Вы находитесь на странице: 1из 9

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok


Mendukung Swasembada Beras
Mewa Ariani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Abstrak
Terkait dengan MDGs, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi
kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan. Disisi lain, upaya pemenuhan konsumsi pangan
dihadaplan pada tantangan besar karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan terjadinya
pergeseran pola pangan pokok. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis sejauhmana pola
diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia. Data yang digunakan adalah data
Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002, 2005 dan 2008, yang dikumpulkan oleh BPS
dan diolah oleh Departemen Pertanian serta dari instansi terkait lainnya. Data dianalisis secara
deskriptif dalam bentuk tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) Pola konsumsi pangan
pokok di Indonesia cenderung pola pangan tunggal yaitu beras. Selain itu pola pangan pokok kedua,
yang semula dari umbi-umbian dan jagung bergeser ke terigu dan produknya seperti mi instan, 2).
Tingkat konsumsi beras langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk
pangan pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg; ubijalar: 2,8 kg/
kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi
beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu,
diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen masyarakat. Keberhasilan
diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi beras, dan pada gilirannya mempermudah
pencapaian swasembada beras.
Kata kunci : Diversifikasi, pangan pokok, swasembada beras

kelanjutan bagi seluruh penduduk terutama


dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan
keragaman yang cukup, aman dan terjangkau
dari waktu ke waktu.
Indonesia dalam pemenuhan konsumsi masyarakat menghadapi tantangan cukup
besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekitar 235 juta jiwa
dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Penduduk yang besar ini akan berdampak
tidak hanya pada aspek pendidikan, lapangan
pekerjaan dan yang utama adalah pangan. Karena pangan adalah kebutuhan dasar manusia
yang dibutuhkan setiap hari. Sering terjadi
gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan
dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu

Pendahuluan
Indonesia telah menyatakan komitmen
untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di
dunia. Dalam Millenium Development Goals
(MDGs) , ditegaskan untuk mengurangi angka
kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di
dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Keta
-hanan pangan yang dibangun di Indonesia,
disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi
hak azasi pangan masyarakat juga merupakan
pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu
bangsa. (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).
Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang
kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu
menyediakan pangan yang cukup secara ber65

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

tidaklah mengherankan jika pangan bukan


sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi
sosial yang luas (Sambutan Menko Perekonomian, 2005)
Produksi pangan memang mengalami
peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan
peningkatan produksi padi pada kurun waktu
2004-2009 dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8
juta ton tahun 2009 atau naik sebesar 5,83%.
Pencapaian tersebut telah menjadikan Indonesia berswasembada beras (Kementerian
Pertanian, 2010). Namun demikian tantangan
peningkatan produksi pangan (khususnya padi) ke depan nampaknya masih mengalami
kesulitan, karena berbagai faktor, diantaranya : 1). Penurunan luas baku lahan sawah, 2)
Penurunan kesuburan lahan, 3). Penurunan
kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4).
Lambannya adopsi teknologi petani, 5). Peningkatan jumlah petani gurem, dan 7). Masih
tingginya kehilangan hasil (Simatupang dan
Maulana, 2006; Badan Litbang Pertanian,
2005; Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Selain
hal tersebut, adanya pengaruh perubahan
iklim global antara lain berdampak pada
menyebarnya serangan OPT, bergesernya periode waktu musim kering dan basah, kerusakan lahan dan tanaman juga berpengaruh
pada produksi pangan (Kementerian Pertanian, 2010).
Disisi lain, pelaksanaan program diversifikasi atau penganekaragaman pangan di
Indonesia telah mempunyai dasar hukum
yang kuat melalui UU Pangan No. 7 tahun
2006 tentang Pangan, PP No. 68 tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan dan Perpres No. 22
tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal. Kementerian Per-

tanian yang dituangkan dalam Rencana


Strategis 2010-2014 mencanangkan empat
target utama diantaranya adalah 1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan dan 2) Peningkatan diversifikasi pangan (Kementerian Pertanian, 2009). Makalah ini bertujuan menganalisis sejauhmana
pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia.

