Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH BENDAHARAWAN
bisniskeuangan.kompas.com
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan dan perkembangan di negeri Indonesia tercinta ini tentunya
bersumber dari warga negaranya sendiri. Hal-hal yang dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia untuk meningkatkan kemajuan Negara ini salah satunya adalah dengan
membayar pajak. Pembayaran pajak di lakukan untuk kepentingan Warga Negara
Indonesia sendiri, untuk pembangunan negeri, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM),
memberi gaji bagi para pegawai negeri, dan kebutuhan/kepentingan Negara lainnya.
Sehingga pendapatan Negara bersumber dari rakyat, dan kembali lagi untuk
kepentingan rakyat.1 Hal ini sesuai dengan moto yang kita kenal dalam dunia
perpajakan yaitu Dari Kita, Oleh Kita, Dan Untuk Kita.
Moto tersebut memiliki arti yang sangat bagus yaitu dari kita sebagai wajib
pajak juga untuk kita dalam hal menikmati hasil pajak yang kita berikan yaitu dapat
berupa fasilitas jalan raya yang bagus (tidak banyak berlubang yang dapat
mencelakai
para
pengendara
di
jalanan),
menikmati
berbagai
subsidi
dari
MembayarPajak,ArtiCintaIndonesia,RirisYusrina,www.kabarindonesia.com,31Maret2010.
1
SieInfokumDitamaBinbangkum
dari sektor pajak ini merupakan penerimaan dalam negeri dan penerimaan sektor
lainnya selanjutnya digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan sarana
dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
betapa pentingnya pajak bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah yang
disebut sebagai fungsi budgeteir 2.
Sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan, keberadaan pajak
ini harus ditopang dengan adanya suatu sistem pengelolaan pajak yang dilakukan
secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Guna mencegah terjadinya halhal yang tidak diinginkan seperti penyalahgunaan salah satu penerimaan negara ini
untuk memperkaya diri sendiri seperti yang terjadi pada kasus Gayus Tambunan.
Hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan
pemungutan dan penggunaan pajak tersebut. Dimana, muncul kekhawatirankekhawatiran antara lain apakah pajak yang telah dipungut telah disetorkan dan
benar-benar sudah sampai ke kas negara, serta telah optimalkah pemanfaatannya
dalam pembangunan untuk kepentingan umum.
Di negara kita terdapat beberapa jenis pajak, salah satunya adalah Pajak
Penghasilan (PPH). Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang
pribadi dan badan berkenan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama satu tahun pajak. Pajak Penghasilan diperoleh dengan jalan dipotong
langsung oleh Bendaharawan. Pajak Penghasilan di negara kita juga terbagi lagi
menjadi beberapa jenis pajak penghasilan. Namun, bagaimana cara pemotongannya,
berapa besar potongannya, bagaimana mekanisme penyetorannya sampai dengan
macam-macam pajak penghasilan di negara kita inilah yang akan dibahas lebih jauh
dalam penulisan ini.
II.
PERMASALAHAN
1. Pajak
Penghasilan
(PPh)
apa
sajakah
yang
harus
dipungut/dipotong
oleh
Bendaharawan?
2. Bagaimana tata cara pemungutan/pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan
(PPh)?
WaluyodanWirawanB.Ilyas,2003
2
SieInfokumDitamaBinbangkum
III.
PEMBAHASAN
Sekilas Tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
disebutkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu Tahun Pajak.3
Kemudian pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Pasal tersebut disempurnakan
sehingga berbunyi : Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.4
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak
untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang menjadi subjek pajak adalah:5
a. 1. orang pribadi;
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.6
2.
warisan
yang
belum
terbagi
sebagai
satu
kesatuan
menggantikan
yang
berhak;
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.7
b. badan;
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
Pasal1UUNomor7Tahun1983.
Pasal1UUNomor10Tahun1994.
5
Pasal2UUNomor36Tahun2008.
6
PenjelasanPasal2HurufaUUNomor36Tahun2008.
7
PenjelasanPasal2HurufaUUNomor36Tahun2008.
4
3
SieInfokumDitamaBinbangkum
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma,
kongsi,
koperasi,
dana
pensiun,
persekutuan,
perkumpulan,
yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.8
c. bentuk usaha tetap.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, seperti cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, dan lain-lain.9
Subjek pajak dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :10
1. Subjek pajak dalam negeri, yang terdiri dari :11
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya
dimasukkan
dalam
anggaran
Pemerintah
Pusat
atau
PenjelasanPasal2HurufbUUNomor36Tahun2008.
