Вы находитесь на странице: 1из 22

Makalah Farmasi

DIABETES MELLITUS

Oleh :
TENRI ASHARI WANAHARI
G99131087

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat adanya kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya(WHO). Hiperglikemia kronik pada penderita diabetes memiliki
hubungan yang erat dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan
berberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
Adanya perubahan, perkembangan baik dalam hal diagnosis, klasifikasi, perjalanan

penyakit, dan penatalaksanaan DM terus menerus dikembangkan oleh WHO, American


Diabetes Association (ADA), dan di Indonesia sendiri terdapat pakar ahli spesialis
penyakit dalam dalam perkumpulan PERKENI (perkumpulan endokrinologi Indonesia).
Tingginya tingkat insidensi DM, tentunya akan diikuti pula dengan meningkatnya
komplikasi kronik akibat hiperglikemia. Komplikasi utama yang sering terjadi adalah
makroangiopati dan mikroangiopati (Jameson, 2004). Komplikasi makroangiopati
berupa gangguan pada pembuluh darah besar seperti pembuluh darah besar otak,
jantung dan kaki. Pada komplikasi mikroangipati, penyakit yang ditimbulkan adalah
retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati diabetik (Adam, 2005).
Penatalaksanaan pada DM merupakan suatu tatalaksana yang komprehensif,
dimana tidak hanya bertumpu pada pengobatan farmakologis saja, tetapi lebih kepada
pengobatan non-farmakologis. Pengobatan farmakologis lebih ditujukan kepada
penderita DM tipe 1, dimana memang terjadi defisiensi insulin absolute, sedangkan
pada DM tipe 2, pengobatan dan pendekatan non-farmakologis lebih diutamakan,
mengingat penatalaksanaan DM tipe 2 membutuhkan penanganan yang komprehensif
dan berkesinambungan (ADA, 2009 ; ADA, 2004).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat dari pancreas
yang tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau keadaan
dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Hal
ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah
(hiperglikemia) (WHO, 2009 ; Jameson, 2004).
B. Manifestasi Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetesi. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan bila terdapat keluhan klasik DM seperti :
1.
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagi, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

2.

Keluhan lain : lemah badan, kesemutan atau rasa kebas pada tangan dan
atau kaki, gatal pada kemaluan, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada wanita. Selain itu apabila terdapat luka yang tidak kunjung
sembuh atau sulit sembuh, perlu juga dipikirkan adanya DM (Waspadji, 2007 ;
Suyono, 2006).

C. Klasifikasi
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM tipe 1 adalah sebuah
penyakit inflamasi autoimun pada pankreas, sehingga menyebabkan kekurangan
produksi insulin. Proses autoimun ini mengenai sel pada Pulau Langerhans.
Munculnya gejala klinis membutuhkan destruksi yang sangat berat yaitu lebih
dari 90% sel yang rusak (Cihakova, 2001).
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tipe 2 terdapat
pada individu yang mengalami resistensi insulin dan biasanya relatif memiliki
defisiensi insulin setidaknya di awal dan terkadang sepanjang hidupnya. Kadar
insulin pada diabetes tipe 2 normal atau meningkat karena fungsi sel pankreas
normal (American Diabetes Association, 2009).
3. Diabetes melitus tipe lain
a. Defek genetik sel
b. Defek genetik kerja insuliN
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Obat atau kimia yang menginduksi diabetes
f. Infeksi
g. Imunologi
h. Sindrom genetik (American Diabetes Association, 2009).
4. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
D. Faktor Resiko DM
Adapun faktor resiko DM antara lain :
1.
Usia 45 tahun
2.
BMI > 23 kg/m2
3.
Hipertensi ( 140 / 90 mmHg)
4.
Riwayat DM dalam garis keturunan (genetik)
5.
Riwayat abortus berulang
E. Diagnosis
Terdapat gejala klasik yaitu poliuri, polidipsi, polifagi serta penurunan berat badan
tanpa penyebab ditambah satu dari tiga keadaan :
F. kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL

G. kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL


H. tes toleransi glukosa sebanyak 75 gram oral dan setelah 2 jam kadar glukosa
darah sewaktu 200 mg/dL (American Association of Clinical Endocrinologist,
2007).
F. Komplikasi
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi :
1.
Komplikasi akut :
a. Ketoasidosis diabetik (KAD)
b. Hiperosmolar non ketotik (HONK) atau yang sekarang dikenal sebagai
Hiperglikemik Hiperosmoler State (HHS)
c. Hipoglikemia
2.
Komplikasi kronis :
a. Makroangiopati yang melibatkan :
1) Pembuluh darah jantung
2) Pembuluh darah tepi
3) Penyakit arteri perifer sering terjadi pada diabetesi, biasanya terjadi
dengan gejala tipikal intermittent claudiacatio, meskipun sering
tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang

1)
2)

pertama kali muncul.


4) Pembuluh darah otak
b. Mikroangiopati :
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
c. Neuropati
1) Berupa hilangnya sensasi distal. Adanya neuropati berisiko tinggi
untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi
2) Gejala lain yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa nyeri di malam hari.
3) Semua diabetesi yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(Soegondo, 2007).
d. Rentan infeksi
e. Kaki diabetik
f. Disfungsi ereksi

G. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup pasien


diabetis, yaitu :
1. Jangka pendek :
Hilangnya keluhan dan tanda DM
Mempertahankan rasa nyaman
Tercapainya target pengendalian glukosa
2. Jangka panjang :
Tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit seperti mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini
DM
Untuk tujuan tersebut dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Pilar penatalaksanaan
DM :
1.

Edukasi
Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif

pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien


dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan motivasi. Edukasi tersebut
meliputi pemahaman tentang:
Penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian serta pemantauan DM
Penyulit DM
Intervensi non farmakologis dan farmakologis
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir
sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan,
implementasi dan evaluasi.

2.

Terapi gizi medis


Merawat penyakit diabetes dengan berdiet berarti mengikuti suatu pola
makan yang sehat dibandingkan diet yang sulit atau yang bersifat membatasi.

Cara ini berlaku bagi setiap penderita diabetes tanpa memperhatikan jenis
yang dimiliki, dan untuk sebagian penderita diabetes tipe II cukup dengan
mengontrolnya. Namun, pada penderita diabetes tipe I, perlu mempelajari
keseimbangan makanan dengan suntikan insulin agar bisa tercapai kontrol
terbaik pada tingkat gula darah.
Diet ini menekankan perlunya mencapai atau mempertahankan berat
badan ideal dan menekankan prinsip-prinsip dasar makanan sehat, dalam hal
ini bermakna makanan yang memiliki perpaduan yang baik serta mengurangi
makanan yang buruk bagi kesehatan.
Kontribusi makanan yang diperlukan dalam makanan penderita diabetes
adalah :
Dua per lima bagian makanan sebaiknya mencakup makanan yang

mengandung zat tepung, lebih disukai dari varietas berserat tinggi.


Dua per lima bagian makanan sebaiknya mencakup sayuran/salad maupun

buah-buahan.
Seperlima sisanya sebaiknya mencakup makanan yang mengandung protein,
seperti daging, ikan, telur, kacang-kacangan, atau keju.
Lebih dari separuh kasus pasien diabetes tidak dapat mengikuti pola diet
mereka. Alasannya banyak sekali, tetapi angka kegagalan ini dapat dikurangi
dengan menghindari kerumitan yang tidak perlu dan memberikan penjelasan
mengenai prinsip-prinsip diet kepada setip pasien.
Komposisi diet yang dianjurkan untuk penderita DM berulang kali
mengalami perubahan. Mula-mula mengacu pada diet DM di negara barat
dengan komposisi karbohidrat rendah, sekitar 40-50% dari total energi (diet
A). Namun, saat ini dianjurkan persentase karbohidrat lebih tinggi sampai 6070% dari total kebutuhan energi atau disebut juga diet B. Disamping anjuran
mengenai karbohidrat, protein dan lemak, dianjurkan pula pemakaian
karbohidrat kompleks yang mengandung banyak serat dan rendah kolesterol.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
Karbohidrat
60-70%
Protein
10-15%
Lemak
20-25%
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75%

masih

memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300
mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh

(MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly


Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat
sekitar 25 g/hari, diutamakan serat larut. Pasien diabetes dengan hipertensi
perlu mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya.
Pemanis buatan yang tak bergizi yang aman dan dapat diterima untuk
digunakan pada pasien DM termasuk yang sedang hamil adalah : sakarin,
aspartam, acesulfame potassium dan sucralose.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada
tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani. Untuk penentuan status gizi, dapat
dipakai Body Mass Indeks (BMI) dan rumus Broca. BMI dihitung dengan
rumus BMI = BB(kg)/TB(m2). Klasifikasi BMI:
BB kurang
<18,5
BB normal
18,5-22,9
BB lebih
>23,0
Dengan risiko
23,0-24,9
Obes I
25,0-29,9
Obes II
>30
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat dipaai rumus Broca, yaitu: Berat
Badan Idaman (BBI) = (TB 100)-10%.
3.

Latihan jasmani
Latihan jasmani akan meningkatkan aliran darah, menyebabkan kapiler banyak
terbuka, sehingga reseptor insulin banyak tersedia. Olahraga teratur yaitu 3-4
kali dalam seminggu, selama kurang lebih 30-45 menit. Diantaranya jalan kaki,
bersepeda, jogging, ataupun renang.
Manfaatnya:

Memperbaiki kepekaan terhadap insulin


Menurunkan kadar gula darah
Menurunkan berat badan
Menurunkan kadar kolesterol jelek
Meningkatkan kadar kolesterol baik
Memperbaiki elastisitas jaringan tubuh
Meningkatkan kebugaran tubuh
4.

1.

Intervensi farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai

dengan TGM dan latihan jasmani.


Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :

A.
B.
C.
D.

Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin
-

Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia


Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

H. Patofisiologi
Masukan
Makanan
Defek
reseptor
Hati (produksi
gula
meningkat)

I. Prognosis

Gula ekstrasel

Pankreas
(disfungsi sel
B)

Def.
insulin

Transport
glukosa

sel

Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.

BAB III
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Pekerjaan

: Tn. Y
: 64 tahun
: Laki-laki
: Jamus, Sragen
: Islam
: Karyawan Bengkel

B. DATA DASAR
Keluhan Utama: sering buang air kecil
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak sebulan SMRS pasien mengeluh semakin sering buang air kecil. Hal
ini telah mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, namun akhir-akhir ini hal
tersebut semakin mengganggu aktivitas sehari-harinya. Keluhan ini sering
muncul pada malam hari ketika pasien tertidur, sehingga pasien tidak dapat
tertidur dengan nyenyak. Pasien juga mengeluh walaupun sering kencing tetapi
pasien sering kali merasa haus dan lapar. Pasien juga sering merasa lemas,
walaupun sudah makan banyak. Selain itu, pasien merasakan kaki dan tangannya
terasa sering kesemutan. Karena mengganggu aktivitas pasien, maka pasien
memeriksakan diri ke Poliklinik RS.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat sakit jantung
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat mondok
: disangkal
Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga
Riwayat DM
: (+) ibu pasien

Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat Gizi
Pasien sehari makan tiga kali, dengan nasi 2-21/2 centong nasi dengan lauk
pauk tempe, tahu, sayur, kadang-kadang dengan ikan, telur, daging, atau ayam.
Penderita jarang makan buah-buahan.