Bahan dan Metode


Data yang digunakan bersumber dari
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
tahun 2002, 2005 dan 2008 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik dan diolah oleh
Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pangan, 2009). Pola konsumsi pangan pokok
dianalisis berdasarkan pangsa energi dari
masing-masing pangan (beras, jagung, terigu,
ubikayu, ubijalar, sagu, dan umbi lainnya)
terhadap total energi dari pangan tersebut.
Selain itu juga digunakan data dan informasi
terkait yang diperoleh dari berbagai instansi.
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif
dengan menggunakan tabel-tabel.
Hasil dan Pembahasan
Pola Konsumsi Pangan Pokok
Selain beras, komoditas yang berperan
sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian,
jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok
yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi
sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi
oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta
jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT.
Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya
kebijakan pemerintah di bidang perberasan
secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu
sampai industri hilir mengakibatkan pergese66

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

ran pangan pokok dari pangan lokal seperti


jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok
nasional yaitu beras.
Hasil analisis dengan menggunakan
data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro
Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di
wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) menunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola
pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996,
posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah

hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara


jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal
beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu
propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996
terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar,
Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng
(Ariani, 2010). Ini berarti telah terjadi peningkatan preferensi dan jumlah konsumsi beras
yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga
mampu menggeser peran jagung dan umbi-

Tabel 1. Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984, dan
1996
No.

Pola Makanan Pokok

1979a

1984a

1.

Beras

Kalsel, DKI, NAD,


Sumbar

DKI, NAD, Sumbar,


Bengkulu

2.

Beras+umbi-umbian

Kaltim, NTB, Kalteng,


Kalbar, Bali, DIY,
Lampung, Bengkulu,
Jambi, Riau, Sumsel,
Sumut, Jabar

Kaltim, Kalteng,
Kalbar, Kalsel, Sumut, Sumsel, Riau,
Jambi, Jabar

3.

Beras+jagung+umbi-umbian

Sulut, NTT

4.

Beras+umbi-umbian+jagung

Sulsel, Jateng, Jatim

5.

Beras+umbi-umbian+sagu+
pisang
Beras+sagu+umbi-umbian
Beras+umbi-umbian+sagu+
jagung
Beras + sagu
Beras + jagung
Beras+jagung+sagu+umbiumbian
Beras+sagu+umbi-umbian+
jagung

Maluku

Sulut, Jateng, TimTim, Jatim


NTT, Lampung, DIY,
Bali
Maluku

6.
7.
8.
9.
10.
11.

Papua

Papua

NTB,Sulsel, Sultra
-

Sulteng

Sulteng
Sultra

Keterangan : Propinsi dengan huruf tebal adalah propinsi KTI


Sumber: a. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989.
Rachman, H.P.S. 2001

67

1996b
NTB, Kalbar,
Kalteng, Kalsel,
Kaltim, Sulut,
Sulteng, Sulsel
-

Sultra
Maluku, Papua
NTT, Tim-Tim
-

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

umbian sebagai pangan pokok seperti pada


Tabel 1.
Hasil analisis terhadap data Susenas
tahun 1990 (Ariani dan Ashari, 2003) sudah
menunjukkan tingkat partisipasi konsumsi
beras (persentase jumlah orang yang mengkonsumsi beras) di berbagai wilayah cukup
tinggi hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga telah mengkonsumsi beras. Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, wa
-laupun umumnya tingkat partisipasi di desa
masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau, maka tingkat partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau
yang satu dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras
yang masih rendah hanya terjadi di pedesaan
Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen).

Dengan menggunakan data yang terakhir yaitu Susenas 2002, 2005 dan 2008
menunjukkan semakin nyata bahwa pola konsumsi pangan pokok masyarakat di Indonesia
telah bergeser dari pola beragam menjadi pola
tunggal yaitu beras. Dari Tabel 2 terlihat
bahwa pola konsumsi tunggal beras terjadi
pada semua tingkatan pendapatan, dari
masyarakat miskin sampai masyarakat kaya.
Dominasi beras sebagai pola pangan pokok
utama terus berlangsung di setiap propinsi
dan tidak tergantikan oleh jenis pangan
pokok lain. Perubahan jenis pangan pokok
hanya terjadi pada komoditas bukan beras,
seperti antara jagung dengan umbi dan
sebaliknya.
Tingkat Konsumsi Pangan Pokok
Beras selain sumber energi dan protein utama dalam pola konsumsi masyarakat,
juga sebagai wage goods dan political goods.