Pasal2Ayat(5)UUNomor36Tahun2008.
10
Pasal2Ayat(2)UUNomor36Tahun2008.
11
Pasal2Ayat(3)UUNomor36Tahun2008.
12
Pasal2Ayat(4)UUNomor36Tahun2008.
9
4
SieInfokumDitamaBinbangkum
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta
pejabat-pejabat
perwakilan
diplomatik,
konsulat
dan
pejabat-pejabat
lainnya,
internasional yang
tidak termasuk subjek pajak penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang yaitu :
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;13
Yang dimaksud dengan tahun pajak adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak
dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang
tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji,
honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
13
Pasal3HurufcUUNomor36Tahun2008.
5
SieInfokumDitamaBinbangkum
apapun.14 Yang termasuk objek pajak penghasilan antara lain penggantian atau imbalan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan
dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.15
Objek Pajak yang dikenakan PPh final Atas penghasilan berupa:
bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
penghasilan
tertentu
lainnya,
pengenaan
pajaknya
diatur
dengan
Peraturan
16
Pemerintah.
atau
sumbangan
termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, warisan, pembayaran dari perusahaan asuransi,
dividen, dan lain sebagainya.17
Khusus untuk dividen diberikan pengecualian. Dividen adalah bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia.18 Pada umumnya semua penghasilan berupa dividen
yang memenuhi pengertian dividen di atas adalah objek Pajak Penghasilan. Namun
demikian, Undang-Undang PPh memberikan pengecualian dividen tertentu bukan objek
pajak. Penghasilan dividen dikatakan bukan objek pajak jika memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu :
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.19
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah
dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
14
Pasal4Ayat(1)UUNomor36Tahun2008.
Pasal4Ayat(1)HurufaUUNomor36Tahun2008.
16
Pasal4Ayat(2)UUNomor36Tahun2008.
17
Pasal4Ayat(3)UUNomor36Tahun2008.
18
Pasal4Ayat(3)HuruffUUNomor36Tahun2008.
19
Ibid.
15
6
SieInfokumDitamaBinbangkum
dalam negeri, koperasi, dan BUMN atau BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha
lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima dividen tersebut
memperoleh penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan
tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan BUMN dan BUMD dalam
ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank
pembangunan daerah, dan Pertamina. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima
dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti
orang
pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer,
yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau
bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak. Dividen lain yang bukan objek pajak
adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi.20
A. Jenis-Jenis
Pajak
Penghasilan
(PPH)
Yang
Harus
Dipungut
Oleh
Bendaharawan
Kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh Bendahara Pemerintah Pusat
dan Daerah di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Instansi Pemerintah adalah :
1. Melakukan pemotongan/pemungutan pajak;
2. Melakukan penyetoran pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
3. Melakukan pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai batas waktu yang
ditentukan;
Atas setiap transaksi yang dananya berasal dari APBN/APBD.21
Pajak-pajak yang harus dipotong/dipungut oleh Bendahara Pemerintah Pusat
dan Daerah yaitu PPh dan PPN. Adapun PPh yang harus dipungut/dipotong oleh
Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah terdiri dari :
1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
PPh
Pasal
21
adalah
pajak
atas
penghasilan
berupa
gaji,
upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib
20
Pasal4Ayat(3)HurufIUUNomor36Tahun2008.
PengumumanDirjenPajakNomor:PENG05/PJ.09/2010tentangKewajibanBendaharaPemerintahPusatdan
DaerahUntukMelakukanPemotongan/PemungutanPajak.
21
7
SieInfokumDitamaBinbangkum
Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.
22
pensiun
atau
badan
lain
seperti
Jaminan
Sosial
Tenaga
Kerja
22
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
SehubunganDenganPekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
23
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Duddy Wahyudi, 5 Maret 2008, Blog Pajak Indonesia, www.dudiwahyudi.com.
