Вы находитесь на странице: 1из 41

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Dan Fisiologi


Sistem reproduksi wanita terdiri dari organ interna, yang
terletak di dalam rongga pelvis dan ditopang oleh lantai pelvis, dan
genetalia eksterna, yang terletak di perineum. Struktur reproduksi
interna dan eksterna berkembang menjadi matur akibat rangsang
hormon estrogen dan progesteron (Bobak, 2005).
1. Stuktur eksterna

a. Vulva
Vulva adalah nama yang diberikan untuk struktur genetalia
externa. Kata ini berarti penutup atau pembungkus yang
berbentuk lonjong, berukuran panjang, mulai klitoris, kanan kiri
dibatasi bibir kecil sampai ke belakang dibatasi perineum.

b. Mons pubis
Mons pubis atau mons veneris adalah jaringan lemak
subkutan berbentuk bulat yang lunak dan padat serta merupakan
jaringan ikat jarang di atas simfisis pubis. Mons pubis
mengandung banyak kelenjar sebasea dan ditumbuhi rambut
berwarna hitam, kasar, dan ikal pada masa pubertas, mons
berperan dalam sensualitas dan melindungi simfisis pubis selama
koitus.
c. Labia mayora
Labia mayora adalah dua lipatan kulit panjang melengkung
yang menutupi lemak dan jaringan kulit yang menyatu dengan
mons pubis. Keduanya memanjang dari mons pubis ke arah
bawah mengililingi labia minora, berakhir di perineum pada garis
tengah. Labia mayora melindungi labia minora, meatus urinarius,
dan introitus vagina. Pada wanita yang belum pernah melahirkan
anak pervaginam, kedua labia mayora terletak berdekatan di garis
tengah, menutupi stuktur-struktur di bawahnya.
Setelah melahirkan anak dan mengalami cedera pada
vagina atau pada perineum, labia sedikit terpisah dan bahkan
introitus vagina terbuka.
Penurunan produksi hormon menyebapkan atrofi labia
mayora. Pada permukaan arah lateral kulit labia tebal, biasanya
memiliki pigmen lebih gelap daripada jaringam sekitarnya dan
ditutupi rambut yang kasar dan semakin menipis ke arah luar
perineum. Permukaan medial labia mayora licin, tebal, dan tidak
5

tumbuhi rambut. Sensitivitas labia mayora terhadap sentuhan,


nyeri, dan suhu tinggi. Hal ini diakibatkan adanya jaringan saraf
yang menyebar luas, yang juga berfungsi selama rangsangan
seksual.
d. Labia minora
Labia minora terletak di antara dua labia mayora,
merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, dan tidak berambut
yang , memanjang ke arah bawah dari bawah klitoris dan dan
menyatu dengan fourchett. Sementara bagian lateral dan anterior
labia biasanya mengandung pigmen, permukaan medial labia
minora sama dengan mukosa vagina. Pembuluh darah yang sangat
banyak

membuat

labia

berwarna

merah

kemerahan

dan

memungkankan labia minora membengkak, bila ada stimulus


emosional atau stimulus fisik. Kelenjar-kelenjar di labia minora
juga melumasi vulva. Suplai saraf yang sangat banyak membuat
labia minora sensitif, sehingga meningkatkan fungsi erotiknya.
e. Klitoris
Klitoris adalah organ pendek berbentuk silinder dan yang
terletak tepat di bawah arkus pubis. Dalam keadaan tidak
terangsang, bagian yang terlihat adalah sekitar 6x6 mm atau
kurang. Ujung badan klitoris dinamai glans dan lebih sensitif dari
pada badannya. Saat wanita secara seksual terangsang, glans dan
badan klitoris membesar.
Kelenjar sebasea klitoris menyekresi smegma, suatu
substansi lemak seperti keju yang memiliki aroma khas dan
6

berfungsi sebagai feromon. Istilah klitoris berasal dari kata dalam


bahasa yunani, yang berarti kunci karena klitoris dianggap
sebagai kunci seksualitas wanita. Jumlah pembuluh darah dan
persarafan yang banyak membuat klitoris sangat sensitif terhadap
suhu, sentuhan dan sensasi tekanan.
f. Vestibulum
Vestibulum ialah suatu daerah yang berbentuk seperti
perahu atau lojong, terletak di antara labia minora, klitoris dan
fourchette. Vestibulum terdiri dari muara uretra, kelenjar
parauretra,

vagina

dan

kelenjar

paravagina.

Permukaan

vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh


bahan kimia. Kelenjar vestibulum mayora adalah gabungan dua
kelenjar di dasar labia mayora, masing-masing satu pada setiap
sisi orifisium vagina.
g. Fourchette
Fourchette adalah lipatan jaringan transversal yang pipih
dan tipis, dan terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora
dan minora di garis tengah di bawah orifisium vagina. Suatu
cekungan dan fosa navikularis terletak di antara fourchette dan
himen
h. Perineum
Perineum adalah daerah muskular yang ditutupi kulit antara
introitus vagina dan anus. Perineum membentuk dasar badan
perineum.

2. Struktur interna

a. Ovarium
Sebuah ovarium terletak di setiap sisi uterus, di bawah dan
di belakang tuba falopi. Dua lagamen mengikat ovarium pada
tempatnya, yakni bagian mesovarium ligamen lebar uterus, yang
memisahkan ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira
setinggi krista iliaka anterosuperior, dan ligamentum ovarii
proprium, yang mengikat ovarium ke uterus. Dua fungsi ovarium
adalah menyelenggarakan ovulasi dan memproduksi hormon. Saat
lahir, ovarium wanita normal mengandung banyak ovum
primordial. Di antara interval selama masa usia subur ovarium
juga merupakan tempat utama produksi hormon seks steroid
dalam

jumlah

yang

dibutuhkan

perkembangan, dan fungsi wanita normal.

