Вы находитесь на странице: 1из 45

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ekstraksi Gigi


3.1.1 Pengertian
Pencabutan gigi atau yang dalam ilmu kedokteran gigi biasa disebut
ekstraksi gigi adalah suatu prosedur dental mengeluarkan gigi dari soketnya.
Pencabutan gigi dikatakan ideal jika dalam pelaksaannya tidak disertai rasa sakit,
trauma yang terjadi pada jaringan sekitar gigi seminimal mungkin, luka
pencabutan dapat sembuh secara normal dan tidak menimbulkan permasalahan
pasca pencabutan (Sanghai dkk, 2009).
Pencabutan gigi adalah suatu tindakan operasi yang dilakukan dengan
tang, elevator, atau pendekatan transalveolar. Oleh karena sifatnya yang
irreversible dan terkadang menimbulkan komplikasi, pencabutan gigi seharusnya
dilakukan hanya ketika semua alternatif perawatan tidak memungkinkan untuk
dilakukan. Namun, pada beberapa pasien lebih memilih pencabutan gigi sebagai
alternatif yang lebih murah daripada dilakukan perawatan lain seperti penambalan
atau pembuatan mahkota pada gigi dengan karies besar. Pada keadaan tersebut,
gigi harus dicabut dan pencabutan gigi merupakan bagian dari fungsi dokter gigi
(Pedlar, 2006).
3.1.2 Prinsip Ekstraksi Gigi
Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-pr
insip yang akanmemudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan
memperkecil terjadinya komplikasiekstraksi gigi.
a. Asepsis
Untuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi,
seharusnyabekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan
dengan menjauhkan segalakemungkinan kontaminasi dari kuman
atau menghindari organisme patogen. Asepsissecara praktis
merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memberantas
semuajenis organisme. Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim
5

operator, alat-alat yangdipergunakan, kamar operasi, pasien


terutama pada daerah pembedahan (Howe, 1990)
b. Pembedahan atraumatik
Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara
hati-hati,tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti,
sehingga membuat trauma sekecilmungkin. Tindakan yang kasar
menyebabkan trauma jaringan lunak, memudahkanterjadinya
inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan yang
digunakanharuslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul
akan memperbesar terjadinyatrauma (Howe, 1990)
c. Akses dan lapangan pandang baik
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan
pandang yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor
tersebut adalah posisi kursi, posisikepala pasien, posisi operator,
pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah atausaliva. Posisi
kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan
kenyamananbagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi
maksila, posisi pasien lebih tinggi daridataran siku operator
dengan posisi sandaran kursi lebih rendah sehingga pasienduduk
lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan
lantai.
Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih
rendah dari dataran siku operatordengan posisi sandaran kursi
tegak dan dataran oklusal terendah sejajar dengan lantai.
Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar daerah operasi
dapat

terlihat

dengan

jelas

tanpa

bayangan

hitam

yang

membuat gelap daerah operasi. Retraksi jaringanjuga dibutuhkan


untuk mendapatkan lapangan pandang yang jelas. Daerah
operasi

harus

bersih

dari

saliva

dan

darah

yang

dapat

mengganggu

penglihatan

ke

daerah

tersebut

sehingga

dibutuhkan penyedotan pada rongga mulut (Howe, 1990)


d. Tata Kerja Teratur
Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal
mungkin dengan mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting
untuk mengetahui cara kerja yang

berbeda untuk setiap

pembedahan, sehingga dapat menggunakan tekanan terkontrol


sesuai dengan urutan tindakan (Howe, 1990)
3.1.3Indikasi dan Kontraindikasi Pencabutan
3.1.3.1Indikasi Pencabutan Gigi
Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan,
misalnya karena sakit gigi itu sendiri, sakit pada gigi yang
mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau letak gigi yang salah.
Di bawah ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan
gigi (Robinson, 2003)
a Karies yang parah
Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara
luas untuk pencabutan gigi adalah karies yang tidak dapat
dihilangkan. Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan
yang tepat bagi dokter gigi dan pasien untuk dilakukan
tindakan pencabutan. (Peterson, 2003)
b Nekrosis pulpa
Sebagai dasar pemikiran, yang ke-dua ini berkaitan erat
dengan pencabutan gigi adalah adanya nekrosis pulpa atau
pulpa irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan
endodontik.

Mungkin

dikarenakan

jumlah

pasien

yang

menurun atau perawatan endodontik saluran akar yang

berliku-liku, kalsifikasi dan tidak dapat diobati dengan tekhnik


endodontik standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik
yang telah dilakukan ternyata gagal untuk menghilangkan
rasa

sakit

sehingga

diindikasikan

untuk

pencabutan.

(Peterson, 2003)
c Penyakit periodontal yang parah
Alasan umum untuk pencabutan gigi adalah adanya
penyakit periodontal yang parah. Jika periodontitis dewasa
yang parah telah ada selama beberapa waktu, maka akan
nampak kehilangan tulang yang berlebihan dan mobilitas gigi
yang

irreversibel.

Dalam

situasi

seperti

ini,

gigi

yang

mengalami mobilitas yang tinggi harus dicabut. (Peterson,


2003)
d Alasan orthodontik
Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering
membutuhkan pencabutan gigi untuk memberikan ruang
untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering diekstraksi
adalah premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar
ke-dua dan gigi insisivus juga kadang-kadang memerlukan
pencabutan dengan alasan yang sama. (Peterson, 2003)
e Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan
untuk

pencabutan

dalam

situasi

yang

parah.

Jika

gigi

mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani


oleh perawatan ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi.
Contoh umum ini adalah molar ketiga rahang atas yang keluar
kearah bukal yang parah dan menyebabkan ulserasi dan
trauma jaringan lunak di pipi. Dalam situasi gigi yang

mengalami

malposisi

ini

dapat

dipertimbangkan

untuk

dilakukan pencabutan. (Peterson, 2003)


f

Gigi yang retak


Indikasi ini jelas untuk dilakukan pencabutan gigi karena

gigi yang telah retak. Pencabutan gigi yang retak bisa sangat
sakit dan rumit dengan tekhnik yang lebih konservatif. Bahkan
prosedur restoratif endodontik dan kompleks tidak dapat
mengurangi rasa sakit akibat gigi yang retak tersebut.
(Peterson, 2003)
g Pra-prostetik ekstraksi
Kadang-kadang,

gigi

mengganggu

desain

dan

penempatan yang tepat dari peralatan prostetik seperti


gigitiruan penuh, gigitiruan sebagian lepasan atau gigitiruan
cekat. Ketika hal ini terjadi, pencabutan sangat diperlukan
(Peterson, 2003).

h Gigi impaksi
Gigi

yang

impaksi

harus

dipertimbangkan

untuk

dilakukan pencabutan. Jika terdapat sebagian gigi yang


impaksi maka oklusi fungsional tidak akan optimal karena
ruang yang tidak memadai, maka harus dilakukan bedah
pengangkatan gigi impaksi tersebut. Namun, jika dalam
mengeluarkan gigi yang impaksi terdapat kontraindikasi
seperti pada kasus kompromi medis, impaksi tulang penuh
pada pasien yang berusia diatas 35 tahun atau pada pasien
dengan

usia

lanjut,

dibiarkan.
i

Supernumary gigi

maka

gigi

impaksi

tersebut

dapat

10

Gigi yang mengalami supernumary biasanya merupakan


gigi impaksi yang harus dicabut. Gigi supernumary dapat
mengganggu

erupsi

gigi

dan

memiliki

potensi

untuk

menyebabkan resorpsi gigi tersebut. (Peterson, 2003)


j

Gigi yang terkait dengan lesi patologis


Gigi

yang

terkait

dengan

lesi

patologis

mungkin

memerlukan pencabutan. Dalam beberapa situasi, gigi dapat


dipertahankan dan terapi terapi endodontik dapat dilakukan.
Namun, jika mempertahankan gigi dengan operasi lengkap
pengangkatan lesi, gigi tersebut harus dicabut. (Peterson,
2003)
k Terapi pra-radiasi
Pasien yang menerima terapi radiasi untuk berbagai
tumor oral harus memiliki pertimbangan yang serius terhadap
gigi untuk dilakukan pencabutan. (Peterson, 2003)
l

Gigi yang mengalami fraktur rahang


Pasien yang mempertahankan fraktur mandibula atau

proses alveolar kadang-kadang harus merelakan giginya


untuk dicabut. Dalam sebagian besar kondisi gigi yang terlibat
dalam garis fraktur dapat dipertahankan, tetapi jika gigi
terluka

maka

pencabutan

mungkin

diperlukan

untuk

mencegah infeksi. (Peterson, 2003)


m Estetik
Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk
alasan estetik. Contoh kondisi seperti ini adalah yang
berwarna karena tetracycline atau fluorosis, atau mungkin
malposisi yang berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada
tekhnik lain seperti bonding yang dapat meringankan masalah

11

pewarnaan dan prosedur ortodonsi atau osteotomy dapat


digunakan untuk memperbaiki tonjolan yang parah, namun
pasien

lebih

memilih

untuk

rekonstruksi

ekstraksi

dan

prostetik. (Peterson, 2003)


n Ekonomis
Indikasi terakhir untuk pencabutan gigi adalah faktor
ekonomi.