II. ANAMNESIS SISTEM DAN PEMERIKSAAN FISIK


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Keluhan utama : sering buang air kecil


Kulit
: dalam batas normal
Kepala
: dalam batas normal
Mata
: dalam batas normal
Hidung
: dalam batas normal
Telinga
: dalam batas normal
Mulut
: dalam batas normal
Tenggorokan
: dalam batas normal
Sistem respirasi
: dalam batas normal
Sistem kardiovaskuler
: dalam batas normal
Sistem gastrointestinal : mudah haus, mudah lapar
Sistem musculoskeletal
: lemas
Sistem genitourinaria
: sering buang air kecil pada malam hari
Ekstremitas atas dan bawah : kesemutan

n.
o.

Status neurologis
: kesemutan
Status gizi
: BB=60 kg, TB=170 cm BMI=20,7 kg/ m2

(normoweight)
p.
Tanda Vital
Nadi
RR
Suhu

:TD :120/80 mmHg


:100x/mnt
:20x/mnt
:36,6C

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan

Satuan

Rujukan

Hb

13

g/dl

12-15,6

Hct

39

33-45

AL

12,4

103 / L

4,5-14,5

IV.

AT

229

103 / L

150-450

AE

4,40

106/ L

4,10-5,10

GDS

229

mg/dl

80-110

GDP

196

Mg/dL

70-110

RESUME
Sejak sebulan SMRS pasien mengeluh semakin sering buang air kecil. Hal ini

telah mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, namun akhir-akhir ini hal tersebut
semakin mengganggu aktivitas sehari-harinya. Keluhan ini sering muncul pada
malam hari ketika pasien tertidur, sehingga pasien tidak dapat tertidur dengan
nyenyak. Pasien sering kali merasa haus dan lapar. Pasien juga sering merasa lemas
(+), kesemutan di kedua ekstremitas (+), dan berat badan menurun (+). Riwayat
penyakit keluarga kencing manis (+) pada ibu.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80, nadi 100x/mnt, RR
20x/mnt, suhu 36,6C, BMI 20,7 kg/m2 (normoweight). Laboratorium didapatkan
Hb= 13 g/dl, Hct= 39%, Trombosit = 229, Eritrosit= 4,40 106/ L, Leukosit: 12,4
x103 / L, GDS= 229 mg/dl, GDP= 196 mg/dL.

V. DIAGNOSIS
DM Tipe 2 Normoweight

VI.

TERAPI
a.

Edukasi kepada pasien mengenai penyakit Diabetes mellitus dan

b.

komplikasinya
Edukasi kepada pasien untuk mengkonsumsi makanan rendah gula dan
kalori

c.
d.

Edukasi kepada pasien untuk meningkatkan aktivitas fisik


Gibenkamid 5mg 1x1
DM tipe 2 Normoweight
Resep :

R/ Glibenklamid tab mg 2,5 No. XV


1 dd tab 1 h. a.c
Pro : Tn. Y (64 tahun)
Peresepan
Pasien diedukasi, melaksanakan diet, dan latihan jasmani, kemudian
dievaluasi selama 4-8 jam. Jika ketiga terapi diatas tidak mampu memenuhi tujuan
terapi maka diberikan intervensi farmakologis.
Intervensi farmakologis yan diberikan sesuai dengan standar pelayanan medik
ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Moewardi adalah golongan sulfonilurea atau
penghambat Glukosidase alfa.
Sulfonilurea merupakan obat yang digunakan sebagai terapi farmakologis
pada awal pengobatan DM, karena mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Dosis pemberian sulfonilurea khususnya
Glibenklamid 5 mg adalah 1-2 x pemberian per hari.
Resep pertama : R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
1 dd tab 1 h a.c (sebelum makan)
Pro : Tn. Y (64 tahun)
Kemudian dievaluasi 2-4 minggu kemudian bila tujuan terapi tidak tercapai
ditambahkan satu macam obat dari golongan biguanid
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
1 dd tab 1 a.c (sebelum makan)
R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI
3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)
Pro : Tn. Y (64 tahun)
Evaluasi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jika tetap tidak ada
respon terapi, diberikan kombinasi dengan golongan penghambat glukosidase
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
1 dd tab 1 a.c (sebelum makan)
R/ Acarbose tab mg 50 No. XXI
3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)
R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI
3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)
Pro : Tn. Y (64 tahun)
Evaluasi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jika tetap tidak ada
respon terapi, diberikan kombinasi 3 macam OHO dengan insulin injeksi subkutan
R/ Glibenklamid tab mg 5 No. XV
1 dd tab 1 a.c (sebelum makan)
R/ Acarbose tab mg 50 No. XXI
3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)