untuk

pertumbuhan,

b. Tuba fallopi
Sepasang tuba fallopi melekat pada fundus uterus. Tuba ini
memanjang ke arah lateral, mencapai ujung bebas legamen lebar
dan berlekuk-lekuk mengelilingi setiap ovarium. Panjang tuba ini
kira-kira 10 cm dengan berdiameter 0,6 cm. Tuba fallopi
merupakan jalan bagi ovum. Ovum didorong di sepanjang tuba,
sebagian oleh silia, tetapi terutama oleh gerakan peristaltis lapisan
otot. Esterogen dan prostaglandin mempengaruhi gerakan
peristaltis. Aktevites peristaltis tuba fallopi dan fungsi sekresi
lapisan mukosa yang terbesar ialah pada saat ovulasi.
c. Uterus
Uterus adalah organ berdinding tebal, muskular, pipih,
cekung yang tampak mirip buah pir yang terbalik. Uterus normal
memiliki bentuk simetris, nyeri bila di tekan, licin dan teraba
padat. Uterus terdiri dari tiga bagian, fudus yang merupakan
tonjolan bulat di bagian atas dan insersituba fallopi, korpus yang
merupakan bagian utama yang mengelilingi cavum uteri, dan
istmus, yakni bagian sedikit konstriksi yang menghubungkan
korpus dengan serviks dan dikenal sebagai sekmen uterus bagian
bawah pada masa hamil. Tiga fungsi uterus adalah siklus
menstruasi dengan peremajaan endometrium, kehamilan dan
persalinan.

Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan :


1) Endometrium yang mengandung banyak pembuluh darah
ialah suatu lapisan membran mukosa yang terdiri dari tiga
lapisan : lapisan permukaan padat, lapisan tengah jaringan ikat
yang berongga, dan lapisan dalam padat yang
menghubungkan indometrium dengan miometrium.
2) Miometrum yang tebal tersusun atas lapisan lapisan serabut
otot polos yang membentang ke tiga arah. Serabut
longitudinal membentuk lapisan luar miometrium, paling
benyak ditemukan di daerah fundus, membuat lapisan ini
sangat cocok untuk mendorong bayi pada persalinan.
3) Peritonium perietalis
Suatu membran serosa, melapisi seluruh korpus uteri, kecuali
seperempat permukaan anterior bagian bawah, di mana
terdapat kandung kemih dan serviks. Tes diagnostik dan bedah
pada uterus dapat dilakukan tanpa perlu membuka rongga
abdomen karena peritonium perietalis tidak menutupi seluruh
korpus uteri.
d. Vagina
Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat
melipat dan mampu meregang secara luas.

Mukosa vagina

berespon dengan cepat terhadap stimulai

esterogen

progesteron. sel-sel mukosa tanggal terutama selama

dan
siklus

menstruasi dan selama masa hamil. Sel-sel yang di ambil dari


mukosa vagina dapat digunakan untuk mengukur kadar hormon
seks steroid. Cairan vagina berasal dari traktus genetalis atas atau
bawah. Cairan sedikit asam. Interaksi antara laktobasilus vagina dan
glikogen mempertahankan keasaman. Apabila pH nik diatas lima,
insiden infeksi vagina meningkat. Cairan yang terus mengalir dari
vagina mempertahankan kebersihan relatif vagina.

Pengertian
Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut
masa nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan
untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Post
partum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak,
2010).
Partus di anggap spontan atau normal jika wanita berada dalam
masa aterm, tidak terjadi komplikasi, terdapat satu janin presentasi puncak
kepala dan persalinana selesai dalam 24 jam (Bobak, 2005).
Partus spontan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan dengan ketentuan ibu atau tanpa anjuran atau obatobatan (prawiroharjo, 2000).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum
sewaktu persalinan (Mohtar, 1998).

C. Etiologi
Partus normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang telah
cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau
jalan lain, dengan bantuan.

11

1. Partus dibagi menjadi 4 kala :


a. kala I, kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol
sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan his, kala pembukaan
berlangsung tidak begitu kuat sehingga parturien masih dapat berjalanjalan. Lamanya kala I untuk primigravida berlangsung 12 jam
sedangkan multigravida sekitar 8 jam.
b. Kala II, gejala utama kala II adalah His semakin kuat dengan interval 2
sampai 3 menit, dengan durasi 50 sampai 100 detik. Menjelang akhir
kala I ketuban pecah yang ditandai dengan pengeluaran cairan secara
mendadak. Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap diikuti
keinginan mengejan. Kedua kekuatan, His dan mengejan lebih
mendorong kepala bayi sehingga kepala membuka pintu. Kepala lahir
seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar. Setelah putar paksi luar
berlangsung kepala dipegang di bawah dagu di tarik ke bawah untuk
melahirkan bahu belakang. Setelah kedua bahu lahir ketiak di ikat
untuk melahirkan sisa badan bayi yang diikuti dengan sisa air ketuban.
c. Kala III, setelah kala II kontraksi uterus berhenti 5 sampai 10 menit.
Dengan lahirnya bayi, sudah dimulai pelepasan plasenta. Lepasnya
plasenta dapat ditandai dengan uterus menjadi bundar, uterus
terdorong ke atas, tali pusat bertambah panjang dan terjadi perdarahan.
d. Kla IV, dimaksudkan untuk melakukan observasi karena perdarahan
post partum paling sering terjadi pada 2 jam pertama, observasi yang
dilakukan yaitu tingkat kesadaran penderita, pemeriksaan tanda-tanda
vital, kontraksi uterus, terjadinya perdarahan. Perdarah dianggap
masih normal bila jumlahnya tidak melebihi 400 sampai 500 cc
(Manuaba, 1989).

12

2. Faktor penyebab ruptur perineum diantaranya adalah faktor ibu, faktor


janin, dan faktor persalinan pervaginam.
a. Faktor Ibu
1)

Paritas
Menurut panduan Pusdiknakes 2003, paritas adalah jumlah
kehamilan yang mampu menghasilkan janin hidup di luar rahim
(lebih dari 28 minggu). Paritas menunjukkan jumlah kehamilan
terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan,
tanpa mengingat jumlah anaknya (Oxorn, 2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia paritas adalah
keadaan kelahiran atau partus. Pada primipara robekan perineum
hampir selalu terjadi dan tidak jarang berulang pada persalinan
berikutnya (Sarwono, 2005).