Semua

indikasi

untuk

ekstraksi

yang

telah

disebutkan diatas dapat menjadi kuat jika pasien tidak mau


atau

tidak

keputusan

mampu
dalam

secara

finansial

untuk

mempertahankan

gigi

mendukung
tersebut.

Ketidakmampuan pasien untuk membayar prosedur tersebut


memungkinkan untuk dilakukan pencabutan gigi. (Peterson,
2003)
3.1.3.2Kontraindikasi Pencabutan Gigi
a Kontaindikasi sistemik
Kelainan jantung
Kelainan darah. Pasien yang mengidap kelainan darah
seperti leukemia, haemoragic purpura, hemophilia dan

anemia
Diabetes melitus tidak terkontrol sangat mempengaruhi

penyembuhan luka.
Pasien dengan penyakit ginjal (nephritis) pada kasus ini
bila

dilakukan

ekstraksi

gigi

akan

menyebabkan

keadaan akut
Penyakit hepar (hepatitis).
Pasien dengan penyakit syphilis, karena pada saat itu
daya tahan terutama tubuh sangat rendah sehingga
mudah terjadi infeksi dan penyembuhan akan memakan

waktu yang lama.


Alergi pada anastesi local

12

Rahang yang baru saja telah diradiasi, pada keadaan ini


suplai darah menurun sehingga rasa sakit hebat dan

bisa fatal.
Toxic goiter
Kehamilan. pada trimester ke-dua karena obat-obatan

pada saat itu mempunyai efek rendah terhadap janin.


Psychosis dan neurosis pasien yang mempunyai mental
yang tidak stabil karena dapat berpengaruh pada saat

dilakukan ekstraksi gigi


Terapi dengan antikoagulan.

b Kontraindikasi lokal
Radang akut. Keradangan akut dengan cellulitis, terlebih
dahulu keradangannya harus dikontrol untuk mencegah
penyebaran yang lebih luas. Jadi tidak boleh langsung

dicabut.
Infeksi akut. Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi

pada saat M3 RB erupsi terlebih dahulu


Malignancy oral. Adanya keganasan (kanker, tumor dll),
dikhawatirkan

pencabutan

akan

menyebabkan

pertumbuhan lebih cepat dari keganasan itu. Sehingga


luka

bekas

ekstraksi

gigi

sulit

sembuh.

Jadi

keganasannya harus diatasi terlebih dahulu.


Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan dengan
perawatan

konservasi,

endodontik

dan

sebagainya

(Pederson, 1996)

3.1.4 Komplikasi pasca ekstraksi


Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh
berbagai

sebab

dan

bervariasi

pula

dalam

akibat

yang

ditimbulkannya. Komplikasi tersebut kadang-kadang tidak dapat


dihindarkan

tanpa

memandang

operator,

kesempurnaan

persiapan dan ket erampilan operator. Pada situasi perawatan


tertentu sekalipun persiapan pra operasi telah direncanakan

13

sebaik mungkin untuk mencegah atau mengatasi kemungkinan


timbulnya kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat dan
operator telah melaksanakanprinsip-prinsip bedah dengan baik
selama pencabutan gigi.
1. Macam-macam komplikasi
a. Komplikasi local
Komplikasi lokal saat pencabutan gigi.
Komplikasi lokal setelah pencabutan gigi.
b. Komplikasi sistemik.
2. Jenis komplikasi yang dapat terjadi
a. Kegagalan dari :
Pemberian anastetikum.
Mencabut gigi dengan tang atau elevator.
b. Fraktur dari :
Mahkota gigi yang akan dicabut.
Akar gigi yang akan dicabut
Tulang alveolar.
Tuberositas maxilla.
Gigi sebelahnya/gigi antagonis.
Mandibula.
c. Dislokasi dari :
Gigi sebelahnya.
Sendi temporo mandibula.
d. Berpindah akar gigi :
Masuk ke jaringan lunak
Masuk ke dalam sinus maxillaris.
e.
Perdarahan berlebihan :
Selama pencabutan gigi.
Setelah pencabutan gigi selesai.
f. Kerusakan dari :
Gusi
Bibir.
Saraf alveolaris inferior/cabangnya.
Saraf lingualis.
Lidah dan dasar mulut.
g. Rasa sakit pasca pencabutan gigi karena
Kerusakan dari jaringan keras dan jaringan

lunak
Dry socket .
Osteomyelitis akut dari mandibula.

14

Arthritis

traumatik

dari

senditemporo

mandibula.
h. Pembengkakan pasca operasi :
Edema.
Hematoma.
Infeksi.
Trismus.
Terjadinya fistula oro antral.
Sinkop.
Terhentinya respirasi.
Terhentinya jantung.
Keadaan darurat akibat anastesi.
Penanggulangan Komplikasi.
a. Kegagalan Anestesi.
Kegagalan anastesi biasanya be rhubungan dengan teknik anaste si yang salah
atau dosis obat anastesi tidak cukup.
b.Kegagalan pencabutan gigi.
Bila gigi gagal dicabut dengan menggunakan aplikasi tang ata u elevator dengan
tekanan yang cukup maka instrumen tersebut harus dikesampingkan dan dicari
sebab kesulitan. Pada kebanyakan kasus lebih mudah dicabut dengan tindakan
pembedahan.

1. Fraktur.
a. Fraktur mahkota gigi.
Fraktur mahkota gigi selama pe ncabutan mungkin sulit dihindarkan pada
gigi dengan karies besar sekali atau restor asi besar. Namun hal ini sering ju ga
disebabkan oleh tidak tepat nya aplikasi tang pada gigi, bila tang diaplikasikan

15

pada mahkota gigi bukan pada akar atau masa akargigi, atau dengan sumbu
panjangtang tidak sejajar dengan sumb u panjang gigi. Juga bisa disebabkan oleh
pemilihan tang dengan ujung yang terlalu leb ar dan hanya memberi kontak satu
titik s ehingga gigi dapat pecah bila ditekan. Dapat pula diseb abkan karena
tangkai tang tida k dipegang dengan kuat sehingga

ujung tang mungkin

terlepas/bergeser dan mematahk an mahkota gigi. Selain itu juga fraktur mahkota
gigi bisa dise babkan oleh pemberian tekan an yang berlebihan dalam upaya me
ngatasi perlawanan dari gigi.Untuk itulah operator harus bekerja sesuai dengan
metode

yang

benar

dalam

melakukan

pencabutan

gigi.

Tindakan

penanggulangannya dapat dilaku kan dengan memberitahukan kepada pasien


bahwa ada gig i yang tertinggal kemudian dicari penyebabnya secara klinis deng
an melalui bantuan radiografi.Pemeriksaan dengan radiografi dilakukan untuk
memperoleh petunjuk yang berguna untuk me ngidentifikasi ukuran dan posi si
fraktur gigi yang tertinggal.

Selanjutnya

operator mempersiapkan alat yang

diperlukan untuk men yelesaikan pencabutan dan menginformasikan perkiraan


wak tu yang diperlukan untuk tindakan tersebut. Sedangkan m etode yang
digunakan bisa dengan cara membelah bifurkasi (metod e tertutup) atau dengan
deng an pembedahan melalui pembukaan flap (metode terbuka).
b. Fraktur akar gigi.
Fraktur yang menyebabkan frakt ur mahkota mungkin juga menyebabkan
fraktur akar. Mesk ipun idealnya semua fragmen akar harus dikeluarkan, tetapi
alangkah bijaksana untuk meninggalkannya pada keadaan -keadaan/kasus-kasus
tertentu. Akar gigi dapat dianggap sebag ai fragmen akar gigi bila kurang dari 5
mm dalam dimensi terbesarnya. Pada pasien yang sehat sisa akar dari gigi sehat
jarang menimbu lkan masalah dan dalam kebanyakan kasus fragmen akar tersebut
boleh ditinggalkankecuali bila posisinya memungk inkan untuk terlihat secara
jelas. Pencabutan dari 1/3 apikal aka r palatal molar atas bila harus mengikut
sertakan pembuangan s ejumlah besar tulang alveolar dan mungkin dipersulit
dengan