8
SieInfokumDitamaBinbangkum
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga
ahli, orang pribadi subjek pajak luar negeri, dan peserta pendidikan, pelatihan
dan magang.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f. Penyelenggara kegiatan.24
Sedangkan Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola
proyek,
c. peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi, distributor MLM/direct selling
dan kegiatan sejenis.
d. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
e. Penerima honorarium.
f. Penerima upah.
g. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai,
dan Aktuaris).
h. Peserta Kegiatan.25
Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 :
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
24
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
SehubunganDenganPekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
25
Pasal 3 Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
PenyetoranDanPelaporanPajakPenghasilanPasal21Dan/AtauPajakPenghasilanPasal26SehubunganDengan
Pekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
9
SieInfokumDitamaBinbangkum
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua,
dan pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan
secara bulanan;
e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f.
imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.27
Pajak
yang
dikenakan
Pajak
Penghasilan
berdasarkan
norma
26
Pasal 4 Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
PenyetoranDanPelaporanPajakPenghasilanPasal21Dan/AtauPajakPenghasilanPasal26SehubunganDengan
Pekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
27
Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
SehubunganDenganPekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
28
Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
SehubunganDenganPekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
10
SieInfokumDitamaBinbangkum
Yang Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:
a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan
oleh
Wajib
Pajak
atau
Pemerintah,
kecuali
penghasilan
pembelian
barang
dengan
syarat
tertentu.
Dasar
hukum
29
Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
SehubunganDenganPekerjaan,Jasa,DanKegiatanOrangPribadi.
11
SieInfokumDitamaBinbangkum
pembayaran
atas
pembelian
barang.
Sedangkan
yang
bertindak
sebagai
12
SieInfokumDitamaBinbangkum
2. Badan Usaha Tetap (BUT).
Objek PPh Pasal 23 yaitu dividen, bunga, royalty, hadiah, penghargaan
dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21 yang dikenakan tarif sebesar
15% terhadap penghasilan bruto objek-objek pajak tersebut. Sedangkan,
sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan dan
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
PPh Pasal 23 bersifat Tidak Final artinya dapat menjadi kredit pajak dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan yang dikecualikan Dari Pemotongan PPh
Pasal 23 adalah :
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. dividen yang diterima WP Badan (PT, BUMN,BUMD) dengan syarat, dividen
berasal dari cadangan laba ditahan, dan dari Badan yang kepemilikan saham
di badan tersebut paling rendah 25%
d. dividen yang diterima WP orang pribadi (diatur berbeda dalam PPh Pasal 17
ayat 2c, tarif 10% final)
e. bagian laba yang diterima/diperoleh ; anggota perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
f.
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Adapun Formulir Yang Digunakan dalam pembayaran PPh Pasal 23 adalah
Surat Setoran Pajak (SSP), Bukti Potong PPh Pasal 23, Daftar Bukti Potong PPh
Pasal 23, Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.
B. Tata Cara Pemungutan/Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh
Dalam sistem
administrasi
perpajakan
di
Indonesia
dikenal
sistem
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan atau biasa disebut witholding tax.
Dalam sistem ini, Undang-undang menunjuk satu pihak yang biasanya merupakan
13
SieInfokumDitamaBinbangkum
sumber penghasilan untuk memotong atau memungut Pajak Penghasilan kepada
pihak lain yang menerima penghasilan. Sistem ini diterapkan agar Wajib Pajak
langsung membayar Pajak Penghasilan begitu menerima penghasilan tersebut.
Prinsip pay as you earn ini dipakai terutama untuk memastikan agar Wajib Pajak
melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya.
Dengan adanya sistem pemotongan dan pemungutan pajak ini, Wajib Pajak
melunasi pajak dengan dua cara : melalui pembayaran sendiri dan melalui
pemotongan dan/atau pemungutan pihak lain. Pelunasan pajak dengan cara
pembayaran sendiri biasanya berupa PPh Pasal 25 yang dilakukan tiap bulan dan PPh
Pasal 29 berupa setoran akhir tahun. Beberapa Wajib Pajak tertentu melunasi
pembayaran pajaknya dengan PPh Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15 dan PPh Pasal 19.
Bukti pelunasan pajak dengan cara ini adalah Surat Setoran Pajak (SSP).
Pelunasan pajak melalui pemotongan dan/atau pemungutan pajak dilakukan
melalui mekanisme sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26,
PPh Pasal 4 Ayat (2), dan PPh Pasal 15. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini
biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga
yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP).
Masing-masing pemotongan dan pemungutan PPh memiliki pemotong pajak
dan jenis penghasilan yang berlainan sehingga tidak mungkin ada 1 (satu) jenis
penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan oleh jenis pemotongan
dan pemotongan yang berlainan. Misalnya penghasilan yang telah dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 tidak mungkin dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26.
