendagri akan melarang
majunya kerabat terdekat seperti anak, saudara kandung atau istri dari seorang kepala daerah
yang sedang menjabat untuk ikut Pilkada.
Pada syarat ke 16 dari revisi UU 32 tahun 2004, akan diusulkan bahwa calon kepala daerah yang
maju tidak boleh memiliki hubungan darah, baik bersifat lurus keatas, kebawah dan kesamping
ataupun hubungan perkawinan, Usulan ini katanya akan diperjuangkan Kemendagri untuk segera
disahkan menjadi UU. Karena dalam UU 32 tahun 2004 saat ini, memang belum diatur larangan
sehingga membuka peluang terbentuknya dinasti politik berdasarkan kekeluargaan atau
kekerabatan yang jelas akan menodai makna demokrasi.
Regulasi yang sekarang ini memang tidak cukup tersedia larangan untuk itu. Sehingga dinamika
demokrasi di daerah juga berkembang menjadi politik kekerabatan atau dinasti politik.
Meski saat ini belum ada larangan, namun banyaknya kerabat kepala daerah yang maju Pilkada
seperti anak dan istri dari seorang Bupati, Walikota dan Gubernur, cukup mendapat kritikan dari
banyak kalangan pemerhati politik pemerintahan. Bukan hanya itu, masyarakat pun bukan tidak
mungkin akan mempertanyakannya. Usulan revisi ini, setidaknya akan menjadi angin segar
dalam proses berjalannya demokrasi di negeri ini.
Memang dari sisi kepantasan, kepatutan, pandangan publik, keelokan, harusnya hal ini bisa
dipahami. Tapi mau bagaimana lagi, memang tidak ada larangan dalam UU. Makanya UU nya
yang harus kita revisi. Memasuki tahun 2011, sudah banyak diberitakan mengenai majunya
kerabat kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada daerah mereka masing-masing. Menyikapi
ini, Mendagri pun telah melayangkan surat edaran yang ditujukan sebagai peringatan kepada
seluruh Bupati, Walikota dan Gubernur. Surat edaran itu secara khusus mengingatkan, agar
Bupati, Walikota dan Gubernur benar-benar berpihak pada kepentingan publik saat menyusun
APBD. Jadi jangan sampai mensiasatinya dengan berbagai cara hanya untuk keberpihakan pada
politik yang bersifat kekerabatan ini. Kemendagri pun akan ikut mengawasi pelaksanaan dari
surat edaran yang sudah dilayangkan ini, termasuk juga meminta masyarakat untuk ikut serta
melakukan pengawasan bersama. Sedangkan secara teknis pengawasan pelaksanaan Pilkada
diserahkan kepada KPU dan Bawaslu. Termasuk soal kepala daerah baik terselubung atau
langsung melakukan kampanye untuk kerabat mereka yang maju Pilkada, jelas ini tidak akan di
izinkan dan tidak akan pernah keluar izin.

Membangun politik dinasti sebenarnya bukanlah hal baru di Pilkada Indonesia. Selain di Banten
yang sangat begitu menyolok, beberapa contoh lainnya seperti di Pilkada Bali dimana Eka
Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) ikut Pilkada untuk menggantikan
ayahnya. Di Lampung Rycko Menoza (anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon
Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan (putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu
Mangkunegara) mencalonkan diri menggantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan
(anak Bupati Tulang Bawang) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar
Lampung, Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani) membidik kursi
wali kota.
Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) pernah mencalonkan diri
menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati (istri Bupati Bantul Idham
Samawi) seolah tak mau kalah maju menjadi calon bupati, meneruskan kursi suami. Di
Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri
jadi Bupati Kutai Kartanegara bersaing dengan Rita Widyasari, anak mantan Bupati Kukar
Syaukani.
Sementara di Kota Bontang Kaltim, jauh-jauh hari sudah menetapkan Neni Moernaeni, istri Wali
Kota Bontang Sofyan Hasdam, untuk menggantikan sang suami pada pilkada 2011. Neni kini
menjadi Ketua DPRD Bontang, sekaligus pengontrol kinerja suami. Di Jawa Tengah, Titik
Suprapti (Istri Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto) mengincar kursi suaminya, kendati masih
menjadi perdebatan di tubuh PDIP. Di Sragen Yuni Sukowati, Ketua DPRD (anak Bupati
Untung Wiyono) ikut Pilkada menggantikan posisi ayahnya. Kartina Sukawati (putri Wali Kota
Semarang Sukawi Sutarip) kini Wakil Bupati Pati akan mengincar kursinya untuk yang kedua
kalinya.
Teranyar, yang tak kalah serunya adalah pertarungan antara Evi Meiroza Herman (Istri walikota
Pekanbaru yang sudah menjabat dua periode Herman Abdullah) dengan Septina Primawati Rusli
(Istri Gubernur Riau dua periode Rusli Zainal) yang akan bertarung pada Pilkada Walikota
Pekanbaru 2011. Dan masih banyak lagi di sejumlah daerah dari Pulau Sulawesi, Lombok,
Maluku hingga Irian.
Kekuasaan politik seharusnya diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan yang
baik bagi semua, dan partai politik merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan personal atau pribadi, dalam hal ini
sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi politik yang demikian, telos
politik yakni menciptakan common good atau kemaslahatan bagi semua menjadi usang.
Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar
para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan
manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya.
Padahal demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang berintegritas.
Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi
yang selama ini dipraktikkan, sekaligus sebagai penghancur oligarki.

Вам также может понравиться