terdorongnya fragmen kedalam sinus maxlillaris atau menyebabkan

terbentuknya

fistula

oro

antral

pada

kebanyakan

kasus

lebih

ba

ik

dipertimbangkan untuk ditinggalkan dan tidak diganggu. Dan jika d iindikasikan

16

untuk dikeluarkan sebaiknya didahulu i dengan pemeriksa an radiografi dan


dilakukan oleh operator ya ng berpengalaman dengan menggunakan teknik
pembuatan flap.
c. Fraktur tulang alveolar.
Fraktur tulang alveolar dapat disebabkan oleh terjepitnya tulang alveolar secara
tidak sengaja diantara ujung tang pencabut gigiatau konfigurasi dari akar gig i itu
sendiri, bisa pula bentu k dari tulang alveolar yang tipis ata u adanya perubahan
patologis dari tulang itu sendiri. Penanggula ngannya dengan cara membuang
fragmen alveolar yang telah kehilangan sebagian besar perlekatanperiosteal
dengan menjepitnya dengan arteri klem dan melepaskannya dari jaringan lu nak.
Selanjutnya bagian yang tajam bisa dihaluskan dengan bone file dan dapat
dipertimbangkan apakah diperlukan penjahitan untuk mencegah perdarahan.
d. Fraktur tuber maxillaris
Fraktur tuber maxillaris kadan g-kadang dapat terjadi karena penggunaan elevator
yang tidakterkontrol, dapat pula disebabkan geminasi patologis antara gigi molar
kedua atas yang telah erupsi dengan gigi molar ketiga atas yang tidak erupsi.
Penanggulangannya maka kita harus meningg alkan pemakaian tang atau elevator
dan dibuat flap muko periosteal bukal yang luas, tuber yang fraktur dan g igi
tersebut kemudian dibebaskan dari jaringan lunak pada palatal dengan alat tumpul
(raspato rium) dan kemudian gigi dikeluarkan dari soketnya. Flap jaringan lunak
kemudian dilekatkan satu sama lain dan dijahit.

e. Fraktur gigi yang berdekatan atau gigi antagonis.


Fraktur seperti ini dapat dihindarkan dengan cara pemeriksaan pra operasi
secara cermat apakah g igi yang berde katan dengan gigi yang akan dicabut
mengalami karies, restorasi besar, atau te rletak pada arah pencabutan. Bila gigi
yang akan dicabut

merupakan gigi penyokong jembatan maka jembatan harus

17

dipotong dulu dengan carborundum disk atau carborundum disk intan sebelum
pencabutan. Bila gigi sebelahn ya terkena karies besar dan tambalannya
goyangatau overhang maka harus diambil dulu danditambal denga tambalan
sement ara sebelum pencabutan dilakukan. Tidak boleh diaplik asikan tekanan
pada gigi yang berdekatan selama pencabutan dan gigi lain tidakboleh
digunakansebagai fulkrum untuk elevatorkecuali bila gigi tersebut juga akan
dicabut pada kunjungan yang sama.Gigi antagonis bisa fraktur ji ka gigi yang
akan dicabut tiba -tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali

dan tang

membentur gigi tersebut. Teknik pencabutan ya ng terkontrol secara cermat dapat


mencegah kejadian tersebut. Pe nggunaan mouth gags dan penyangga gigi yang
tidak bija ksana dapat menyebabkan kerusakan pada gigi lain selai n gigi yang
akan dicabut, teru tama pada anastesi umum. Adanya gigi dengan restorasi besar
atau gigi goyang, mahkota tiruan atau je mbatan harus dicatat dan diperhatikan
oleh anastesi. Gi gi-gigi tersebut harus dihindarkan bila mungkin dan mouth
gags/pe ngganjal gigi dipasang ditempat yang aman dari hal-hal diatas.
f. Fraktur mandibula.
Fraktur mandibula dapat terjad i bila digunakan tekanan yang berlebihan
dalam mencabut gigi . Bila tidak dapat dicabut dengan tekanan sedang maka harus
dicari penyebabnya dan diatasi. Selain itu juga bisa diseba bkan oleh adanya hal
-hal patologis yang melemahkan misalnya, adanya os teoporosis senile,atrofi,
osteomyelitis, post terapi radiasi atau osteo distrofi seperti osteitis deforman,
fibrous displasia, atau fragile oseum. Fraktur mandibula pada saat pencabutan
gigi bisa pula disebabkan oleh gigi yang tidak erupsi, kista atau tumor . Pada
keadaan tersebut pencab utan gigi hanya boleh dilakukan set elah pemeriksaan
radiografis yangcermat serta dibuat splint sebelum operasi. Pasien harus
diberitahu sebelum operasi tentang kemungkinan fraktur mandibula dan bila
komplikasi ini terjadi penanga nannya harus sesegera mungkin.Untuk alasan
-alasan tersebut sebagian besar dapat ditanganidengan baik oleh ahli bedah mu
lut. Bila fraktur terjadi padapraktek dokter gigi maka dila kukan fiksasi ekstra oral
dan pasien dirujuk secepatnya ke Rumah Sa kit terdekat yang ada fasilitas
perawatan bedah mulut.

18

2. Dislokasi.
a. Dislokasi dari gigi yang berdekatan.
Dislokasi dari gigi yang berde katan selama pencabutan ini dapat dihindari
dengan menggunakan elevator yang tepat dan sebagian besar tekanan dititik
beratkan pada septum interdental . Selama penggunaan elevator jari harus
diletakkan pada gigi yang berdekatan dengan gigi yang ak an dicabut untuk
mendeteksi adanya kegoyangan pada gigi ya ng berdekatan dengan gigi yang akan
dicabut.
b. Dislokasi dari sendi temporo mandibula.
Dapat terjadi pada pasien deng an riwayat dislokasi rekuren tidak boleh
dikesampingkan. Komplika si ini pada pencabutan dapat dicegah bila pembukaan
rahang bawah tidak sampai maksimal dan bila rahang bawah dipegang (fiksasi)
dengan baik oleh operator selama pencabutan. Dislokasi dapat pula disebabka n
oleh penggunaan mouth gags yang ceroboh. Jika terjadi dislokasi maka mouth
gags harus dikurangi regangannya.Cara penanggulangan dislokasi temporo
mandibular jointoperator berdiri didepan pasien dan men empatkan ibu jarinya
kedalam mulut pada Krista oblique ekst erna, dilateral gigi molar bawah yang ada,
dan jari -jari lainnya berada ditepi bawah mandibula secara ekstra oral, tekan
keba wah dari kedua ibu jari, kemudian dorong ke posterior, kemudian lepaskan
sehingga rah ang oklusi selanjutnya dilakukan fiksasi dengan elastic verban
(fiksasi ekstra oral). Kemudian pasien diingat kan agar tidak membuka mulut
terlalu lebar atau menguap ter lalu sering selama beberapa hari pasca operasi.
Perawatan dislokasi temporo mandibular joint tidak boleh terlambat karena dapat
m enyebabkan spasme otot akibatnya mempersulit pengembalian sendi temporo
mandibular joint padatempatnya kecuali dibawah anastesi umum.
3. Berpindahnya akar gigi.
a. Masuknya akar gigi ke dalam jaringan lunak.
Berpindahnya akar gigi masuk kedalam jaringan lunak merupakan
komplikasi yang biasanya terjadi karena a kar gigi tidak dipegang secara efektif

19

pada keadaan la pang pandang yang terbatas.Komplikasi ini dapat dihindari bila
operator mencoba untuk memegang akar dengan pandanganlangsung.
b. Masuknya akar gigi ke dalam sinus maxillaris.
Komplikasi ini biasanya pada p encabutan gigi premolar/molar rahang atas dan
yang lebih sering akar palatal. Adanya sinus yang besar adalah faktor predisposi
si tapi insiden ini dapat diku rangi bila petunjuk sederhana ini diperhatikan :
1. Jangan menggunakan tang pada a kar gigi posterior atas kecuali bila panjang
gigi atau akar gigi terlihat cukup besar baik dalam ar ah palatal dan bukal,
sehingga ujung tang dapat menc engkram akar gigi dan operator dapat melihatnya
dengan jelas.
2. Tinggalkan 1/3 ujung akar pala tal molar atas bila tertinggal selama pencabutan
dengan tang kecuali bila ada indikasi positif untuk mengeluarkannya.
3. Jangan mencoba mencabut akar g igi atas yang patah dengan memasukkan
instru ment kedalam soket. Bila di indikasikan unt uk pencabutan sebaiknya
dibuat flap muko periosteal yang luas dan buang tulang secukupnya se hingga
elevator dapat dimasukkan diatas permukaan akar yang patah sehingga semua
tekanan dapat dialihkan pada akar gigi yang tertinggal dan

cenderung

menggerakkannya kebawah jauh d ari sinus. Adanya riwayat perforasi sinus dari
riwayat pencabutan sebelumnya tidak bo leh diabaikan, karena kemungkinan
pasien memiliki sinus maxillaris yang besar. Bila ak ar masuk ke sinus maxillaris
maka pasien harus dirujuk ke ahli bedah mulut atau ahli THT dan tindakan
pencabutan gigi serta penutupan fistula oro an tral dilakukan dengan anastesi
umum.