R/ Metfomin tab mg 500 No. XXI


3 dd tab 1 d.c (bersama suapan pertama)
R/ Insulin reguler injeksi 100 ui
Cum spuit insulin injeksi
Pro : Tn. Y (64 tahun)

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A.
B.
C.
D.

Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

A. Golongan Insulin Secretagogues


Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
1)

SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an.

Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi
insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini
menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca

tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien
yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak
dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan
perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang
jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup
bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai
dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga
tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat
diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
2)

GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang

mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.


Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) keduaduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan
melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
B. Golongan Insulin Sensitizing
1)

BIGUANID
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme
tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya
diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
>1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi
hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.

Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya


terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan
makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh
2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan
hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang
rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-masing,
baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian
dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonylurea sampai
dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk
dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih
baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang
mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin
saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan
berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada
awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin
berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat
dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2)

GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan agonist
peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan

poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan
adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam
dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara
3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C
sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai
kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai
terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena dapat
memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat
ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
C. Penghambat Glukoneogenesis
METFORMIN
Obat ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai pada


diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama
oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu

paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi
melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat
tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya
24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan
obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Tabel Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO


terhadap penurunan HbA1C( Hb-glikosilat )

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006


2. Insulin
-

Insulin diperlukan pada keadaan :


Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :


Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin


-

Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia


Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
Tabel Insulin di Indonesia

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006


3. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.

Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah / panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja
(PERKENI, 2006)
Patofisiologi DM disertai terapi:
Masukan
Makanan
glokosidase
inhibitor
insulin
Hati (produksi
Gula ekstrasel
gula

meningkat)

Defek
reseptor

diet
Transport
glukosa

Insulin

Def.
insulin

Pankreas
DAFTAR PUSTAKA
(disfungsi sel
B)

sel

Biguanid
sulfonilure
a

Adam JMF. 2005. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita Diabetes dan
Upaya Pencegahan. Diabetes Care 26 (S):3.
American Association of Clinical Endocrinologists. 2007. Medical Giudelines for
Clinical Practice for The Management of Diabetes Mellitus. Endocrine Practice
13 (Suppl 1).
American Diabetes Association. 2004. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes
Care 27 (S): 15-35.
American Diabetes Association. 2009. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 32 (S): 62-7.
Cihakova D. 2001. Type 1 Diabetes

Mellitus. http://autoimmune.pathology.

jhmi.edu/diseases.cfm?systemID=3&DiseaseID=23 (13 Januari 2015).

Depkes. 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai 21,3
Juta Orang.www.depkes.go.id (13 Januari 2015).
Jameson BF. 2004. Harrisons Principal Internal Medicine. 16th edition. The Mc Graw
Hill Company, United States.
Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001
Perkeni, 2011. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Jakart:
Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia. Semarang: 2006.
Permana H. 2010. Peran Terapi Kombinasi Diabates Tipe 2 pada RIsiko dan
ProgresivitasCVD.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/peran_
terapi_kombinasi_diabetes_tipe_2.pdf. (13 Januari 2015).
Powers C Alvin. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing
Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.
Soebardi S dan Yunir E. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, Hal: 1864
Soegondo S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK-UI, Hal: 1860-2.
Suherman. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, pp: 487-493.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Suyono S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1852-1855.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Waspadji S.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. Pusat Penerbitan Departemen
World

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1911-1914.


Health Organization. 2009. Diabetes.http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs312/en/index.html (13 Januari 2015).

Вам также может понравиться