2) Meneran
Secara fisiologis ibu akan merasakan dorongan untuk meneran bila
pembukaan sudah lengkap dan reflek ferguson telah terjadi. Ibu
harus didukung untuk meneran dengan benar pada saat ia
merasakan dorongan dan memang ingin mengejang (Jhonson,
2004). Ibu mungkin merasa dapat meneran secara lebih efektif
pada posisi tertentu (JHPIEGO, 2005).
b. Faktor Janin
1) Berat Badan Bayi Baru lahir
Makrosomia adalah berat janin pada waktu lahir lebih dari 4000
gram (Rayburn, 2001).
Makrosomia

disertai

dengan

meningkatnya

resiko

trauma

persalinan melalui vagina seperti distosia bahu, kerusakan fleksus


brakialis, patah tulang klavikula, dan kerusakan jaringan lunak

13

pada ibu seperti laserasi jalan lahir dan robekan pada perineum
(Rayburn, 2001).
2) Presentasi
Menurut kamus kedokteran, presentasi adalah letak hubungan
sumbu memanjang janin dengan sumbu memanjang panggul Ibu
(Dorland,1998).
a) Presentasi Muka
Presentasi muka atau presentasi dahi letak janin memanjang,
sikap extensi sempurna dengan diameter pada waktu masuk
panggul atau diameter submentobregmatika sebesar 9,5 cm.
Bagian terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu,
sedang pada presentasi dahi bagian terendahnya antara glabella
dan bregma (Oxorn, 2003).
b) Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian (pertengahan),
hal ini berlawanan dengan presentasi muka yang ekstensinya
sempurna. Bagian terendahnya adalah daerah diantara margo
orbitalis dengan bregma dengan penunjukknya adalah dahi.
Diameter bagian terendah adalah diameter verticomentalis
sebesar 13,5 cm, merupakan diameter antero posterior kepala
janin yang terpanjang (Oxorn, 2003).
c) Presentasi Bokong
Presentasi bokong memiliki letak memanjang dengan kelainan
dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah dengan
penunjuknya

adalah sacrum.

Berdasarkan posisi janin,

presentasi bokong dapat dibedakan menjadi empat macam


yaitu presentasi bokong sempurna, presentasi bokong murni,

14

presentasi bokong kaki, dan presentasi bokong lutut (Oxorn,


2003).
c. Faktor Persalinan Pervaginam
1) Vakum ekstrasi
Vakum ekstrasi adalah suatu tindakan bantuan persalinan, janin
dilahirkan dengan ekstrasi menggunakan tekanan negatif dengan
alat vacum yang dipasang di kepalanya (Mansjoer, 2002).
2) Ekstrasi Cunam/Forsep
Ekstrasi Cunam/Forsep adalah suatu persalinan buatan, janin
dilahirkan dengan cunam yang dipasang di kepala janin (Mansjoer,
2002). Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu karena tindakan
ekstrasi forsep antara lain ruptur uteri, robekan portio, vagina,
ruptur perineum, syok, perdarahan post partum, pecahnya varices
vagina (Oxorn, 2003).
3)

Embriotomi adalah prosedur penyelesaian persalinan


dengan jalan melakukan pengurangan volume atau merubah
struktur organ tertentu pada bayi dengan tujuan untuk memberi
peluang yang lebih besar untuk melahirkan keseluruhan tubuh bayi
tersebut (Syaifudin, 2002).

4)

Persalinan Presipitatus
Persalinan presipitatus adalah persalinan yang berlangsung sangat
cepat, berlangsung kurang dari 3 jam, dapat disebabkan oleh
abnormalitas kontraksi uterus dan rahim yang terlau kuat, atau
pada keadaan yang sangat jarang dijumpai, tidak adanya rasa nyeri
pada saat his sehingga ibu tidak menyadari adanya proses
persalinan yang sangat kuat (Cunningham, 2005).

D. Patofisiologi

15

1. Adaptasi Fisiologi
a. Infolusi uterus
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan, proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat
kontraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga persalinan,
uterus berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus
dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis.
Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di
atas umbilikus. Fundus turun kira-kira 1 smpai 2 cm setiap 24 jam.
Pada hari pasca partum keenam fundus normal akan berada di
pertengahan antara umbilikus dan simpisis pubis. Uterus, pada
waktu hamil penuh baratnya 11 kali berat sebelum hamil,
berinvolusi menjadi kira-kira 500 gr 1 minggu setelah melahirkan
dan 350 gr 2 minggu setelah lahir. Satu minggu setelah melahirkan
uterus berada di dalam panggul. Pada minggu keenam, beratnya
menjadi 50-60 gr. Peningkatan esterogen dan progesteron
bertabggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama hamil.
Pada masa pasca partum penurunan kadar hormon menyebapkan
terjadinya autolisis, perusakan secara langsung jaringan hipertrofi
yang berlebihan. Sel-sel tambahan yang terbentuk selama masa
hamil menetap. Inilah penyebap ukuran uterus sedikit lebih besar
setelah hamil.
b. Kontraksi
intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna
segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap
penurunan volume intrauterin yang sangat besar. homeostasis
pasca partum dicapai terutama akibat kompresi pembuluh darah
intramiometrium,

bukan

oleh

agregasi

trombosit

dan

16

pembentukan bekuan. Hormon oksigen yang dilepas dari


kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengopresi pembuluh darah dan membantu hemostasis. Salama
1-2 jam pertama pasca partum intensitas kontraksi uterus bisa
berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk mempertahankan
kontraksi uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau
intramuskuler diberikan segera setelah plasenta lahir. Ibu yang
merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan
bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada
payudara merangsang pelepasan oksitosin.
2. Adaptasi psikologis
Menurut Hamilton, 1995 adaptasi psikologis ibu post partum dibagi
menjadi 3 fase yaitu :
a. Fase taking in / ketergantungan
Fase ini dimuai hari pertama dan hari kedua setelah melahirkan
dimana ibu membutuhkan perlindungandan pelayanan.
b. Fase taking hold / ketergantungan tidak ketergantungan
Fase ini dimulai pada hari ketiga setelah melahirkan dan berakhir
pada minggu keempat sampai kelima. Sampai hari ketiga ibu
siap untuk menerima peran barunya dan belajar tentang semua
hal-hal baru. Selama fase ini sistem pendukung menjadi sangat
bernilai bagi ibu muda yang membutuhkan sumber informasi dan
penyembuhan fisik sehingga ia dapat istirahat dengan baik

c. Fase letting go / saling ketergantungan


Dimulai sekitar minggu kelima sampai keenam setelah kelahiran.
Sistem keluarga telah menyesuaiakan diri dengan anggotanya
yang baru. Tubuh pasian telah sembuh, perasan rutinnya telah

17

kembali dan kegiatan hubungan seksualnya telah dilakukan


kembali.