4. Perdarahan berlebihan.
Perdarahan berlebihan mungkin

merupakan komplikasi pencabutan gigi.

Oleh karena itu anamnesis harus dil akukan secara cermat untuk mengungkap
adanya riwayat perdarahan sebe lum melakukan pencabutan gigi. Bila pasien

20

mengatakan belum pernah mengal ami perdarahan berlebihan maka harus dicari
keterangan yang lebih terperinci mengenai riwayat tersebut. Perhatikan secara
khusus hubungan waktu antara perdarahan dengan lamanya pencabutan (trauma
jaringan)dan banyaknya perdarahan dan pemeriksaan laboratorium harus
dilakukan (diindikasikan). Riwayat keluarga pasien yang pernah mengalami
perdarahan akibat su atu tindakan operasi juga amat penting. Pasien dengan
adanya riwayat d iatas harus dirujuk ke ahli he matologi untuk dilakukan
pemeriksaan lebih ce rmat sebe lum tindakan pencabutan gigi dilakukan. Bila
pasien memiliki riwayat perdarahan pasca penca butan maka sangat bijaksana
jika membatasi jumlah gigi yang akan dicabut pada kunjungan pertama dan
menjahit jaringan lunak serta memonitor penyembuhan pasca pencabu tan gigi.
Bila tidak terjadi komplikasi makajumlah gigi yang akan dicabut pada kunjungan
berikutnya dapat ditingkatkansecara perlahan -lahan. Perembesan darah secara
konstan selama pencabutan gigi dapat diatasi dengan apli kasi gulungan tampon
atau deng an penggunaan suction. Perdarahan yang lebih parah dapat diatasi
dengan pemberian tampon yang diberi larutan adrenalin : aqua bidest 1 : 1000
dan dib iarkan selama 2 menit dalam soket. Perdarahan yang disebabkan
pembuluh darahbesar jarang terjadi dan bila ini terjadi maka pembuluh darah te
rsebut harus ditarik dan dijepit dengan arteri klem kem udian dijahit/cauter.
Perdarah an pasca operasi dapat terjadi karena pasien tidak mematuhi instruksi
atau sebab lain yang harus segera ditemukan. Cara penanggulangan komplikasi
seperti pada kebanyakan kasus disarankan un tuk melakukan penjahitan pada
muko periosteal, jahitan horizontal terputus paling cocok dan untuk tujuan ini
harus diletakkan pada soket sesegera mungkin. Tujuan dari penjahit an ini adalah
bukan untuk menutu p soket tetapi untuk mendekatk an jaringan lunak diatas
soket untuk mengencangkan muko perioteal yang menutupi tulang sehingga
menjadi iakemik. Karena pada kebanyakan kasus perdarahan tidak timbul dari
soket tetapi berasal dari jari ngan lunak yang berada di sekitarnya, selanjutnya
pasien diinstruksikan untuk me nggigit tampon selama 5 menit setelah penjahitan.
Bila perdarahan be lum teratasi maka kedalam soket gigi dapat dimasukkan
preparat foam gelat in atau fibrin (surgicel, kals ium alginat) setelah itu pasien
disuruh menggigit tampon dan kemudian dievaluasi kembali dan bila tetap tidak

21

dapat dia tasi sebaiknya segera dirujuk

ke Rumah sakit terdekat untuk

memperoleh perawatan lebih intensif lagi.


5. Kerusakan.
a. Kerusakan pada gusi.
Dapat dihindari dengan pemilihan tang secara cermat serta teknik pencabutan
gigi yang baik. Bil a gusi menempel pada gigi yangakan dicabut dari soketnya, gu
si harus dipisahkan secara hati -hati dari gigi dengan menggunakan r aspatorium
(dengan gunting/scalpel) sebelum gigi dikeluarkan.
b. Kerusakan pada bibir.
Bibir bawah dapat terjepit dia ntara pegangan tang dengan gigi anterior, bila
tidak diperhati kan dengan baik. Tangan operator yang terampil dapat membuat bi
bir bebas dari kemungkinan tersebut.
c. Kerusakan saraf alveolaris inferior.
Kerusakan dapat dicegah atau dikurang i hanya dengan diagnosis pra operasi
dan pembedahan secara cermat.
d. Kerusakan saraf mentalis.
Kerusakan saraf mentalis dapat terjadi selama pencabutan gigi remolar bawah
atau oleh infeksi akut jaringan disekitarnya.
e. Kerusakan saraf lingualis.
Saraf lingualis dapat rusak ol eh pencabutan dengan trauma yang besar pada
gigi molar bawah di mana jaringan lunak lingual terkena bor sebelum
pembuangantulang.
f. Kerusakan pada lidah dan dasar mulut.
Lidah dan dasar mulut tidak ak an mengalami kerusakan jika aplikasi tang dan
penggunaan e levator dilakukan secara hati -hati dan terkontrol. Komplikasi ini
lebih banyak terjadi pada pencabutan gigi dengan anastes i umum. Jika operator

22

menggunakan elevator tanpa kon trol yang tepat maka dapat meleset mengenai
lidah atau dasar mulut, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang ba nyak.
Perdarahan dapat diatasidengan menarik lidah dan penjahitan.
3.2 Anastesi
Anastesi (pembiusan) bersal dari bahasa yunani. An =
tidak, tanpa dan aesthtesos = persepsi, kemampuan merasa.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Latief, dkk, 2001).
3.2.1 Anastesi Lokal
Anastesi

lokal

atau

anastesi

regional

merupakan

penggunaan obat analgesik lokal untuk menghambat hantaran


saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh
diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya dan dalam keadaan
penderita tetap sadar. Tujuan anastesi adalah untuk menghalau,
atau menghilangkan rasa sakit dibagian tertentu, daripada harus
melakukan pembiusan total.
Syarat-syarat Anastesi lokal yang baik
a. Tidak mengiritasi jaringan
b. Toksisitas sistemisnya kecil
c. Tidak merusak jaringan saraf secara permanen
d. Efektif melalui penggunaan suntikan atau topikal pada
mukosa
e. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan
untuk jangka waktu yang cukup lama.
f. Larut dan stabil dalam air serta stabil pada pemanasan.
g. Tidak menimbulkan alergi (Karakata, 1996).
Berdasarkan area yang teranestesi, anestesi lokal dapat dibedakan
menjadi :
1. Nerve Block

23

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama,
sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari
percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga mulut
khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya
pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan
terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar nerve
block.
2. Field Block
Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf
terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal dari
tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang terbatas (tidak
seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar apeks akar gigi rahang
atas.
3. Lokal infiltrasi
Larutan anestesi lokal dituntikkan di sekitar ujung-ujung saraf terminal
sehingga efek anestesi hanya terbatas pada tempat difusi cairan anestesi tepat pada
area yang akan dilakukan instrumentasi. Teknik ini terbatas hanya untuk anestesi
jaringan lunak.
4. Topikal anesthesia
Teknik ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan anestesi pada
permukaan mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada
ujung-ujung saraf bebas (free nerve endings). Anestesi topikal dapat digunakan
pada tempat yang akan diinjeksi untuk mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum.

Beberapa cara pemberian anastesi lokal, khusus dibidang kedokteran gigi


yaitu :
1. Anestesi Topical

24

Anestesi topical digunakan hanya untuk menghilangkan rasa sakit di


permukaan saja karena hanya mengenai ujung-ujung serabut-serabut saraf dan
berlaku untuk beberapa menit saja. Anestesi topikal juga dapat digunakan pada
tempat yang akan diinjeksi untuk mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum.
Teknik ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan anestesi pada permukaan
mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada ujung-ujung
saraf bebas (free nerve endings).
a. Secara Fisis
Topikal anestesi secara fisis adalah mendapatkan anestesi dengan
pembekuan.

Bahan anestesi yang digunakan adalah khoretil yang

berwujud zat cair, mempunyai titik didih sangat rendah dan cepat
menguap. Waktu menguap zat ini berasal dari panas sel-sel jaringan dan
syaraf-syaraf di sekitarnya, sehingga menyebabkan sel-sel syaraf tersebut
membeku. Akibatnya syaraf tidak dapat lagi menerima rangsangan sakit
sehingga rasa sakit tidak diteruskan ke pusat (sentrum) dari permukaan.
Hasil dari anestesi ini tidak dalam, hanya kira-kira 5 mm dan cepat hilang.
Indikasi topikal anestesi secara fisis antara lain :

Mencabut gigi permanen yang amat goyah

Insisi abses

Mencabut gigi susu yang sudah goyah

Teknik topikal anestesi secara fisis :


Khoretil yang digunakan adalah khoretil spray. Permukaan yang akan
dianestesi sebelumnya dikeringkan dengan kapas kemudian diberi yodium
tinctur 3-5%. Setelah itu, khoretil disemprotkan ke permukaan dari dekat
terlebih dahulu, kemudian jarak penyemprotan diperbesar seperti air
mancur. Hal ini bertujuan agar tempat di sekitar permukaan menjadi beku.