Tabel 2. Pola Konsumsi Pangan Pokok di Indonesia Menurut


Kelompok Pengeluaran, Indonesia
Kel. Pengeluaran (Rp/kap/bl)

2002

2005

2008

B,J,UK

B, T

60.000-79.999

B,J,UK,T

B,T

80.000-99.999

B,T,UK

B,T

100.000-149.999

B,T

B,T

B,T,J

150.000-199.999

B,T

B,T

B,T

200.000-299.999

B,T

B,T

B,T

300.000-499.999

B,T

B,T

B,T

500.000 749.999

B,T

B,T

B,T

750.000 999.999

B,T

B,T

B,T

> 1000.000

B,T

B,T

B,T

< 60.000

Keterangan : B = Beras, T=Terigu (termasuk produknya), J=Jagung, UK=Ubikayu,


Sumber : Susenas 2002, 2005, 2008 (diolah), BKP (2009)

68

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh


beras, dan beras berperanan dalam ketahanan
pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan kerja. Sebagian besar masyarakat tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang
stabil, tersedia sepanjang waktu dan dengan
harga yang terjangkau. Kebijakan pemerintah
seperti penetapan harga dasar gabah dan
pengendalian harga di tingkat konsumen
mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi
beras. Walaupun tingkat konsumi beras cende
-rung menurun, namun volume konsumsi
beras masih jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan umbi-umbian dan jagung (Tabel 3).
Belum lagi adanya kebijakan program Raskin
dalam bentuk beras, yang penyalurannya untuk seluruh masyarakat tanpa memperhatikan
pola konsumsi pangan pokok setempat, jelas
menyalahi konsep diversifikasi konsumsi pa-

gandum. Perbedaan yang sangat mencolok ini,


mengakibatkan beras sebagai pola pangan pokok utama di berbagai wilayah dan kelompok
pendapatan. Konsumsi beras memang cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun
tingkat konsumsi tersebut masih lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. Konsumsi beras di Jepang hanya sekitar
60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Thailand,
China dan India sekitar 100 kg/kapita/tahun.
Di Laos dan Myanmar, konsumsi beras masih
tinggi yaitu masing-masing sebesar 179 kg
dan 190 kg/kapita/tahun (Pambudy,dkk;
2002).
Bukti empiris menunjukkan beras telah menjadi pangan pokok utama dan cenderung tunggal di berbagai propinsi termasuk
propinsi yang sebelumnya mempunyai pola
pangan pokok sagu, jagung atau umbi-umbian.

Tabel 3. Perubahan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/kapita/tahun)


Tahun

Beras

Jagung

Terigu

Ubikayu

Ubijalar

Sagu

2002

115,5

3,4

8,5

12,8

2,8

0,3

2005

105,2

3,3

8,4

15,0

4,0

0,5

2008

104,9

2,9

11,2

12,9

2,8

0,5

Sumber : SUSENAS, dioleh Pusat PKP, Badan Ketahanan Pangan

ngan yang selama ini juga menjadi program


pemerintah.
Sebagai gambaran konsumsi beras
pada tahun 2008 mencapai 104,9 kg, yang
berarti 36,2 kali lebih besar dibandingkan
konsumsi jagung ( 2005 : 31,9 kali), daripada
konsumsi jagung; 9,4 kali konsumsi terigu
dan 8,1 kali konsumsi ubikayu dan 37,5 kali
konsumsi ubijalar. Pada Tabel 3 terlihat bahwa dari tahun ke tahun, konsumsi terigu dan
turunannya, ini juga berarti devisa Indonesia
semakin terkuras karena untuk mengimpor

Pangan lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat dan beralih ke pangan nasional berupa
beras bahkan ke pangan internasional seperti
mi instan. Beras memang mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan sumber karbohidrat
lainnya diantaranya adalah mempunyai cita
rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan
komposisi zat gizi lebih baik dibandingkan
dengan pangan lokal lainnya.
Berkembangnya mi instan sebagai makanan utama setelah beras didorong oleh kebijakan jaman orde baru yang menganak69