E. Manifestasi klinik
Periode post partum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir
sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum
hamil. Periode ini kadang-kadang disebut puerperium atau trimester
keempat kehamilan (Bobak, 2004).
1.

Sistem reproduksi
a. Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan, proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar
akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Uterus, pada waktu
hamil penuh baratnya 11 kali berat sebelum hamil, berinvolusi
menjadi kira-kira 500 gr 1 minggu setelah melahirkan dan 350
gr dua minggu setelah lahir. Seminggu setelah melahirkan
uterus berada di dalam panggul. Pada minggu keenam,
beratnya menjadi 50-60gr. Pada masa pasca partum penurunan
kadar hormon menyebapkan terjadinya autolisis, perusakan
secara langsung jaringan hipertrofi yang berlebihan. Sel-sel
tambahan yang terbentuk selama masa hamil menetap. Inilah
penyebap ukuran uterus sedikit lebih besar setelah hamil.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera
setelah bayi lahir, hormon oksigen yang dilepas dari kelenjar
hipofisis

memperkuat

dan

mengatur

kontraksi

uterus,

mengopresi pembuluh darah dan membantu hemostasis. Salama


1-2 jam pertama pasca partum intensitas kontraksi uterus bisa
berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk mempertahankan
kontraksi uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau
intramuskuler diberikan segera setelah plasenta lahir.
c. Tempat plasenta
Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontraksi
vaskular dan trombus menurunkan tempat plasenta ke suatu area
yang meninggi dan bernodul tidak teratur. Pertumbuhan

18

endometrium ke atas menyebapkan pelepasan jaringan nekrotik


dan mencegah pembentukan jaringan parut yang menjadi
karakteristik penyembuha luka. Regenerasi endometrum, selesai
pada akhir minggu ketiga masa pasca partum, kecuali pada
bekas tempat plasenta.
d. Lochea
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir, mula-mula
berwarna merah, kemudian menjadi merah tua atau merah
coklat. Lochea rubra terutama mengandung darah dan debris
desidua dan debris trofoblastik. Aliran menyembur menjadi
merah setelah 2-4 hari. Lochea serosa terdiri dari darah lama,
serum, leukosit dan denrus jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi
lahir, cairan berwarna kuning atau putih. Lochea alba
mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mukus, serum dan
bakteri. Lochea alba bisa bertahan 2-6 minggu setelah bayi
lahir.
e. Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam
pasca partum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi
lebih padat dan kembali ke bentuk semula. Serviks setinggi
segmen bawah uterus tetap edematosa, tipis, dan rapuh selama
beberapa hari setelah ibu melahirkan.
f. Vagina dan perineum
Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara
bertahap ke ukuran sebelum hami, 6-8 minggu setelah bayi
lahir. Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu keempat,
walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara.
2. Sistem endokrin
a. Hormon plasenta
Penurunan hormon human plasental lactogen, esterogen dan
kortisol, serta placental enzyme insulinase membalik efek
diabetagenik kehamilan. Sehingga kadar gula darah menurun
secara yang bermakna pada masa puerperium. Kadar esterogen
dan progesteron menurun secara mencolok setelah plasenta
keluar,

penurunan

kadar

esterogen

berkaitan

dengan

19

pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstra seluler


berlebih yang terakumulasi selama masa hamil.
b. Hormon hipofisis
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita
menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum
yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam
menekan ovulasi. Karena kadar follikel-stimulating hormone
terbukti sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui di
simpulkan ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH
ketika kadar prolaktin meningkat (Bowes, 1991).
3.

Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan,
abdomenya akan menonjol dan membuat wanita tersebut tampak
seperti masih hamil. Diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding
abdomen kembali ke keadaan sebelum hami.

4.

Sistem urinarius
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah
wanita melahirkan. Diperlukan kira-kira dua smpai 8 minggu
supaya hipotonia pada kehamilan dan dilatasi ureter serta pelvis
ginjal kembali ke keadaan sebelum hamil (Cunningham, dkk ;
1993).

5. Sistem cerna
a. Nafsu makan
Setelah benar-benar pulih dari efek analgesia, anestesia, dan
keletihan, ibu merasa sangat lapar.
b. Mortilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna
menetap selam waktu yang singkat setelah bayi lahir.
c. Defekasi
Buang air besar secara spontan bias tertunda selama dua sampai
tiga hari setelah ibu melahirkan.
6. Payu dara
Konsentrasi hormon yang menstimulasai perkembangan payu
dara selama wanita hamil (esterogen, progesteron, human chorionik
gonadotropin, prolaktin, krotison, dan insulin) menurun dengan
cepat setelah bayi lahir.

20

a) Ibu tidak menyusui


Kadar prolaktin akan menurun dengan cepat pada wanita yang
tidak menyusui. Pada jaringan payudara beberapa wanita, saat
palpasi dailakukan pada hari kedua dan ketiga. Pada hari ketiga
atau keempat pasca partum bisa terjadi pembengkakan. Payudara
teregang keras, nyeri bila ditekan, dan hangat jika di raba.
b) Ibu yang menyusui
Sebelum laktasi dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan
kekuningan, yakni kolostrum. Setelah laktasi dimula, payudara
teraba hangat dan keras ketika disentuh. Rasa nyeri akan
menetap selama sekitar 48 jam. Susu putih kebiruan dapat
dikeluarkan dari puting susu.
7. Sistem kardiovaskuler
a. Volume darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor
misalnya kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi
serta pengeluaran cairan ekstravaskuler. Kehilangan darah
merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat tetapi
terbatas. Setelah itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang
menyebapkan volume darah menurun dengan lambat. Pada
minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah
biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum lahir.
b. Curah jantung
Denyut jantung volume sekuncup dan curah jantung meningkat
sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan
ini akan meningkat bahkan lebih tinggi selama 30 sampai 60
menit karena darah yang biasanya melintasi sirkuit utero plasenta
tiba-tiba kembali ke sirkulasi umum (Bowes, 1991).
c. Tanda-tanda vital
Beberapa perubahan tanda-tanda vital bisa terlihat, jika wanita
dalam keadaan normal. Peningkatan kecil sementara, baik
peningkatan tekanan darah sistol maupun diastol dapat timbul dan
berlangsung selama sekitar empat hari setelah wanita melahirkan
(Bowes, 1991).
8. Sistem neurologi