25

Tanda permukaan telah membeku adalah permukaan tersebut tampak


memutih dan merupakan tanda untuk memulai pencabutan atau insisi.
Setelah ini, operator harus bertindak cepat karena anestesi ini tidak
berlangsung lama.
Harus diingat ketika menyemprotkan khoretil, jangan sampai
mengenai mata karena khoretil dapat merusak mata. Instruksikan pada
pasien untuk menutup mata saat penyemprotan. Tidak boleh pula
menyemprotkan khoretil terlalu banyak karena memungkinkan terjadinya
pembiusan umum.
Saat insisi harus menggunakan skalpel/pisau yang tajam, karena
permukaan yang telah memutih setelah disemprotkan oleh khoretil
menjadi keras. Untuk memudahkan insisi, penyemprotan khoretil pada
sekeliling permukaan yang akan diinsisi.
b. Secara Khemis
Bahan yang biasanya digunakan pada topikal anestesi sacara khemis
adalah cocain 2%. Obat-obat lain yang dipergunakan seperti Pantocain dan
Benzocain. Pemakaian cocain dalam kedokteran gigi sebagian besar
digunakan secara anestesi tekanan (pressure aneaesthesi).
Teknik anestesi topikal secara khemis :
Bersihkan kavitas pada gigi yang karies dari sisa-sisa makanan
kemudian bersihkan dengan alkohol. Ambil sedikit kapas/tampon ukuran
kecil lalu masukkan ke dalam larutan cocain 2%, kemudian tekankan ke
dalam kavitas gigi yang telah dibersihkan sebelumnya selama beberapa
saat.
Cocain mempunyai sifat melumpuhkan ujung-ujung syaraf tertentu,
sehingga kapas yang telah tercampur dengan cocain tersebut ditekankan
akan langsung mengenai ujung syaraf yang menyebabkan kelumpuhan
pada syaraf tersebut sehingga tidak dapat menerima rangsangan sakit.

26

Topikal anestesi secara kimia biasanya dipergunakan bila infiltrasi


anestesi atau blok anestesi masih menimbulkan rasa sakit pada pulpa.
Sebagai contoh, dalam kasus pengambilan urat syaraf (ekstirpasi) secara
vital, bila tidak dilakukan topikal anestesi secara khemis untuk mematikan
urat syaraf pada pulpa, maka walaupun sudah dilakukan infiltrasi anestesi
atau blok anestesi tidak dapat melumpuhkan sampai ke ujung-ujung syaraf
sehingga akan menimbulkan rasa sakit.
2. Anestesi Infiltrasi
Infiltrasi anestesi diperoleh dengan memberikan suntikkan di bawah mukosa
pada ujung-ujung saraf terminal sehingga efek anestesi hanya terbatas pada
tempat difusi cairan anestesi tepat pada area yang akan dilakukan instrumentasi.
Berdasarkan tempat insersi jarum, teknik injeksi anestesi lokal dapat
dibedakan menjadi :
a.

Soft tissue anestesi

Submucosal injection
Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat di balik

membran mukosa. Walupun cenderung tidak menimbulkan anastesi pada


pulpa gigi suntikan ini sering digunakan untuk menganastesi saraf bukal
panjang sebelum pencabutan molar bawah atau operasi jaringan lunak
(Howe, 1994).
Jarum diinsersikan dan cairan anestesi dideponir ke dalam jaringan
di bawah mukosa sehingga larutan anestesi mengadakan difusi pada
tempat tersebut.

27

Gambar 1.1 Submucosal injection


Indikasi submukus infiltrasi anestesi :
-

Untuk melumpuhkan serabut syaraf, misalnya serabut-serabut


syaraf atau nervus buksinatorius yang tidak dapat dicapai
dengan mandibular anesthesi.

Untuk melakukan eksisi gingiva yang menutupi gigi

Untuk melakukan insisi (membuat jalan keluar nanah) dari


abses/gingiva polip/tumor jinak yang kecil

Untuk ekstirpasi gingiva polip dan fibroma

Untuk mengambil bagian tulang alveolar yang menonjol


(alveolektomi)

Deep infiltrasi anestesi (Pleksus anesthesi)


Deep infiltrasi anestesi hanya dapat dilakukan bila tulang kompakta

atau seluruh struktur kompakta bagian bukal dan labial tipis. Anestesi pun
tidak dapat dilakukan bila adanya peradangan karena anesthetikum tidak
dapat merembes mencapai urat syaraf yang lebih dalam, sebab diblokir
oleh cairan yang terdapat di radang.
Indikasi deep infiltrasi anestesi :

28

Untuk mencabut gigi anterior rahang bawah

Untuk mencabut semua gigi maksila

Untuk mencabut gigi desidui yang persisten

Menurut cara penyuntikannya, Deep infiltrasi anestesi dibagi menjadi


4, antara lain :

Paraperiosteal injection
Jarum diinsersikan sampai mendekati atau menyentuh

periosteum, dan setelah diinjeksikan larutan anestesi mengadakan


difusi menembus periosteum dan porositas tulang alveolar.

Interseptal injection
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik intraosseous,

dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan injeksi intraosseous


dimana jarum disuntikkan ke dalam tulang alveolar bagian
interseptal diantara kedua gigi yang akan dianestesi. Teknik
inikadang-kadang digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit
diperoleh atau bila dipasang gigi geligi tiruan imediat serta bila
tekhnik supraperiosteal tidak mungkin digunakan. Tekhnik ini hanya
dapat digunakan setelah diperoleh anestesi superficial.

29

Gambar 1.2 Interseptal injection

Intraperiodontal injection
Jarum diinsersikan pada sulkus gingival dengen bevel

mengarah menjauhi gigi. Jarum kemudian didorong ke membrane


periodontal bersudut 30 terhadap sumbu panjang gigi. Jarum
ditahan dengan jari untuk mencegah pembengkokan dan didorong ke
penetrasi maksimal sehingga terletak antara akar-akar gigi dan tulang
interkrestal. Jarum diinjeksikan langsung pada periodontal membran
dari akar gigi yang bersangkutan.

Gambar 1.3 Intraperiodontal injection

Pappilary Injection
Teknik ini sebenarnya termasuk teknik submukosa yang

dilakukan pada papila interdental yang melekat dengan periosteum.


Teknik

ini

diindikasikan

terutama

padagingivectomy, yang

memerlukan baik efek anestesi maupun efek hemostatis dari obat


anestesi.
b. Bony tissue anestesi (Intraosseous injection)

30

Injeksi dilakukan ke dalam struktur tulang, setelah terlebih dahulu


dibuat suatu jalan masuk dengan bantuan bur. Suntikan ini larutan
didepositkan pada tulang medularis. Setelah suntikan supraperiosteal
diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil melalui mukoperiosteum
pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk mendapat jalan masuk
bur dan reamer kecil pada perawatan endodontic. Dewasa ini, tekhnik
suntikan ini sudah sangat jarang digunakan.

Gambar 1.4 Bony tissue anestesi (Intraosseous injection)


Alat dan bahan yang digunakan untuk anestesi infiltrasi pada gigi sulung saat
pencabutan antara lain :
a. Syringe
Syringe adalah peralatan anestesi lokal yang paling sering digunakan pada
praktek gigi. Terdiri dari kotak logam dan plugger yang disatukan melalui
mekanisme hinge spring.
b. Cartridge
Biasanya terbuat dari kaca bebas alkali dan pirogen untuk mengindari pecah
dan kontaminasi dari larutan. Sebagaian besar cartridge mengandung 2,2 ml
atau 1,8 ml larutan anestesi lokal. Cartridge dengan kedua ukuran tersebut
dapat dipasang pada syringe standart namun umumnya larutan anestesi sebesar
1,8 ml sudah cukup untuk prosedur perawatan gigi rutin.

31

c. Jarum
Pemilihan jarum harus disesuaikan dengan kedalaman anastesi yang akan
dilakukan. Jarum suntik pada kedokteran gigi tersedia dalam 3 ukuran (sesuai
standar American Dental Association = ADA) ; panjang (32 mm), pendek (20
mm, dan superpendek (10 mm).
Jarum suntik yang pendek yang digunakan untuk anestesi infiltrasi
biasanya mempunyai panjang 2 atau 2,5 cm. Jarum yang digunakan harus
dapat melakukan penetrasi dengan kedalaman yang diperlukan sebelum
seluruh jarum dimasukan ke dalam jaringan. Tindakan pengamanan ini akan
membuat jarum tidak masuk ke jaringan, sehingga bila terjadi fraktur pada
hub, potongan jarum dapat ditarik keluar dengan tang atau sonde.
Petunjuk:
-

Dalam pelaksanaan anastesi lokal pada gigi, dokter gigi harus

menggunakan syringe sesuai standar ADA.