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

emaskan terigu selain beras. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi
tepung di dalam negeri yang berlangsung lama
dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi murah (50% lebih
rendah dari harga internasional). Selain itu
adanya kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media elektronik,
product development yang diperluas dengan
harga yang bervariasi dan mudah diperoleh,
turut mendorong peningkatan partisipasi
konsumsi produk gandum terutama berupa
mi dan roti. Banyaknya ragam jenis, bentuk
dan cara masak komoditas mie, seperti mie
basah, mie kuah, mie instant dan produk mie
lainnya.
Banyak produk mie yang dengan cepat
diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan dengan variasi harga
yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan produk mie sesuai
dengan kemampuannya. Konsumen produk
mie meliputi semua golongan, tidak hanya golongan atas tetapi juga menengah dan bawah.
Selain itu mie juga dengan mudah dijumpai di
berbagai tempat, tidak hanya di swalayan
tetapi juga di pasar tradisional atau warung
kecil di pedesaan. Menurut Sawit (2003) di
Indonesia, pada kelompok rendah dan menengah, beralihnya pangan dari non terigu ke
terigu atau produk olahannya begitu cepat
dibandingkan di negara-negara Asia.

akan beragam, bergizi dan berimbang. Di


Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur
diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan
Harapan (PPH). PPH yang diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia sampai pada tahun 2008 baru sebesar
81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No.
22 tahun 2009, pada tahun 2015, PPH mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus meningkat sekitar 2,5. Dalam konsep PPH, setiap
orang untuk setiap hari dianjurkan mengkonsumsi pangan seperti berikut : a) Padi-padian :
275 gr, b) Umbi-umbian : 100 gr, c) Pangan
hewani : 150 gr, d) Minyak+Lemak : 20 gr, e)
Buah/biji berminyak ; 10 gr, f) Kacang-kacangan : 35 gr, g) Gula : 30,0 gr dan h) Sayur +
buah : 250 gr (Pusat Konsumsi dan Keamanan
Pangan 2004 dalam Badan Ketahanan Pangan,
2009).
Ini berarti dalam setahun kebutuhan
dari kelompok padi-padian yang terdiri beras,
jagung dan terigu untuk konsumsi langsung
penduduk sebesar 99 kg/kapita. Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah
konsumsi beras, jagung dan terigu untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih besar dari seharusnya. Belum lagi
bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan
tersebut yang sangat bisa pada beras. Upaya
diversifikasi konsumsi pangan dari padi-padian dapat dilakukan dengan mengurangi konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan dari komoditas jagung. Untuk terigu, karena bahan baku gandum harus diimpor maka
sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya
dikurangi. Sementara konsumsi dari umbiumbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/tahun yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu
dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya

Percepatan Diversifikasi Pangan Pokok


Diversifikasi konsumsi pangan pokok
tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi
pangan masyarakat sehingga masyarakat akan
mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan
lebih baik gizinya. Pangan yang dikonsumsi
70

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

baru 16,2 kg/kapita/tahun yang berarti masih


kurang dari setengahnya.
Upaya pencapaian diversifikasi pangan
sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari
pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut.
Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Yang menonjol adalah anjuran untuk
mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah populer istilahberas-jagung.
Ada dua arti dari istilah itu, yaitu 1) campuran
beras dengan jagung, dan 2) penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu
dengan jagung. Dan pada tahun-tahun berikutnya pemerintah melalui Departemen Pertanian dan departemen yang lain melaksanakan program tersebut, namun memang
hasilnya belum sesuai yang diharapkan.
Kebijakan terakhir, pemerintah menetapkan kebijakan percepatan diversifikasi
konsumsi pangan berbasisi sumberdaya lokal
dengan dua strategi yaitu : 1) Internalisasi penganekeragaman konsumi pangan dan Pengembangan Bisnis dan Industri Pangan
Lokal. Proses internalisasi dilakukan melalui
dua cara : 1) Advokasi, kampanye dan sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman pada berbagai
tingkatan kepada aparat dan masyarakat, dan
2) Pendidikan konsumsi pangan melalui pendidikan formal dan non formal. Sementara,
pengembangan bisnis dan industri pangan
lokal dilakukan melalui: 1) Fasilitasi kepada
UMKM untuk pengembangan bisnis pangan
segar, industri bahan baku, industri pangan
olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis sumberdaya lokal dan 2) Advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan kea-