21

Perubahan neurologis selama puerperium merupakan kebalikan


adaptasi neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebapkan
trauma yang dialami wanita saat bersalin dan melahirkan.
9. Sistem muskuluskeletal
Adaptasi sistem muskuluskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil
berlangsung secara terbalik pada masa pascapartum. Adaptasi ini
mencakup hal-hal yang membantu relaksasi dan hipermobilitas sendi
dan perubahan pusat berat ibu akibat pemsaran rahim.
10. Sistem integumen
Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Pada beberapa wanita, pigmentasi pada daerah
tersebut akan menutap. Kulit kulit yang meregang pada payudara,
abdomen, paha, dan panggul mungkin memudar, tapi tidak hilang
seluruhnya.
F. Klasifikasi Ruptur Perineum
Menurut buku Acuan Asuhan Persalinan Normal (2008), derajat ruptur
perineum dapat dibagi menjadi empat derajat, yaitu :
a. Ruptur perineum derajat satu, dengan jaringan yang mengalami
robekan adalah :
1)

Vagina
a) Komisura posterior
b) Kulit perineum

b.

Ruptur perineum derajat dua, dengan jaringan yang mengalami


robekan adalah :
1)

Mukosa Vagina
a) Komisura posterior
b) Kulit perineum
c) Otot perineum

c.

Ruptur perineum derajat tiga, dengan jaringan yang mengalami


robekan adalah :

22

1) Sebagaimana ruptur derajat dua


2) Otot sfingter ani
d.

Ruptur perineum derajat empat, dengan jaringan yang


mengalami robekan adalah :
1) Sebagaimana ruptur derajat tiga
2) Dinding depan rectum

G. Komplikasi
1. Perdarahan
Perdarahan adalah penyebap kematian terbanyak pada wanita
selama periode post partum. Perdarahan post partum adalah :
kehilangan darah lebih dari 500 cc setelah kelahiran kriteria
perdarahan didasarkanpada satu atau lebih tanda-tanda sebagai
berikut:
a. Kehilangan darah lebih dai 500 cc
b. Sistolik atau diastolik tekanan darah menurun sekitar 30
mmHg
c. Hb turun sampai 3 gram % (novak, 1998).
Perdarahan post partum dapat diklasifikasi menurut kapan
terjadinya perdarahan dini terjadi 24 jam setelah melahirkan.
Perdarahan lanjut lebih dari 24 jam setelah melahirkan, syok
hemoragik dapat berkembang cepat dan menadi kasus lainnya, tiga
penyebap utama perdarahan antara lain :
a. Atonia uteri : pada atonia uteri uterus tidak mengadakan kontraksi
dengan baik dan ini merupakan sebap utama dari perdarahan post
partum. Uterus yang sangat teregang (hidramnion, kehamilan
ganda, dengan kehamilan dengan janin besar), partus lama dan
pemberian narkosis merupakan predisposisi untuk terjadinya atonia
uteri.

23

b. laserasi jalan lahir : perlukan serviks, vagina dan perineum dapat


menimbulkan perdarahan yang banyak bila tidak direparasi dengan
segera.
c. Retensio plasenta, hampir sebagian besar gangguan pelepasan
plasenta disebapkan oleh gangguan kontraksi uterus.retensio
plasenta adalah : tertahannya atau belum lahirnya plasenta atau 30
menit selelah bayi lahir.
d. Lain-lain
1) Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi
uterus sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka
2) Ruptur uteri, robeknya otot uterus yang utuh atau bekas
jaringan parut pada uterus setelah jalan lahir hidup.
3) Inversio uteri (Wikenjosastro, 2000).
2. Infeksi puerperalis
Didefinisikan sebagai; inveksi saluran reproduksi selama masa post
partum. Insiden infeksi puerperalis ini 1 % - 8 %, ditandai adanya
kenaikan suhu > 38 0 dalam 2 hari selama 10 hari pertama post partum.
Penyebap klasik adalah : streptococus dan staphylococus aureus dan
organisasi lainnya.
3. Endometritis
Adalah infeksi dalam uterus paling banyak disebapkan oleh infeksi
puerperalis. Bakteri vagina, pembedahan caesaria, ruptur membran
memiliki resiko tinggi terjadinya endometritis (Novak, 1999).
4. Mastitis
Yaitu infeksi pada payudara. Bakteri masuk melalui fisura atau

24

pecahnya puting susu akibat kesalahan tehnik menyusui, di awali


dengan pembengkakan, mastitis umumnya di awali pada bulan
pertamapost partum (Novak, 1999).
5. Infeksi saluran kemih
Insiden

mencapai

2-4

wanita

post

partum,

pembedahan

meningkatkan resiko infeksi saluran kemih. Organisme terbanyak


adalah Entamoba coli dan bakterigram negatif lainnya.
6. Tromboplebitis dan trombosis
Semasa hamil dan masa awal post partum, faktor koagulasi dan
meningkatnya status vena menyebapkan relaksasi sistem vaskuler,
akibatnya terjadi tromboplebitis (pembentukan trombus di pembuluh
darah dihasilkan dari dinding pembuluh darah) dan trombosis
(pembentukan trombus) tromboplebitis superfisial terjadi 1 kasus dari
500 750 kelahiran pada 3 hari pertama post partum.
7. Emboli
Yaitu : partikel berbahaya karena masuk ke pembuluh darah kecil
menyebapkan kematian terbanyak di Amerika (Novak. 1999).
8. Post partum depresi
Kasus ini kejadinya berangsur-angsur, berkembang lambat sampai
beberapa minggu, terjadi pada tahun pertama. Ibu bingung dan merasa
takut pada dirinya. Tandanya antara lain, kurang konsentrasi, kesepian
tidak aman, perasaan obsepsi cemas, kehilangan kontrol, dan lainnya.
Wanita juga mengeluh bingung, nyeri kepala, ganguan makan,
dysmenor, kesulitan menyusui, tidak tertarik pada sex, kehilanagan
semangat (Novak, 1999).
H. Tanda Tanda Bahaya Post Partum