Jarum pendek dapat digunakan untuk beberapa injeksi pada jaringan
lunak yang tipis, jarum panjang digunakan untuk injeksi yang lebih

dalam.
Jarum cenderung tidak dipenetrasikan lebih dalam untuk mencegah

patahnya jarum.
Jarum yang digunakan harus tajam dan lurus dengan bevel yang relatif
pendek, dipasangkan pada syringe. Gunakan jarum sekali pakai
(disposable)

untuk

menjamin

ketajaman

dan

sterilisasinya.

Penggunaan jarum berulang dapat sebagai transfer penyakit.


3. Anestesi Blok
a

Field Blok

32

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf


terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal dari
tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang terbatas
(tidak seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar apeks akar
gigi rahang atas.
b

Nerve blok
Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama,
sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari
percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga
mulut khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa
biasanya pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka
kemungkinan terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior
alveolar nerve block.
Teknik-teknik anastesi blok pada maksila :
a. Injeksi Zigomatik
Dasar pemikiran: N.alveolaris superior posterior bisa di blok
sebelum masuk ke maksila di atas molar ketiga.
Titik suntikan terletak pada lipatan mukosa tertinggi diatas akar
distobukal molar kedua atas. Arahkan jarum ke atas dan ke dalam dengan
kedalaman kurang lebih 20 mm. ujung jarum harus tetap menempel pada
periosteum untuk menghindari masuknya jarum ke dalam plexus venosus
pterygoideus.
Perlu diingat bahwa injeksi zigomatik ini biasanya tidak dapat
menganestesi akar mesiobukal molar pertama atas. Karen itu, apabila gigi
tersebut perlu dianestesi untuk prosedur operatif atau ekstraksi, harus
dilakukan injeksi supraperiosteal yaitu di atas premolar kedua. Untuk
ekstraksi satu atau semua gigi molar, lakukanlah injeksi n.palatinus major.

33

Injeksi ini mempengaruhi daerah yang diinervasi oleh n. Alveolaris


superior posterior, yaitu molar ketiga dan kedua, akar distobukal dan akar
palatal molar pertama, tetapi tidak berlaku untuk mukoperiosteum
palatum. Pada saat bersamaan, cabang-cabang n. Buccalis yang
menginervasi jaringan di bagian bukal gigi-gigi molar juga akan
teranestesi. Injeksi ini biasanya cukup untuk semua prosedur operatif pada
gigi-gigi molar kedua dan ketiga.
b. Injeksi Infraorbital
Dasar pemikiran: injeksi ini diindikasikan apabila suatu inflamasi
atau infeksi merupakan kontraindikasi untuk injeksi supraperiosteal,
misalnya pada operasi untuk membuka antrum, atau ekstrasi beberapa gigi
sekaligus. Beberapa operator lebih menyukai teknik ini daripada injeksi
supraperiosteal untuk alveolektomi, pngangkatan gigi impaksi atau kista.
Biasanya tidak diindikasikan untuk dentistry operatif.

Gambar 1.5 Injeksi Infraorbital


Anestetikum dideponir ke dalam canalis infraorbitalis dengan
maksud agar cabang-cabang n.infraorbitalis berikut ini teranestesi, yaitu:
n. Aleveolaris superior medius dan anterior.
Pertama-tama tentukan letak foramen infraorbitale dengan cara
palpasi. Foramen ini terletak tepat dibawah crista infraorbitalis pada garis
vertikal yang menghubungkan pupil mata apabila pasien memandang lurus

34

ke depan. Tarik pipi, posisi jari yang mempalpasi jangna dirubah dan
tusukkan jarum dari seberang gigi premolar ke dua, kira-kira 5 mm ke luar
dari permukaan bukal. Arahkan jarum sejajar dengan aksis panjang gigi
premolar kedua sampai jarum dirasakan masuk kedalam foramen
infraorbitale di bawah jari yang mempalpasi foramen ini. Kurang lebih 2
cc anestetikum dideponir perlahan-lahan.
Beberapa operator menyukai pendekatan dari arah garis median,
dalam hal ini, bagian yang di tusuk adalah pada titik refleksi tertinggi dari
membran mukosa antara incisivus sentral dan lateral. Dengan cara ini,
jarum tidak perlu melalui otot-otot wajah.
Untuk memperkecil resiko masuknya jarum ke dalam orbita, klinisi
pemula sebaiknya mengukur dulu jarak dariforamen infraorbitale ke ujung
tonjol bukal gigi premolar ke dua atas. Kemudian ukuran ini dipindahkan
ke jarum. Apabila ditransfer pada siringe jarak tersebut sampai pada titik
perbatasan antara bagian yang runcing dengan bagian yang bergigi. Pada
waktu jarum diinsersikan sejajar dengan aksis gigi premolar kedua,
ujungnya akan terletak tepat pada foramen infraorbitale jika garis batas
tepat setinggi ujung bukal bonjol gigi premolar kedua. Jika foramen diraba
perlahan, pulsasi pembuluh darah kadang bisa dirasakan.
c. Injeksi N. Nasopalatinus
Titik suntikan terletak sepanjang papilla incisivus yang berlokasi
pada garis tengah rahang, di posterior gigi insicivus sentral. Ujung jarum
diarahkan ke atas pada garis tengah menuju canalis palatina anterior.
Walaupun anestesi topikal bisa digunakan untuk membantu mengurangi
rasa sakit pada daerah titik suntikan, anestesi ini mutlak harus digunakan
untuk injeksi nasopalatinus. Di anjurkan juga untuk melakukan anestesi
permulaan pada jarigan yang akan dilalui jarum.

35

Gambar 1.6 Injeksi N. Nasopalatinus


Injeksi ini menganestesi mukoperosteum sepertiga anterior palatum
yaitu dari kaninus satu ke kaninus yang lain. Meskipun demikian bila
diperlukan anestesi daerah kaninus, injeksi ini biasanya lebih dapat
diandalkan daripada injeksi palatuna sebagian pada daerah kuspid dengan
maksud menganestesi setiap cabang n.palatinus major yang bersitumpang.
d. Injeksi Nervus Palatinus Major
Inervasi jaringan lunak duapertiga posterior palatum berasal dari n.
Palatinus major (n. Palatinus anterior) dan n. Palatinus medius. N.
Palatinus major keluar dari palatum durum melalui foramen palatina major
dan berjalan ke depan kurang lbih di pertengahan antara crista alveolaris
dan linea media (garis tengah rahang). Menginervasi mukoperiosteum
palatum sampai ke daerah caninus serta beranastomosis dengan cabangcabang n. Nasopalatinus. Untuk ekstraksi atau prosedur operasi perlu
dilakukan anestesi n.palatinus major.
Tentukan titik tengah garis kayal yang ditarik antara tepi gingiva
molar ketiga atas di sepanjang akar palatalnya terhadap garis tengah
rahang. Injeksikan anestetikum sedikit mesial dari titik tersebut dari sisi
kontralateral.

36

Gambar 1.7 Injeksi Nervus Palatinus Major


Karena hanya bagian n.palatinus major yang keluar dari foramen
palatinum majus (foramen palatinum posterior) yang akan dianestesi,
jarum tidak perlu diteruskan sampai masuk ke foramen. Injeksi ke foramen
atau deponir anestetikum dalam jumlah besar pada orifisium foramen akan
menyebabkan teranestesinya n.palatinus medius sehingga palatum molle
menjadi keras. Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya gagging.
Injeksi ini menganestesi mukoperosteum palatum dari tuber
maxillae sampai ke regio kaninus dan dari garis tengah ke crista gingiva
pada sisi bersangkutan.
a. Injeksi Sebagian Nervus Palatinus
N. palatinus major bisa diblok pada sembarang titik di
perjalanannya dari foramen palatinum major ke arah depan. Jadi, anestesi
mukoperiosteum palatum didapatkan dari titik injeksi ke depan, ke regio
kaninus.
Injeksi ini biasanya hanya untuk ekstraksi gigi atau pembedahan.
Injeksi ini digunakan bersama dengan injeksi supraperiosteal atau
zigomatik.
Kadang-kadang

bila

injeksi

upraperiosteal

dan

zigomatik

digunakan untuk prosedur dentistry operatif pada regio premolar atau


molar atas, gigi tersebut masih tetap terasa sakit. Disini, anestesi bila
dilengkapi dengan mendeponir sedikit anestetikum di dekat gigi tersebut
sepanjang perjalanan n.palatinus major.
Teknik-teknik anastesi blok pada mandibula :
a. Injeksi Mentalis
Nervus mentalis merupakan cabang dari N.Alveolaris Inferior yang berupa
cabang sensoris yang berjalan keluar melalui foramen mentale untuk
menginervasi kulit dagu, kulit dan membrana mukosa labium oris inferior.