manan pangan bagi pelaku usaha pangan


terutama usaha skala rumahtangga dan
UMKM.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke
masalah desentralisasi pangan yaitu bahan
pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan umbi-umbian baru menyumbang
energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian
mempunyai prospek yang cukup luas untuk
dikembangkan sebagai substitusi beras dan
untuk diolah menjadi makanan bergengsi.
Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta
strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan
normal bahkan superior.
Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya
menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan
bahannya yang dapat diperoleh secara mudah.
Dalam memenuhi permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam
mensukseskan program diversifikasi pangan
adalah melaksanakan product development.
Produk ini merupakan upaya menciptakan
suatu produk baru yang memiliki sifat, antara
lain sangat praktis, tersedia dalam segala
ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan
mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah
tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk makanan yang
siap olah dan siap santap merupakan pilihan
yang terbaik.

71

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Departemen
Pertanian.
Departemen Pertanian. 2001. Kebijakan
Umum Pemantapan Ketahanan Pangan
Nasional. BBKP. Deptan. Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan
Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
2010-2014. Jakarta
Kementerian Pertanian. 2010. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2009. Jakarta
Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola
Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri
Rumah Tangga Dengan Konsumsi
Energi Dibawah Standar Kebutuhan.
Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes. dengan PAE, Deptan.
Bogor.
Pambudy,R; T.E.Hari Basuki dan Mardianto,S.
2002. Resume Pertemuan Kebijakan
Perberasan Asia. Hasil Pertemuan Regional di Bangkok, Thailand. Oktober.
Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan.
Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia. No.
22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.
Jakarta.
Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi
dan Permintaan Pangan di Kawasan
Timur Indonesia. Disertasi. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor.
Sawit, M.H. 2003. Kebijakan gandum/terigu:
harus mampu menumbuhkembangkan
industri pangan dalam negeri. Analisis
Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100109. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan


Pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia mengalami pergeseran dari
pola beragam berbasis sumberdaya lokal menjadi pola beras dan terigu (termasuk turunannya). Akibatnya tingkat konsumsi beras masih
diatas 100 kg/kapita/tahun, sebaliknya untuk
pangan lokal seperti jagung hanya 2,9 kg dan
umbi-umbian 12 kg/kapita/tahun. Diversifikasi pangan pokok masih belum sesuai dengan
pola pangan ideal yang tertuang dalam PPH.
Konsumsi dari padi-padian diatas yang dianjurkan, sebaliknya untuk umbi-umbian masih
lebih kecil dari yang seharusnya.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan
berbasis sumberdaya lokal. Belajar dari penga
-laman pelaksanaan diversifikasi konsumsi
pangan selama ini, maka pelaksanaan kebijakan tersebut harus dijadikan sebagai gerakan
massa, bukan lagi sekedar program pemerintah, sehingga semua lapisan masyarakat baik
di pusat maupun di daerah harus berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Selain itu perlu dukungan yang
kuat dan konsisten dari pemerintah daerah
dan DPRD untuk melaksanakan kebijakan
tersebut.
Daftar Pustaka
Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan
Pentingnya Diversifikasi Konsumsi
Pangan di Indonesia. Forum Agro
Ekonomi. Vol. 21, No. 2. Desember.
Bogor.
Ariani,M . 2004. Dinamika Konsumsi Beras
Rumahtangga dan Kaitannya dengan
Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.
Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
72

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010

ISBN : 978-979-8940-29-3

Statistics Division. Millenium Development


Goal Indicators Database. 30 July 2005.
http://millennium indicators.un.org
Sambutan Menko Bidang Perekonomian. Rapat Koordinasi Evaluasi Inpres 2/2005
dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan Bidang Pangan. 20 Juli
2005. Jakarta

Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Prospek


Penawaran dan Permintaan Pangan
Utama : Analisis Masalah, Kendala dan
Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi.
Seminar Hari Pangan Sedunia XXVI.
Jakarta, 13 November.

73

Вам также может понравиться