25

Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap


dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut
berasal dari perlukaan jalan lahir (Depkes RI, 2004).
Tanda-tanda yang mengancam terjadinya robekan perineum antara
lain :
1. Kulit perineum mulai melebar dan tegang.
2. Kulit perineum berwarna pucat dan mengkilap.
3. Ada perdarahan keluar dari lubang vulva, merupakan indikasi
robekan pada mukosa vagina.
I. Penatalaksanaan atau Perawatan Post Partum
Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan
dengan cara melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan
memperhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah
vagina yang biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan
menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat
dilakukan dengan cara memberikan antibiotik yang cukup (Moctar,
1998).
Prinsip yang harus diperhatikan dalam menangani ruptur perineum
adalah:
1. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,
segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio
plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap.
2. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat
dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada
jalan lahir, selanjutnya dilakukan penjahitan. Prinsip melakukan
jahitan pada robekan perineum :

26

a. Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah


dalam/proksimal ke arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis
demi lapis, dari lapis dalam kemudian lapis luar.
b. Robekan perineum tingkat I : tidak perlu dijahit jika tidak ada
perdarahan dan aposisi luka baik, namun jika terjadi
perdarahan segera dijahit dengan menggunakan benang catgut
secara jelujur atau dengan cara angka delapan.
c. Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II
jika ditemukan robekan tidak rata atau bergerigi harus
diratakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penjahitan.
Pertama otot dijahit dengan catgut kemudian selaput lendir.
Vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.
Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Kulit
perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
d. Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada
dinding depan rektum yang robek, kemudian fasia perirektal
dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik
sehingga bertemu kembali.
e. Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani
yang terpisah karena robekan diklem dengan klem pean lurus,
kemudian dijahit antara 2-3 jahitan catgut kromik sehingga
bertemu kembali.
Selanjutnya
menjahit

robekan

dijahit

lapis

demi

lapis

seperti

robekan perineum tingkat I.


f. Meminimalkan Derajat Ruptur Perineum

27

Menurut Mochtar (1998) persalinan yang salah merupakan


salah satu sebab terjadinya ruptur perineum. Menurut Buku
Acuan Asuhan Persalinan Normal (2008) kerjasama dengan
ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur
ekspulsi
kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi
atau meminimalkan robekan pada perineum.
Dalam menangani asuhan keperawatan pada ibu post
partum spontan, dilakukan berbagai macam penatalaksanaan,
diantaranya :
1. Monitor TTV
Tekanan darah meningkat lebih dari 140/90 mungkin
menandakan

preeklamsi

suhu

tubuh

meningkat

menandakan terjadinya infeksi, stress, atau dehidrasi.


2. Pemberian cairan intravena
Untuk mencegah dehidrasi dan meningkatkan kemampuan
perdarahan darah dan menjaga agar jangan jatuh dalam
keadaan syok, maka cairan pengganti merupakan tindakan
yang vital, seperti Dextrose atau Ringer.
3. Pemberian oksitosin
Segera setelah plasenta dilahirkan oksitosin (10 unit)
ditambahkan dengan cairan infuse atau diberikan secara
intramuskuler untuk membantu kontraksi uterus dan
mengurangi perdarahan post partum.
4. Obat nyeri
Obat-obatan yang mengontrol rasa sakit termasuk sedative,

28

alaraktik, narkotik dan antagonis narkotik. Anastesi


hilangnya sensori, obat ini diberikan secara regional/ umum
(Hamilton, 1995).

A. RETENSIO URINE
Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post
partum atau setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah
ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan
kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 %
kapasitas kandung kemih.
Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non invasif
seperti upaya bladder training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar
fungsi eliminasi berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini
tidak berhasil, maka diperlukan penangananan bladder training dengan
kateterisasi dengan memasang kateter foley dalam kandung kemih selama 24 48 jam untuk menjaga kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan
kandung kemih menemukan tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai
proses berkemih spontan.
Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih
bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologis, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, serta pengukuran volume residu urin .
Selain itu, fungsi berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetry.
Saultz et al., menyatakan volume residu urin normal adalah kurang
atau sama dengan 150 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 150 ml
dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Volume residu urin
normal adalah maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria. Kapasitas
kandung kemih normal orang dewasa adalah 1000 ml. Namun keadaan over
distensi dapat mencapai volume + 2000-3000 ml. Fungsi berkemih dikatakan
masih normal bila volume urin minimal 0,5 - 1 ml / kgBB /jam.
Secara umum penanganan retensi urin diawali dengan kateterisasi.
Namun, studi terakhir menyatakan bahwa penanganan awal secara non invasif
berupa hidroterapi dapat diupayakan terlebih dahulu. Apabila residu urin lebih
dari 150 ml, antibiotik profilaksis perlu diberikan untuk kateterisasi dalam
jangka panjang atau berulang.
29

Retensi urin adalah kesulitan berkemih atau miksi karena kegagalan


mengeluarkan urin dari kandung kemih atau akibat ketidak-mampuan
kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih sehingga menyebabkan
distensi kandung kemih atau keadaan ketika seseorang mengalami
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dimana dari beberapa
literatur lama waktu dari ketidak-mampuan berkemih spontan serta volume
residu urin berbeda-beda. Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab
lokasi kerusakan saraf, yaitu :
a. Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis
S24 dan Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan
parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin
karena gangguan persarafan.
b. Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,
berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan,
misalnya : retensi urin akibat iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis.
c. Infravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau
tumor pada leher vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat
obstruksi.
A. Gejala klinis retensi urin
1. Mengedan bila miksi
2. Rasa tidak puas sehabis miksi
3. Frekuensi miksi bertambah
4. Nokturia atau pancaran kurang kuat
5. Ketidak nyamanan daerah pubis
6. Distensi vesika urinaria
B. Eliminasi Fisiologis
1. Definisi Fungsi Eliminasi Fisiologis
Fungsi eliminasi yaitu proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan
sisa-sisa zat yang tidak diperlukan oleh tubuh untuk mencapai
keseimbangan (homeostasis). Hal yang berkaitan dengan fungsi eliminasi,
antara lain:
a. Hemostatis internal.
b. Keseimbangan asam basa tubuh.
c. Pengeluaran sisa metabolisme.
2. Cara-cara Fungsi Eliminasi
Cara-cara fungsi eliminasi adalah sebagai berikut : 15

30

a.
b.
c.
d.