37

Teknik Anestesi Blok N.Mentalis: Tentukan letak apeks gigi-gigi premolar


bawah.

Gambar 1.8 Injeksi Mentalis


Tariklah pipi ke arah bukal dari gigi premolar. Masukkan jarum ke dalam
membrana mukosa di antara kedua gigi premolar kurang lebih 10 mm
eksternal dari permukaan bukal mandibula. Posisi syringe membentuk sudut
45 derajat terhadap permukaan bukal mandibula, mengarah ke apeks akar
premolar kedua. Tusukkan jarum tersebut sampai menyentuh tulang. Kurang
lebih cc anestetikum dideponir, ditunggu sebentar kemudian ujung jarum
digerakkan tanpa menarik jarum keluar, sampai terasa masuk ke dalam
foramen, dan deponirkan kembali cc anestetikum dengan hati-hati.
Selama pencarian foramen dengan jarum, jagalah agar jarum tetap
membentuk sudut 45o terhadap permukaan bukal mandibula untuk
menghindari melesetnya jarum ke balik periosteum dan untuk memperbesar
kemungkinan masuknya jarum ke foramen.Injeksi ini dapat menganestesi gigi
premolar dan kaninus untuk prosedur operatif. Untuk menganestesi gigi
insisivus, serabut saraf yang bersitumpang dari sisi yang lain juga harus di
blok. Untuk ekstraksi harus dilakukan injeksi lingual.
b. Injeksi N. Bucalis
Teknik Injeksi N.Buccalis: Nervus buccal tidak dapat dianestesi dengan
menggunakan teknik anaestesi blok nervus alveolaris inferior. Nervus buccal
menginervasi jaringan dan buccal periosteum sampai ke molar, jadi jika
jaringan halus tersebut diberikan perawatan, maka harus dilakukan injeksi
nervus buccal. Injeksi tambahan tidak perlu dilakukan ketika melakukan

38

pengobatan untuk satu gigi. Jarum panjang dengan ukuran 25 gauge


digunakan (karena injeksi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan injeksi
blok nervus alveolaris inferior, jadi jarum yang sama dapat digunakan setelah
anestetikum terisi).

Gambar 1.9 Injeksi N. Bucalis


Jarum disuntikan pada membran mukosa bagian disto bucal sampai pada
molar terakhir dengan bevel menghadap ke arah tulang setelah jaringan telah
diolesi dengan antiseptik. Jika jaringan tertarik kencang, pasien lebih merasa
nyaman. Masukkan jarum 2 atau 4 mm secara perlahan-lahan dan lakukan
aspirasi.4 Setelah melakukan aspirasi dan hasilnya negatif, maka depositkan
anestetikum sebanyak 2 cc secara perlahan-lahan.
Masukkan jarum pada lipatan mukosa pada suatu titik tepat di depan gigi
molar pertama. Perlahan-lahan tusukkan jarum sejajar dengan corpus
mandibulae, dengan bevel mengarah ke bawah, ke suatu titik sejauh molar
ketiga,

anestetikum

dideponir

perlahan-lahan

seperti

pada

waktu

Operator

yang

memasukkan jarum melalui jaringan.


Pasien

harus

berada

dalam

posisi

semisupine.

menggunakan tangan kanan berada dalam posisi searah dengan jarum jam
delapan sedangkan operator yang kidal berada pada posisi searah dengan
jarum jam empat.Injeksi ini menganestesi jaringan bukal pada area molar
bawah. Bersama dengan injeksi lingual, jika diindikasikan, dapat melengkapi
blok n.alveolaris inferior untuk ekstraksi semua gigi pada sisi yang diinjeksi.
In jeksi ini tidak selalu diindikasikan dalam pembuatan preparasi kavitas
kecuali jika kavitas bukal dibuat sampai di bawah tepi gingival.
a. Injeksi N. Lingualis

39

Dasar pemikiran: karena jaringan lunak pada permukaan lingual


mandibula tidak teranestesi dengan injeksi foramen mentale dan juga oleh
injeksi mandibular, maka jika gigi premolar dan gigi anterior akan dicabut,
diperlukan deposisi anestetikum pada aspek lingual yaitu n. Lingualis.
N. lingualis terletak di anterior n. Alveolaris inferior antara m.
Pterygoideus medialis dan ramus mandibula. N. Lingualis berjalan ke depan
dan berhubungan erat dengan akar molar ketiga, masuk ke dasar mulut,
melinta antara m. Mylohyoideus dan m. Hyoglossus untuk mensuplai
duapertiga anterior lidah. Cabang-cabang n. Lingualis menginervasi dasar
mulut, dan mukoperiosteum lingual dan dari mandibula.
Teknik: suntikan jarum pada mukoperiosteuml lingual setinggi setengah
panjang akar gigi yang dianestesi. Karena posisi gigi insisivus, sulit untuk
mencapai daerah ini dengan jarum yang lurus. Untuk mengatasi masalah ini,
bisa digunakan hub yang bengkok atau jarum yang dibengkokan dengan
cara menekannya antara ibu jari dan jari lain. Deposisikan sedikit anestesi
perlahan-lahan ke dalam mukoperiosteum. Jangna menggunakan penekanan.
Anestesi biasanya timbul terlalu cepat.
3.2.2 Macam-macam Obat Anastesi Lokal
Bahan anestesi lokal merupakan salah satu bahan yang
paling sering digunakan dalam kedokteran gigi, bahkan menjadi
bahan yang mutlak digunakan dalam praktek dokter gigi seharihari. Bahan anestesi lokal digunakan untuk menghilangkan rasa
sakit

yang

timbul

akibat

prosedur

kedokteran

gigi

yang

dilakukan. Bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu


ester dan amida. Jenis bahan anestesi yang termasuk dalam
golongan ester diantaranya yaitu kokain, prokain, 2-kloroprokain,
tetrakain dan benzokain sedangkan yang termasuk dalam
golongan

amida

diantaranya

yaitu

lidokain,

mepivakain,

bupivakain, prilokain, etidokain dan artikain (Gaffen, 2009).


Golongan Ester :
1 Prokain

40

Prokain adalah ester aminobenzoat untuk infiltrasi,


blok, spinal, epidural, merupakan obat standart untuk
perbandingan potensi dan toksisitas terhadap jenis obatobat anestetik local lain. Untuk infiltrasi: larutan 0,25-0,5%,
Blok Msaraf : 1-2%, Dosis 15 mg/kg BB dan lama kerja 3060 menit.Prokain disintesis dan diperkenalkan dengan
nama dagang novokain. Sebagai anestetik lokal, prokain
pernah digunakan untuk anestesi infiltrasi, anestesi blok
saraf, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi
kaudal. Namun karena potensinya rendah, mula kerja
lambat, serta masa kerja pendek maka penggunaannya
sekarang hanya terbatas pada anestesi infiltrasi dan
kadang- kadang untuk anestesi blok saraf. Di dalam tubuh
prokain

akan

dihidrolisis

menjadi

PABA

yang

dapat

menghambat kerja sulfonamik (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.10 Prokain


Pemberian prokain dengan anestesi infiltrasi maximum dosis 400
mg dengan durasi 30-50, dosis 800 mg, durasi 30-45,Pemberian dengan
anestesi epidural dosis 300-900, durasi 30-90, onset 5-15 mnt,Pemberian
dengan anestesi spinal : preparatic 10%, durasi 30-45 menit (Malamed
SF, 1997)
2 Kokain

41

Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4%


untuk mukosa jalan napas atas.Lama kerja 2-30 menit.
Contoh:

Fentanil.

Farmakodinamik:

Kokain

atau

benzoilmetilekgonin didapat dari daun erythroxylon coca.


Efek

kokain

yang

paling

penting

yaitu

menghambat

hantaran saraf, bila digunakan secara lokal. Efek sistemik


yang paling mencolok yaitu rangsangan susunan saraf
pusat.