Dengan
demikian,
setiap
pemotongan
atau
pemungutan
PPh
memiliki
jenis
penghasilan, pemotong pajak, tarif pajak dan cara perhitungan yang berlainan.
1. PPh Pasal 21
Cara menghitung PPh Pasal 21 untuk Karyawan adalah sebagai berikut:
Langkah pertama, menjumlahkan penghasilan bruto.
Penghasilan bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh karyawan
atau pegawai secara teratur dalam sebulannya. Yang termasuk dalam
penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang
lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk
dalam
penghasilan
bruto
adalah
imbalan
dalam
bentuk
natura
dan
kenikmatan.
14
SieInfokumDitamaBinbangkum
Langkah berikutnya, menghitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada
dasarnya ada 2 (dua) macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk
iuran Jaminan Hari Tua/JHT).
Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT. Iuran pensiun dan
iuran JHT yang dibayar atau ditanggung oleh perusahaan tidak dapat
dikurangkan.
Penghasilan bruto dikurangi pengurang diatas menghasilkan penghasilan
yang yang disebut penghasilan neto sebulan. Selanjutnya penghasilan neto
sebulan ini kita buat setahunkan dengan cara penghasilan neto sebulan dikali
12 bulan.
Setelah itu barulah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Hasil pengurangan inilah yang merupakan Penghasilan Kena Pajak. Namun,
perlu diketahui juga, sebelum dikalikan tarif pajak, Penghasilan Kena Pajak
tersebut harus dibulatkan dulu ribuan penuh ke bawah.
Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU
Pajak Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak.
Jika kita menghitung PPh Pasal 21 untuk 1 (satu) bulan, maka PPh Pasal 21
terutang di atas dibagi 12. Hasilnya adalah merupakan PPh yang harus
dipungut/dipotong oleh Bendahara.30
Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik
diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang
pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima
Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21
tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk
penerima pensiun bulanan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian
tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan
oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang
bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun. Penerima penghasilan wajib
menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang
menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau
pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
30
Wahyudi, 9 Desember
www.dudiwahyudi.com.
15
SieInfokumDitamaBinbangkum
2. PPh Pasal 22
Mekanisme Pemungutan
Saat
Bendaharawan
Pemerintah
membeli
barang
dari
rekanan
diatas dua juta rupiah, Bendaharawan memungut PPh Pasal 22 dari Rekanan
sebesar 1,5%
(satu
setengah
persen)
dari
harga
pembelian
dan
dan
Pelaporan
sepenuhnya
kewajiban
Bendaharawan
Pemerintah. SSP atas pemungutan PPh Pasal 22 wajib disetor di hari yang
sama saat pembayaran atas pembelian barang, kemudian dilaporkan dengan
Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPh Pasal 22 paling lama 14 hari setelah
masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 23
Pemungut Pajak saat melakukan pembayaran, langsung memotong PPh
Pasal
23
sesuai
ketentuan.
Wajib
Pajak
yang
dipotong
PPh
Pasal
23
PENUTUP
Ketentuan tentang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan memang
relatif sulit untuk dipahami sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan
dalam
pelaksanaannya. Ada 2 (dua) kemungkinan akibat dari kesalahan tersebut yaitu PPh
yang dipotong masih kurang dari seharusnya dan PPh yang dipotong melebihi dari
seharusnya. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang siapa
pemotong pajak, jenis penghasilan yang dipotong, serta tarif dan tata cara pembayaran
dan pelaporan masing-masing jenis pajak tersebut. Diharapakan apa yang telah
diuraikan di atas dapat memberikan pemahaman yang cukup khususnya tentang jenisjenis Pajak Penghasilan yang harus dipungut/dipotong oleh Bendahara. Selain, Pajak
16
SieInfokumDitamaBinbangkum
Penghasilan masih ada lagi satu jenis pajak yang juga harus dipungut/dipotong oleh
Bendahara yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dibahas secara khusus
dalam penulisan berikutnya.
Sumber-Sumber Kajian :
UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36
Tahun 2008.
Pengumuman Dirjen Pajak Nomor : PENG- 05/PJ.09/2010 tentang Kewajiban Bendahara Pemerintah Pusat dan
Daerah Untuk Melakukan Pemotongan/Pemungutan Pajak.
Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan, Duddy Wahyudi, 4 Maret 2008, dudiwahyudi.com
www.pajak.go.id
17
SieInfokumDitamaBinbangkum