Urin melalui uretra


Faeces melalui anus
Keringat melalui kulit
Gas CO2 dan uap air melalui paru-paru

3. Organ Sistem Urinaria


a. Ginjal
b. Ureter
c. Trigonum
d. Hubungan ureter-vesika
e. Vesika urinaria (Bladder)
Vesika urinaria (bladder) disebut juga kandung kemih terdiri
atas 2 bagian, yaitu daerah fundus dan leher kandung kemih. Bagian
leher

kandung

kemih

disebut

juga

uretra

posterior

karena

berhubungan dengan uretra. Mukosa kandung kemih dilapisi oleh


epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Di
bawahnya terdapat lapisan sub mukosa yang sebagian besar tersusun
dari jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih
adalah otot detrusor yang terdiri dari lapisan otot longitudinal pada
lapisan luar dan dalam sedangkan otot sirkuler pada bagian tengahnya
Otot detrusor melanjutkan perjalanannya ke arah uretra
membentuk suatu "pipa" yang disebut bladder neck. Kandung kemih
berbentuk oblik untuk menghindari urin kembali keatas.

f. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan
urin keluar dari tubuh. Fungsi uretra pada pria dan wanita berbeda.
Pada wanita, uretra berfungsi hanya untuk menyalurkan urin keluar

31

dari tubuh dengan panjang + 4 cm. Sedangkan pada pria, uretra


sebagai pengalihan urin dan sebagai organ reproduksi dengan penjang
18-20 cm. Sementara itu, sfingter uretra dibentuk oleh serat-serat otot
lurik. Peranannya adalah untuk menahan upaya berkemih sementara
waktu atau segera menghentikan proses berkemih bila dikehendaki.
4. Fisiologis Fungsi Berkemih
Secara fisiologis, kandung kemih dapat menimbulkan rangsangan
pada saraf apabila volume urin pada kandung kemih berisi + 250 - 450 ml
(dewasa) dan 200-250 ml (anak-anak). Secara normal, urin orang dewasa
diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan + 120 ml/jam
(1200 ml/hari) atau 25 % dari curah jantung. Volume urin normal minimal
adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam, dimana produksi urin dikatakan abnormal
atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal (oliguria) adalah sekitar 100
500 ml/hari.
Fisiologi fungsi berkemih juga tergantung pada status dehidrasi
individual. Untuk rata-rata individu dewasa dengan aktivitas ringan,
National

Research

Council

Amerika

Serikat

merekomendasikan

kebutuhan air sebanyak 1 mL/kkal kebutuhan energi orang dewasa.


Kebutuhan energi orang dewasa sekitar + 2000 kkal, sehingga normalnya
perlu intake 2000 mL air per hari.
Kandung kemih adalah organ penampung urin. Selain itu,
berfungsi pula mengatur pengeluarannya. Proses berkemih dimulai dari
tekanan intramural otot detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap sematamata akibat persarafan, akan tetapi pada penelitian terakhir menunjukkan
bahwa tekanan intramural otot detrusor lebih ditentukan oleh keadaan
fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak), dimana stimulasi ini
diterima oleh stretch receptor pada kandung kemih.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat
ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan
tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan
demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk
mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor
terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan
rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial
aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot
berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan

32

segera. Jika kandung kemih terisi cukup dan mengembang, sementara


tekanan intravesika tetap, maka sesuai dengan hukum Laplace, tekanan
intramural otot detrusor akan meningkat.
Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretch
receptor, sehingga timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang
akan diteruskan ke pusat refleks berkemih di korteks serebri lobus
frontalis pada area detrusor piramidal. Penelitian terakhir menyatakan
bahwa kontrol terpenting terutama berasal dari daerah yang disebut
Pontine Micturition Centre. Sistem ini ditunjang oleh sistem refleks
sakralis yang disebut Sacralis Micturition Centre. Jika jalur persarafan
antara pusat berkemih pontin dan sakralis dalam keadaan baik, maka
proses berkemih akan berjalan dengan baik juga.
Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang
terintegrasi antara sistem saraf otonom dan somatik. Jalur persarafan yang
terdiri dari refleks fungsi detrusor dan refleks sfingter uretra meluas dari
lobus frontalis samapi ke medula spinalis bagian sakral, sehingga
penyebab dari gangguan fungsi berkemih neurogenik dapat diakibatkan
oleh lesi pada berbagai tingkatan jalur persarafan. Proses berkemih
menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra
(rhabdosfingter), kontraksi otot detrusor kandung kemih dan pembukaan
dari leher kandung kemih dan uretra.
Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga
dipengaruhi oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini
melibatkan emosi yang diatur oleh sistem limbik pada sistem saraf pusat.
Tingkah laku merupakan fungsi sistem saraf pusat yang melibatkan
emosi. Tingkah laku khusus yang berhubungan dengan emosi, dorongan
motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa
nyeri dan rasa tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan oleh
struktur sub kortikal yang terletak di daerah basal otak yang disebut
sistem limbik. Struktur sentral serebri basal dikelilingi korteks serebri
yang disebut korteks limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah
asosiasi untuk pengendalian fungsi tingkah laku tubuh dan penyimpan
informasi yang menyimpan informasi mengenai pengalaman seperti rasa
tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan sebagainya.
5. Persarafan sistem urinaria bagian bawah
a. Persarafan sensorik dan somatik

33

Persarafan sensorik melibatkan saraf aferen yang berakhir pada


pleksus sub-urogenital yang tidak mempunyai ujung saraf sensorik
khusus. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis thorakolumbal,
parasimpatis sakral dan nervus pudendus) mengandung serabut saraf
aferen. Serabut aferen yang berjalan di dalam pelvis membawa sensasi
dari keadaan distensi kandung kemih yang terisi cukup dan
merangsang stretch receptor.