Efek

terpenting

anestetik
yaitu

lokal:

Efek

kemampuannya

lokal
untuk

kokain

yang

memblokade

konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain
pernah digunakan secara luas untuk tindakan di bidang
oftalmologi,

tetapi

kokain

ini

dapat

menyebabkan

terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain


sekarang

sangat

dibatasi

untuk

pemakaian

topikal,

khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering


menyebabkan keracunan akut. Diperkirakan besarnya dosis
fatal adalah 1,2 gram. Sekarang ini, kokain dalam bentuk
larutan kokain hidroklorida digunakan terutama sebagai
anestetik topikal, dapat diabsorbsi dari segala tempat,
termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak
efektif karena di dalam usus sebagian besar mengalami
hidrolisis (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.11 Kokain

42

3 Tetrakain
Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat.
Pada pemberian intravena, zat ini 10 kali lebih aktif dan
lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk
segala macam anestesia, untuk pemakaian topilak pada
mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk hidung dan
tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total
10-20mg. Tetrakain memerlukan dosis yang besar dan
mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat sehingga
berpotensi toksik. Namun bila diperlukan masa kerja yang
panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain (Malamed
SF, 1997)
4 Benzokain
Absorbsi

lambat

karena

sukar

larut

dalam

air

sehingga relatif tidak toksik. Benzokain dapat digunakan


langsung pada luka dengan ulserasi secara topikal dan
menimbulkan anestesia yang cukup lama. Sediaannya
berupa salep dan supposutoria (Malamed SF, 1997)
Golongan Amida :
1 Lidokain
Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi
lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian
topikal dan suntikan. Lidokain disintesa sebagai anestesi
lokal amida oleh Lofgren pada tahun 1943. Ia menimbulkan
hambatan hantaran yang lebih cepat, lebih kuat, lebih
lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
prokain.

Tidak

digunakan

seperti

secara

prokain,

topikal

dan

lidokain

lebih

merupakan

efektif

obat

anti

disritmik jantung dengan efektifitas yang tinggi. Untuk

43

alasan ini, lidokain merupakan standar pembanding semua


obat anestesi lokal yang lain (Malamed SF, 1997)

Gambar 1.12 Lidokain


Sebagai obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4
mg/kgBB. Dosis maksimalnya 4,5 mg/kgBB dan tidak boleh diulang
dalam waktu 2 jam.Lidokain menyebabkan penurunan tekanan intrakranial
(tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder peningkatan
resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak (Malamed SF,
1997).
2 Mepivakain
Anestetik

lokal

golongan

amida

ini

sifat

farmakologiknya mirip lidokain. Mepivakain ini digunakan


untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf regional dan
anestesia spinal. Sediaan untuk suntikan berupa larutan 1 ;
1,5 dan 2%. Mepivakain lebih toksik terhadap neonatus dan
karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Pada
orang dewasa indeks terapinya lebih tinggi daripada
lidokain. Mula kerjanya hampir sama dengan lidokain,
tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar 20%. Mepivakain
tidak

efektif

sebagai

anestetik

topikal.Dosis

konsentrasi sekitar 1% - 2 % (Malamed SF, 1997)

maksimum

44

Gambar 1.13 Mepivakain

3 Bupivakain
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang
mengandung

amin

dan

butyl

piperidin.

Merupakan

anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang,


dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar
daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih popular
digunakan

untuk

memperpanjang

analgesia

selama

persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu penelitian


menunjukan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis
penggunaan

morfin

pascapembedahan

dalam

Caesar.

mengontrol
Pada

dosis

nyeri

pada

efektif

yang

sebanding, bupivakain lebih kardiotoksik daripada lidokain.


Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran
Na+ jantung

(cardiac

Na+ channels) selama

(Malamed SF, 1997)

Gambar 1.14 Bupivakain

sistolik

45

Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat


daripada lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi
yang cukup besar tetap terhambat pada akhir diastolik.
Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan
depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian
bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan
oleh bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan
adanya asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia.Ropivakain
juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa
kerja panjang, ddengan toksisitas terhadap jantung lebih
rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang
sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan
anestesia

dibandingkan

hidroklorida

tersedia

bupivakain.Larutan

dalam

konsentrasi

bupivakain

0,25%

untuk

anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral.


Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesia infiltrasi
adalah sekitar 2 mg/KgBB (Malamed SF, 1997)
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf
dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan
0,25-0,75%. Dosis maksimal 200mg. Duration 3-8 jam. Konsentrasi
efektif minimal 0,125%. Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8
jam. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau
hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%
(Malamed SF, 1997)
4 Prilokain
Walaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi
lokal tipe amida ini pada dasarnya mempunyai formula
kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lignokain dan
mepivakain. Anestetik

lokal

golongan

amida

ini

efek

46

farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula kerja dan masa


kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga
menimbulkan kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik
ialah prilokain dapat menimbulkan methemoglobinemia,
hal ini disebabkan oleh kedua metabolit prilokain yaitu
orto-toluidin dan nitroso- toluidin (Malamed SF, 1997)
Walaupun methemoglobinemia ini mudah diatasi
dengan pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB larutan 1 % dalam waktu 5 menit; namun efek
terapeutiknya hanya berlangsung sebentar, sebab biru
metilen

sudah

mengalami

bersihan,

sebelum

semua

methemoglobin sempat diubah menjadi Hb (Malamed SF,


1997)
Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam
anestesia disuntikan dengan sediaan berkadar 1,0; 2,0 dan
3,0%. Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam
hidroklorida

dengan

nama

dagang Citanest dan

dapat

digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan regional.


Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk
mendapat

efek

anestesi

topikal.Prilokain

biasanya

menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lignokain


namun anastesi yang ditimbulkannya tidaklah terlalu
dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator
bila

dibanding

dengan

lignokain

dan

biasanya

termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang toksik


dibandingkan dengan lignokain tetapi dosis total yang
dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah satu
produk pemecahan prilokain adalah ortotoluidin yang
dapat menimbulkan metahaemoglobin (Malamed SF, 1997)
Metahaemoglobin yang cukup besar hanya dapat
terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400
mg. metahaemoglobin 1 % terjadi pada penggunaan dosis

47

400

mg,

dan

biasanya

diperlukan

tingkatan

metahaemoglobin lebih dari 20 % agar terjadi simtom


seperti sianosis bibir dan membrane mukosa atau kadangkadang depresi respirasi (Malamed SF, 1997)
3.2.3 Persyarafan Gigi

Gambar 1.15 Persyarafan Gigi


Nervus sensoris pada rahang dan gigi berasal dari cabang
nervus cranial ke V atau yang lebih dikenal dengan nervus
trigeminus pada maksila dan mandibula. Persyarafan pada
daerah orofacial, selain saraf trigeminnal meliputi saraf cranial
lainnya, seperti saraf cranial ke-VII, ke-XI, ke-XII (Nelson, 2010)
a. Nervus maksila
Cabang nervus maksila nervus trigeminus mempersyarafi
gigi-gigi

pada

maksila

palatum,

dan

gingiva

maksila.

Selanjutnya cabang maksila akan bercabang lagi menjadi nervus


alveolaris superior. Nervus alveolaris superior ini kemudian
bercabang lagi menjadi tiga yaitu nervus alveolaris superior
anterior mensyarafi gingiva dan gigi anterior. Nervus alveorlaris
superior media mensyarafi gingiva, P, dan M1 mesial. Nervus

48

alveolaris superior posterior mensyarafi gingiva, M1 distal, M2,


serta M3 (Nelson, 2010)
b. Nervus Mandibula
Cabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus
alveolaris inferior. Nervus alveolaris inverior terus berjalan
menuju rongga pada mandibula di bawah gigi molar sampai ke
tingkat

foramen

mental.

Cabang

pada

gigi

ini

tidaklah

merupakan sebuah cabang besar, tapi merupakan dua atau tiga


cabang yang lebih besar yang membentuk plexus dimana
cabang pada inferior ini memasuki tiap akar gigi. Selain cabang
tersebut,

ada

pesrayaran

juga

cabang

mandibula.

lain

Nervus

yang

buccal,

berkontribusi
meskipun

pada

distribusi

utamanya pada persyarafannya pada mukosa pipi, syaraf ini juga


memiliki cabang yang biasanya didistribusikan ke area kecil pada
gingiva buccal di area molar pertama. Namun, dalam beberapa
kasus, distribusi ini memanjang dari caninus sampai molar
ketiga. Nervus lingualis, karena terletak di dasar mulut, dan
memiliki cabang mukosa pada beberapa area mukosa lidah dan
gingiva.

Nervus

mylohyoid,

terkadang

dapat

melanjutkan

perjalanannya pada permukaan bawah otot mylohyoid dan


memasuki mandibula melalui foramen kecil pada kedua sisi
midline. Pada beberapa individu, nervus ini berkontribusi pada
persarafan dari insisivus sentral dan ligament periodontal
(Nelson, 2010)

3.3 Kegoyangan Gigi

49

Kegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit


periodontal yang ditandai dengan hilangnya perlekatan serta
kerusakan tulang vertikal (Strassler, 2004). Kegoyangan dapat
disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi,
trauma dari oklusi, dan adanya perluasan peradangan dari
gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam, serta proses
patologik rahang (Suwandi (2010).
Menurut Fedi dkk. (2000), kegoyangan gigi diklasifikasikan
menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih
besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan
derajat 3 yaitu kegoyangan > 1 mm pada segala arah dan/atau
gigi dapat ditekan ke arah apikal.

Вам также может понравиться