Peran

saraf

aferen

sensorik

dari

nervus

hipogastrika

kemungkinan menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung


kemih. Sedangkan peran saraf aferen somatik dari nervus pudendus
menyalurkan impuls dari sensasi aliran urin, sensasi nyeri dan sensasi
suhu dari uretra menuju ke medulla spinalis sakral sebagai penerima
impuls saraf aferen dari kandung kemih. Hal ini menunjukkan bahwa
daerah-daerah di medulla spinali
sakral berperan dalam proses integrasi saraf visero-somatik.
Penemuan ini berasal dari penelitian yang dilakukan pada
pasien yang mengalami kordotomi anterolateral. Hasil menyimpulkan
bahwa jalur persarafan asending dari uretra dan kandung kemih
berjalan di dalam traktus spinothalamikus. Selain itu, serabut
spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan pada transmisi dari

34

informasi saraf aferen ini.

b. Persarafan kandung kemih dan ureter bagian bawah

6. Persarafan pada kulit dari organ urogenitalia eksterna


a. Fungsi persarafan pada kulit.
Sensasi suhu
Sensasi taktil
Sensasi nyeri
Saraf vasokonstriktor

35

Saraf vasodilator
Saraf simpatis

b. Perasarafan pada kulit yang berfungsi terhadap sensasi suhu


Persarafan pada kulit dari organ urogenitalia eksterna berperan
dalam menerima stimulus yang diterima oleh nerve ending (ujung
persarafan) pada kulit. Dimana salah satunya berfungsi sebagai
penerima sensasi suhu yang melibatkan sistem saraf otonom, somatik
dan sistem saraf pusat. Sensasi suhu pada kulit terdistribusi secara
merata pada kulit yang terbagi atas hot spot dan cold spot yang diatur
oleh nerve ending untuk suhu panas (ruffini) dan suhu dingin (krause)
c. Nerve endings

C. Retensi urin post partum


Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk
diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan
terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau
memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis
pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan
predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari
post partum.
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu
postpartum. Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah

36

penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan


edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam
setelah melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi,
secara perlahan akan terjadi pengeluaran cairan secara besar-besaran yang
biasa disebut inkontinensia.
Inkontinensia

urin

menurut

International

Continence

Society

didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan


masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata. International
Consultation on Incontinence membagi klasifikasi inkontinensia urine
menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress,
inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal
Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua.
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan
pascapartum adalah inkontinensia urine stress. The International Continence
Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan
pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu
batuk. Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat
bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh
gangguan pada kandung kemih dan uretra. Kedua jenis inkontinensia ini
merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu postpartum. Terkadang
muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga
dengan inkontinensia urine campuran.
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu :
1. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post
partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak
terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert
dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih
spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung
kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang
air kecil 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin,
termasuk pada kategori ini.
2. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah
ketidak-mampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan.
Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang
digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan

37

dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis


retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang
tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk
kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya
mencapai 0,7%
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post
partum,yaitu :
1. Trauma Intrapartum
Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi
urin, dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini
terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama
terhadap uretra dan kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki
rongga panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa
kandung kemih dan ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus
genitalis dapat menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi
urin post partum.
2. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan
akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi
sewaktu berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.
3. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas
Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post
partum tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh
obat-obatan anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi
epidural.
4. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih
spontan.
D. Penyebab dan Faktor Risiko
Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar
panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada
kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta
penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang
berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf
akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi.Wanita
yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi dengan
berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin.
38

Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan


saraf dasar panggul.
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan
timbulnya prolapsus organ panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul
kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan disfungsi dasar panggul
(terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan
dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam.
Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang
disebabkan oleh edema trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter
uretra. Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam
pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower
kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam
waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka
kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang
dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan
pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.
Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen
akan menurun sehingga menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena
pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat
kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan
cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum.
Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan
terjadinya inkontinensia urin pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh
penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi dari Inkontinensia
Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi
merupakan penyebab potensial terhadap kejadian. Ada pandangan umum
bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita
gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita
gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal.
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah
inkontinensia urine stres. Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya
urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intaabdominal.
Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu
mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat
atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat
dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda
berat.

39

Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program


latihan dasar panggul (Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel
Exercise sudah terbukti mampu mengatasi masalah inkontinensia urin.
Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah
minggu ke-12 harus dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi
kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian umum, atau sebagai seorang
konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam
melakukan latihan dasar panggul.
E. Patofisiologi retensi urin post partum
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu :
1. pengisian dan penyimpanan urin, serta
2. pengosongan urin dari kandung kemih.
Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal.
Aktivitas otot detrusor kandung kemih dalam hal penyimpanan dan
pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik.
Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap
kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan
resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh
hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraksi otot detrusor yang
dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
uretra proksimal.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi
yang simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini
dipengaruhi

oleh

sistem

saraf

parasimpatis

yang

mempunyai

neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian impuls dari saraf


aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla
spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls
saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih
sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada
aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi
otot detrusor.
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis
dari otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra
yang tidak sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post
partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.

40

F. Penanganan retensi urin post partum


Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine
adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan
awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun
klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan
penderita yaitu:
-

Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.


Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.
Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.
Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen,

vaginal, pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen


bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu
inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa
tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina
terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.
Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (the cotton
swab test), merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia
stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine
ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah
urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume
residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim
ke laboratorium.
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.
Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi,
dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun
divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri.
Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan
keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif.
Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk
mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi
(ureter ektopik).
Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu
Pessary Pad Test. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk
mengisi kandung kemih. Setelah jam, penderita melakukan latihan selama
45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di
tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan

41

dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih
besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila
tidak didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
populer, selain itu juga dipakai obat-obatan,stimulasi dan pemakaian alat
mekanis
1. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar
pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul
membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan
urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan
berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal,
perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter
uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra
proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot
lurik uretra dan periuretra.
Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder
training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih
adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga
secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari
keadaannya yang abnormal.
2. Bladder training
Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran
urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih
spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post
partum.
Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan
kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48
jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan
kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila
kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu
2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter
kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung

42

kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung


kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang
atau sama dengan 50 ml.
Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya
berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari
bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan
kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan
berkemih.
a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non
invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.
b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet
untuk berkemih spontan
c. Terapi medikamentosa
d. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik.
Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
e. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan
kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.

43

44

Вам также может понравиться